21 Juni 2021

opini musri nauli : Kutukan Ilmu Pengetahuan (2)

Setiap artefak, candi, manaqib bukan sekedar hanya benda (materiil). Tapi ada simbol-simbol dibaliknya. 


Berbagai tempat pemujaan (baik berupa candi, artefak, arca) lebih kaya cara pandang tentang alam (kosmopolitan). Baik cara pemilihan tempat, arah sudut, letak bahkan berbagai simbol-simbol dibaliknya. 

Dengan memahami Candi Borobudur selain menggunakan “akal”, juga belajar Simbol, makna tersirat, cara pandang (Kosmopolitan). Termasuk menggunakan intuisi, intelegensia, nurani dan nalurai. 


Sehingga Penelitian 2008 hingga 2011 kemudian dapat membaca kerumitan didalam melihat Candi Borobudur. 


Menurut detik.com Jumlah stupa Borobudur memakai rumus 2:3:4. Tinggi dan diameter stupa memakai rumus 1,7:1,8:1,9. Sedangkan kaki candi, badan candi dan kepala/puncak candi memakai rasio 4:6:9.


9 Sebagai angka penting dalam spiritualisme Buddha diaplikasikan dalam pola arca dan anak tangga. Misalnya, total ada 504 arca dimana 5+0+4=9. Lalu total anak tangga ada 360 dimana 3+6+0=9.


Konsep matematika terakhir adalah teselasi atau penyusunan berlapis oleh suatu bentuk poligon. Setiap stupa Candi Borobudur disusun dari 36 kubus berukuran 15x15 cm. Total luas permukaan kubus adalah 36 x (15x15) = 8.100 cm2 yang jika semua angkanya dijumlahkan 8+1+0+0=9.


Ilmuwan pun yakin Candi Borobudur adalah produk etnomatematika. Angka-angka yang muncul dalam ajaran dan filosofi Buddha hadir dalam elemen-elemen bangunan Candi Borobudur mengikuti pola geometri frakta. 


Tidak salah kemudian manusia modern justru belajar dari warisan adiluhung leluhur moyang Indonesia. 


Meminggirkan intuisi, nurani, Intelektual dan naluri dan mengabaikan makna dan simbol dari “Benda” yang dilihat justru akan “menjauhkan” manusia didalam melihat alam. 


Dan ciptaan yang Diberikan Tuhan kepada manusia justru hanya menempatkan manusia sebagai “makhluk semata”. Bukan manusia yang mempunyai makhluk yang Mulia. 


Atau kisah kegagalan Napoleon Bonaparte dalam perang di Eropa. Sekaligus hujan berkepanjang di Eropa. Hujan yang berkepanjangan (The Year without summer) di Eropa kemudian menyebabkan pasukan tidak bisa digerakkan oleh Napoleon Bonaparte. 


Padahal hujan yang berkepanjangan ternyata disebabkan oleh Meletusnya Tambora. Kedahsyatan Tambora kemudian meluluhlantakkan hingga 100 km ke udara. Membuang badan gunung Tambora. Sehingga ketinggian Tambora sebelum meletus 4300 mdpl tinggal dan menjadi ketinggian 2815 mpdl.


Ketika Tambora meletus, menghabiskan kerajaan dan hanya menyisakan 200 orang. Penduduk yang tinggal kemudian kemudian diserang perampok dan melarikan diri ke Kerajaan Dompu.


Sedangkan Kerajaan Tambora pada tahun 1805 berpenduduk empat ribu jiwa. Meningkat hingga 8000 jiwa. Ketika Meletus Tambora, penduduk yang meninggal 30 jiwa. Namun sisanya kemudian mati dilanda lahar panas tahun 1816. Wilayah Tambora kemudian masuk kedalam kekuasaan Kerajaan Dompu.


Terakhir Kerajaan Pekat merupakan kerajaan kecil. Tetapi penduduknya musnah akibat Tambora. Wilayah Pekat kemudian dimasukkan kedalam kerajaan Dompu.


Peristiwa meletusnya Tambora dan kemudian menghubungkan dengan hujan yang berkepanjangan (The Year without summer) di Eropa kemudian menyebabkan pasukan tidak bisa digerakkan oleh Napoleon Bonaparte, justru baru terungkap 50 tahun terakhir. 


Tentu saja meletusnya tambora 200 tahun yang lalu kemudian baru terungkap hubungan dengan kegagalan Napoleon 50 tahun terakhir sekaligus membuktikan. Kegagapan ilmu pengetahuan terhadap alam. 


Lalu mengapa kita begitu angkuh dan kemudian tidak mau menempatkan pengetahuan masyarakat sebagai pengetahuan yang utama (pengetahuan empirik) sebagai landasan ilmu pengetahuan.