02 Mei 2021

opini musri nauli : Cara Pandang Masyarakat Melayu Jambi (1)


Sebagai ciptaan sang pencipta, Manusia masyarakat Melayu Jambi menempatkan diri sebagai makhluk alam. Makhluk yang tunduk dengan alam Semesta. 


Cara menempatkan diri dari alam Semesta, dari pemerintah, dari Pemimpin bahkan dalam kehidupan sehari-hari dapat ditandai dengan berbagai seloko. 


Seloko seperti “Alam sekato rajo, negeri sekato batin”, adalah cara menempatkan diri masyarakat Melayu Jambi dalam relasi dengan alam dan Pemimpin. 

Menurut Jakob Sumardjo: “Dalam masyarakat dengan konteks budaya mistis ini terdapat cara berpikir berdasarkan kesatuan kosmos. Mikrokosmos (manusia), makrokosmos (semesta), dan metakosmos (alam lain) menjadi satu keutuhan”. Konsep adanya kehidupan sesudah kematian, sesungguhnya berawal dari masa prasejarah ini. Cara berpikir bahwa ada sesuatu kekuatan di luar diri manusia dan menguasai mereka yang masih hidup merupakan norma-norma yang dijunjung tinggi dan utama dalam hidup dan kehidupan manusia purba, sebagai sebuah sistem kepercayaan[1].


Sehingga menempatkan diri Manusia sebagai “mikrokosmos” dari sekrup alam Semesta dan Tuhan (makrokosmos). Dengan menempatkan diri Manusia masyarakat Melayu sebagai mikrokosmos adalah penempatan diri sebagai makhluk dari sang pencipta. 


Cara berfikir Manusia sebagai “mikrokosmos” dan bagian dari alam adalah perwujudan Manusia dan sang pencipta dalam berbagai relasi sehari-hari. 


Cara Pandang ini juga didasarkan dari proses panjang dari budaya mistis yang dikenal didalam literatur antropologi. 


Seloko seperti “Teluk sakti, Rantau betuah, Gunung bedewo justru adalah proses adanya kekuatan diluar Manusia. Sekaligus adanya kekuatan gaib yang menggerakkan dalam kehidupan sehari-hari. 


Di berbagai tempat yang ditemukan ornamen dan artefak sebagai kebudayaan adiluhung zaman megalitikum  justru menampakkan sistem kepercayaan. Sistem kepercayaan yang menjunjung tinggi dalam kehidupan. 


Tradisi pembuatan bangunan megalitik selalu berkaitan dengan kepercayaan adanya hubungan antara orang yang masih hidup dengan nenek moyang mereka yang sudah meninggal. Dalam hal ini manusia pendukung kebudayaan megalitikum percaya nenek moyang yang sudah mati mampu mempengaruhi kesejahteraan hidup masyarakat atau kesuburan tanah dari generasi yang masih hidup[2]


Perbedaan arah hadap mulut tempayan membuktikan bahwa tempayan sengaja dikubur dalam posisi rebah. Arah hadap mulut tempayan ke timur ditemukan juga di Situs Lolo Gedang, Kerinci. Kemungkinan besar arah hadap mulut berkaitan dengan arah kosmis atau mata angin[3].


Megalitik juga terdapat di Serampas, Sungai Tenang dan Peratin Tuo[4]. Bahkan juga ditemukan Megalit di Dusun Tuo Dan Tanjung Putih (Nilo Dingin)[5].  Kebudayaan megalitik yang menghasilkan bangunan dari batu besar merupakan kebudayaan terakhir dari zaman prasejarah (paleoarkeologi)[6]


Alama cosmopolitan dari zaman megalitikum yang beredar di masyarakat dikenal dengan Legenda Si Pahit Lidah dan Kecik Wong Gedang Wok[7].


Gambaran atau citra terhadap dunia (makrokosmos), ikut menentukan tatanan mikrokosmos yang akan diwujudkan dalam penataan wilayah, ibukota, kompleks keraton, maupun bangunan pada umumnya.


Seperti yang dijelaskan oleh Geldern[8] bahwa menurut doktrin Brahmana, gambaran atas dunia (makrokosmos) atau jagat ini terdiri dari: “Jambudwipa”, sebuah benua berbentuk lingkaran terletak di pusat, dikelilingi oleh tujuh buah samudra berbentuk cincin dan tujuh buah benua lain berbentuk cincin juga.


Di luar Samudra terakhir dari ketujuh samudra tadi, jagat itu ditutup oleh barisan pegunungan yang sangat besar. Di tengah-tengah jambudwipa (tengah-tengah jagat raya), berdirilah gunungmeru menjadi pusat dari jagat raya, gunung ini dikelilingi oleh tujuh barisan pegunungan.


Masing-masing pegunungan ini dipisahkan oleh tujuh buah samudera yang berbentuk cicin. Di luar rantai pegunungan terakhir terletak lautan dan di dalam lautan ini dijumpai empat buah benua, masing-masing pada penjuru angin. Benua yang terletak di Selatan gunungmeru adalah Jambudwiva, tempat tinggal umat manusia. Jagat raya itupun dikelilingi oleh sebuah dinding besar yang terdiri dari batu karang, disebut barisan cakrawala.


Pada lereng gunungmeru terletak Swarga (surga) yang terendah, yaitu swarga dari keempat raja besar atau penjaga dunia.. Pada puncaknya Swarga ke dua, yaitu Swarga ke-33 dewa serta Sudarsana, kota dewa-dewa, tempat Indra bersemayam sebagai raja.


Di atas Gunungmeru terdapat lapisan-lapisan lainnya dari kayangan” (biasanya ada 26, termasuk lapisan-lapisan diatas gunungmeru, tetapi jumlah ini kadang-kadang berbeda). Perbedaan penafsiran atas ujud jagat raya ini juga terjadi diberbagai wilayah di Asia Tenggara, termasuk Jawa dan Bali. Meskipun ada sedikit perbedaan dalam hal-hal kecil namun, intinya seperti: bentuk yang berupa lingkaran, wilayah-wilayah yang berpusat mengelilingi gunungmeru (Meru sebagai pusat atau center)[9]


Advokat. Tinggal di Jambi