I.
PUYANG ORANG JAMBI
Masyarakat Melayu Jambi
termasuk kedalam termasuk rumpun kesukuan Melayu[1].
Secara fenomologis, Melayu merupakan sebuah entitas kultural (Malay/Malayness
sebagai cultural termn/terminologi kebudayaan)[2].
Masyarakat Melayu pada dasarnya
dapat dilihat (a) Melayu pra-tradisional, (b) Melayu tradisional, (c) Melayu Modern[3].
Dilihat
dari kategorinya, maka masyarakat Melayu Jambi dapat diklasifikasikan dalam
Melayu tradisional. Menurut Yusmar Yusuf, kearifan dan tradisi Melayu ditandai
dengan aktivitas di Kampung[4]. Kampung merupakan pusat ingatan (center of
memory), sekaligus pusat suam (center of soul). Kampung menjadi pita
perekam tradisi, kearifan lokal (local wisdom).
Selain
itu juga dalam konsepsi Socifactual ditandai dengan bentuk kehidupan sosial
kemasyarakat seperti kerapatan adat.
Sistem
mata pencarian adalah petani. Utamanya pohon karet[5].
Orientasi ruang merujuk kepada sungai. Hal ini disebabkan karena kawasan
perairan merupakan sumber kehidupan sekaligus gerbang untuk berhubungan dengan
negeri-negeri jauh[6].
Bahkan pada tahun 1616, Ibukota Jambi dipandang sebagai pelabuhan terkaya kedua
di Sumatera setelah Aceh.[7]
Dengan
demikian, maka kawasan perairan bagi Melayu adalah halaman depan. Sedangkan halaman
belakang adalah kawasan hutan yang memberi kehidupan dan melindungi mereka[8].
Rumpun
Melayu termasuk kedalam 9 suku yang dominan[9]
dari 650 suku di Indonesia[10].
Zulyani Hidayah didalam Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia menunjukkan
terdapat lebih kurang 658 suku di Nusantara. Dari enam ratusan, 109 kelompok
suku berada di belahan barat, sedangkan di Timur terdiri dari 549 suku. 300
berada di Papua.
Walaupun
keberadaan masyarakat di daerah hulu Sungai Batanghari diperkirakan sudah
berada jauh sebelum masuknya kedatangan Agama-agama Besar seperti Budha, Hindu
dan Islam, namun belum menemukan dokumen-dokumen untuk mendukung pernyataan
tersebut[11].
Prasasti-prasasti yang sampai sekarang masih banyak ditemukan dan belum bisa
mendukung tentang asal-muasal masyarakat dan sejarah yang bisa menceritakan
banyak tentang masyarakat. Hipotesis yang bisa disampaikan, bahwa keberadaan
masyarakat diperkirakan telah ada jauh sebelum kedatangan masuknya agama-agama
Budha, Hindu dan Islam[12].
Didataran
tinggi Jambi dikenal daerah Kerinci, Sungai Tenang, Serampas sebagai pusat
peradaban pada masa prasejarah.
Teknologi
batu yang biasa dikenal sebagai Megalitik[13]
pada masa neolitik dan memanfaatkan benda-benda yang terdapat di lingkungan
sekitarnya. Bukti ini sekaligus konfirmasi tentang adanya mobilitas penduduk
dari satu tempat ke tempat lain dengan konsepsi-konsepsi bercorak megalitik
yang bercocok tanam[14].
Di
Ulu Tiangko, Merangin ditemukan fosil sisa rangka manusia yang memiliki
ciri-ciri Australomelanesid di Ulu Tiangko, Propinsi Jambi yang berusia
6000-9000 tahun yang lalu[15].
Pada tahun 1913, A. Tobler[16],
seorang arkeolog bangsa Swiss, melakukan
penggalian di gua Vlu Chanko, Provinsi Jambi, tidak jauh dari Sungai Maringin
dan Batang Tabir. la menemukan sebuah industri obsidian yang terdiri atas
serpih-serpih yang diretus dan beberapa lancipan panah[17].
Di
Kerinci ditemukan peninggalan Megalitik berbentuk silinder atau kerucut dan
Kubur tempayan di Desa Muak[18],
Kerinci, Bukit Batu larung dan Renah kemumu[19].
Sedangkan motif relief lingkaran konsentris bidang di ujung tenggara juga
ditemukan di Talang Alo, Dusun Tuo dan Gedang. Megalitik berfungsi sebagai
lambang ritual serta lambang status orang kelompok yang berkuasa. Arahnya
menghadap Gunung Kerinci adalah symbol dan ritual. Berbagai situs yang
mengelilingi megalit merupakan pusat dari pemukiman kuno di Desa Muak.
Juga
ditemukan Batu Gong nenek Betung Situs Kumun Mudik, Batu Sorban di Desa Sumur Gedang, Sungai
Liuk, Kota Sungai Penuh, Batu Meriam Situs Lempur Mudik, Batu Kursi, Gunung
Raya, Kerinci, Batu Panjang Situs Lolo Kecil, Batu Gong Situs Pondik, Batu
Silindrik Situs Lolo Gedang, Batu Talang Pulai Situs Jujun, Batu Meriam Situs
Pulau Sangkar, Batu Silindrik Situs Tanjung Batu, Batu Meriam Situs Talang
Kemuning, Dolmen Batu Rajo PUlau Tengah, Batu Lumpang Sungai Penuh, Batu
Lumpang Muak, Menhir Dusun Kecik Melako Tinggai Desa Bernik, Komplek Menhir
Pendung Mudik, Makam Nenek Siak Lengih, Makam Nenek Pemangku Rajo, Tanah
Sabingkeh, Tanah Mendapo[20].
Pada
penelitian selanjutnya, kubur tempayan ditemukan di situs Lubuk Mentilin, Lolo
Gedang, Dusun Baru Muak, Ulu Muak, Talang Semerah dan Siulak Tenang[21].
Menurut mitologi Dataran Tinggi Jambi, penguasa
gunung-gunung itu disebut dengan nenek yang mempunyai kesaktian[22],
atau mambang, ialah makhluk halus yang pertama kali menghuni[23].
Di Marga Batin Pengambang dikenal Seloko “Teluk Sakti Rantau Betuah Gunung
Bedewo” sebagai penamaan tempat yang dihormati. Hingga sekarang tradisi
mengantarkan makanan ataupun sesajen masih dilakukan.
Untuk menjaga hubungan dengan mambang dan arwah
nenek moyang, dalam kenduri seko dilaksanakan tari-tarian dengan memanggil nama
nenek moyang hingga tidak sadarkan diri. Kata-kata yang keluar dari mulut
penari yang tidak sadar diri dipercayai merupakan pesan dari nenek moyang serta
sebagai tanda telah terajalinnya kembali kedekatan hubungan antara nenek moyang
dan keturunannya. Karena arwah nenek moyang berubah menjadi harimau, maka
penari yang dipercaya telah dikuasai atau dimasuki oleh arwah nenek moyang
kadang-kadang mengaum seperti harimau. Pada malam hari dilakukan tari-tarian
serta dipersembahkan daging dan darah (kerbau) yang diletakkan di pinggir desa untuk
para arwah nenek moyang[24].
Peninggalan
zaman prasejarah kemudian menghasilkan cerita ditengah masyarakat. Pada masa
sekitar abad ke-9 hingga ke-13, masyarakat Kerinci dipimpin oleh persatuan Sugindo. Sugindo bukan
seorang raja melainkan kepala suku atau kepala kaum yang mengatur kehidupan
masyarakatnya. Sugindo-sugindo ini memimpin
masyarakat dari berbagai dusun yang ada di Kerinci. Persatuan para Sugindo ini
sangat kuat dan bersedia saling membantu satu sama lain. Setiap tahun mereka
sering mengadakan pertemuan untuk membahas permasalahan ataupun kehidupan
masyarakatnya. Forum pertemuan ini dikenal dengan sebutan Sakti Alam Kerinci[25].
Setelah
masuknya agama Islam dalam masa kepemimpinan para Sugindo dan kedatangan Pangeran Temenggung dari Jambi,
maka kekuasaan para Sugindo di Kerinci berganti
menjadi Kedepatian. Depati ini berasal dari kata Dipatri yang artinya ditetapkan atau Adipati yang
berarti gelar kepala atau pemimpin suatu wilayah. Kekuasaan di Kerinci pada
masa itu dipimpin oleh Depati Empat Delapan Helai Kain. Ada 7 wilayah adat yang
berada dibawah kekuasaan Depati Empat Delapan Helai Kain ini, salah satunya
adalah wilayah adat Depati nan Bertujuh di Kota Sungai Penuh. Depati nan
Bertujuh ini menjalankan tugasnya dalam pemerintahan adat bersama dengan
Permanti nan Sepuluh, Mangku nan Berduo, serta Ngabi Teh Santio Bawo. Adapun
Depati nan Bertujuh tersebut antara lain Depati Santiudo, Depati Payung nan
Sekaki, Depati Sungai Penuh, Depati Pahlawan Negara, Depati Simpan Negeri,
Depati Alam Negeri, dan Depati Nyato Negaro.
Pada
masa kekuasaan Depati nan Bertujuh, Kerinci belum mengenal wilayah kekuasaan
atau teritorial secara administratif seperti saat ini. Batas-batas ditandai
dengan elemen fisik atau simbol-simbol alam seperti sungai, hutan, bukit, dan
sebagainya. Berdasarkan dua isi piagam di atas dapat disimpulkan bahwa batas
wilayah adat Depati nan Bertujuh meliputi aliran Sungai Bungkal dari hulu
hingga ke hilir yaitu muara Air Hitam, di sebelah Utara hingga ke daerah Koto
Keras, dan sebelah Selatan hingga ke daerah Kumun Debai[26].
Megalitik
juga terdapat di Serampas, Sungai Tenang dan Peratin Tuo[27].
Bahkan juga ditemukan Megalit di Dusun Tuo Dan Tanjung Putih (Nilo Dingin)[28].
Kebudayaan
megalitik yang menghasilkan bangunan dari batu besar merupakan kebudayaan
terakhir dari zaman prasejarah (paleoarkeologi)[29].
Sedangkan
cerita yang beredar di masyarakat dikenal dengan Legenda Si Pahit Lidah[30]
dan Kecik
Wong Gedang Wok[31].
Di
Kotorayo[32]
ditemukan batu bata merah yang berserakan dengan ukuran yang jauh lebih besar
dan panjang dibandingkan kuburan pada umumnya. Benda-benda lainnya yang juga
dapat ditemukan di kawasan ‘misterius’ ini adalah beragam pecahan porselin
berupa mangkok dan piring yang berasal dari peradaban masa lalu. Di dalam
kawasan ini juga terdapat kuburan yang dianggap keramat oleh masyarakat
sekitar, terletak di bawah pohon besar.
Cerita
rakyat yang mengiringi perjalanan Koto Rayo memang tidak menyebutkan tahunnya,
akan tetapi berdasarkan keterangan kondisi saat itu yang tengah kacau dan
pengiriman 19 orang terpilih untuk memantau kondisi di muara sungai, maka dapat
dikatakan bahwa saat itu adalah masa Kerajaan Melayu Kuno (abad ke-3 sampai
abad ke-5 Masehi), atau Kerajaan Melayu Jambi (644/645 Masehi) atau Kerajaan
Sriwijaya (670 Masehi)[33].
Namun
sebelum kerajaan Sriwijaya dikenal wilayah Jambi ada 3 kerajaan Melayu Kuno
pra-Sriwijaya yang seiring disebut dalam catatan Cina yaitu: Koying (abad ke
3), Tupo (abad ke 3) dan Kantoli (Kuntala abad ke 5). Catatan tentang adanya
negeri (kerajaan) Koying dibuat oleh K’ang-tai dan Wan-chen dari bangsa Wu
(222-280). Selain itu juga dimuat dalam ensklopedi T’ung-tien yang ditulis Tuyu
(375-812 M) dan disalin oleh Ma-tu-an-lin ke dalam Ensklopedi
Wenhxien-t’ung-k’ao[34].
Sedangkan Situs Muara Jambi mempunyai luas sekitar 11 km, hingga saat ini di
areal situs terdapat sekurang-kurangnya 82 buah sisa bangunan batu bata.
Sebagian dari bangunan- bangunan bata tersebut mengelompok disuatu tempat yang
dikelilingi tembok pagar keliling misalnya Candi Teluk, Kembar Batu, Gedong,
Gumpung, Tinggi, Koto Mahligai, Kedaton, dan sebagian lagi merupakan suatu
bangunan tersendiri yang letaknya terpisah-pisah misalnya Candi Astano, Manapo
Melayu, dan beberapa Manapo lainnya[35].
Sebelum
Kerajaan Sriwijaya, dalam catatan Sejarah Negeri Cina disebutkan ada 3 kerajaan
Melayu Kuno Pra-Sriwijaya yang seiring disebut dalam catatan Cina yaitu Koying
(Abad ke 3), Tupo (abad ke 3) dan Kantoli (kuntala abad ke 4). Catatan tentang
adanya negeri (Kerajaan) Koying dibuat oleh K’ang-tai dan Wan-chen dari bangsa
Wu (222-280). Selain itu juga dimuat didalam ensklopedi Tu’ung-tien yang
ditulis Tuyu (375-812) dan disalin oleh Ma-Tu’an-lin kedalam ensklopedi
Wenhxien-t’ung-k’ao[36].
Bukti-bukti
peninggalan sejarah kuno di Kerinci berupa barang-barang keramik yang berasal
dari zaman Dinasti Han di Cina (202 SM s.d 221 M), barang-barang tersebut
berupa guci terbuka, guci tertutup, mangkuk bergagang dan wadah berkaki tiga
tempat penyimpanan abu jenazah. Benda- benda keramik yang telah ditemukan
kelihatannya bukan barang kebutuhan sehari-hari, melainkan barang-barang yang
sering digunakan untuk upacara sakral bagi keperluan wadah persembahan.
Tata
ruang pengaturan di masyarakat telah dicatat sebagai lingkup kesatuan negeri
yang membentuk pemerintahan. Cara ini biasa dikenal istilah talang/koto.
Penamaan “Koto” menunjukkan jejak peradaban.
Koto adalah simbol penghormatan terhadap leluhur sekaligus sebagai benteng
pertahanan.
Di Marga Sungai Tenang dikenal Koto
Sepuluh, Kotobaru, Kotojayo, Koto Tinggi, Koto Renah, Koto Teguh, Dengan
“penyebutan” Koto maka terdapat Koto Renah, Koto Teguh, Koto Sepuluh, Kotobaru,
Koto Tapus. Koto Tapus dikenal sebagai Dusun Jangkat.
Di Marga Peratin Tuo dikenal Dusun
Kotorami. Di Tebo dikenal Marga VII Koto
dan Marga IX Koto. Hubungan antara Marga VII Koto dan Marga IX Koto sering
disebut “koto bersekutu”. Atau sering juga disebut “7 jantan dan 9
betino. Hubungan ini masih berlaku baik didalam menyelesaikan persoalan
adat maupun hubungan perkawinan.
Pandangan tentang Koto lebih juga
menampakkan pandangan cosmos..
Ditengah
masyarakat, dikenal sebagai Legenda Teluk Wang.
Menyebut nenek moyang dengan
istilah “puyang”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia[37]
tidak tertulis kata puyang, tapi Poyang. Poyang dalam arti kata
benda adalah leluhur, nenek moyang atau datuk Poyang.
Dalam Kesusateraan Melayu Klasik, Poyang berarti dukun atau
pawing. Jadi kata Poyang ini berubah menjadi puyang karena dialek dan
logat.
Ia berasal dari sebuah kepercayaan
pada Dewa-dewa yang diyakini menguasai alam raya, yakni Dewa Langit dan dewa
Bumi. Maka dapatlah kita fahami kenapa cerita rakyat tentang puyang-puyang
seringkali dibumbui dengan keheroikan, keghaiban, kesaktian, orang yang suci,
mempunyai kekuatan tertentu melebihi yang lain, menguasai sesuatu benda, atau
bahkan menjelma dalam bentuk benda mati dan benda hidup lainnya[38].
Sehingga untuk menggantikan nenek
moyang masyarakat lebih suka menyebutkan sebagai kata “puyang”.
Kedatanganpun
Puyang beragam. Ada yang menyebutkan dari Pagaruyung[39],
Jawa Mataram, Jawa Majapahit, Arab atau Turki, Indrapura dan Kerinci. Seloko
seperti “Jika mengadap ia ke hilir, jadilah beraja ke Jambi. Jika menghadap hulu
maka Beraja ke Pagaruyung atau Tegak Tajur, Ilir ke
Jambi. Lipat Pandan Ke Minangkabau membuktikan hubungan kekerabatan yang kuat
antara masyarakat di hulu Sungai Batanghari dengan Pagaruyung.
Di Marga Jujuhan mengaku Sejarah “Puyang” berasal dari tutur yang dikenal
“Raja gagak hitam. Raja Gagak kemudian
mempunyai keturunan yang dikenal Tapak Malenggang, Tapak Tembaga dan Tapak
Kudung. Tempat ini dikenal sebagai Putra Angek Garang sebagai Raja
Pagaruyung[40]”.
Begitu juga Marga didalam Luak XVI (Marga Serampas, Marga Sungai Tenang, Marga
Peratin Tuo, Marga Tiang Pumpung, Marga Renah pembarap dan Marga Senggrahan)
yang mengaku sebagai ”kerinci rendah”.
Perumpamaan kata Kerinci Rendah menunjukkan ”hubungan kekerabatan dengan Kerinci” namun berada di dataran di
bawah wilayah Kerinci.
Sedangkan Marga Tiang pumpung, Marga Renah
Pembarap dan Marga Senggrahan mengaku ”serampas
rendah”. Menunjukkan hubungan kekerabatan dengan Marga Serampas dan
mendiami di daerah Tiang Pumpung, Renah Pembarap dan Senggrahan. Makna ini
kemudian ditandai dengan Seloko ”tanah
pembarap”. Masyarakat yang tinggal di serampas namun kemudian mendiami di
wilayah dibawahnya berdasarkan anjuran ”Raja
Tanah Pilih”. Tanah Pilih adalah ”kerajaan
di Jambi” sebelum menunjukkan kerajaan Jambi.
Dusun
Rangkiling juga mengaku keturunan dari Serampas[41].
Di
Marga Sumay mereka menyebutkan “Datuk
Perpatih Penyiang Rantau”. Sedangkan di Semambu mereka menyebutkan “Datuk Perpatih
Tumenggung Penyiang Rantau[42]”.
Di Suo-suo mereka mengenal “Pangeran
Singo[43]”
Di
Marga Batin Pengambang menyebutkan “nenek
semula Jadi”. Nama ini hidup di berbagai desa didalam Marga Batin
Pengambang.
Sedangkan
di Marga Sungai Tenang ada yang menyebutkan sebagai keturunan “Sutan Geremung”[44].
Nama ini juga hidup di Renah Pelaan yang mengaku sebagai keturunan dari adik
Sutan Geremung yaitu Siti Berek.[45].
Di Koto 10, mereka menyebutkan “Tumenggung
Mulo Jadi[46].
Sedangkan di Tanjung Alam mereka mengaku keturunan “raja Tiangso[47]”.
Rajo Tiangso dan Depati Pamuncak dianggap sebagai “pemangku” dari keturunan di Pungguk 9. Sedangkan di Tanjung Benuang
mereka mengaku keturunan dari “Nenek
Malano Kuning[48]”.
Sedangkan Di Dusun Kotobaru berasal dari “Depati
Suka Derajo”[49]
Penamaan
Siti Berek mengingatkan Legenda Teluk Wang mengisahkan tentang sebuah keluarga yang
terdiri dari lima bersaudara, yaitu dua laki-laki dan tiga perempuan. Saudara
laki-laki bernama Syeh Biti dan Patih Karisi Malin Samad serta tiga orang adik
perempuan mereka bernama Penatih Lailo Beruji, Penatih Lailo Majnun, dan
Penatih Lailo Manjani. Keluarga ini pergi Menggarao (mencari dan merintis
wilayah tempat tinggal) “Tanah Tepian Idak Berubah”. Maksud dari istilah “Tanah
Tepian Idak Berubah” adalah suatu wilayah yang aman dan nyaman untuk tempat
tinggal, air bersihnya dan sumber makanan yang cukup untuk kebutuhan
sehari-hari serta dekat dengan daerah yang tanahnya subur untuk lahan
pertanian. Artinya, sekali mereka menetap di sana mereka tidak akan berpindah-pindah[50].
Sedangkan
versi yang lain kemudian menyebutkan mengaku berasal dari Tuanku Regen
Indrapura turun ke Serampas kemudian ke Sungai Tenang[51].
Nama Sutan Gerembung merupakan anak dari Sutan Gelumang yang bermukim di
Muko-muko. Cerita ini kemudian dilengkapi dari Dusun Renah Pelaan yang mengaku
keturunan dari Siti Berek. Siti Berek merupakan adik dari Sutan Gerembung dari
“Serampas”.
Di Marga Sungai Tenang, Desa Kotobaru
menyebutkan Penduduknya kemudian Betalang jauh, beladang suluk dan pindah ke
Pondok Cincin[52].
Kemudian pindah ke Mangala Lengis yang dipimpin oleh Depati Benda Tenap.
Kemudian atas perintah Depati Karto Dewo dianjak ke Sungai Maram Dusun
Kotobaru. Kemudian becacak tanam dan kemudian menjadi Desa Kotobaru.
Di
Desa Renah Pelaan, Masyarakat Renah Pelaan awalnya berasal dari Koto Mutun. Koto Mutun
adalah dusun tua yang sekarang sudah ditinggalkan, terletak di dekat desa
Rantau Suli. Diperkirakan orang pertama yang menempati desa Renah Pelaan adalah
Aning Darajo (Nenek Moyang Masyarakat desa Renah Pelaan). Aning Darajo
diperkirakan berasal dari Minang Kabau[53].
Bagi masyarakat desa Renah Pelaan misalnya,
memiliki keyakinan bahwa di dalam hutan terdapat makhluk sebangsa jin. Untuk
membuka lahan pertanian baru, biasanya mereka meminta izin terlebih dahulu.
Permohonan izin ini disebut dengan
istilah “puji perago”.
Di
Marga Senggrahan dikenal Desa Lubuk Birah. Lubuk Birah berasal dari kata “birah”. Artinya Gelembung atau jin.
Terletak di Pematang Tebat. Lubuk Birah merupakan tempat tinggal selungkup.
Daun selungkup mirip dauh keladi. Daun Selungkup tidak tenggelam di air.
Dalam
cerita tutur dari masyarakat, ketika banjir menghantam daerah Lubuk Birah,
tempat yang tidak dimasuki banjir cuma terletak di daerah daung selungkup.
Daerah yang tidak terkena banjir inilah yang kemudian menjadi pemukiman di
Lubuk Birah. Untuk mengenang daerah aman dari banjir, maka mereka kemudian
menyebutkan “Birah”. Daerah birah terletak di Lubuk. Sehingga kemudian
dinamakan Lubuk Birah[54].
Di
Desa Karang Mendapo (Marga Simpang Tigo Pauh), Menurut cerita dan penuturan
tua-tua tengganai, bahwa Desa Karang Mendapo berasal
dari sepasang suami istri dari daerah Aik Amo-Padang yang merantau ke Jambi,
mereka awalnya menepat di Tanjung Genting tepatnya disebelah Desa Ladang
Panjang Kabupaten Sarolangun Sekarang[55].
Khabar ini akhirnya
sampai ketelinga Rajo Jambi, kemudian Rajo Jambi mengunjungi sepasang suami
istri ini. Kemudian Rajo Jambi berkata; ”kalau bigitu, dimana kamu minta tanah
untuk tempat bermukim dan berladang”. Lalu sepasang suami istri ini diajak
untuk menyusuri aliran sungai tembesi.
Sesampainya di Batu
Napal yang melebar ke sungai tembesi, sepasang suami istri ini meminta kepada
Raja Jambi untuk menetap disitu, dan Raja Jambi menyetujuinya. Keesokan harinya,
mereka bajalan ke Ujung Tanjung.
Sedangkan Desa Batu Ampar sebelum berada di Muaro
Merangin dengan sebutan dusun Balai Melintang di pimpin oleh Depati Gelar Singo
delago. Dan hingga 1916 kampung ini pindah ke seberang Sungai Tembesi hingga
saat ini yang lebih dikenal dengan sebutan Dusun Batu Ampar[56].
Penduduk Dusun Batu Ampar berasal dari Rawas,
Palembang[57].
Barbaya Watson Andaya menyebutkan “ikrar”
masyarakat yang kemudian memilih untuk “berajo” kepada Sultan Palembang dan
kemudian bagian dari daerah uluan Musi adalah ketegangan antara Kerajaan Jambi
dengan kerajaan Palembang[58].
Daerah hulu Tembesi, Merangin dan Hulu
Batanghari terlalu jauh dari Ibukota. Namun aliran ke Sungai Musi. Bahkan
Merangin terkenal sebagai penghasil merica[59].
Berbeda dengan Sungai Batanghari yang kemudian
mengalir ke hilir Jambi sehingga menjadi kontrol Raja Jambi.
Di
Marga Kumpeh dikenal berbagai cerita tentang Puyang. Di Desa Sponjen dikenal
KASAT
dan di gelar dengan DATUK LUMBUNG[60]
Di Marga Datuk Nan Tigo dikenal Datuk Temenggung, Datuk Ranggo, Datuk Demang.
Datuk Temenggung berpusat di Dusun Mengkadai. Datuk Ranggo berpusat di Dusun
Muara Mansao. Sedangkan Datuk Demang berpusat di Kampung Pondok[61].
Marga Datuk Nan Tigo mengaku keturunan Minangkabau. Sebagai keturunan
Minangkabau, penamaan “Datuk” merupakan gelar yang diberikan sebagai pemimpin
di kalangan masyarakat adat.
Di
Desa Sogo dikenal cerita Bujang Tinggal yang namanya Dendang atau perahu yang terletak di desa
Sogo sampai sekarang[62].
Di Desa Sungai Bungur dikenal Tumenggung yang bernama Tumenggung Mamat Setio
Guno dan kemudian disusul bersama dua sahabatnya, Tumenggung Bujang Penyantan[63]
Ada
juga yang mengaku berasal dari Jawa Mataram[64]. Cerita ini begitu kuat di Marga Sungai Tenang
dan Di Desa Kembang Seri[65]. Disebutkan Marga Maro Sebo Sebo Ulu berasal
dari Jawa Mataram yang bernama Demang Ahmad[66].
Cerita
di Desa Rukam Yang pertama kali datang ke Desa Rukam adalah perantau yang
berasal dari daerah Muaro Tebo yaitu
Dusun Tek Kayu Putih dengan dengan membawa satu keluarga anak beranak
dengan menggunakan rakit dari bambu[67]
Di
Marga IX Koto, Pengaruh Pagaruyung begitu terasa. Maka struktur social kemudian
menggunakan sistem matrilineal. Garis keturunan dari Ibu[68].
Masyarakat
Marga bukit bulan berasal dari pagaruyung, sumatera selatan, dan bugis. Namun
untuk yang pertama kali menempati wilayah bukit bulan tepatnya di dusun Manggis
desa Napal Melintang adalah nenek moyang dari pagaruyung yang bernama Datuk
Penghulu Sakti
Penyebutan
“Datuk Perpatih Penyiang Rantau” atau
“Datuk Perpatih Tumenggung Penyiang
Rantau” mengingatkan sejarah Minangkabau yang didalam Tambonya selalu
menyebutkan “Datuk Perpatih Nan Sebatang”[69],
sebagai “puyang” dari Minangkabau.
Istilah Datuk juga dikenal dari masyarakat sebagai keturunan “Datuk
Domang Muncak Komarhusin[70]”.
Orang Rimba Bukit Dua Belas juga mengakui keturunan dari Pagaruyung[71].
Di Marga Tungkal Ulu juga mengakui keturunan dari Pagaruyung[72].
Begitu
juga Marga VII Koto “puyang”[73].
Marga VII Koto juga dikenal sebagai tempat berkumpulnya “Debalang Raja” untuk
menentukan rapat . Pusat Marga di Sungai Abang.
Marga
VII Koto juga dikenal sebagai “jalur” perjalanan Raja Tanah Pilih. Alur
perjalanan ini setelah ditempuh dari Marga IX Koto di Teluk Kuali.
Sebagai
Raja, untuk “mengunjungi” wilayahnya, maka Raja menggunakan “jung” menempuh
jalur “Pemayung” di Marga Pemayung Ulu, kemudian ke Marga IX Koto dan terakhir
ke Marga VII. Sehingga alur ini selain “merupakan” wilayah Kerajaan Tanah Pilih[74]
dan kemudian menjadi Kerajaan Jambi juga langsung berbatasan dengan Kerajaan
Pagaruyung sebagaimana ikrar di Bukit Sitinjau Laut[75].
Marga
VII Koto disebutkan sebagai wilayah Kerajaan Pagaruyung. Marga VII Koto yang
mengilir Sungai Batanghari sebagai “ikua Rantau”. Cerita “Datuk Perpatih nan
sebatang dan Datuk Ketemenggunggan” begitu kuat[76].
Bahkan Elsbeth Scholten-Locker “menyebutkan” Marga VII Koto dan Marga IX alur
jalur Pagaruyung[77]”.
Sehingga tidak salah kemudian Marga VII Koto dan Marga ICX Koto dikategorikan
sebagai merupakan “ikua rantau”
“Puyang”
Marga VII Koto “Rajo Hitam”. Ada juga menyebutkannya Raja Gagak. Mengilir dari
Ulu Sungai Batanghari kemudian “bermukim” di dekat Tambun.
Namun
ada juga versi yang menyebutkan “puyang” bernama “Sutan Suto Menggalo. Bermukim
di Dusun Tuo Sebelah Kotojayo. Menurut tutur di Marga VII Koto, “Datuk Perpatih
nan sebatang” kemudian mengilir ke Sungai Batanghari. Sedangkan Datuk
Ketemenunggungan kemudian menuju ke Bangko dan Titian Dalam. “Titian Dalam”
kemudian dikenal sebagai nama
Sarolangun.
Suta
Suto Menggalo kemudian membawahi Kedemangan Niti Menggalo. Kedemangan Suto
Yudho, Ngebi Kardelo dan Ngebi Tano Karti di Teluk Kembang, Jambu.
Kedatangan
penduduk Batang sumay terdiri dari berbagai versi. Versi pertama adalah Rajo
Patih Penyiang rantau[78]. Dimulai turunnya Datuk Patih Penyiang Rantau
dicari tukang yang berempat. Keempatnya kemudian dinamakan Jutai Jati Bilangan
Pandai untuk membuat Belancang kulit betimpo lekar untuk turun ke batang
rantau. Seluruh rantau itu ada depatinyo.
Datuk
Patih Penyiang Rantau kemudian berjalan dengan 4 orang. Mengilir dari Tuturan
Padang.
Sampai di Muara Sungai Kecil, Rajo Datuk Temenggung
Penyiang menemukan sebuah tikar yang terbuat dari dari daun rumbai. Maka
dinamakan Sungai tikar-tikar.
Kemudian Datuk Patih berjalan dan bertemu puntung
api. Namonya Dusun Tuo Muaro
Sumay. Datuk itu kemudian berjalan ke
mudik meretas batang Sumay, pada saat melihat ke betandang belakang rumbut yang
diretas bertaut. Datuk Patih mengambil keras dari Jawa dan berjalan kembali ke
mudik Sumay, tidak bertaut lagi menempuh Muaro Sekalo
Karena berbentuk sekalo
atau disebut juga seperti Sekalo kemudian mudik lagi ke Teluk Sepuntung.
Ditemukanlah puntung api berarti ada manusia.
Dan
diteruskan ada sungai disebelah kanan. Dan bernama batang andelang. Dari batang
andelang mudiklah ke sungai sekelat yang bernama “Muara Dusun Setelak”.
Kemudian
terus meretas batang ikat-ikat, ada anyaman tikar. Tiap-tiap ada tikar pasti
ada manusia. Kemudian mudik lagi ke sampai ke pekundangan. Kemudian lagi mudik
lagi sampai ketemu Gabus berambut api.
Datuk
Patih kemudian berunding di Muara Kundangan. Datuk Patih berunding bagaimana
cara bertemu Manusia. Diambil air laut di bawah dan dipasang untuk memanggil
orang atau makhluk lainnya. Satu sampai 3 hari dilihat. Dan garam berkurang.
Dan lama kelamaan, bertemu dengan manusia. Dan adanya bau asap. Bau asap inilah
yang kemudian dikenal dengan istilah Semambu
Sedangkan
versi kedua disebutkan[79].
Dahulu ada seorang sakti yang berasal dari Pagaruyung yang bernama Datuk Intan Jayo, Raja kuasa. Dia datang dari
ulu Sumay. Ketika dia datang, dusun yang pertama didatangi adalah di Dusun
Muko-muko. Disebutkan “muko-muko” karena memang dusun ini yang dimuko (didepan). Dengan demikian, maka Dusun “muko-muko”
ditetapkan sebagai Dusun Tuo dari Sumay. Dan sekarang disebutkan sebagai Dusun
“tuo sumay”.
Di
Desa Rukam cerita tentang Rakit juga dikenal. Yang pertama kali datang ke Desa Rukam adalah
perantau yang berasal dari daerah Muaro Tebo yaitu Dusun Tek Kayu Putih dengan dengan membawa
satu keluarga anak beranak dengan menggunakan rakit dari bambu. Pertama dia
singgah di daerah Olak Siri Sekapur setelah dia
menetap beberapa hari lamanya di
sini dan seberang Sungai Batanghari ada pohon yang di dihinggapi Repo, sialang
di kayu rengas. sebanyak 9 Batang pohon rengas mekar dengan itu lalu ia
berusaha untuk mengambilnya dan tempat itu ada di sebanyaknya sialang ranto[80]
Di
Marga Tiang Pumpung, Marga Renah pembarap dan marga Senggrahan selain ikrar
dari keturunan Serampas rendah, juga menyebutkan sebagai keturunan dari “Syech Raja” di Renah Pembarap, Syech Saidi Malin Samad di Senggrahan dan Siti Baiti di Tiang Pumpung.
Sejarah
kedatangan masyarakat di Marga Batin V berasal dari kelompok 60 tumbi yang
pindah dari Koto Rayo. Namun kemudian Koto Rayo dihilangkan demi keamanan dan
di Tanjung Muara Semayo kemudian tinggal 19 orang kepala Keluarga (tumbi) yang
disebut “Puyang Depati”.
Semayo
berasal dari kata “semayo” yang berarti perjanjian”. 60 tumbi kemudian
mengadakan perjanjian dan meninggalkan Koto Rayo. Tanjung Muara Semayo berubah
menjadi Rantau Panjang. Tanjung Muara Semayo ialah berasal dari Kata Semayo
yang berarti Perjanjian. Dusun Seling
ialah dusun yang terletak antara Tanjung Muara Semayo dengan dusun kapuk[81].
Menurut
tutur di Marga Renah Pembarap, “Puyang” mereka berasal dari Jawa Mataram dan
Minangkabau. Yaitu Panatih Lelo Majnun, Panatih Lelo Baruji dan Panatih Lelo
Majanin. Sedangkan dari Minangkabau Syech Rajo, Syech Beti dan Syech Saidi
Malin Samad. Cerita tentang sejarah Marga Renah Pembarap mengenai “Syech Rajo,
Syech Beti dan Syech Saidi Malin Samad” juga ditemukan di Marga Senggarahan[82].
Sejarah
Mataram merupakan wujud ikrar kedatangan dari Kerajaan-kerajaan yang mengakui
kebesaran Mataram. Sedangkan Minangkabau merupakan kedatangan masyarakat dari
Kerajaan Pagaruyung yang hidup di ulu Sungai Batanghari.
Ikrar
hubungan kekeratan Tiang Pumpung, Renah Pembarap dan Senggrahan ditandai dengan
seloko “gedung di Pembarap. Pasak di
tiang pumping. Kunci di senggrahan’. Maknanya jelas. Dalam rapat adat di
Marga Tiang Pumpung, Renah pembarap dan Senggrahan, ketiganya mempunyai posisi
penting. Rapat bisa diadakan apabila ketiga Marga telah hadir.
Penghormatan
terhadap “Alam sekato Rajo” dan Ikrar terhadap Kerajaan Jambi dan Minangkabau
ditandai dengan berbagai seloko.
Di
Marga Pelawan, mereka mengaku sebagai orang batin[83].
Sebagai
keturunan Batin mereka mengaku sebagai keturunan Jawa Mataram. “Puyang” yang
bernama Putri Dara Putih dan kemudian meneruskan keturunan yang biasa dikenal
Putri Ayu. Cerita Putri Dara Putih mengingatkan cerita tentang Putri Dara
Jingga Dan Putri Dara Petak.
Didalam Bukunya M. Rasyid Manggis Dt Radjo Panghulu “Cindua Mato”
menerangkan[84]
“sebuah batu Basurek di Saruaso, Raja Sri Kertanegara membawa dua Putri sebagai
persembahan. Kedua Putri kemudian dikenal sebagai Dara Jingga dan Dara Petak.
Menurut N.J.
Krom dalam "Inventaris der Oudheden
in de Padangsche Bovenlanden",Prastati
Kuburajo[85]
menyebutkan keturunan dari Dara Jingga putri Kerajaan Melayu di Dhamasraya
adalah Adityawarman. Adityawarman disebutkan oleh Bosch, F.D.K. “Verslag
van een reis door Sumatra. Oudheidkundige Verslag dikenal sebagai Penguasa di Kerajaan
Malayapura[86].
Oleh Kozok, Uli, & Eric van Reijn.
“Adityawarman : Three Incriptions of the Sumatran King of All Supreme Kings.”
Indonesia and the Malay World” kemudian Kerajaan Malayapura kemudian dikenal sebagai Kerajaan Swarnanadwipa[87].
Sedangkan dari cerita lain, Dara Jingga merupakan
istri dari Raden Wijaya. Dara Jingga dan Dara Petak setelah perjalanan kembali
dari Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Mahesa Anabrang. Raden
Wijaya kemudian menjadi Raja di Singasari dan Majapahit.
Di
Marga Sungai Tenang dikenal seloko “Tegak Tajur, Ilir ke
Jambi. Lipat Pandan Ke Minangkabau. Sedangkan di Marga Jujuhan, Marga VII Koto
dan Marga IX Koto dikenal seloko “Jika mengadap ia ke hilir, jadilah beraja ke
Jambi. Jika menghadap hulu maka Beraja ke Pagaruyung. Barbara Watson Andaya
sendiri memberikan istilah “hubungan otonom Hulu-hilir[88].
Seloko
seperti “menghadap ke hilir beraja ke Jambi. Balik mudik berajo ke Minangkabau”
atau “Mengilir berajo Jambi, lipat pandan berajo ke Minangkabau” merupakan
Seloko yang ditetapkan oleh Raja Indrapura dan Raja Tanah Pilih. Ulu Kozok
menyebutkan “sultan Inderapura Muhamad
Syah Johan tertanggal 23 Ramadan 124(?)6H atau 14 Juni 1830M, yang kini
disimpan oleh Depati Muda di dusun Kemantan Barat (Tambo Kerintji No.
140). Dalam surat tersebut Kerinci disebut sebagai “tanah pertemuan raja antara
sultan Jambi dengan sultan Inderapura. Jika mengadap ia ke hilir, jadilah
beraja ke Jambi. Jika menghadap ia ke barat, ialah ke tanah Inderapura”[89].
Di
Marga Batin Pengambang, Dulu datang nenek moyang Bukit Lupo bernama Datu Semula Jadi kemudian
didirikan 4 Kepala Dusun dan 8 Kampung. Kemudian diubah dari Margo menjadi 6
Desa.
Dalam versi lain disebutkan adanya Rio Cekdi
Pemangku Rajo. Yang bertugas menjaga pintu dari Timur. Dengan wilayahnya Bathin
Pengambang, Batu berugo, Narso. Debalang Sutan yang bertugas menjaga pintu di
sebelah selatan. Dengan wilayah Sekeladi, Guguk tinggi, Tangkui, Padang Baru.
Menti Kusumo yang bertugas menjaga pintu dari Utara. Dengan wilayah Rantau
Jungkai, Renah Kemang, Sungai keradak. Debalang Rajo yang menjaga pintu dari barat. Dengan wilayah
Muara Simpang, narso kecil[90].
Di
Desa Sungai Keradak yang berasal dari nenek moyang Margo Bathin Pengambang
Semulo jadi yang berasal dari Jawa Mataram. Kemudian datang bertujuan cari
genah (lokasi). Sampai lokasi bertemu dengan sungai dan diberilah nama Sungai
Keradak yang kemudian menjadi Desa Sungai Keradak. Kemudian dari nenek Moyang
yang bernama Seteluk datang ke Sungai Keradak. Nenek Seteluk kemudian mempunyai
keturunan yang bernama bayang Mas[91].
Di
daerah Ilir Jambi, di didalam Marga Kumpeh Ilir mereka menyebutkan
berbeda-beda. Di Sungai Bungur mereka menyebutkan “Tumenggung Bujang Pejantan[92]”.
Di Dusun Pulau Tigo mereka menyebutkan sebagai keturunan “Rajo Sari”[93]. Bahkan dari cerita rakyat, Marga Tungkal
mengaku keturunan dari “Datuk Kadinding”.
Namun
yang unik, masyarakat Desa Muara Sekalo mengaku keturunan dari “Tumenggung Gamo[94]”.
Padahal Muara Sekalo termasuk kedalam Marga Sumay yang terletak di hulu Sungai
Batanghari. Nama “datuk Perpatih Penyiang Rantau” tidak dikenal di kalangan masyarakat
Muara Sekalo.
Orang Rimba berasal dari keturunan Bujang Perantau
dan Puteri Buah Gelumpang. Bujang Perantau adalah orang yang merantau berasal
dari tanah Minang-Pagaruyung dan menikah dengan Puteri Gelumpang. Sedangkan Secara mitologi, mereka (Suku Anak Dalam) di Marga Batin IX Ilir masih menganggap
satu keturunan dengan Puyang Lebar Telapak yang berasal dari Desa Cambai, Muara
Enim[95]
Istilah Marga Pangkalan Jambu berasal dari Kata Pangkalan Jambu adalah cerita dari “Belalang
Padang. Padang dari Jambi. Puyang Pangkalan Jambu kemudian “berakit dari
Indrapura kemudian di pemberhentian terdapat Pohon Jambu. Pemberhentian inilah
yang kemudian disebut Pangkalan Jambu. Tempat ini masih bisa ditemukan didalam
Hutan adat Pangkalan Jambu.
Marga
Pangkalan Jambu terdiri dari Dusun Nangko, Dusun Dalam dan Dusun Birun.
Sebagai
pemegang mandate dan kemudian bergelar “Datuk Raja Nan Putih. maka menurut
Ranji Kerajaan Indrapura (silsilah keluarga Kerajaan Indrapura), maka Sultan
Gadamsyah kemudian menjadi Raja di Pangkalan Jambu-Birun.
“Puyang”
mereka berasal dari Minangkabau Kerajaan Pagaruyung. Namun melihat kedekatan
wilayah Marga Pangkalan Jambu, maka yang dimaksudkan adalah Kerajaan Indrapura
sebagai “Vassal” dari Kerajaan Pagaruyung. “Vassal” kemudian sebagai “ujung“
Kerajaan Pagaruyung. Secara resmi Indrapura “pernah menjadi vassal” dari
Kerajaan Pagaruyung. Kesultanan Indrapura, adalah Kerajaan Islam Malayu yang
diperkirakan berdiri 1100 m– 1911 m[96].
Kesemuanya
tidak perlu kita bantah[97].
Karena pengetahuan tentang “puyang”
merupakan cerita tutur yang diwariskan turun temurun. Sebagaimana seloko “Dari puyang turun ke datuk. Dari datuk turun
ke bapak. Dan dari bapak turun ke sayo”.
Penyebutan
“Datuk”, Rajo, Nenek, Tumenggung,
Pangeran, Depati, Syech dan Sutan” merupakan bentuk keragaman asal
keturunan masyarakat di Jambi. Kata-kata seperti Syech dan Sutan melambangkan masyarakat yang mengaku keturunan dari
Arab/Turki atau Jawa mataram. Sedangkan Datuk,
Rajo, Pangeran, nenek maupun tumenggung merupakan bentuk masyarakat yang
mengaku dari “puyang” sebelum
masuknya agama islam. Jauh kedatangan “puyang”
mereka sebelum kedatangan penyebaran Islam.
Kisah
Turki dapat ditemukan di masyarakat pesisir Pantai Timur Sumatera. Seperti di
Senyerang (Marga Tungkal Ilir)[98],
Marga Kumpeh[99],
Marga Jebus dan masyarakat di pantai timur Sumatera[100].
Pada
masa Kerajaan Jambi, di Marga Maro Sebo,
Sejarah panjang Dusun Kembang Seri juga telah diceritakan
oleh Barbara Watson Andaya[101].
Dalam lintasan perdagangan merica Kerajaan Jambi, Kembang Seri salah satu
daerah penghasil merica dalam lintasan perdagangan. Sehingga sebagai daerah
penghasil merica untuk perdagangan Kerajaan Jambi, pada tahun 1738 pasukan dari
Minangkabau menyerang Desa Kembang Seri di Batanghari dan menghancurkan semua
perkebunan merica. Penyerangan dari Minangkabau diakibatkan perselisihan antara
Kaisar Minangkabau dengan Kerajaan Jambi. Namun hubungan baik antara Kerajaan
Minangkabau dengan Kerajaan Jambi oleh Sultan Astra kemudian dapat
menyelesaikan dengan baik.
Di Marga Senggrahan Kata “senggrahan”
berasal dari kata “pesanggrahan”.
Artinya “persinggahan” Raja Jambi
dari Tanah Pilih sebelum pergi berburu[102].
Namun walaupun berada dalam
lindungan Kerajaan Jambi, hubungan dagang antara daerah penghasil merica dengan
kerajaan Jambi tetap independent. Kembang Seri tetap dapat menjalin hubungan
dagang dan mendirikan kontak untuk mengatur perdagangan. Sedangkan Kerajaan
mengatur tentang batas-batas, administrasi, menyelesaikan perselisihan dan
denda perselisihan.
Namun pemaksaan penanaman merica
tidak terhenti walaupun telah selesai perdamaian antara Kerajaan Minangkabau
dengan Kerajaan Jambi. Tahun 1741, Kepala Kembang Seri mengeluhkan terhadap
Pangeran Ratu yang tetap memaksa penduduk untuk kerja paksa menanam merica.
Sedangkan Pangeran termuda yaitu Pangeran Sutawijaya yang menguasai Tujuh Koto
dengan mencabuti pohon kapas dan memaksa penduduk untuk menanam merica.
Pertengkaran keluarga Kerajaan juga terjadi di Merangin dan Air. Kesemua
pangeran yang menguasai daerah hulu memaksa penduduk untuk membayar upeti dan
pajak dan memaksa menanam merica.
Kisah tentang Kerajaan Jambi dengan daerah hulu Jambi dapat dilihat seruan
Raja Jambi untuk penduduk Sungai Tenang, Serampas dan Kerinci. Menurut Residen Bengkulu didalam surat rahasianya
tertanggal 6 Februari tahun 1919, daerah
Sungai Tenang dan Serampas lebih baik dijalin hubungan dagang dari Jambi[103].
Penduduk di Sungai Tenang dan Serampas terkenal menguasai ilmu gaib seperti
kebal[104].
Bahkan
menurut
Charles Campbell melaporkan bahwa di
tahun 1800 penduduk Sungai Tenang jarang membayar upeti kepada sultan Jambi
yang selayaknya terdiri dari seekor kerbau, setahil emas, dan seratus bambu
beras dari setiap kampung. Surat-surat yang ditulis oleh temenggung sultan Jambi
yang sampai sekarang masih disimpan sebagai pusaka di Kerinci juga menunjukkan
bahwa penduduk di Kerinci tidak selalu patuh kepada perintah rajanya di Jambi[105]
Jejak Kerajaan Jambi kemudian
dikenal kisah Dara Petak dan Dara Jingga[106].
Sejarah kedatangan dan pesiar Raja Jambi dikenal di beberapa perjalanan. Di
Marga Pemayung Ulu, Marga Pemayung Ilir, Marga VII Koto dan Marga IX Koto.
Istilah Pemayung atau Pemayungan
yang terdapat di Marga Pemayung Ulu, Marga Pemayung Ilir dan Desa Pemayungan
(Marga Sumay) adalah sebagai payung untuk kedatangan Raja. Sedangkan istilah
“Renah” adalah tempat peristirahatan Raja yang dikenal di Desa Guguk (Marga
Renah Pembarap).
Di Marga VII Koto juga dikenal sebagai “jalur” perjalanan Raja Tanah
Pilih. Alur perjalanan ini setelah ditempuh dari Marga IX Koto di Teluk Kuali.
Sebagai
Raja, untuk “mengunjungi” wilayahnya, maka Raja menggunakan “jung” menempuh
jalur “Pemayung” di Marga Pemayung Ulu, kemudian ke Marga IX Koto dan terakhir
ke Marga VII. Sehingga alur ini selain “merupakan” wilayah Kerajaan Tanah Pilih[107]
dan kemudian menjadi Kerajaan Jambi juga langsung berbatasan dengan Kerajaan
Pagaruyung sebagaimana ikrar di Bukit Sitinjau Laut[108].
Melihat
alur dari perjalanan Raja dimulai dari Marga Pemayung Ilir, Marga Pemayung Ulu,
Marga VII Koto, Marga IX Koto, Marga Sumay dan Marga Renah Pembarap membuktikan
alur perjalanan dari hilir ke hulu Sungai Batanghari.
Kisah perjalanan perang gerilya
dikenal ditengah masyarakat. Dengan perhitungan waktu sejak Istana Kerajaan
Jambi diserbu tahun 1857 dengan dinyatakan gugur dalam perlawanan di Tanah Garo
tahun 1904, maka hampir 50 tahun Sultan Thaha Saifuddin begitu bertahan. Tentu
saja ini menjadi perhatian ahli sejarah. Sampai sekarang ahli sejarah belum
dapat menjelaskan secara detail hingga Sultan Thaha Saifuddin mampu bertahan
setengah Abad.
Dengan rute perlawanan dari Danau
Solok Sipin terus ke Lubuk Ruso, kemudian ke Muara Tembesi, Muara Tebo hingga
kemudian sempat mampir di Tanah Sepenggal di Lubuk Landai (Muara Bungo).
Berbagai versi kemudian berkembang
setelah alur perjalanan ini. Versi pertama menyebutkan rute pelarian Sultan
Thaha Saifuddin bermula dari Danau Solok Sipin kemudian ke Lubuk Ruso, kemudian
ke Muara Tembesi kemudian ke Muara Tebo dan Sungai Alai. Dari Sungai Alai
kemudian “mudik” ke arah batas Sumbar
dan “diperkirakan” ke Malaysia. Negeri Malaysiapun banyak versi. Ada yang
menyebutkan ke Johor. Ada yang menyebutkan Ke Penang.
Versi lain kemudian menyebutkan
setelah tiba di Tebo kemudian ke Sungai Alai kemudian “berlindung” di Tanah
Sepenggal. Dan kemudian terlibat pertempuran di Tanah Garo hingga Belanda
kemudian menyatakan tewas tahun 1904.
Sejarah kedekatan Sultan Thaha
Saifuddin hingga sampai ke Tanah Sepenggal masih memerlukan penelitian lebih
lanjut. Namun dengan rentang waktu 50 tahun sejak Istana Kerajaan Jambi diserbu
Belanda, “kekuatan” yang melindungi Sultan Thaha Saifuddin begitu hebat.
Laporan resmi Residentie Palembang
kepada Gubernur Jenderal Batavia sebagaimana disampaikan oleh Snouck Horgrunje
menyebutkan “upaya pengakuan Kerajaan Jambi kepada Sultan Thaha Saifuddin”.
Dengan mengangkat Sultan (bayangan) diharapkan dapat mematahkan perlawanan
Sultan Thaha Saifuddin yang mendapatkan dukungan dari rakyat.
Namun rentang waktu hingga 50 tahun,
Sultan Thaha Saifuddin begitu kokoh merupakan sebuah peristiwa penting.
Didalam pelarian dengan ditemani
“orang kepercayaan” Sultan Thaha Saifuddin, Sultan Thaha Saifuddin begitu
dihormati. Setiap jalur pelarian, Sultan Thaha Saifuddin diterima dan dikawal
dengan disiapkan “julat[109]”.
Julat adalah seorang kepercayaan dari pemimpin dusun di setiap jalur pelarian.
Julat kemudian mengawal selama perjalanan hingga ke tempat berikutnya.
Dengan kesaktian dan kemampuan
menguasai medan dari julat, Sultan Thaha Saifuddin mudah bersembunyi dan
berhasil menghindari dari kejaran Belanda. Julat yang menguasai rute perjalanan
kemudian mengantarkan Sultan Thaha Saifuddin pada rute berikutnya. Demikian
seterusnya.
Dengan charisma Sultan Thaha
Saifuddin, julat yang ditunjuk merupakan “punggawa” kehormatan dari jalur
masing-masing yang dilewati oleh Sultan Thaha Saifuddin.
Bahkan didalam setiap rute yang
dilalui, Sultan Thaha Saifuddin selalu “berkabar” kepada Negara Turki. Sultan
Thaha Saifuddin membutuhkan ‘stempel” yang menyatakan Kerajaan Jambi sebagai
“vassal dari Negara Ottaman Turki.
“Puyang” orang Pemayung berasal dari
Marga VII Koto. Dengan mengilir Sungai Batanghari kemudian menetap di daerah
wilayah Marga Pemayungan Ulu. Namun sebagian meyakini berasal dari “Puyang”
Datuk Paduko Berhalo.
Sedangkan di Dusun Bajubang Laut,
mereka meyakini “puyang” berasal dari Piagam Jambi yang “Pangeran Singodilago”.
Menurut Mukti Nasruddin didalam
bukunya, Jambi Dalam Sejarah, Sultan Jambi yang kemudian di buang di Pulau Banda
tahun 1690 adalah Sultan Abdul Mahyi Sri Ingalago[110].
Sehingga yang disebutkan oleh masyarakat Dusun Bajubang Laut “Pangeran
Singodilago” adalah Sultan Abdul Mahyi Sri Ingalago.
Dengan demikian, maka wilayah Marga
Pemayung Ulu merupakan wilayah Kerajaan Tanah Pilih dan kemudian menjadi
Kerajaan Jambi.
Sebagai keturunan dari Kerajaan
Jambi, masih dikenal gelar seperti “Raden, kemas atau Nyimas’.
Di Dusun Bajubang Darat[111],
istilah Raden dan Kemas/Nyimas menunjukkan derajat kebangsawan. Raden merujuk kepada
keturunan anak tertua Raja. Sedangkan Kemas/nyimas menunjukkan keturunan anak
raja yang kecil yang kemudian menjadi Raja.
Di Rantau Gedang dikenal cerita tiga macam barang, yaitu; 1) Tumbak Canggah
Cabang Tigo, 2) Sebilah Parang, dan 3) Sebilah keris.
Di
Marga Batin III ilir dikenal tempat “Nunggu Rajo’. Tempat “Nunggu
Rajo” adalah pelabuhan yang biasa disinggahi oleh Raja dari Jambi. Tempat ini
terletak Sungai yang membentang antara Dusun Tanjung Gedang dengan Dusun
Tanjung Menanti[112].
“Gunoe tumbak yang bercabang tigo
iko adolah sebagai kiasan bagi kito, yang berarti, canggah yang tengah harus
ado kepalo kampung, canggah yang kanan harus ado imam dan canggah yang kiri
berarti harus ado ketuo adat bagi kito, adopun tiang tumbak berarti
kito harus berpegang teguh dengan adat yang ado. “Kjud Bti, iman sabuah”, namun
kito tetap berpegang teguh pado adat, idak lapuk dek ujan, idak kekang dek
panas, idak boleh diombang ambing oleh siapopun. Adopun Sebilah Keris yang
Sekilan dikilani dan seseto disetoi. Adolah kias bagi kito, yang berarti kito
boleh beundu maro (kita boleh berunding) dalam memecahkan persoalan yang
dihadapi, maksudnyo kalo berat boleh minta ringan, kalo ringan boleh minta
dilepas. Adopun guno Parang, sebagai kias bagi kito, duduk sama rendah, tegak
sama tinggi, sama dirasakan kelat atau manisnyo, namun hukum tetap satu.
Artinyo hukum yang harus ditegakkan tidak boleh pandang bulu. Untuk
diketahui, tombak tersebut saat ini masih ada dan masih dipergunakan untuk
tongkat khotbah setiap shalat jum’at dan hari raya di mesjid Istiqomah Desa
Rantau Gedang[113].
Kisah rakyat tentang Marga Air Hitam tidak
dapat dipisahkan dari cerita rakyat tentang Orang Kayo Hitam. Orang Kayo hitam
adalah putra dari Datuk Paduko Berhalo. Datuk Paduko berhalo sering disebut
sebagai orang yang meneruskan kerajaan Tanah Pilih. Saudara Rang Kayo Hitam
adalah Orang Kayo Pingai, Orang Kayo Pedataran dan Orang kayo Gemuk[114].
Orang Kayo hitam adalah Kemenakan Tumenggung
Merah Mato. Tumenggung Merah Mato berasal dari Pagaruyung. Istri Tumenggung
Merah Mato disebut Susu Tunggal. Disebut sebagai Susu Tunggal karena menurut
legenda, setiap menyusu putranya, putranya selalu meninggal. Akhirnya diperah
air susu dan diberikan anjing. Melihat anjing mati maka salah satu susunya
mengandung racun. Sejak itu disebut Susu Tunggal[115].
Di MARGA KASANG MELINTANG, [116]Pada zaman dahulu
kala, mulai berdirinya sungai pinang ini, yang mendirikan nya menti yang 6,
diantaranya : 1. Manuang Sakti yang berkedudukan di kampung tengah, 2. Mahkuto
Sutan yang bertempat di dusun Sungai Baung, 3. Mpang Laut yang berkedudukan di
muara sungai pinang, 4. Menti Jayo yang berkedudukan di Sungai Bemban, 5. Sutan
Nan Garang yang berkedudukan di Lubuk Bangkar, 6. Sutan Bagindo yang
berkedudukan di Muara Pemuat, orang 6 ini lah yang merancang dan menata dari
Marga Sungai Pinang, yang meletak inggan Batas-batas, diantara yang 6 ada yang
memimpin yang di tuakan adalah Manuang Sakti yang berkedudukan di kampung
tengah, Desa Sungai Baung.
Maka pada zaman itu di nyatokan karang setio (janji
setia), ‘NGAI SUNGAI PINANG” CUBAN SUNGAI BESA” SEBINGKAH TANAH SEKAKI PAYUNG”
KE AIR SAMO-SAMO DI PERIKAN, KE DARAT SAMO-SAMO DI PAUMO, ini dasar dari
Perjanjian bersama yang bernama KARANG SETIO, maka pada proses zaman berjalan
kurun waktu yang panjang, maka di tetepkan lah batas kampung, salah satunya
yang di SUNGAI BAUNG : kalau yang di tepi rimbo, batas
Pada masa zaman perubahan marga menjadi desa, desa
sungai baung dengan dahulu namanya ‘Kampung Tengah” menjadi Nama Desa Sungai Baung”,
dan pada zaman Menti 6 itu bersepakat meletakkan Ibu Kota Marga di Kampung
Tengah yang sampai saat ini menjadi Desa Sungai Baung.
Marga Sungai Pinang ini diperkirakan pada masa Abad
ke XVIII, kemudian menti 6 melaksanakan perjanjian dengan Muara Siau dan
Jangkat untuk Batas Marga, untuk Muara Siau batas Marganya dengan NAMA SUNGAI
ARAI ke MUDIK NYA BATAS BATU PENGAJI (TEMPAT ORANG MENGKAJI) DAN KE ILIRNYA
KASAI BETINDIK (BEKAS KAYU YANG DI BOLONG DENGAN MENGGUNAKAN TINJU TANGAN), DAN
MASIH DENGAN MUARA SIAU DI SUNGAI BATANG NGAI - GLUNTUNG BATU PUTIH/ MUAT
(SEMPIT), TERUS KE SUNGAI SIAMANG SAMPAI KE POHON PARA (KARET) SEBATANG. Untuk
batas dengan Jangkat dan Marga Sungai Pinang adalah SUNGAI DUO (sungai yang di
miliki dua yang dimiliki oleh dua Marga ini, air yang jatuh ke Lembak Ilir
milik wilayah batang asai (marga sungai pinang), ke Lembak Tengah masuk Marga
Sungai Pinang (Desa Pemuat), Lembak Mudik adalah milik Jangkat (Marga Sungai
Tenang). Lembak artinya aliran hulu sungai yang airnya mengalir ke anak sungai
yang dekat dengan sebuah wilayah kekuasaan
Masyarakat
Desa SUNGAI BAUNG yang berasal dari nenek moyang Marga Sungai Pinang yang
berasal dari Jawa Mataram. Kemudian datang bertujuan cari genah (lokasi).
Sampai lokasi bertemu dengan sungai dan diberilah nama SUNGAI BAUNG yang
kemudian menjadi Desa SUNGAI BAUNG., dahulunya nama Kampung Tengah (Ibukota
Marga)
Di Marga Batin V Sarolangun Sejarah “puyang” Batin V terdapat berbagai versi.
Versi pertama disebutkan pada masa kerajaan Jambi, seorang Cokro Aminoto
berasal dari Dusun Biaro menyusuri Batang Asai. Batang Asai adalah Sungai yang
berasal dari Marga Bating Pengambang yang kemudian mengilir ke Sungai Tembesi.
Sebagian
masyarakat meyakini “Rio Depati Jayaningat Singodilago”.
Penyebutan
nama “Singodilago” merupakan nama dari Kerajaan Jambi. Waktu itu Kerajaan Jambi
masih bernama Kerajaan Tanah Pilih. Dengan penyebutan nama Kerajaan Jambi dan
Raja Singodilago membuktikan, cerita Kerajaan Tanah Pilih hidup di tengah
masyarakat.
Setelah
berada di tempat Lidung, maka bertemunya masyarakat dari 3 suku yaitu Suku
Senaning, Tanjung Putus dan Dusun Alai. Pertemuan ketiga suku di daerah lidung
kemudian menganggap sebagai tempat berlindungnya dari serangan luar.
Penyebutan
Lindung kemudian dengan pengucapan dialek kemudian disebut “lidung” yang
kemudian menjadi Dusun Lindung.
Sedangkan
cerita versi kedua adalah “puyang” berasal dari Jawa Mataram. Kemudian
menyusuri Tungkal, terus ke Jambi. Di Sungai Asam kemudian mampir di Pinang
Belarik.
Di
Sungai Asam, kemudian mengikat biduk. Disanalah kemudian “jatuh pinang berwarna
kuning”
Cerita
ini juga dikenal sebagai hikayat Putri Selaras Pinang Masak.
Setelah
itu kemudian menyusuri Sungai Nibung dan bertemu batu putih dan kemudian
menemukan batu hitam. Batu putih kemudian ditetapkan sebagai batas wilayah
Jambi. Sedangkan batu hitam merupakan wilayah Sumsel.
Batu
hitam kemudian dikenal sebagai daerah DAS Air hitam yang hilir sungainya
kemudian langsung berbatasan langsung dengan wilayah Sumsel.
Daerah
ini kemudian masuk kedalam Taman Nasional Berbak yang langsung berbatasan
dengan Dangku-Sembilang.
Sungai
Asam adalah nama tempat yang terdapat di Kota Jambi dekat Jembatan Makalam.
Sedangkan “belarik” adalah berbaris memanjang. Dengan demikian, maka Pinang
Belarik adalah tanaman pinang yang berbaris teratur rapi dan memanjang.
Barisan
pinang memanjang (belarik), masih bisa dijumpai terutama di daerah hilir
Propinsi Jambi seperti di Marga Sabak, marga Kumpeh, Marga Jebus, Marga
Dendang, Marga Tungkal Hilir.
Pinang
adalah salah satu komoditi utama yang diekspor dalam jalur perdagangan di Selat
Malaka.
Tome
Pires didalam buku klasiknya “Suma Oriental” menyebutkan jalur lintas
perdagangan di daerah Muara Sabak. Sabak kemudian diidentikkan dengan “Zabag”
yang dceritakan orang Arab, Abu Zayd.
Sedangkan
catatan arkeologi Uka Tjandrasasmita maupun “undang-undang Negeri Jambi”, Muara
Sabak merupakan salah satu pelabuhan besar yang terletak di tanah Tungkal.
Selain
menyebutkan puyang sebagai nenek moyang, masyarakat Melayu Jambi juga mengenal
cerita-cerita rakyat yang dituturkan turun temurun.
Cerita
tentang Sultan Thaha, Datuk Paduko Berhalo[117],
Datuk Rangkayo Hitam, Putri Pinang Masak, Dara Jingga – Dara Petak, Bukit
Siguntang, Angso Duo (Dua Angsa)[118],
SI Pahit Lidah[119],
Tapah Melenggang (Pulau Temiang), Malin Tembesu (Jambi), Raja Kolong (Muara
Bulian), Numang Kasia (Kerinci), Putri Tanglung (Suko Berajo)[120],
Datuk Marsam – Sang Belalang Kunyit[121],
Tupai Janjang (kerinci)[122],
Si Kelingking[123],
Legenda Putri Cermin Cina (Pemayung, Batanghari)[124],
Legenda Bukit dan Perak[125].
Tentu saja banyak lagi cerita rakyat yang popular ditengah masyarakat.
II.
SELOKO
Didalam
mengungkapkan berbagai ujaran kebijaksanaan terhadap pengetahuan, sejarah
keberadaan (Puyang) maupun tentang ajaran kehidupan dikenal seloko.
Didalam
nilai-nilai yang agung yang kemudian dikenal seperti Titian
teras betanggo batu, cermin yang tidak kabur, lantak nan tidak goyah, dak
lapuk dek hujan dak lekang dek panas, kato nan saiyo, adat bersendi syara’, syara’
bersendi kitabullah, syara’ mengato, adat memakai; [126]
Adat
Bersendikan syara’ merupakan Adat Melayu Jambi berisi nilai-
nilai, aturan-aturan, norma dan kebiasaan-kebiasaan kuat dan benar serta
menjadi pedoman dalam penataan tatanan masyarakat, sistem hukum, sistem
kepemimpinan dan pemerintahan yang dipegang teguh masyarakat Melayu Jambi
dengan sistem sanksi yang tegas jika anggota masyarakat melakukan pelanggaran.
Sedangkan
di Marga Sungai tenang disebut seloko “Titian Teras bertangga batu”, “Cermin nan tak kabur”,
”Lantak nan tak goyang, kaping idak tagensuo. Tidak lekang karena panas
tidak lapuk karena hujan”, ”Adat lamo pusako usang, yang terpahat di tiang panjang
yang terlukis di bendul jati. Setitik nan dak ilang, sebaris yang tidak tebo”, nilai ini merupakan nilai fundamental (ground
norm) dalam pemikiran Hans Kelsen[127], yang kemudian dapat ditarik menjadi
norma-norma yang dapat diterapkan secara praktis.
Dalam
pengungkapan kemudian “Bak li beganti li,
lapuk pua jelipung tumbuh. Bak lapuh di ujung tanjung ilang sekok timbul sekok.
Adat yang diturunkan nenek moyang yang “Adat bersendikan syarak, Syarak bersendikan
kitabbullah”. Adat yang disahkan oleh Syarah.
Turun
yang diturunkan nenenk moyang tidak akan hilang, karena akan timbul. Waris dari
Depati Surau gembala hakim yang memegang adat, yang diwariskan tidak hilang,
walaupun mati rajo kehilangan tembo mati tuo kehilangan toto.
Nilai yang menjadi pegangan dan dihormati
masyarakat, Titian Teras bertangga batu.
Cermin nan tak kabur. Lantak nan tak goyang, kaping idak tagensuo. Tidak lekang
karena panas tidak lapuk karena hujan, “Adat bersendikan syarak, Syarak
bersendikan kitabbullah.
Nilai yang terkandung didalam “Titian Teras bertangga batu. Cermin nan tak kabur. Lantak nan tak goyang, kaping idak tagensuo. Tidak lekang karena panas tidak lapuk karena hujan, “Adat bersendikan syarak, Syarak bersendikan kitabbullah, menurut Ajaran Hukum Murni hipotesis yuridis yang disebutnya Grundnorm.
Hipotesis yuridis ini diurai oleh Ali Safa’at,
selama Orde Baru Grundnorm diisi dengan Pancasila dan Orde Reformasi diisi
dengan Proklamasi 17 Agustus 1945. Grundnorm yang berada di “atas“ norma-norma
hukum positif merupakan daya tarik dan sekaligus krisis bagi Ajaran Hukum Murni
di kemudian hari. Masa ini dihiasi dengan munculnya Ajaran Hukum Murni (Reine
Rechtslehre) dari Hans Kelsen yang mendefinisikan Ajaran Hukum Murni sebagai
Teori Hukum Positif yang objeknya adalah hukum positif. Berbagai istilah
digunakan oleh Hans Kelsen guna menamai Teori Hukum Positif seperti Ilmu Hukum
Normatif dan Teori Juristik yang sebangun struktur argumentasinya. Sikap yang
diambil Hans Kelsen adalah pemurnian “hukum” dari kepentingan-kepentingan di
luar hukum seperti politik, keadilan, ideologi dan seterusnya. Hukum merupakan
teknik sosial yang spesifik dengan objek hukum positif.
Nilai yang terkandung didalam “Titian Teras bertangga batu. Cermin nan tak kabur. Lantak nan tak goyang, kaping idak tagensuo. Tidak lekang karena panas tidak lapuk karena hujan, “Adat bersendikan syarak, Syarak bersendikan kitabbullah, dalam Teori stufenbau, menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm). Menurut Kelsen norma hukum yang paling dasar (grundnorm) bentuknya tidak kongkrit (abstrak)
Contoh norma hukum paling dasar abstrak adalah
Pancasila. Melalui grundnorm ini semua peraturan hukum disusun dalam
satu-kesatuan. Grundnorm merupakan sumber nilai bagi adanya sistem hukum,
Grundnorm merupakan norma hukum tertinggi dalam Negara. Dibawah grundnorm
terdapat norma-norma hukum yang tingkatannya lebih rendah dari grundnorm
tersebut. Maka berdasarkan stufenbau der rechtstheorie (teori pertingkatan
hukum) Hans Kelsen, nilai adat berkedudukan sebagai grundnorm (norma dasar).
Grundnorm adalah kaidah tertinggi, fundamental, dan menjadi inti (kern) setiap
tatanan hukum dan negara. Grundnorm, disebut juga staas grundnorm. Dalam ajaran
mazhab sejarah hukum yang dipelopori Friedrich Carl von Savigny dan bertitik
tolak pada volksgeist (jiwa bangsa), nilai adat dapat digolongkan sebagai
volksgeist bangsa Indonesia
Dengan menggunakan berbagai pendekatan, maka menurut Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, Nilai-nilai yang diajarkan didalam Masyarakat Adat dikenal sebagai ajaran nilai (waardenleer).
“Yang
berhak untuk memutih menghitamkam, Yang memakan habis, memancung putus, dipapan
jangan berentak, diduri jangan menginjek. Mampu menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat. Betakap naik, berjenjang turun. Dari Suku membawa ke nenek mamak.
Apabila tidak dapat diselesaikan, maka memberitahu kepada Debalang. Apabila
tidak dapat diselesaikan, maka Debalang memberitahu kepada Kepala Dusun.
Apabila tidak dapat diselesaikan, maka kepala Dusun memberitahu kepada kepala
Negeri.
Membicarakan
Melayu Jambi tidak dapat dipisahkan dari kewilayahan Propinsi Jambi yang
merupakan daerah yang menjadi residentie Djambi. Dalam Tambo, batas wilayah
Jambi dikenal dengan istilah durian di Takuk Rajo (Batas dengan Sumsel),
sialang belantak besi (Batas dengan sumbar), Salo belarik (batas dengan Riau)
Dalam
dokumen-dokumen Belanda wilayah Jambi sebagai bagian dari kekuasaan Belanda
dapat dilihat pada Peta Belanda seperti Schetkaart Resintie Djambi
Adatgemeenschappen (Marga’s), Tahun 1910, Skala 1:750.000, Schetskaart Van de
Residentie Djambi, Tahun 1906, Skala 1 : 500.000, Schetskaart Van de Residentie
Djambi, Bewerkt door het Encyclopaedisch Bureau 1922 – 1923, Skala 1 : 750.000,
Automobielkaart van Zuid Sumatra Samengesteld en Uitgegeven door Koniklijke ,
Vereenging Java Motor Club, Tahun 1929, Skala 1 : 1.500.000, Economical MAP of
The island Of Sumatra, Gold and silver, Tahun 1923, Skala 1 : 1.650.000,
Verkeers en Overzichtskaart van het eiland Sumatra, Tahun 1929, Skala
1.650.000, dan Kaart van het eiland Sumatra, Tahun 1909, Skala 1 : 2.000.000, ,
Aangevende de ligging Der Erfachtsperceelen en Landbrouwconcessies Of Sumatra,
Tahun 1914, Skala 1 : 2.000.000 telah jelas menerangkan posisi Residentie Jambi
sebagai jalur perdagangan karet yang utama bagi Pemerintah Kolonial.
Kekerabatan Melayu dapat dilihat dalam seloko
adat. “Sumpah setio. Ke langit sama dikadah Ke bumi sama dikutungkan,
Darah samo dikacau, daging samo dikimpal, Kehilir serentak dayung, kemudik
sehentak satang, Kebukit samo mendaki, kelurah samo menurun, Tegak sama tinggi,
duduk sama rendah, serumpun bak serai, seinduk bak ayam, Tolong menolong bagai
aur dengna tebing, Tudung menudung bagai daun sirih, samo-samo berbenteng
dadober berkuto betis beranjau, tunjuk menunjuk menghadapi musuh, Tidak boleh
pepat diluar rencong didalam, tidak boleh budi menyuruk akal merangkak,
Menggunting dalam lipatan, tidak boleh menohon kawan seiring, harus sesopan
semalu, Dapat samo belabo hilang samo merugi. Samo
makan tanah bila telungkup, samo minum air bila telentang”
Clifford Geerz mendefinisikan ikatan primordial
adalah “perasaan yang lahir dari yang
dianggap ada dalam kehidupan sosial, sebagian besar dari hubungan langsung dan
hubungan keluarga, tetapi juga meliputi keanggotaan dalam lingkungan keagamaan
tertentu, bahasa atau dialek tertentu, serta kebiasaan-kebiasaan sosial
tertentu. Persamaan hubungna darah, bahasa dan kebiasaan pada dirinya memiliki
kekuatan yang meyakinkan.
Membicarakan Seloko dapat mengatur tentang
alam, cara menghormati pemimpin, menyelesaian persoalan maupun berbagai
ujaran-ujaran atau pengajaran kebijaksanaan.
Seloko tentang etika kepemimpinan Jambi dikenal ditengah masyarakat. Sebagai pemimpin maka memiliki sikap-sikap
yang menjunjung tinggi nilai-nilai.
Seloko
seperti “Sedekuk bak batu di pulau, Sedencing
bak besi dipalu, Seilmu bak kuaw lanting, Tudung-menudung bak dawn sirih, Jahit
menjahit bak daun petai, jangan bak tanduk diikat silang siur” adalah seorang
pemimpin harus mampu bersikap jujur dan adil.
Seorang pemimpin haruslah ”cerdik idak membuang kawan, gemuk idak
membuang lemak, tukang idak membuang kayu, gedang idak melando, panjang idak
melilit” yang melambangkan kecerdikan.
Seloko ”Orang
buto peniup lesung, Orang pekak pelepas bedil, orang lumpuh penunggu rumah, Orang
patah pengejut ayam, Orang buruk pelantun dune, Kain baju peneding miang, Emas
perak peneding malu, Idak ado bergs atah dikisai” melambangkan
kepemimpin yang pintar untuk menempatkan seseorang sesuai dengna kemampuannya.
Seloko seperti
”Bekato benar bejalen lurus, Memakai
suci memakan halal” adalah menempatkan dan menghargai kebenaran.
Seloko seperti ”Bejalan dulu selangkah, Bekato dulu
sepatah, netak mutus, Makan ngabisi” adalah melambangkan sikap yang bijaksana.
Seloko seperti ”Tempat
Betanyo, artinya pergi tempat betanyo, Balik tempat beberito” adalah
menempatkan keteladanan kepemimpinan yang kemudian menjadi tempat berteduh dan
menjadi saluran dari semua persoalan masyarakat.
Seloko
Kepempinan mengatur tentang struktur kepemimpinan, Kedudukan pemimpin, Tipe kepemimpinan
Struktur
kepemimpinan
Kepemimpinan
ditengah masyarakat ditandai dengan seloko “Alam sekato Rajo. Negeri
sekato Batin. Atau “Alam Berajo, Rantau Berjenang, Negeri Bebatin,
Luhak Berpenghulu, Kampung betuo, Rumah betengganai”. Ada juga menyebutkan ““Alam sekato
Rajo. Negeri sekato Batin. Atau “Alam Berajo, Rantau Berjenang, Negeri
Bebatin, Luhak Berpenghulu, Kampung betuo, Rumah betengganai”. Atau “Alam sekato Rajo, Negeri
sekato Bathin. Atau Alam
berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak. Atau “Luak Sekato Penghulu, Kampung
Sekato Tuo, Alam sekato Rajo, Rantau Sekato Jenang, Negeri sekato nenek moyang.
Cara
penghormatan kepada pemimpin ditandai dengan seloko “Alam
sekato Rajo. Negeri sekato Batin. Atau “Alam Berajo, Rantau Berjenang,
Negeri Bebatin, Luhak Berpenghulu, Kampung betuo, Rumah betengganai” melambangkan alam kosmos Rakyat Melayu Jambi
untuk menempatkan dan menghormati pemimpin. Dengan mengikuti alur dan
menempatkan pemimpin ditengah masyarakat, maka setiap perkataan, seruan
kemudian diikuti oleh masyarakat.
Begitu agung dan dihormati pemimpin,
masyarakat akan mengikuti setiap perintah, setiap perkataan dari pemimpin.
Setiap perkataan dan perintah dari pemimpin sebagai bentuk pemimpin yang dihormati.
Mereka “menyerahkan”
hidupnya. Menyerahkan masa depannya kepada pemimpin.
Kedudukan
pemimpin
Kedudukan
pemimpin diibaratkan “Pohon gedang ditengah dusun. Pohonnya rindang. Tempat
beteduh. Akarnya besak tempat besilo.
Tipe
kepemimpinan
Di samping itu dalam sloko adat Melayu Jambi
dikenal adanya 7 macam pimpinan yang tidak disenangi.
Pertama adalah Pimpinan Di Ujung Tanjung. Sikap pemimpin yang suka mengambil muka,
berdusta dan berdiri di atas penderitaan teman, dan suka mengaku sebagai pahlawan.
Kedua. Pimpinan
Ayam Gedang. SIkap pemimpin yang
suka menonjolkan tuahnya atau kemampuannya dengan berkoar. Padahal sehari-hari
dia saja “yang mampu berkotek. Namun
tidak mampu bertelur. Sikap pemimpin ini “elok bungkus pengikat kurang.
Ketiga. Pimpinan
Buluh Bambu, Sikap pemimpin yang cuma mengutamakan penampilan luar, kosong
di dalam, namun hilir mudik membanggakan dirinya sebagai seorang pimpinan.
Ada juga menyebutkan Pemimpim belah bamboo. Yang sekok diangkat. Yang sekok diinjak. Ini melambangkan tipe kepemimpinan yang tidak adil. Apabila keluarga atau kelompoknya diutamakan. Tapi terhadap diluar kelompoknya kemudian ditindas (diinjak).
Pemimpin yang baik tidak akan
mencoba “menyakiti” rakyatnya. Tidak boleh mengkhianati rakyat. Tidak
boleh “berbohong”. Tidak boleh bertindak tidak adil. “Belah bambunya”.
Satu diangkat. Satu diinjek (dipijak). Satu di untungkan namun yang lain
dikorbankan.
Satu dibedakan. Satu diistimewakan.
Satu diperlakukan tidak adil. Satu diperlakukan begitu kejam. Satu diperlakukan
tidak pantas. Tidak boleh itu.
Keempat.
Pimpinan Ketuk-Ketuk. Sikap pemimpin yang
tidak memiliki keberanian membela masyarakat
Kelima adalah “Busuk Aring”. Sikap yang berhati
licik, curang, serakah, melilit orang, korup, kadangkala mau menjual keluarga
dan sahabatnya.
Keenam adalah “Pisak Celano”. Sikap pemimpin yang suka kawin cerai, suka melirik
dan melihat wanita cantik maka hatinya tergiur untuk mengawininya kemudian ia
ceraikan.
Ketujuh. “Pimpinan
Tupai Tuo, adalah pimpinan berhati minder atau rendah diri, dan tidak
berani tampil ke gelanggang.
Ditengah masyarakat dikenal tipe-tipe
Penghulu. Seperti Penghulu nan ditanjung, penghulu ayam gedang, penghulu buluh
bamboo, penghulu ketuk-ketuk, penghulu tupai tuo, penghulu pisak serawal[128].
Pemimpin
yang lalim
Pemimpin
lalim ditandai dengan seloko “Raja alim. Raja disembah. Raja Lalim Raja
disanggah”.
Pemimpin
yang dijauhi
Pemimpin
yang lalim kemudian dijauhi oleh masyarakat ditandai dengan Seloko “Jatuh dipemanjat. Jatuh di perenang”
Selain seloko tentang nilai-nilai, tentang
kepemimpinan juga mengatur tentang alam. Seloko alam seperti ”ngambil arin dan baleh arin” atau
“narin” atau “pelarian” yaitu dimana petani bekerja di lahan petani yang
lain secara bergantian berdasarkan hitungan jumlah hari kerja.
Gerebuh yaitu jika ada keluarga yang
mendapat musibah (misalnya kematian, kecelakaan atau musibah besar lainnya)
maka anggota keluarga terdekat atau bisa penduduk dusun secara suka rela
membantu menyelesaikan pekerjaan yang mendesak seperti : panen padi (nuai), nebas jerami, merumput (membersihkan
gulma/rerumputan pada areal ladang tempat menanam padi ladang).
Nyerayo meminta bantu kepada
keluarga, tetangga atau dalam skala besar kepada seluruh penduduk (isi alam isi negeri, anak jantan anak betino)
untuk membantu meyelesaikan pekerjaan yang mendesak seperti panen padi (nuai), nebas jerami, merumput (membersihkan
gulma/rerumputan padi ladang).
Gotong Royong pemerintah desa
atau nenek mamak memerintahkan kepada seluruh masyarakat untuk membantu sesuatu
pekerjaan seperti mendirikan masjid dan sebagainya
Ngingah Ternak yaitu memelihara
ternak orang lain dengan kemudian keturunannya menjadi milik bersama”.
“motong kebun orang” yaitu
memanen / menderes karet orang lain dengan sistem bagi hasil (umumnya sistem
bagi tiga, 2/3 menjadi bagian pemotong)
“Nigoi sawah” yaitu mengelola
sawah orang lain dengan sistem bagi tiga.
“Nugal” yaitu bersama-sama dengan
petani-petani yang bedekatan lokasi ladang (kelompok talang) menanam padi
ladang. Penanaman padi ladang mengunakan alat dari kayu yang diruncingkan untuk
membuat lobang tanam yang dinamakan “tugal”
Betegak rumah mengundang dan
meminta bantuan penduduk desa dalam mendirikan rumah biasanya diiringi dengan
sedekah dan beberapa tahapan prosesi adat.
“Keayek bebungo pasir ke darat bebungo kayu, ke Ladang
bebungo emping ke tembang bebungo emas” yaitu pemanfaatan bahan bangunan
dari air seperti pasir, batu dan koral serta bahan bangunan dari daratan
seperti kayu pada saat akan mendirikan bangunan ada biaya dibayarkan kepada
desa.
“Aturan turun kesawah” beberapa minggu
sebelum musim turun kesawah nenek mamak mengumumkan pada saat turun ke sholat
jum’at. Umumnya waktu turun kesawah ditetapkan dimulai pada hari kesepuluh
bulan haji. Mulai tanggal 10 Dzulhijah masyarakat sudah mulai menabur benih
padi di persemaian (“mulai nabur”).
Larangan menjual
hutan kepada pendatang dari luar, aturan ini baru beberapa tahun terakhir
diberlakukan semenjak mulai seringnya penduduk dari luar (migrant) yang berekspansi
membuka kawasan hutan untuk dijadikan areal berkebun kopi.
“Larangan meracun ikan” yaitu larangan
penduduk meracun ikan di sungai. Jika kedapatan atau ketahuan dikenakan sanksi
adat.
Seloko
Tentang Penerapan hukum kebiasaan
Hak Dacin pado yang
ditimbang, hak sukam pado yang digantang, Dimana
bumi dipijak, disana langit dijunjung. Dimana air disauk, disana ranting dipatah. Datang
Nampak muka. Balek Nampak punggung adalah seloko yang menghargai hukum adat
setempat dan menghormati hukum yang berlaku pada daerah tertentu.
Selain
itu juga dikenal seloko “ico pakai”. Ico pakai adalah bahasa adat yang berarti kebiasaan
yang berlaku pada suatu tempat dalam Wilayah Adat[129].
“Ico Pakai” (Penerapan) adat istiadatnya yang disebut “Tak Lapuk di Hujan,
Tak Lekang di Panas”[130].
Istilah Ico Pakai dapat ditemukan didalam Perda Provinsi Jambi No. 2 Tahun
2014, Perda Kotamadya Jambi No. 4 Tahun 2014 dan Perda Kabupaten Tanjung Jabung
Timur No. 5 Tahun 2014, Perda Kabupaten Bungo No. 9 Tahun 2007.
Hubungan
antara pemimpin dengan alam.
Hubungan
antara pemimpin dengan alam kemudian ditandai dengan Tanda hubungan baik antara
pemimpin dengan alam. Seperti seloko “Negeri Aman, Padi Menjadi. Airnyo bening, ikannya
jinak. Rumput mudo, kebaunya gepuk. Padi masak, rumpin mengupih. Timun
mengurak, bungo tebu. Meyintak ruas terung ayun mengayun. Cabe bagai bintang
timur. Ke ayek tiik keno, ke darat durian guguu.
Seloko
tentang ruang
Seloko
tentang penyelesaian
Didalam
menyelesaikan setiap persoalan maka dikenal seloko “Berjenjang adat, Berjenjang naik, Bertangga turun”. Sebagian juga
menyebutkan “Bertampan hendak lebar. Bersambang
hendak panjang. Supaya yang genting
tidak putus. Supaya yang biang tidak tembuk.
Yang
dimulai dari prosesi adat dimulai dari “Sirih
senampan. Keris nan sebilah. Kok tinggi pusako
rajo dijuluk dengan yang sebatang. Kok rendah pusako rendah kok dengan keris nan sebatan. Kusut minta
diusaikan. Keruh minta dijernihkan.
Ada juga menyebutkan ”Disitu kusut diselesaikan.
Disitu keruh dijernihkan. Disitu kesat sama diampelas. Disitu bongkol
sama ditarah.
Didalam menyelesaikan perselisihan maka dikenal
seloko ”Mencari bungkul dari
pangkal, Mencari usul dari asal”.
Seloko
sanksi
Didalam memberikan sanksi maka dikenal Seloko
seperti ”Beras segantang, atau selemak-semanis”, atau ”luka dipampeh, Mati dibangun’. Seloko ini mengandung arti terhadap pemberian
sanksi disesuaikan dengan kesalahannya.
Selain itu dikenal seloko seperti ”Be adat dewek pesako mencil. Bebapak pada
harimau. Berinduk pada gajak. Berkambing pada kijang. Berayam pada kuaow.
Menurut
Muhammad Fadli, Seloko mengandung Nilai
budaya tersebut dikelompokan berdasarkan 5 kategori hubungan manusia dalam
berbudaya, yaitu: (1) Nilai budaya dalam hubungann manusia dengan tuhan, (2)
nilai budaya dalam manusia dengan alam, (3) nilai budaya dalam manusia dengan
masyarakat, (4) nilai budaya dalam hubungn manusia dengan manusia lain, (5)
nilai budaya dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri[131].
Seloko hukum adat merupakan bentuk ungkapan tradisional melayu Jambi. Konsep seloko dalam konteks bahasa Melayu Jambi pada dasarnya
adalah sama dengan peribahasa dalam bahasa Indonesia. Seloko merupakan yang berisi petuah-petuah untuk
keselamatan dan kebaikan hidup bagi masyarakat[132].
Seloko dapat
dikatakan Seloko
hukum adat karena ungkapan tersebut
sering digunakan pada acara-acara yang berhubungan dengan adat, seperti saat
meminang gadis, musyawarah adat, penetapan hukum adat, penentuan hukuman bagi
seseorang yang melanggar adat maupun dalam pergaulan muda-mudi[133].
Simbol adalah makna yang tersirat didalam seloko[134]
Simbol-simbol
ungkapan tersebut sarat dengan nilai-nilai moral, agama, sosial,dan budaya
dapat berfungsi sebagai sarana pendidikan karakter. Mengacu pada pendapat
Cassirer[135],
hal ini menunjukkan bahwa manusia terlibat dalam suatu jalinan simbol-simbol
yang diungkapkan melalui mitos, religi, adat istiadat, bahasa, seni, sejarah,
dan ilmu pengetahuan.
Menurut
Ade Rahima, Seloko hukum adat merupakan
satu jenis kesusasteraan masyarakat Melayu Jambi berbentuk ungkapan
tradisional. Sebagai ungkapan tradisional seloko hukum adat Melayu Jambi merupakan bagian dari tradisi lisan yang diwariskan
secara turun-temurun dalam bentuk tutur kata. Seloko hukum adat Melayu Jambi telah dikenal semenjak berdirinya
kerajaan Melayu di Jambi yakni masa pemerintahan kesultanan Jambi sekitar abab
ke XV. Dengan demikian, keberadaan seloko sama
tuanya dengan keberadaan kerajaan Melayu Jambi, karena pada masa itu selain di
lingkungan istana dan para piyayi, seloko telah
dipakai dalam hubungan sosial di Masyarakat. Pemakaian seloko merupakan kebiasaan masyarakat sehari-hari
sebagai bahasa adat untuk pengokoh nilai-nilai dan norma-norma. Dari aneka
ungkapan seloko
tersebut dapat ditelusuri peranan
adat yang membina masyarakatnya yang diiringi dengan sanksi atau hukum adat
jika ada kejahatan yang dilakukan atau pelanggaran hukum[136].
Nurhasanah
menyebutkan Seloko adalah produk Islam Melayu[137].
Namun ketika disimak didalam seloko seperti “Teluk Sakti. Rantau Betuah. Gunung Bedewo”, atau “rimbo sunyi. Tempat
siamang beruang putih. Tempat ungko berebut tangis” tidak menggambarkan
Islam Melayu. Penempatan dengan menghormati tempat-tempat leluhur atau
tempat-tempat yang dihormati seperti pengungkapan “teluk sakti. Rantau betuah
gunung bedewo” atau “rimbo sunyi”, atau penggunaan kata-kata seperti “sakti,
betuah, bedewo” lebih tepat menggambarkan mempunyai pengaruh yang
kuat dari ajaran Hindu Spritualitas Upanishad[138].
Dalam tradisi intelektual
India, Upanishad[139]
dihubungkan dengna gerakan yang ingin melakukan reinterpretasi atau reformasi
kehidupan religius. Paham ini kemudian menempatkan dalam monistik. Termasuk
dalam perkembangan kehidupan sosial keagamaan yang menempatkan tidak
semata-mata milik kelompok elite tertentu.
Pertanyaan tentang
konsepsi Tuhan sebagai penyebab alama semesta “darimana makhluk itu lahir,
melalui siapa mereka hidup dan kepada siapa mereka kembali” ? Menyebabkan
pertanyaan tentang konsepsi alam dapat dilihat sebagai berikut :
- Alam semesta tidak dianggap ada dari ketiadaan atau non eksistensi (creatio exnihilo). Alam harus dipandang sebagai sebuah proporsi prime facie yang suatu saaat digugurkan oleh kebenaran. Alam semesta lahir dari Tuhan.
- Alam Semesta kembali kepada tujuan akhir, yakni Tuhan. Sumber darimana mereka muncul pada awalnya.
Tujuan utama Upanishad
bukanlah mengajarkan kebenaran filsafat melainkan kedamaian dan kebebasan.
Dalam uraian yang lain,
Prof. Dr. H. Kaelani, MS menjelaskan[140]
“Dalam
kosmologis-ekologis ini menunjukkan kehidupan manusia senantiasa dalam kondisi
lingkungan yang tidak terpisahkan satu dengan yang lain. Manusia haruslah
ditempatkan dalam konteks real dan kongkrit. Unsur dimensi materialis merupakan
perspektif manusia yang bersifat real dan alamiah.
Memahami
manusia berarti menempatkannya dalam konteks kehidupan yang nyata. Dalam
kaitannya dengan alam lingkungannya. Dalam pengertian inilah maka manusia harus
senantiasa membudayakan dirinya dan menyosialisasikan dirinya demi kehidupan
dan meningkatkan harkat dan martabatnya.
Dengan demikian maka
Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo
atau Rimbo sunyi yang dikenal dengan seloko “Tempat siamang beruang
putih. Tempat ungko berebut tangis hanyalah tempat dan bentuk penghormatan
manusia kepada Tuhan. Aristoteles menyebutkannya “hylemorfisme”[141].
Sedangkan Islam sendiri menyebutkannya “Zuhud”, yakni menjalani kehidupan dunia
secara sederhana pengaturan yang bertujuan untuk akherat (aspek
eksatologis/ukhrawi)[142].
III.
KOSMOSPOLITAN DAN TANAH
Setiap
peradaban tidak dapat dipisahkan alam pikiran dengan alam semesta. Sistem
budaya masa prasejarah adalah sistem budaya mistis yang berkaitan erat dengan
sistem kepercayaan mistis. Menurut Jakob Sumardjo: “Dalam masyarakat dengan
konteks budaya mistis ini terdapat cara berpikir berdasarkan kesatuan kosmos.
Mikrokosmos (manusia), makrokosmos (semesta), dan metakosmos (alam lain)
menjadi satu keutuhan”. Konsep adanya kehidupan sesudah kematian, sesungguhnya
berawal dari masa prasejarah ini. Cara berpikir bahwa ada sesuatu kekuatan di
luar diri manusia dan menguasai mereka yang masih hidup merupakan norma-norma
yang dijunjung tinggi dan utama dalam hidup dan kehidupan manusia purba,
sebagai sebuah sistem kepercayaan[143].
Tradisi
pembuatan bangunan megalitik selalu berkaitan dengan kepercayaan adanya
hubungan antara orang yang masih hidup dengan nenek moyang mereka yang sudah
meninggal. Dalam hal ini manusia pendukung kebudayaan megalitikum percaya nenek
moyang yang sudah mati mampu mempengaruhi kesejahteraan hidup masyarakat atau
kesuburan tanah dari generasi yang masih hidup[144]
Perbedaan
arah hadap mulut tempayan membuktikan bahwa tempayan sengaja dikubur dalam
posisi rebah. Arah hadap mulut tempayan ke timur ditemukan juga di Situs Lolo
Gedang, Kerinci. Kemungkinan besar arah hadap mulut berkaitan dengan arah
kosmis atau mata angin[145].
Gambaran atau citra terhadap dunia (makrokosmos),
ikut menentukan tatanan mikrokosmos yang akan diwujudkan dalam penataan
wilayah, ibukota, kompleks keraton, maupun bangunan pada umumnya.
Seperti yang dijelaskan oleh Geldern[146]
bahwa menurut doktrin Brahmana, gambaran atas dunia (makrokosmos) atau jagat
ini terdiri dari: “Jambudwipa”, sebuah benua berbentuk lingkaran terletak di
pusat, dikelilingi oleh tujuh buah samudra berbentuk cincin dan tujuh buah
benua lain berbentuk cincin juga.
Di luar Samudra terakhir dari ketujuh samudra tadi,
jagat itu ditutup oleh barisan pegunungan yang sangat besar. Di tengah-tengah jambudwipa (tengah-tengah jagat
raya), berdirilah gunungmeru menjadi pusat dari jagat raya, gunung ini dikelilingi
oleh tujuh barisan pegunungan.
Masing-masing pegunungan ini dipisahkan oleh tujuh
buah samudera yang berbentuk cicin. Di luar rantai pegunungan terakhir terletak
lautan dan di dalam lautan ini dijumpai empat buah benua, masing-masing pada
penjuru angin. Benua yang terletak di Selatan gunungmeru adalah Jambudwiva, tempat tinggal umat
manusia. Jagat raya itupun dikelilingi oleh sebuah dinding besar yang terdiri
dari batu karang, disebut barisan cakrawala.
Pada lereng gunungmeru terletak Swarga (surga) yang terendah,
yaitu swarga
dari
keempat raja besar atau penjaga dunia.. Pada puncaknya Swarga ke dua, yaitu Swarga ke-33 dewa serta
Sudarsana, kota dewa-dewa, tempat Indra bersemayam sebagai raja.
Di atas Gunungmeru terdapat lapisan-lapisan lainnya
dari kayangan” (biasanya ada 26, termasuk lapisan-lapisan diatas gunungmeru,
tetapi jumlah ini kadang-kadang berbeda). Perbedaan penafsiran atas ujud jagat
raya ini juga terjadi diberbagai wilayah di Asia Tenggara, termasuk Jawa dan
Bali. Meskipun ada sedikit perbedaan dalam hal-hal kecil namun, intinya
seperti: bentuk yang berupa lingkaran, wilayah-wilayah yang berpusat
mengelilingi gunungmeru (Meru sebagai pusat atau center)[147]
Alam cosmopolitan Marga Batin Pengambang dituturkan
dengan menempatkan 4 Penjaga Negeri . Rio Cekdi
Pemangku Rajo. Yang bertugas menjaga pintu dari Timur. Dengan wilayahnya Bathin
Pengambang, Batu berugo, Narso. Debalang Sutan yang bertugas menjaga pintu di
sebelah selatan. Dengan wilayah Sekeladi, Guguk tinggi, Tangkui, Padang Baru.
Menti Kusumo yang bertugas menjaga pintu dari Utara. Dengan wilayah Rantau
Jungkai, Renah Kemang, Sungai keradak. Debalang Rajo yang menjaga pintu
dari barat. Dengan wilayah Muara Simpang, narso kecil.
Penempatan
“penjagaan” yang bertugas empat penjuru mata angin seperti di Marga Batin
Pengambang seperti Rio Cekdi Pemangku Rajo (Timur), Debalang Sutan (Selatan),
Menti Kusumo (Utara) Debalang Rajo (barat) adalah “punggawa” menjaga pemukiman
Marga Batin Pengambang.
Di
Marga Maro Sebo Ulu, dikenal Debalang Raja Jambi[148].
Sebagai Debalang Raja Jambi maka senang disebut sebagai “Orang Raja. Yang
memerintah di Dusun Kembang Seri, Dusun Sungai Rengas dan Dusun Sungai Ruan.
Sebagai Debalang Raja, maka
Dubalang di Teluk Leban bertugas untuk menyambut tamu Raja. Debalang di Rengas
9 bertugas untuk penjaga kebun raja. Sedangkan Dubalang di Peninjauan sebagai
peninjau terhadap kedatangan yang datang ke Marga Maro Sebo Ulu[149].
Pemangku Marga Maro Sebo Ulu
sering disebut Ngebi. Sedangkan Pemangku Dusun disebut Mangku.
Dewa dalam sistem kepercayaan Orang Rimba, dikenal
ada delapan dewa, yakni; dewa Rimau, dewa Siluman, dewa Penyakit,
dewa Gajah, dewa Padi, dewa Tenggiling, dewa Madu,
dan dewa Langit. Para dewa tersebut akan muncul dalam acara besale (acara
ritual pernikahan orang rimba)[150].
Alam
cosmopolitan umumnya memiliki ciri antara lain. Magis dan keagamaan (magis
religious), nyata atau konkrit (concrete), kontan atau tunai, (cash),
keberlakuan ajeg (constant) dan fleksibel (flexible). Kurang atau tidak menjadi
pengetahuan masyarakat lokal. Hak ini kemudian melekat sebagai
1.
Hak untuk
“menguasai” (memiliki, mengendalikan) & mengelola (menjaga, memanfaatkan)
tanah dan sumber daya alam di wilayah adatnya;
2.
Hak untuk
mengatur diri sendiri sesuai dengan hukum adat (termasuk peradilan adat) dan
aturan-aturan adat yang disepakati bersama oleh masyarakat adat;
3.
Hak untuk
mengurus diri sendiri berdasarkan sistem kepengurusan/ kelembagaan adat;
4.
Hak atas
identitas, budaya, sistem kepercayaan (agama), sistem pengetahuan (kearifan
tradisional) dan bahasa asli.
Hubungan
manusia dengan alam dalam pandnagan kosmos ditandai dengan penggunaan nama
“Koto” untuk menunjukkan nama tempat.
Penamaan “Koto” menunjukkan jejak
peradaban. Koto adalah simbol penghormatan terhadap leluhur sekaligus sebagai
benteng pertahanan.
Di Marga Sungai Tenang dikenal Pungguk 6, Pungguk 9 dan Koto Sepuluh. Pungguk 6 berpusat di Dusun Pulau Tengah, Pungguk 9 berpusat di Muara Madras dan Koto Sepuluh berpusat Dusun Gedang.
Pungguk 6 terdiri dusun asal yaitu
Dusun Pulau Tengah, Dusun Kotojayo, Dusun Ranah Mentenang, Dusun Sungai Danau
Pauh, Dusun Simpang Danau Pauh, Dusun Tanjung Jati, Dusun Koto Sawah, Dusun
Koto Tinggi. Sebagian menyebutkan “Pungguk enam terdiri dari dusun asal yaitu
Kotojayo, Pulau Tengah, Koto Renah, Koto Teguh, Rantau Suli dan Dusun Baru.
Pungguk 9 terdiri dusun asal yaitu
Renah Pelaan, Dusun Lubuk Pungguk, Dusun Muara Madras, Dusun Talang Tembago,
Dusun Pematang Pauh.
Sedangkan Koto 10 terdiri dusun
Kotobaru, Dusun Gedang, Dusun Tanjung Benuang, Dusun Kototapus, Dusun Tanjung
Dalam, Dusun Muara pangi, Dusun Rantau Jering.
Dengan “penyebutan” Koto maka
terdapat Koto Renah, Koto Teguh, Koto Sepuluh, Kotobaru, Koto Tapus. Koto Tapus
dikenal sebagai Dusun Jangkat.
Di Marga Peratin Tuo dikenal Dusun
Kotorami. Sekarang termasuk kedalam Kecamatan Lembah Masurai, Merangin.
Di Tebo dikenal Marga VII Koto dan
Marga IX Koto. Hubungan antara Marga VII Koto dan Marga IX Koto sering disebut
“koto bersekutu”. Atau sering juga disebut “7 jantan dan 9 betino.
Hubungan ini masih berlaku baik didalam menyelesaikan persoalan adat maupun
hubungan perkawinan.
Dengan tuturan ini maka setiap
proses adat dapat dilihat dari tutur dan pendekatan kekeluargaan. Hubungan ini
kemudian dilanjutkan dengan Marga Sumay sebagai anak dari kedua Marga. Sehingga
Marga VII kemudian disebut “Berbenteng dado. Berkutu berpagar di batu”.
Koto diartikan sebagai benteng
tempat berlindung. Koto terdiri dari 3 suku asal dan sudah bersawah, berladang
dan beternak peliharaan. Dengan demikian maka Koto adalah tempat benteng
perlindungan yang didalamnya terdapat persawahan, peladangan dan tempat gembala
ternak.
Sedangkan di Marga IX Koto, Makna
“Koto” adalah Kota. Kota dimaksudkan bukanlah makna kota. Tapi dusun atau kampong
yang dihuni oleh penduduk.
Untuk menjaga keamanan didusun,
sebagaimana tutur di Teluk Kuali, maka dibuatkan parit yang mengelilingi Dusun.
Parit yang dibangun selain lebar juga cukup lebar. Dengan dibangunnya parit
yang mengelilingi dusun, sehingga binatang buas tidak dapat memasuki dusun.
“Maklumlah. Negeri harus aman”. Istilahnya “harus aman dari musuh alam”.
Disebut dengan IX merujuk kepada 9
orang yang pertama kali mendatangi daerah Marga IX Koto. Berasal dari Banten,
kemudian 9 orang kemudian mendiami 9 dusun.
Dusun-dusun yang termasuk kedalam
Marga IX Koto yaitu Dusun Teluk Kuali, Dusun Kebung, Dusun Pulau Puro, Dusun
Tanjung Aur, Dusun Rantau Langkap, Dusun Rambahan, Dusun Jambu, Dusun Pagar
Puding, Dusun Sungai Rambai.
Penetapan ruang dengan kiblat
penjuru mata angin ditempatkan sebagai Koto adalah bentuk perlindungan.
Konsepsi ini lahir dari peradaban Hindu Upanishad dari India berkembang di
kalangan filsuf India seperti kaum Jaina, Nyaya dan Vaiseshika sekitar 500
tahun sebelum masehi. Di Masyarakat bersawah dan peladangan Anton Bakker
kemudian menyebutkan Realisme ekstrem.
Penempatan “penjagaan” yang bertugas
empat penjuru mata angin seperti di Marga Batin Pengambang seperti Rio Cekdi
Pemangku Rajo (Timur), Debalang Sutan (Selatan), Menti Kusumo (Utara) Debalang
Rajo (barat) adalah “punggawa” menjaga pemukiman Marga Batin Pengambang.
Sedangkan perlindungan koto dengan
membangun parit terdapat di Marga IX Koto, Marga VII Koto dan di Koto Teguh,
Koto Renah di Marga Sungai Tenang.
William Marsden juga bercerita
tentang kesaktian “Sungei Tenang, Koerinchi dan Serampei (Baca Sungai Tenang,
Kerinci dan Serampas). Wilayah dataran tinggi Jambi.
Bahkan dengan memulai perjalanan
panjang menyusuri dari Moco-moco (sekarang Kabupaten Muko-muko), meyusuri
lembah Korinchi (Kerinci).
Kesaktian orang “Sungei Tenang,
Koerinchi dan Serampei” terkenal setelah menyerang Ipu (salah satu distrik
Belanda) pada tahun 1804. Kesaktiannya mampu mengalahkan penjaga di Ipuh.
Inggeris kemudian menyiapkan pasukan
dibawah pimpinan Letnan Hastings Dare, 83 perwira, lima lascar. Mereka kemudian
meninggalkan Benteng Marlborough dan tanggal 3 Desember kemudian tiba di Ipu
(Ipuh). Perjalanan panjang menyusuri Ipu, Dusun Arah, Dusun Tanjong, Sungai
kecil Ayer (Sungai Air diki), membangun gubuk di Napah Kapah, melewati air
terjun Ipu-Machang, Bukit Pandang, Pondo Kuban.
Setelah berjalan jauh kemudian
mampir di seberang Rantau Kramas (Rantau Kermas). Kemudian menebang pohon besar
dan menyeberang sungai dan tiba di Rantau Kramas. Setelah melakukan “selidik”
ke Ranna Alli (renah Alai), didapatkan informasi “berkumpullah” penduduk di
Koto Tuggoh (Koto Teguh).
Tanggal 3 Januari, kemudian terjadi
tembakan. Akibat banyak yang sakit dan terluka, pasukan kemudian kembali ke
Rantau Kramas. 18 hari kemudian tiba di Sungei Ipu (Sungai Ipuh) dan tanggal 19
Januari tiba di Moco-moco.
Kekokohan “Koto” juga ditemukan di
Koto Rayo, pemukiman kuno Sungai Tabir. Koto Rayo adalah pemukiman kuno atau
Kerajaan kecil yang menguasai wilayah.
Pada Kerajaan Koying dikalahkan oleh
dominasi Kerajaan Tupo di abad ke-3 Masehi dan berhasil menguasai Jambi selama
sekitar dua ratus tahun sampai kemudian dikalahkan oleh kekuatan baru di
wilayah tersebut, Kerajaan Kantoli. Ternyata Kantoli juga tidak lama berkuasa
di Jambi karena kemudian muncul kekuatan lainnya yang juga ingin menguasai
wilayah ini, yaitu Kerajaan Melayu Jambi pada abad ke-6 Masehi. Seperti halnya
Kantoli yang harus menyerah pada lawannya, Melayu Jambi juga harus mengakui
kekuatan berikutnya yang tak kalah dahsyatnya, Kerajaan Sriwijaya di abad yang
sama dalam kisaran 70 tahun saja.
Beragam persaingan yang berakibat
pada peperangan dan berujung pada pergantian kekuasaan tentu tidak menumpas
habis kekuatan yang ada sebelumnya. Ada sisa kekuatan dalam skala kecil yang
lebih memilih menyingkir atau melarikan diri atau menjauh dan mencoba membangun
kekuatan di wilayah-wilayah terpencil yang biasanya di pedalaman yang sulit
dijangkau musuh. Hal seperti inilah yang mungkin terjadi dengan Koto Rayo,
yaitu sisa-sisa kekuatan yang dikalahkan oleh musuhnya dan melarikan diri serta
membangun kekuatan di pedalaman Jambi.
Di Bangko kemudian dikenal Koto
Rayo. Menurut Pahrudin, situs Koto Rayo hampir satu masa dengan Candi Muaro
Jambi dan orang-orang Koto Rayo mungkin adalah para pelarian atau sisa-sisa
kekuatan dari Kerajaan Melayu Jambi yang ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya pada
abad ke-6 Masehi.
Dari aspek pertahanan militer yang
mungkin ada saat itu, posisi Koto Rayo sangat menguntungkan untuk memantau
keadaan sekitarnya dari kemungkinan serangan musuh. Terletak di atas sebuah
bukit yang agak bertingkat, berada persis di tikungan dari aliran Sungai Tabir
yang membentuk huruf L (letter L) dan dari posisinya ini orang-orang Koto Rayo
dapat memandang lurus ke arah timur sepanjang aliran sungai sejauh sekitar satu
kilometer. Jika ada armada militer musuh yang menggunakan kapal dan perahu dari
arah timur (Jambi) maka akan segera dapat diketahui oleh orang-orang yang ada
di Koto Rayo.
IV.
BAHASA
MELAYU JAMBI
Berdasarkan bentuknya, adjektiva
Bahasa Melayu Jambi terbagi atas bentuk
asal dan bentuk turunan[151].
Bahasa Melayu Jambi kemudian dikenal sebagai Bahasa Melayu Jambi, Bahasa Batin,
Bahasa Penghulu, Bahasa Kubu, Bahasa Bajau, Bahasa Kerinci[152].
Bahasa Melayu Jambi digunakan di
Kotamadya Jambi, Kabupaten Batanghari, Kabupaten Muara Jambi, Kabupaten Tanjung
Jabung Barat, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Tebo dan Kabupaten
Bungo.
Bahasa Batin digunakan suku batin di
Sarolangun, Merangin, Bungo dan Tebo. Bahasa Penghulu digunakan di Sarolangun
dan Merangin, Bahasa ini dipengaruhi Bahasa Minangkabau dan Bahasa Batin.
Bahasa Kubu atau Bahasa Suku Anak Dalam digunakan di suku Anak Dalam. Sedangkan
Bahasa Bajau digunakan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Bahasa Kerinci
digunakan masyarakat di Kerinci.
Bahasa Melayu Jambi dipengaruhi
kebudayaan Minangkabau, Melayu, Jawa, Hindu dan Islam.
Sebagai
Bahasa Melayu Masyarakat Jambi dikenal kata yang bersifat adjektiva yang
berbentuk asal[153].
Adjektiva tidak dapat diuraikan lagi menjadi satuan kecil yang bermakna.
Seperti “tinggi, rendah, Kecik,
Seloko
seperti “berat sama dipikul. Ringan sama
dijinjing”. Di Marga Batin Pengambang juga dikenal kata “ringan” dengan seloko Harta berat
ditinggal. Harta ringan dibawa. Seperti di Desa
Sungai Keradak[154],
Desa Batu Empang[155],
Desa Tambak Ratu[156]
Dan Desa Simpang Narso[157]
Sedangkan
Adjektiva turunan berupa berafik ter seperti “mencil” yang ditandai dengan
seloko “beumo jauh betalang suluk, beadat dewek
pusako mencil[158]”
Selain
itu juga struktur Seloko Jambi menampilkan ciri-ciri dengan penggunaan
kata-kata magis, terdiri dari dua atau tiga suku kata.
Kata-kata
magis dilihat dari seloko di Marga Batin Pengambang yang menyebutkan
daerah-daerah yang dilindungi dengan seloko “Teluk sakti rantau betuah. Gunung Bedewo”[159].
Di Marga Sungai Tenang dikenal Seloko “Rimbo
Sunyi. Tempat siamang beruang putih. Tempat ungko berebut tangis”.
Terdiri
dari tiga suku kata. Seperti Keayek bebungo pasir. ke darat bebungo kayu. ke Ladang bebungo emping. ke tembang bebungo emas
Atau
penghormatan terhadap pemimpin dengan seloko “ Alam sekato Rajo, Negeri sekato batin. Di Marga Sungai Tenang Desa Tanjung Alam ”Luak
Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, Alam sekato Rajo, Rantau Sekato Jenang,
Negeri sekato nenek moyang[160].
Di
Marga Batang Asai Tengah dikenal Seloko Dimano bumi ditijak. disitu langit
dijunjung,Dimano tembilang dicacak, disitu tanaman tumbuh, Dimano
ranting dipatah disitu aiknyo disauk, dimano negeri dihuni, disitu adatnyo[161].
Di
Marga Kembang Paseban Desa Rantau Gedang dikenal “Dimano bumi dipijak disitu langit dijunjung, dimano biduk ditarik
disitu galang diletakkan, dimano akar ditetak disitulah aiknyo menetes”[162].
Sedangkan
proses penyelesaian persoalan Marga Sungai Tenang dikenal Seloko “Disitu
kusut diselesaikan. Disitu keruh
dijernihkan. Disitu kesat sama diampelas. Disitu bongkol sama ditarah.
Terdiri
dari dua suku kata. Di Marga Sungai Tenang, Desa Kotobaru dikenal
Bertangkap naik, Berjenjang turun”[163].
Begitu juga perumpamaan hukum adat yang ditandai dengan “Adat datar, pemakaian bebeda”.
Atau seloko Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri
bernenek mamak”[164]
Di Marga Serampas
dikenal “Tanah ajun. Tanah arah” [165]. Di Marga Sungai Tenang dikenal “tanah
irung. Tanah gunting[166]”
Didalam menyelesaikan persoalan, Marga Batin
Pengambang mengenal Seloko “Tegur Sapo. Tegur Ajar dan Guling Batang. Tiga Tali Sepilin”[167].
Atau
seloko “empang kerenggo di Marga
Bating Pengambang. Marga Kumpeh menyebutkan “larangan kerenggo”.
Di
daerah hilir dikenal “pancung alas”.
Di Marga Sungai Tenang dikenal Seloko “Larik
terung, larik kunyit, larik ceko” sebagai penanda tembo (batas) antara satu
tempat dengan tempat lain. Larik adalah dengan cara menaburkan kunyit sebagai
batas yang telah disepakati.
Sedangkan
terhadap pemimpin yang lalim selain ditandai dengan Seloko “Raja alim. Raja
Disembah. Raja lalim raja disanggah” juga dikenal Seloko “Jatuh dipemanjat. Hanyut
di perenang. Di daerah uluan
Jambi dikenal Seloko “tegak tajur, ilir ke
Jambi, Lipat pandang ke Minangkabau[168]
penggunaan
kata-kata khas pada Seloko dapat ditandai pada daerah-daerah tertentu. Di Marga
Batin Pengambang dikenal istilah Lambas” dan “Tuki”. Lambas
adalah pengecekan tempat yang mau dibuka, maka ditandai dengan cara sistem tuki.
Tuki berupa Pohon kayu silang. Atau
pohon dikupang-kupang sebagai tanda telah membuka rimbo[169].
Kata-kata yang dipengaruhi dari
Minangkabau ditandai dengan “Adat
bersendi syara’. Syara’ bersendikan kitabullah”[170].
Seloko seperti “menghadap ke hilir beraja ke Jambi. Balik mudik berajo ke Minangkabau”
atau “Mengilir berajo Jambi, lipat pandan
berajo ke Minangkabau” merupakan Seloko yang ditetapkan oleh Raja Indrapura
dan Raja Tanah Pilih. Ulu Kozok menyebutkan “sultan
Inderapura Muhamad Syah Johan tertanggal 23 Ramadan 124(?)6H atau 14 Juni
1830M, yang kini disimpan oleh Depati Muda di dusun Kemantan Barat (Tambo Kerintji No.
140). Dalam surat tersebut Kerinci disebut sebagai “tanah pertemuan raja antara
sultan Jambi dengan sultan Inderapura. Jika mengadap ia ke hilir, jadilah
beraja ke Jambi. Jika menghadap ia ke barat, ialah ke tanah Inderapura”[171].
Di Marga Sumay dikenal ”Datuk Perpatih penyiang rantau’. Sedangkan di Semambu mereka menyebutkan “Datuk Perpatih Tumenggung Penyiang Rantau[172]”.
”Datuk Perpatih” mengingatkan nenek
moyang di Minangkabau.
Selain itu dikenal istilah Datuk di Marga Datuk Nan Tigo, kata Penghulu di struktur sosial di hilir Jambi, ”tanah berjenang” atau ”luhak
berpenghulu”.
Cerita Jawa juga dikenal di Luak XVI,
Marga Batin Pengambang, Marga Batang Asai, Marga Air Hitam[173],
Marga Jujuhan[174]
yang ditandai dengan “Depati” atau rio”. Di Marga Maro Sebo ulu
dikenal “Ngebi” [175].
Di
Marga Sumay di Semambu mereka menyebutkan “Datuk
Perpatih Tumenggung Penyiang Rantau[176]”.Di
Desa Muara Sekalo dikenal “Tumenggung
Gamo”[177].
V.
PANGGILAN BEBASO JAMBI
Dalam
hubungan kekerabatan di Jambi, panggilan menunjukkan derajat hubungan (baik perkawinan maupun hubungan darah).
Untuk
saudara Ibu, saudara Ibu laki-laki tertua biasa dipanggil “pak wo (bapak Tuo)”. Ada yang menyebutkan “Paklung” (Bapak Sulung).
Yang
menengah dipanggil Pak Ngah (bapak Tengah).
Yang bungsu dipanggil Uncu (uncu sebagai
panggilan bungsu). Ada juga menyebutkan “bisu’ (bibi bungsu).
Diatas
“uncu” biasa dipanggil Pakci (bapak Kecil) atau Makcik (Mamak Kecil atau tante dari Ibu). Makcik
biasa disebutkan dengan Bikcik (bibik Kecik).
Namun
ada juga menyebutkan “Pakcik/bicik” sebagai adik Bapak/Ibu yang terkecil.
Apabila
keluarga Ibu cukup banyak namun tidak tepat dikategorikan sebagai Pakwo, Pakngah, Pakcik atau Uncu, maka
panggilan biasanya menunjukkan fisik dari panggilan. Misalnya Pakmuk (bapak Gemuk), Paktih (Bapak Putih), Pakjang (bapak panjang atau kurus), Pakte (Bapak
kate/pendek/bapak kecil).
Dialek
Paktih juga bisa disebutkan “Bapak Putih”. Menunjukkan fisik dari kekerabatan.
Sedangkan
saudara Bapak, biasanya menunjukkan derajat dari urutan saudara bapak. Pakwo
(Bapak Tuo) biasanya menunjukkan dia laki-laki pertama atau tertua. Sedangkan
apabila Bapak yang tertua, maka biasanya memanggil adik-adik Bapak dengan
panggilan “maman (Paman).
Ada
juga menyebutkan “Pakdo/makdo (Bapak Mudo atau Mamak Mudo) untuk menyebutkan
adik yang bungsu.
Orang
tua dari ayah/Ibu biasanya dipanggil “nenek” atau “datuk”. Ada juga menyebutkan
“nektan (Nenek jantan) atau “nekno (nenek Betino/Nenek perempuan). Ada juga
menyebutkan “Nenek” terhadap ibu daripada ayah/ibu. Sebagian ada yang
menyebutkan “nyai”. Nyai tidak bisa dipadankan dengan panggilan “nyai” dari
istri Kiai di Jawa. Nyai biasa dikenal sebagai perempuan tua desa yang tidak
pernah ketinggalan Nyirih (makan sirih) didalam bilik rapat. Saudara Ibu/Bapak
yang tertua biasa disebut “Gdeh” (Gede atau besar).
Di
atas nenek/Datuk ada yang menyebutkan “Buyut”. Diatas buyut biasa disebut juga
“puyang”. Puyang merupakan nenek yang dianggap sebagai keturunan utama yang
mendiami dusun. Atau bisa juga disebutkan dengan “puyang” apabila urutan
diatasnya yang tidak bisa diketahui oleh urutan keluarga diatasnya (tambo).
Panggilan
yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan dapat dipanggilan berdasarkan
jabatannya di dusun. Seperti “Bilal, khatib, imam”. Bilal, Khatib dan Imam
adalah perangkat struktur social yang dikategorikan sebagai “pegawai syara’”.
Posisi mereka cukup dihormati.
Atau
“Datuk” untuk Kadus, kades. Datuk sebagai lambang penghormatan kepada Kepala
Dusun atau kepala Desa. Sebutan Datuk tidak melambangkan “tuanya umur” tapi
sebagai bentuk penghormatan. Dulu dikenal istilah Mangku atau menti sebagai
pegawai yang membantu Kepala Dusun. Ada juga menyebutkan “hulubalang”.
Sedangkan
terhadap Guru bisa juga disebutkan “cikgu (Pak/mak Cik Guru). Panggilan Cikgu
biasa disebutkan oleh Upin dan Ipin dalam film kartunnya.
Sedangkan
panggilan yang lain terhadap kepala keluarga biasanya menunjukkan ‘nama
putra/putri tertua”. Misalnya Bapak… (menyebutkan nama sang putra/putri) atau
“mamak… (menyebutkan nama sang putra/putri)
Dengan
demikian, maka tidak dibolehkan memanggil seseorang yang sudah berkeluarga
dengan panggilan nama saja. Harus “Bebaso”
istilah Jambi.
Tentu
saja berbeda dengan panggilan yang masih belum berkeluarga. Cukup dipanggil
nama saja. Atau bisa diganti dengan panggilan “Bujang atau Upik”. Ada juga memanggil “kulup atau upik”.
Posisinya
yang belum berkeluarga belum bisa diajak musyawarah. Posisinya biasa dikenal
dengna istilah “kepak lambai hulubalang”.
Menjadi tenaga “memanjat kelapa”,
mengocek kelapa (membuka kelapa), mengaduk santan.
Didalam
rapat, bertugas memanggil peserta rapat yang belum hadir. Misalnya memanggil
pemangku adat, memanggil “datuk Kepala Desa” atau yang lain yang dianggap
penting sehingga rapat bisa dimulai.
Tentu
saja masih banyak panggilan yang belum disebutkan.
Lalu
bagaimana apabila kita mau menyampaikan kata sambutan dari sebuah acara adat di
Dusun ?. Apabila kita sudah menyebutkan
yang hadir sebagai penghormatan, namun tidak mungkin menyebutkan satu persatu,
biasanya selalu diakhiri dengan kalimat “Yang
gedang dak sebut gelar. Yang kecik dak sebut namo.
VI.
MODEL
PENGHITUNGAN
Di
kalangan masyarakat Melayu Jambi, sistem penghitungan luas, jauh, lebar, jumlah
dikenal di tengah masyarakat.
Terhadap
tanah yang dibuka dikenal satu bidang. Kemampuan orang membuka tanah yang berbeda-beda kemudian
disebut satu bidang. Bisa saja satu orang kemampuan buka tanah berbeda antara
satu dengan yang lain. Tapi setiap pembukaan tanah tetap disebut satu bidang.
Ukuran
luas kemudian dihitung antara lebar dan panjang. Ukuran untuk menentukan lebar
dan panjang kemudian ditentukan dengna istilah “depa” (depo).
Depo
berasal dari kata Depa. Didalam kamus Bahasa Indonesia disebutkan “depa” yaitu
sistem pengukuran sepanjang kedua belah tangan mendepang dari ujung
jari tengah tangan kiri sampai ke ujung jari tengah tangan kanan (empat hasta,
enam kaki). Satu depa kemudian diukur menjadi 1,5 meter.
Proses membuka tanah hanya
dibolehkan seluas 60 depo x 200 depo. Terhadap tanah yang telah dibuka maka
kemudian dikenal bidang. Jadi walaupun seseorang karena kemampuan membuka
tanahnya berbeda-beda namun tetap dengan istilah satu bidang. Sedangkan di
Lubuk Mandarsyah biasa dikenal dengan istilah Tapak.
Begitu juga istilah tumbuk. Tumbuk
berasal dari kata “tombak”. Tombak yaitu senjata berupa kayu yang diujungnya
terdapat sebilah baja tajam. Sedangkan tombak digunakan untuk berburu dengan
cara melempar. Dengan demikian maka tombak yaitu kemampuan orang melempar
tombak. Kemampuan manusia untuk melempar tombak ditentukan sejauh 10 meter.
Sehingga biasanya 1 tumbuk kemudian diukur 10 meter x 10 meter. Sedikit berbeda
istilah “tombak” didalam kamus Bahasa Indonesia. Satu tombak diukur sama 12 kaki.
Istilah “tumbuk” masih dikenal di
Jambi. Bahkan jual beli tanah di kota Jambi masih sering menyebutkan tanahnya
dengan istilah “tumbuk” untuk menunjukkan luas tanah.
Cara
penghitungan lain yaitu menggunakan istilah batu emas. Dibeberapa tempat
terhadap pelanggaran terhadap hukum adat dikenal denda adat dengan istilah kambing
Sekok, beras 20, batu emas. Istilah batu emas dikonvesi dengna nilai Rp.
500.000,-.
Melihat nilai konversi, maka Batu emas
senilai Lima ratus ribu rupiah tidak berbeda dengan nilai emas di Bungo yang
biasa dikenal dengna istilah Mayam[178].
1 mayam senilai 3,37 gram. Sementara di tempat lain Ada juga menyebutkan 1 suku
emas senilai 6 gram. Sehingga tepat kemudian definisi mayam didalam kamus
Bahasa Indonesia “satuan ukuran berat emas 1/16 bungkal.
Ada
juga yang menyebutkan 1 mayam sama
dengan 1 ¼ mas. 1 mayam diukur 2,5 gram. Sehingga 1 mas menjadi 3,7 gram[179].
Ukuran
emas ternyata berbeda di Bangko. Didalam Perdes Desa Tanjung Benuang disebutkan
denda adatnya “kambing sekok, beras 20, selemak semanis dan Emas 7 tail Sepaho”
(denda adat dijatuhi dengna nilai “seekor kambing, beras 20 gantang, selemak
semanis dan emas setengah 7 tahil emas). Istilah Tahil dikenal di masyarakat
dengan nilai dikonversi dengan 1 gram sama dengan 0,5 tahil.
Di
daerah hilir sendiri istilah “mayam”
atau “mas” kurang dikenal. Penghitungan mas Biasa menyebutkan 1 suku. 1 suku
berupa 6,7 gram. Sehingga 1 mayam adalah
1,5 suku.
Sedangkan
cukai adat (pajak hasil bumi), ada juga
menyebutkan “60 kidding maka membayar cukai 60 gantang. Istilah “gantang”
merupakan satuan ukuran/isi dengan nilai 3 kg. Istilah sering digunakan untuk menjumlah satuan beras[180].
Satuan
beras juga dikenal dengan canting. Kata canting menunjuk kaleng susu sapi yang
kecil. Satu kilogram diukur dengan 4 canting.
Selain
canting, gantang juga dikenal istilah “pikul”. Satu pikul lebih kurang 100 kg.
Sehingga satu ton biasa disebut 10 pikul.
Namun
dalam penghitungan jumlah pembelian selain beras seperti cabe dikenal istilah
“mato”. Satu mato ditaksir 100 gram. Sehingga satu kilogram biasa disebut “10
mato”.
Istilah
penghitungan yang digunakan masih digunakan masyarakat. Sehingga cara
penghitungan masih diterapkan dan masih berlaku hingga sekarang.
Di Talang Mamak, Marga Sumay juga
mengenal istilah gantang. Gantang terdiri dari 4 cupak. Satu cupak terdiri dari
3 canting. Sehingga satu gantang adalah 12 canting.
Ganting adalah takaran beras
seukuran kaleng susu. Masyarakat mengenal pengukuran kaleng susu sebagai
takaran besar. Kaleng susu adalah kaleng sebagai wadah susu kental yang sudah
lama dipergunakan di pelosok-pelosok Jambi.
Istilah
gantang, cupak juga dituliskan didalam Kitab Tanjung Tanah[181]
Sebagai
salah satu daerah “penghasil” emas, di Marga Pangkalan Jambu[182],
kebiasaan “mendulang” telah lama dikenal masyarakat[183].
Mendulang adalah kebiasaan “mencari” emas dari sungai dengan cara “mengayak”.
Cara ini salah satu pilihan untuk mendapatkan emas tanpa merusak sungai. Dan tidak
pernah menggunakan alat berat ataupun zat kimia yang sering digunakan untuk memisahkan pasir dengan butiran emas.
Pengukuran
emas yang didapatkan menggunakan penghitungan dari dahulu kala hingga sekarang
tetap digunakan.
Mereka
menyebutkan “1 mayam”. Istilah “mayam” masih dikenal selain di Merangin juga
dikenal di Sarolangun dan Bungo. 1 mayam sama dengan 1 ¼ mas. 1 mayam diukur
2,5 gram. Sehingga 1 mas menjadi 3,7 gram.
Di
daerah hilir sendiri istilah “mayam”
atau “mas” kurang dikenal. Penghitungan mas Biasa menyebutkan 1 suku. 1 suku
berupa 6,7 gram. Sehingga 1 mayam adalah
1,5 suku.
[1] Zulyani
Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1997
[2] Yusmar Yusuf, Studi Melayu, Penerbit WEDATAMA
WIDYA SASTRA, Jakarta, 2009, Hal.31
[3] Ibid, Hal. 34
[4] Ibid, Hal. 40
[5] Pohon karet pertama diimpor dari Singapura pada
tahun 1904. Petani di Jambi membuka perkebunan karet, didorong oleh pihak
berwenang yang pada mulanya kebanyakan dusun di sekitar Jambi. Elsbeth Locher
Sholten, Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia
(1830-1907) dan Bangkitnya imprealisme Belanda, KITLV, Jakarta, 2008, Hal. 314
[6] Yusmar Yusuf, Studi Melayu, Penerbit WEDATAMA
WIDYA SASTRA, Jakarta, 2009, Hal 46
[7] Yusmar Yusuf, Studi Melayu, Penerbit WEDATAMA
WIDYA SASTRA, Jakarta, 2009, Hal. 44
[8] Yusmar Yusuf, Studi Melayu, Penerbit WEDATAMA
WIDYA SASTRA, Jakarta, 2009, Hal. 72
[9] Kriteria dominan didasarkan jumlahnya yang
proporsional, punya tradisi pemerintahan Kerajaan yang mapan pada periode
lampau, menyumbangkan banyak tokoh nasional dalam setiap kehidupan, terutama
kebudayaan, intelektual dan elite negeri.
[10] Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di
Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1997
[11] Catatan perjalanan seperti Willian Marsden
ataupun catatan Cornelis Von vollenhoven, Tideman maupun Elizabeth hanya menceritakan sekilas. Sebelum
kedatangan Islam ke Tanah Melayu, agama masyarakat Melayu pada ketika itu yaitu
Agama Buddha Puja Dewa, Agama Hindu Puja Dewi dan animisme). Mereka sangat kuat
kepada pemujaan. Data dari berbagai sumber.
[12] sebagian kalangan ahli mendefinisikan sebagai
masuknya budaya-budaya dan agama besar dunia.
[14] Sutaba, Masyarakat megalitik di Indonesia, Balai
Arkeologi, Bandung, 1996, Hal. 1
[30] Dahulu
hiduplah raja banting yang selalu mengadakan perlawanan dengan di mata Empat
dan Si Pahit Lidah. Suatu kali Raja Banting sedang menyusun batu gedung untuk
dijadikan lantak lukah pemasang takalok penangkap ikan. Belum selesai menyusun
batu, Raja Banting disapa oleh Si pahit Lidah. Setelah disapa, batu-batu yang
telah disusun menjadi runtuh. Sampai sekarang masih terlihat batu yang runtuh
di Desa Batu Basawar. Demikian
seterusnya seperti Lubuk Si Lanca Tiang atau Lubuk Bubur Tabayak, Lubuk Idung
Kerbau. Struktur Sastra Lisan Daerah
Jambi, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud, Jakarta, 1997, Hal.
77.
[31]
S. R Hasibuan S.R, Karakteristik dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Lanskap
Budaya Rumah Larik Limo Luhah di Kota Sungai Penuh, Kerinci, Provinsi Jambi,
Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor,
Bogor, 2010 dalam Yoni Elviandi, Studi
Potensi Lanskap Sejarah Suku Kerinci di Provinsi Jambi, IPB, Bogor, 2014, Hal.
24
[32] Berjarak sekitar 10 kilometer di sebelah timur
Desa Rantau Limau Manis, Bangko. Posisi Koto Rayo terletak di sebuah bukit
bertingkat-tingkat yang menjorok ke sungai dan menyimpan banyak misteri yang
belum terpecahkan hingga saat ini dan dianggap keramat oleh masyarakat
setempat.
[33] Slamet Muljana, Sriwijaya, LKiS, Yogyakarta, 2008,
[35] Bambang Budi Utomo, Kebudayaan Zaman
Klasik Indonesia di Batanghari Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, Jambi, 2011, hal. 136-137
[39] Hampir semuanya mengaku keturunan dari
Pagaruyung. Baik dari Marga Sungai Tenang, Marga Batin Pengambang, Marga Sumay,
Marga Serampas.
[42] Desa Semambu, 18 Maret 2013
[43] Desa Suo-suo, 13 Maret 2013
[44] Pulau Tengah, 14 Maret 2016. Nama Sutan Geremung
juga ditemukan di Dusun Renah Pelaan, 15 maret 2016
[45] Desa Renah Pelaan, 15 Maret 2016
[46] Perdes Tanjung Mudo Nomor 7 Tahun 2011 Tentang
Piagam Rio Penganggun Jago Bayo
[47] Peraturan Desa Tanjung Alam Nomor 3 Tahun 2011
Tentang Piagam Depati Dua Menggalo.
[48] Peraturan Desa Tanjung Benuang Nomor 9 Tahun
2011 Tentang Keputusan Depati Suko Menggalo
[49] Perdes Kotabaru No. 1 Tahun 2011
[51] Sabawi, Pulau Tengah, 14 Maret 2016. Sabawi
merupakan mantan Depati terakhir di Pulau Tengah. Baru menjabat dua tahun
sebagai Depati kemudian sistem pemerintahan diganti dengan Kepala Desa. Sabawi
kemudian menjabat dua periode sebagai kepala Desa Pulau Tengah.
[54] Kepala Dusun Lubuk Beringin, Desa Lubuk Beringin
27 Maret 2016
[55] BUKU PERJUANGAN MASYARAKAT
DESA KARANG MENDAPO DALAM UPAYA MENDAPATKAN HAK ATAS TANAH DAN KEBUN SAWIT, Walhi Jambi, 2009
[56] Pertemuan Desa Batu Ampar, Batu Ampar, 3 Mei
2015
[57] Yazin, Pauh, 6 Agustus 2016
[63] Perdes No.
Tahun 2018
[64] Versi Jawa Mataram ditemukan di Pulau Tengah,
Renaah Pelaan. Bahkan hingga Marga di Tiang Pumpung, Marga Renah Pembarap dan
Marga Sanggrehan.
[69] MINANGKABAU – DARI DINASTI ISKANDAR ZULKARNAIN
SAMPAI TUANKU IMAM BONJOL, Amir Sjarifoedin, PT. Gria Media Prima, Jakarta,
2014, Hal 66.
[70] Perdes Pemayungan Nomor tahun 2012
[73] Cikman, Desa Tebing Tinggi, 20 Agustus 2016.
Cikman, Ketua Lembaga Adat Kecamatan Pemayung, Kabupaten Batanghari.
[74] Kerajaan Tanah Pilih merupakan
Kerajaan Jambi Tua atau Muara Jambi. Legenda Tanah Pilih merupakan perpindahan
dari hulu Batanghari kemudian pindah ke Jambi. Barbara Watson Andaya, To Live
as Brothers : Southeast Sumatra in the Seventeenth and Eighteenth, Universitas
Hawaii Press, Hal. 260
[75] Ikrar Bukit Sitinjau Laut adalah bertemunya
Kerajaan Tanah Pilih, Kerajaan Pagaruyung dan Kerajaan Indrapura untuk
meletakkan hukum adat sebagai pedoman kehidupan masyarakat. Samson, Desa Rantau
Panjang, 25 Agustus 2016
[76] Barbara W Andaya, Cash Cropping and
Upstream-Downstream Tension : The Case of Jambi in the 17th and 18
th Century, University of Hawaii Press, Honolulu, 1993
[77] Watson
Andaya, Cash Cropping, Hal. 99-100 sebagaimana dikutip oleh Elsbeth Locher
Sholten, Kesultanan Sumatera
dan Negara Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia
(1830-1907) dan Bangkitnya imprealisme Belanda, KITLV, Jakarta,
2008, Hal. 43
[78]Ahmad Intan, Kepala Dusun Semambu, tanggal 18
Maret 2013
[79] Khatib Karim, Ketua Lembaga Adat Kecamatan
Sumay, Kabupaten Tebo, 22 Maret 2013
[82] Kepala Dusun Lubuk Beringin, Desa Lubuk Beringin
27 Maret 2016
[84] M. Rasjid Manggis Dt. Radjo Pangkulu, “Cindua
Mato, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1980, Hal. 10
[85] N.J.
Krom dalam "Inventaris der Oudheden in de Padangsche Bovenlanden" (OV
1912:41)
[86] Bosch, F.D.K. (1930)
“Verslag van een reis door Sumatra.” Oudheidkundige Verslag hal. 133-57
[87] Kozok, Uli, &
Eric van Reijn. (2010) “Adityawarman: Three Incriptions of the Sumatran King of
All Supreme Kings.” Indonesia and the Malay World 38, hal. 135-158
[88] Hubungan antara Hulu dan Hilir merupakan
hubungan dagang yang saling otonomi. Barbara Watson Andaya, Hidup Bersaudara –
Sumatra Tenggara Pada Abad XVII – XVIII, Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2016, Hal.
246
[92] Sungai Bungur, 26 Februari 2016
[93] Pulau Tigo, 27 Februari 2016
[94] Desa Muara Sekalo, 21 Maret 2013
[96] Amir Syarifoedin, Minangkabau –Dari Dinasti
Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam Bonjol, Penerbit Gria Media Prima,
Jakarta, 2014, Hal. 310
[97] Menurut seorang
sejarahwan asal Belanda, yaitu Von Heine Geldern, Asal usul nenek moyang bangsa
Indonesia adalah bangsa dari daratan Yunan di China Selatan. Pendapat Von Heine
Geldern ini dilatarbelakangi oleh penemuan banyak peralatan manusia purba masa
lampau yang berupa batu beliung berbentuk persegi di seluruh wilayah Indonesia
meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Pendapat Von Heine Geldern
juga didukung oleh hasil penelitian Dr. H. Kern di tahun 1899 yang membahas
seputar 113 bahasa daerah di Indonesia.
[101] Hal. 297 - 281
[103] Nasihat-nasihat
C. Snouck Hurgronje semasa kepegawaiannya kepada pemerintah Hindia Belanda, 1889-1936,
Volume 11, Christian Snouck Hurgronie, E. Gobee, C. Adriaanse, INIS, 1995
2190
[104] Nilai
dan manfaat sastra daerah Jambi, H. Idris Djakfar, Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1994
Hal. 62-64
[105] Uli Kozok, Kitab
Undang-undang Tanjung Tanah – Naskah Melayu yang Tertua, Penerbit
Yayasan Obor, Jakarta, 2006 , Hal. 10
[106]
Raden Wijaya menikahi putri Melayu (Dara Petak) dan diiringi juga oleh Raja
Mauliwarmadewa menikahi Dara Jingga, yaitu pada tahun 1293 M. Dengan demikian
Kerajaan Melayu yang meliputi Jambi, Tebo, Ulu Batanghari dan Minangkabau di
bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1347 M[106],
Adityawarman dinobatkan sebagai raja Kerajaan Melayu setelah raja Rendra. Pada
masa kekuasaannya, Adityawarman ingin kerajaan Melayu berdiri sendiri dan lepas
dari kerajaan Majapahit.
[107] Kerajaan Tanah Pilih merupakan
Kerajaan Jambi Tua atau Muara Jambi. Legenda Tanah Pilih merupakan perpindahan
dari hulu Batanghari kemudian pindah ke Jambi. Barbara Watson Andaya, To Live
as Brothers : Southeast Sumatra in the Seventeenth and Eighteenth, Universitas
Hawaii Press, Hal. 260
[108] Ikrar Bukit Sitinjau Laut adalah bertemunya
Kerajaan Tanah Pilih, Kerajaan Pagaruyung dan Kerajaan Indrapura untuk
meletakkan hukum adat sebagai pedoman kehidupan masyarakat. Samson, Desa Rantau
Panjang, 25 Agustus 2016
[126] Pasal 1 angka 8 Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun
2014 Tentang Lembaga Adat Melayu Jambi
[127] Hans Kelsen mengembangkan teori lain yaitu Teori
Anak Tangga (Stuffenbau Theorie) yang dicetus oleh Adolf Merkl (1836- 1396).
[131] Muhammad Fadli, Nilai-nilai Budaya Dalam Seloko
Adat Perkawinan Masyarakat Desa Muara jambi, Kecamatan Maro Sebo, Skripsi, FKIP
UNJA, Jambi,2018,
[132] Hasip Kalimudin Syam. (ed). Pokok-pokok Adat Pucuk
Jambi Sembilan Lurah, Lembaga Adat Melayu Jambi, Jambi 2001, Hal. 9
[133] Sagimun M.D. Sagimun, (ed). Adat Istiadat Adat
Jambi, Lembaga Adat Jambi, Jambi, 2001, Hal. 183.
[134] Klaus Krippendorf, Content Analysis : Introduction to its Theory and
Methodology, Sage Publications, Inc,
California, 2004.
[135] Ernst Cassirer, An Essay on Man, Fredericksburg: Book Crafters, 1979, Hal. 315
[136] Lihat Ade Rahima, Interpretasi Makna Simbolik
Ungkapan Tradisional Seloko Hukum Adat Melayu Jambi, Jurnal Ilmiah Universitas
jambi Vol 17, Jambi, 2017, Hal. 250
[137] Nurhasanah, 2004, Makna Simbolik Seloko Adat Jambi:
Suatu Tinjauan Filosofis, Tesis, Program Studi Filsafat, Universitas Indonesia,
2004, Jakarta.
[138] Lihat Filsafat Timur – Sebuah pergulatan Menuju
Manusia Paripurna, Ach. Dhofir Zuhri, Madani, 2013, Surabaya, Hal. 47
[139] Upanishab mempunyai pengaruh sistematika
filsafat, agama, kebudayaan dan kehidupan umat manusia selama beberapa
milenium. Denyut dapat dilihat dari penyebaran agama Hindu di Tibet, Thailand,
Tiongkok, Indonesia dan negara-negara Indo China. Konsep “membantu sesama
manusia sejatinya memuja Tuhan” telah menempatkan kitab Upanishab tentang
pandangan tentang realitas yang menjawab ilmiah, filsafat dan agama manusia.
Paparan ini telah diuraikan oleh Renada, A. Constructive of Unasibhadic
Philosophy.
[140] H. Kaelani, MS, Negara – Kebangsaan – Pancasila
– Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis dan Aktualisasinya, Paradigma,
Yogyakarta, 2013, Hal. 235.
[141] Ach. Dhofir Zuhri, Op.cit. Hal. 57
[142] Lihat Pengaruh Hindu Dalam Seloko Melayu di Hulu
Batanghari, Musri Nauli, Jurnal Hukum, Universitas Riau, Vol. 4, Juli 2014,
Riau, 2014, Hal. 105
[149] Peninjauan bisa diartikan sebagai “peninjau”.
Dapat dimaknai sama dengan penyambai kabar kepada Raja.
[151] Imam
Suwardi Wibowo dkk, Struktur Adjektiva Dan Adverbia Bahasa Melayu Jambi, Depdikbud, Jakarta, 1996, Hal. 9
[152] Nurzuir Husin, dkk, Struktur Bahasa Melayu
Jambi, Depdikbud, Jakarta, 1985, Hal. 3
[153] Imam Suwardi Wibowo dkk, Struktur Adjektiva Dan
Adverbia Bahasa Melayu Jambi, Op.cit, Hal. 10
[154] Sungai Keradak, 27 Juli 2013
[155] Desa batu Empang, 2 April 2013
[156] Desa Tambak Ratu, 28 Juli 2013
[157] Simpang narso, 2 April 2013
[158] Riset Walhi Jambi, 2013
[159] LAPORAN RISET MARGA BATIN PENGAMBANG, G-CINDE,
2013
[160] Peraturan Desa Tanjung Alam No. 3 Tahun 2011 Tentang Piagam Depati Duo Menggalo
[161] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan
Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016, Hal. 5
[162] Buku Perjuangan Masyarakat Desa Rantau Gedang,
Walhi Jambi, 2011
[163] Perdes Kotobaru No. Tahun 2014 KEPUTUSAN DEPATI SUKO DERAJO
[164] Perdes Kotobaru No. Tahun 2014 KEPUTUSAN DEPATI SUKO DERAJO
[165]
Pasal 1 angka 25 Perda Kabupaten Merangin No. 8 Tahun 2016 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum
Adat
Marga Serampas.
[166] Riset Walhi Jambi, 2013
[167] LAPORAN RISET MARGA BATIN PENGAMBANG, G-CINDE,
2013
[168] Uli Kozok, Kitab
Undang-undang Tanjung Tanah – Naskah Melayu yang Tertua, Penerbit
Yayasan Obor, Jakarta, 2006 , Hal 8
[169] LAPORAN RISET MARGA BATIN PENGAMBANG, G-CINDE,
2013
[172] Desa Semambu, 18 Maret 2013
[173] Muktar, Ketua Lembaga Adat Kecamatan
Air Hitam, Sarolangun, 24 Oktober 2017
[174] Eson, Rantau Panjang, 25 Agustus 2016
[176] Desa Semambu, 18 Maret 2013
[183] Budihardjo, Perkembangan Ekonomi Masyarakat
Daerah Jambi – Studi Masa Kolonial, Philosophy Press, University of Michigan,
2001, Hal. 64