Namun tema mudik yang lebih menarik dilihat dari ranah antropologi. Terlepas dari istilah mudik yang kurang tepat menggambarkan suasana menjelang Idul Fitri, tema mudik juga harus dipahami dengan cara pandang orang Indonesia.
Dalam karya master piece-nya, Prof. Koentjaraningrat (Pak Koen), dijelaskan untuk melihat sebuah kebudayaan suku bangsa dapat dilihat dari berbagai unsur.
Menggunakan istilah “Suku bangsa” untuk melihat kebudayaan di Indonesia kurang tepat. Apabila dilihat dari berbagai unsur pembentuk kebudayaan, maka berbagai yang disebut sebagai “suku bangsa” justru menunjukkan derajat sebagai bangsa.
Lihatlah Unsur kebudayaan seperti Bahasa, system mata pencarian, system kekerabatan, kesatuan hidup local tradisional, system religi, system teknologi dan kesenian tradisional.
Namun yang paling Penting adalah cara pandang orang Indonesia memandang mudik.
Mudik tidak sekedar “kekangenan” untuk menikmati sejenak dari rutinitas di kota akan kembali menyegarkan batin yang sempat tersita di kota.
Atau Mudik diwujudkan sebagai identitas masyarakat yang masih mengagungkan nilai-nilai lokal didalam menghadapi pusaran zaman.
Atau Mudik merupakan kesempatan ”bersilahturahmi” dan tradisi bersinggunggan dengan budaya. Sekaligus Dengan tradisi mudik, masyarakat menjadi berarti dan menemukan jati diri sebagai insan manusia yang rendah hati.
Sama sekali tidak.
Menurut Jakob Sumardjo: “Dalam masyarakat dengan konteks budaya mistis ini terdapat cara berpikir berdasarkan kesatuan kosmos. Mikrokosmos (manusia), makrokosmos (semesta), dan metakosmos (alam lain) menjadi satu keutuhan”. Konsep adanya kehidupan sesudah kematian, sesungguhnya berawal dari masa prasejarah ini. Cara berpikir bahwa ada sesuatu kekuatan di luar diri manusia dan menguasai mereka yang masih hidup merupakan norma-norma yang dijunjung tinggi dan utama dalam hidup dan kehidupan manusia purba, sebagai sebuah sistem kepercayaan.
Alam cosmopolitan umumnya memiliki ciri antara lain. Magis dan keagamaan (magis religious), nyata atau konkrit (concrete), kontan atau tunai, (cash), keberlakuan ajeg (constant) dan fleksibel (flexible).
Menurut Zulyani Hidayah didalam bukunya “Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia” Masyarakat Melayu Jambi termasuk kedalam termasuk rumpun kesukuan Melayu.
Sehingga Menurut Yusmar Yusuf didalam bukunya “Studi Melayu”, Secara fenomologis, Melayu merupakan sebuah entitas kultural (Malay/Malayness sebagai cultural termn/terminologi kebudayaan). Menurut Yusmar Yusuf, kearifan dan tradisi Melayu ditandai dengan aktivitas di Kampung. Kampung merupakan pusat ingatan (center of memory), sekaligus pusat suam (center of soul). Kampung menjadi pita perekam tradisi, kearifan lokal (local wisdom).
Berbagai ritual yang diadakan saat pulang kampung seperti “Kenduri sko” yang masih terjadi membuktikan, Kampung merupakan pusat ingatan (center of memory) masih diterapkan dalam praktek dalam kehidupan sehari-hari.
Cara merawat cerita yang kemudian diturunkan turun temurun. Sesuai dengna Seloko Jambi “Bak li beganti li, lapuk pua jelipung tumbuh. Bak lapuh di ujung tanjung ilang sekok timbul sekok.
Sehingga untuk memahami cara pandang masyarakat Melayu Jambi lebih mudah dipahami dari pendekatan antropologi. Salah Satu materi yang akan mudah dipahami apabila kita ikut bergumul, bagian dari “cara Pandang”. Sekaligus bisa merasakan.
Bukan semata-mata hanya melihat dari gejala-gejala sosial semata.
Baca : Mudik Orang Indonesia (3)