07 Mei 2021

opini musri nauli : Mudik Orang Indonesia (2)

Dilanjutkan tanggai 13 Juni 2018 menulis tentang makna PUASA – IBADAH ATAU RITUAL yang menggambarkan puasa sebagai ibadah dan bekal menjalani mudik. 

22 Juni 2018 menulis tentang mudk dan kebersihan. Menceritakan tentang fasilitas umum yang ternyata menjadi kotor oleh pelancong yang mampir. Entah membuang sampah sembarangan ataupun meninggalkan sampah yang membuat fasilitas kemudian kotor. 


23 Juni 2018 menuliskan mudik dan pelayanan umum. Menceritakan relawan yang bersedia membagikan waktunya untuk menjaga tempat-tempat rest area, posko pengamanan, posko mudik, tempat-tempat public. Mereka menyediakan pelayanan seperti mengatur lalulintas, tenaga kesehatan, sarana pendukung seperti ambulan, fasilitas kesehatan, tempat air minum, fasilitas tidur dan berbagai sarana pendukung lainnya.


Mereka terdiri dari kepolisian, Korem/kodim/koramil, tenaga kesehatan dan relawan seperti RRI, kelompok hoby. Mereka membangun posko-posko di sepanjang jalur mudik. Menyiapkan tenda yang dapat digunakan para musafir untuk rehat dan ngaso sejenak. Mereka rela bertugas untuk mengamankan jalur mudik sehingga musafir dapat tenang melalui jalur dengan tenang.


Mereka mengisi posko-posko, piket bergantian hingga menjaga posko dengan tekun. Mereka terus melihat keadaan dan mengambil sikap sigap (respon) terhadap berbagai peristiwa dijalan. Mereka rela membagi waktu hingga pemudik (musafir) tenang menjalani mudik demi keluarga.


8 Mei 2019 tentang Mudik yang menceritakan tentang ribetnya mengurusi mudik. Entah memesan tiket angkutan umum seperti pesawat terbang, kereta api dan kapal. Termasuk juga menceritakan tentang jalur mudik menggunakan angkutan darat. Seperti menggunakan mobil. 


Namun istilah mudik dituliskan tanggal 20 April 2021. 


Problema mulai muncul menggunakan istilah mudik. Sebenarnya larangan, himbauan bahkan ancaman agar tidak mudik menjelang Idul Fitri menimbulkan kerancuan. 


Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, kata-kata “mudik” diartikan sebagai berlayar ke udik. Sehingga dapat diartikan sebagai bepergian ke Hulu sungai ataupun ke pedalaman. 


Seloko Jambi menempatkan kata mudik seperti “keruh aek di hilir, tengok aek dimudik”.  Makna kata “keruh aek dihilir. tengok aek dimudik” adalah ajaran orang tua Melayu Jambi yang menempatkan mencari sebab-sebab dari “keruhnya aek di hilir”. 


Dalam perkembangannya, bepergian kemudik kemudian dapat menggunakan kendaraan angkutan darat ataupun angkutan udara. Mudik dapat juga diartikan pulang ke kampung halaman. 


Lalu bagaimana apabila bepergian antara satu kota dengan kota yang lain ? Apakah masih tepat dikatakan mudik ? 


Dalam perkembangan, kata-kata mudik sudah mengalami pergeseran. Kata-kata mudik yang ditujukan bepergian ke Daerah ulu sungai ataupun ke kampung halaman justru mengalami pergeseran. 


Pokoknya bepergian antara satu kota ke kota lain menjelang Idul Fitri malah dikatakan mudik. 


Menilik arti harfiah kata mudik dan sekaligus makna kata-kata didalam seloko Jambi, justru bepergian antara satu kota dengan kota lain tidak lagi dikategorikan sebagai mudik. 


Hanya sekedar menggunakan istilah “mudik” sebagai bepergian menjelang idul Fitri sekaligus juga menjawab kemalasan berfikir mencari kosakata. Dan itu justru menyesatkan makna kata mudik itu sendiri. 


Kerancuan yang mengganggu nalar dilihat dari maksud kata mudik itu sendiri. 


Sudah saatnya, makna mudik dikembalikan kepada hakekatnya. 


Sehingga lebih tepat larangan, himbauan bahkan ancaman agar tidak bepergian antara satu kota ke kota lain menjelang Idul Fitri. 


Bukan melarang mudik. 


Baca : Mudik Orang Indonesia (1)