31 Oktober 2018

opini musri nauli : Alam Pikiran Melayu Jambi






I.               PUYANG ORANG JAMBI

Masyarakat Melayu Jambi termasuk kedalam termasuk rumpun kesukuan Melayu[1].  Secara fenomologis, Melayu merupakan sebuah entitas kultural (Malay/Malayness sebagai cultural termn/terminologi kebudayaan)[2]. Masyarakat Melayu pada dasarnya dapat dilihat (a) Melayu pra-tradisional, (b) Melayu tradisional, (c) Melayu Modern[3].

Dilihat dari kategorinya, maka masyarakat Melayu Jambi dapat diklasifikasikan dalam Melayu tradisional. Menurut Yusmar Yusuf, kearifan dan tradisi Melayu ditandai dengan aktivitas di Kampung[4].  Kampung merupakan pusat ingatan (center of memory), sekaligus pusat suam (center of soul). Kampung menjadi pita perekam tradisi, kearifan lokal (local wisdom).

Selain itu juga dalam konsepsi Socifactual ditandai dengan bentuk kehidupan sosial kemasyarakat seperti kerapatan adat.

Sistem mata pencarian adalah petani. Utamanya pohon karet[5]. Orientasi ruang merujuk kepada sungai. Hal ini disebabkan karena kawasan perairan merupakan sumber kehidupan sekaligus gerbang untuk berhubungan dengan negeri-negeri jauh[6]. Bahkan pada tahun 1616, Ibukota Jambi dipandang sebagai pelabuhan terkaya kedua di Sumatera setelah Aceh.[7]

Dengan demikian, maka kawasan perairan bagi Melayu adalah halaman depan. Sedangkan halaman belakang adalah kawasan hutan yang memberi kehidupan dan melindungi mereka[8].

Rumpun Melayu termasuk kedalam 9 suku yang dominan[9] dari 650 suku di Indonesia[10]. Zulyani Hidayah didalam Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia menunjukkan terdapat lebih kurang 658 suku di Nusantara. Dari enam ratusan, 109 kelompok suku berada di belahan barat, sedangkan di Timur terdiri dari 549 suku. 300 berada di Papua.

Walaupun keberadaan masyarakat di daerah hulu Sungai Batanghari diperkirakan sudah berada jauh sebelum masuknya kedatangan Agama-agama Besar seperti Budha, Hindu dan Islam, namun belum menemukan dokumen-dokumen untuk mendukung pernyataan tersebut[11]. Prasasti-prasasti yang sampai sekarang masih banyak ditemukan dan belum bisa mendukung tentang asal-muasal masyarakat dan sejarah yang bisa menceritakan banyak tentang masyarakat. Hipotesis yang bisa disampaikan, bahwa keberadaan masyarakat diperkirakan telah ada jauh sebelum kedatangan masuknya agama-agama Budha, Hindu dan Islam[12].

Didataran tinggi Jambi dikenal daerah Kerinci, Sungai Tenang, Serampas sebagai pusat peradaban pada masa prasejarah.

Teknologi batu yang biasa dikenal sebagai Megalitik[13] pada masa neolitik dan memanfaatkan benda-benda yang terdapat di lingkungan sekitarnya. Bukti ini sekaligus konfirmasi tentang adanya mobilitas penduduk dari satu tempat ke tempat lain dengan konsepsi-konsepsi bercorak megalitik yang bercocok tanam[14].

Di Ulu Tiangko, Merangin ditemukan fosil sisa rangka manusia yang memiliki ciri-ciri Australomelanesid di Ulu Tiangko, Propinsi Jambi yang berusia 6000-9000 tahun yang lalu[15].

Pada tahun 1913, A. Tobler[16],  seorang arkeolog bangsa Swiss, melakukan penggalian di gua Vlu Chanko, Provinsi Jambi, tidak jauh dari Sungai Maringin dan Batang Tabir. la menemukan sebuah industri obsidian yang terdiri atas serpih-serpih yang diretus dan beberapa lancipan panah[17].

Di Kerinci ditemukan peninggalan Megalitik berbentuk silinder atau kerucut dan Kubur tempayan di Desa Muak[18], Kerinci, Bukit Batu larung dan Renah kemumu[19]. Sedangkan motif relief lingkaran konsentris bidang di ujung tenggara juga ditemukan di Talang Alo, Dusun Tuo dan Gedang. Megalitik berfungsi sebagai lambang ritual serta lambang status orang kelompok yang berkuasa. Arahnya menghadap Gunung Kerinci adalah symbol dan ritual. Berbagai situs yang mengelilingi megalit merupakan pusat dari pemukiman kuno di Desa Muak.

Juga ditemukan Batu Gong nenek Betung Situs Kumun Mudik,  Batu Sorban di Desa Sumur Gedang, Sungai Liuk, Kota Sungai Penuh, Batu Meriam Situs Lempur Mudik, Batu Kursi, Gunung Raya, Kerinci, Batu Panjang Situs Lolo Kecil, Batu Gong Situs Pondik, Batu Silindrik Situs Lolo Gedang, Batu Talang Pulai Situs Jujun, Batu Meriam Situs Pulau Sangkar, Batu Silindrik Situs Tanjung Batu, Batu Meriam Situs Talang Kemuning, Dolmen Batu Rajo PUlau Tengah, Batu Lumpang Sungai Penuh, Batu Lumpang Muak, Menhir Dusun Kecik Melako Tinggai Desa Bernik, Komplek Menhir Pendung Mudik, Makam Nenek Siak Lengih, Makam Nenek Pemangku Rajo, Tanah Sabingkeh, Tanah Mendapo[20].

Pada penelitian selanjutnya, kubur tempayan ditemukan di situs Lubuk Mentilin, Lolo Gedang, Dusun Baru Muak, Ulu Muak, Talang Semerah dan Siulak Tenang[21].

Menurut mitologi Dataran Tinggi Jambi, penguasa gunung-gunung itu disebut dengan nenek yang mempunyai kesaktian[22], atau mambang, ialah makhluk halus yang pertama kali menghuni[23]. Di Marga Batin Pengambang dikenal Seloko “Teluk Sakti Rantau Betuah Gunung Bedewo” sebagai penamaan tempat yang dihormati. Hingga sekarang tradisi mengantarkan makanan ataupun sesajen masih dilakukan.

Untuk menjaga hubungan dengan mambang dan arwah nenek moyang, dalam kenduri seko dilaksanakan tari-tarian dengan memanggil nama nenek moyang hingga tidak sadarkan diri. Kata-kata yang keluar dari mulut penari yang tidak sadar diri dipercayai merupakan pesan dari nenek moyang serta sebagai tanda telah terajalinnya kembali kedekatan hubungan antara nenek moyang dan keturunannya. Karena arwah nenek moyang berubah menjadi harimau, maka penari yang dipercaya telah dikuasai atau dimasuki oleh arwah nenek moyang kadang-kadang mengaum seperti harimau. Pada malam hari dilakukan tari-tarian serta dipersembahkan daging dan darah (kerbau) yang diletakkan di pinggir desa untuk para arwah nenek moyang[24].

Peninggalan zaman prasejarah kemudian menghasilkan cerita ditengah masyarakat. Pada masa sekitar abad ke-9 hingga ke-13, masyarakat Kerinci dipimpin oleh persatuan Sugindo. Sugindo bukan seorang raja melainkan kepala suku atau kepala kaum yang mengatur kehidupan masyarakatnya. Sugindo-sugindo ini memimpin masyarakat dari berbagai dusun yang ada di Kerinci. Persatuan para Sugindo ini sangat kuat dan bersedia saling membantu satu sama lain. Setiap tahun mereka sering mengadakan pertemuan untuk membahas permasalahan ataupun kehidupan masyarakatnya. Forum pertemuan ini dikenal dengan sebutan Sakti Alam Kerinci[25].  

Setelah masuknya agama Islam dalam masa kepemimpinan para Sugindo dan kedatangan Pangeran Temenggung dari Jambi, maka kekuasaan para Sugindo di Kerinci berganti menjadi Kedepatian. Depati ini berasal dari kata Dipatri yang artinya ditetapkan atau Adipati yang berarti gelar kepala atau pemimpin suatu wilayah. Kekuasaan di Kerinci pada masa itu dipimpin oleh Depati Empat Delapan Helai Kain. Ada 7 wilayah adat yang berada dibawah kekuasaan Depati Empat Delapan Helai Kain ini, salah satunya adalah wilayah adat Depati nan Bertujuh di Kota Sungai Penuh. Depati nan Bertujuh ini menjalankan tugasnya dalam pemerintahan adat bersama dengan Permanti nan Sepuluh, Mangku nan Berduo, serta Ngabi Teh Santio Bawo. Adapun Depati nan Bertujuh tersebut antara lain Depati Santiudo, Depati Payung nan Sekaki, Depati Sungai Penuh, Depati Pahlawan Negara, Depati Simpan Negeri, Depati Alam Negeri, dan Depati Nyato Negaro.

Pada masa kekuasaan Depati nan Bertujuh, Kerinci belum mengenal wilayah kekuasaan atau teritorial secara administratif seperti saat ini. Batas-batas ditandai dengan elemen fisik atau simbol-simbol alam seperti sungai, hutan, bukit, dan sebagainya. Berdasarkan dua isi piagam di atas dapat disimpulkan bahwa batas wilayah adat Depati nan Bertujuh meliputi aliran Sungai Bungkal dari hulu hingga ke hilir yaitu muara Air Hitam, di sebelah Utara hingga ke daerah Koto Keras, dan sebelah Selatan hingga ke daerah Kumun Debai[26].

Megalitik juga terdapat di Serampas, Sungai Tenang dan Peratin Tuo[27]. Bahkan juga ditemukan Megalit di Dusun Tuo Dan Tanjung Putih (Nilo Dingin)[28].  

Kebudayaan megalitik yang menghasilkan bangunan dari batu besar merupakan kebudayaan terakhir dari zaman prasejarah (paleoarkeologi)[29].  

Sedangkan cerita yang beredar di masyarakat dikenal dengan Legenda Si Pahit Lidah[30] dan Kecik Wong Gedang Wok[31].

Di Kotorayo[32] ditemukan batu bata merah yang berserakan dengan ukuran yang jauh lebih besar dan panjang dibandingkan kuburan pada umumnya. Benda-benda lainnya yang juga dapat ditemukan di kawasan ‘misterius’ ini adalah beragam pecahan porselin berupa mangkok dan piring yang berasal dari peradaban masa lalu. Di dalam kawasan ini juga terdapat kuburan yang dianggap keramat oleh masyarakat sekitar, terletak di bawah pohon besar.

Cerita rakyat yang mengiringi perjalanan Koto Rayo memang tidak menyebutkan tahunnya, akan tetapi berdasarkan keterangan kondisi saat itu yang tengah kacau dan pengiriman 19 orang terpilih untuk memantau kondisi di muara sungai, maka dapat dikatakan bahwa saat itu adalah masa Kerajaan Melayu Kuno (abad ke-3 sampai abad ke-5 Masehi), atau Kerajaan Melayu Jambi (644/645 Masehi) atau Kerajaan Sriwijaya (670 Masehi)[33].

Namun sebelum kerajaan Sriwijaya dikenal wilayah Jambi ada 3 kerajaan Melayu Kuno pra-Sriwijaya yang seiring disebut dalam catatan Cina yaitu: Koying (abad ke 3), Tupo (abad ke 3) dan Kantoli (Kuntala abad ke 5). Catatan tentang adanya negeri (kerajaan) Koying dibuat oleh K’ang-tai dan Wan-chen dari bangsa Wu (222-280). Selain itu juga dimuat dalam ensklopedi T’ung-tien yang ditulis Tuyu (375-812 M) dan disalin oleh Ma-tu-an-lin ke dalam Ensklopedi Wenhxien-t’ung-k’ao[34].

Sedangkan Situs Muara Jambi mempunyai luas sekitar 11 km, hingga saat ini di areal situs terdapat sekurang-kurangnya 82 buah sisa bangunan batu bata. Sebagian dari bangunan- bangunan bata tersebut mengelompok disuatu tempat yang dikelilingi tembok pagar keliling misalnya Candi Teluk, Kembar Batu, Gedong, Gumpung, Tinggi, Koto Mahligai, Kedaton, dan sebagian lagi merupakan suatu bangunan tersendiri yang letaknya terpisah-pisah misalnya Candi Astano, Manapo Melayu, dan beberapa Manapo lainnya[35].  

Sebelum Kerajaan Sriwijaya, dalam catatan Sejarah Negeri Cina disebutkan ada 3 kerajaan Melayu Kuno Pra-Sriwijaya yang seiring disebut dalam catatan Cina yaitu Koying (Abad ke 3), Tupo (abad ke 3) dan Kantoli (kuntala abad ke 4). Catatan tentang adanya negeri (Kerajaan) Koying dibuat oleh K’ang-tai dan Wan-chen dari bangsa Wu (222-280). Selain itu juga dimuat didalam ensklopedi Tu’ung-tien yang ditulis Tuyu (375-812) dan disalin oleh Ma-Tu’an-lin kedalam ensklopedi Wenhxien-t’ung-k’ao[36]. Bukti-bukti peninggalan sejarah kuno di Kerinci berupa barang-barang keramik yang berasal dari zaman Dinasti Han di Cina (202 SM s.d 221 M), barang-barang tersebut berupa guci terbuka, guci tertutup, mangkuk bergagang dan wadah berkaki tiga tempat penyimpanan abu jenazah. Benda- benda keramik yang telah ditemukan kelihatannya bukan barang kebutuhan sehari-hari, melainkan barang-barang yang sering digunakan untuk upacara sakral bagi keperluan wadah persembahan.

Tata ruang pengaturan di masyarakat telah dicatat sebagai lingkup kesatuan negeri yang membentuk pemerintahan. Cara ini biasa dikenal istilah talang/koto.

Penamaan “Koto” menunjukkan jejak peradaban. Koto adalah simbol penghormatan terhadap leluhur sekaligus sebagai benteng pertahanan.

Di Marga Sungai Tenang dikenal Koto Sepuluh, Kotobaru, Kotojayo, Koto Tinggi, Koto Renah, Koto Teguh, Dengan “penyebutan” Koto maka terdapat Koto Renah, Koto Teguh, Koto Sepuluh, Kotobaru, Koto Tapus. Koto Tapus dikenal sebagai Dusun Jangkat.

Di Marga Peratin Tuo dikenal Dusun Kotorami.  Di Tebo dikenal Marga VII Koto dan Marga IX Koto. Hubungan antara Marga VII Koto dan Marga IX Koto sering disebut “koto bersekutu”. Atau sering juga disebut “7 jantan dan 9 betino.  Hubungan ini masih berlaku baik didalam menyelesaikan persoalan adat maupun hubungan perkawinan.

Pandangan tentang Koto lebih juga menampakkan pandangan cosmos..

Ditengah masyarakat, dikenal sebagai Legenda Teluk Wang.

Menyebut nenek moyang dengan istilah “puyang”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia[37] tidak tertulis kata puyang, tapi Poyang. Poyang dalam arti kata benda adalah leluhur, nenek moyang atau datuk Poyang. Dalam Kesusateraan Melayu Klasik, Poyang berarti dukun atau pawing. Jadi kata Poyang ini berubah menjadi puyang karena dialek dan logat.

Ia berasal dari sebuah kepercayaan pada Dewa-dewa yang diyakini menguasai alam raya, yakni Dewa Langit dan dewa Bumi. Maka dapatlah kita fahami kenapa cerita rakyat tentang puyang-puyang seringkali dibumbui dengan keheroikan, keghaiban, kesaktian, orang yang suci, mempunyai kekuatan tertentu melebihi yang lain, menguasai sesuatu benda, atau bahkan menjelma dalam bentuk benda mati dan benda hidup lainnya[38].

Sehingga untuk menggantikan nenek moyang masyarakat lebih suka menyebutkan sebagai kata “puyang”.

Kedatanganpun Puyang beragam. Ada yang menyebutkan dari Pagaruyung[39], Jawa Mataram, Jawa Majapahit, Arab atau Turki, Indrapura dan Kerinci. Seloko seperti  Jika mengadap ia ke hilir, jadilah beraja ke Jambi. Jika menghadap hulu maka Beraja ke Pagaruyung atau Tegak Tajur, Ilir ke Jambi. Lipat Pandan Ke Minangkabau membuktikan hubungan kekerabatan yang kuat antara masyarakat di hulu Sungai Batanghari dengan Pagaruyung.

Di Marga Jujuhan mengaku Sejarah “Puyang” berasal dari tutur yang dikenal “Raja gagak hitam. Raja Gagak kemudian mempunyai keturunan yang dikenal Tapak Malenggang, Tapak Tembaga dan Tapak Kudung. Tempat ini dikenal sebagai Putra Angek Garang sebagai Raja Pagaruyung[40]”.

Begitu juga Marga didalam Luak XVI (Marga Serampas, Marga Sungai Tenang, Marga Peratin Tuo, Marga Tiang Pumpung, Marga Renah pembarap dan Marga Senggrahan) yang mengaku sebagai ”kerinci rendah”. Perumpamaan kata Kerinci Rendah menunjukkan ”hubungan kekerabatan dengan Kerinci” namun berada di dataran di bawah wilayah Kerinci.

Sedangkan Marga Tiang pumpung, Marga Renah Pembarap dan Marga Senggrahan mengaku ”serampas rendah”. Menunjukkan hubungan kekerabatan dengan Marga Serampas dan mendiami di daerah Tiang Pumpung, Renah Pembarap dan Senggrahan. Makna ini kemudian ditandai dengan Seloko ”tanah pembarap”. Masyarakat yang tinggal di serampas namun kemudian mendiami di wilayah dibawahnya berdasarkan anjuran ”Raja Tanah Pilih”. Tanah Pilih adalah ”kerajaan di Jambi” sebelum menunjukkan kerajaan Jambi.

Dusun Rangkiling juga mengaku keturunan dari Serampas[41].

Di Marga Sumay mereka menyebutkan “Datuk Perpatih Penyiang Rantau”. Sedangkan di Semambu mereka menyebutkan “Datuk Perpatih Tumenggung Penyiang Rantau[42]”. Di Suo-suo mereka mengenal “Pangeran Singo[43]

Di Marga Batin Pengambang menyebutkan “nenek semula Jadi”. Nama ini hidup di berbagai desa didalam Marga Batin Pengambang.

Sedangkan di Marga Sungai Tenang ada yang menyebutkan sebagai keturunan “Sutan Geremung[44]. Nama ini juga hidup di Renah Pelaan yang mengaku sebagai keturunan dari adik Sutan Geremung yaitu Siti Berek.[45]. Di Koto 10, mereka menyebutkan “Tumenggung Mulo Jadi[46]. Sedangkan di Tanjung Alam mereka mengaku keturunan “raja Tiangso[47]”. Rajo Tiangso dan Depati Pamuncak dianggap sebagai “pemangku” dari keturunan di Pungguk 9. Sedangkan di Tanjung Benuang mereka mengaku keturunan dari “Nenek Malano Kuning[48]”. Sedangkan Di Dusun Kotobaru berasal dari “Depati Suka Derajo[49]

Penamaan Siti Berek mengingatkan Legenda Teluk Wang mengisahkan tentang sebuah keluarga yang terdiri dari lima bersaudara, yaitu dua laki-laki dan tiga perempuan. Saudara laki-laki bernama Syeh Biti dan Patih Karisi Malin Samad serta tiga orang adik perempuan mereka bernama Penatih Lailo Beruji, Penatih Lailo Majnun, dan Penatih Lailo Manjani. Keluarga ini pergi Menggarao (mencari dan merintis wilayah tempat tinggal) “Tanah Tepian Idak Berubah”. Maksud dari istilah “Tanah Tepian Idak Berubah” adalah suatu wilayah yang aman dan nyaman untuk tempat tinggal, air bersihnya dan sumber makanan yang cukup untuk kebutuhan sehari-hari serta dekat dengan daerah yang tanahnya subur untuk lahan pertanian. Artinya, sekali mereka menetap di sana mereka tidak akan berpindah-pindah[50].

Sedangkan versi yang lain kemudian menyebutkan mengaku berasal dari Tuanku Regen Indrapura turun ke Serampas kemudian ke Sungai Tenang[51]. Nama Sutan Gerembung merupakan anak dari Sutan Gelumang yang bermukim di Muko-muko. Cerita ini kemudian dilengkapi dari Dusun Renah Pelaan yang mengaku keturunan dari Siti Berek. Siti Berek merupakan adik dari Sutan Gerembung dari “Serampas”.

Di Marga Sungai Tenang, Desa Kotobaru menyebutkan Penduduknya kemudian Betalang jauh, beladang suluk dan pindah ke Pondok Cincin[52]. Kemudian pindah ke Mangala Lengis yang dipimpin oleh Depati Benda Tenap. Kemudian atas perintah Depati Karto Dewo dianjak ke Sungai Maram Dusun Kotobaru. Kemudian becacak tanam dan kemudian menjadi Desa Kotobaru.

Di Desa Renah Pelaan, Masyarakat Renah Pelaan awalnya berasal dari Koto Mutun. Koto Mutun adalah dusun tua yang sekarang sudah ditinggalkan, terletak di dekat desa Rantau Suli. Diperkirakan orang pertama yang menempati desa Renah Pelaan adalah Aning Darajo (Nenek Moyang Masyarakat desa Renah Pelaan). Aning Darajo diperkirakan berasal dari Minang Kabau[53].

Bagi masyarakat desa Renah Pelaan misalnya, memiliki keyakinan bahwa di dalam hutan terdapat makhluk sebangsa jin. Untuk membuka lahan pertanian baru, biasanya mereka meminta izin terlebih dahulu. Permohonan izin ini disebut dengan  istilah “puji perago”.  

Di Marga Senggrahan dikenal Desa Lubuk Birah. Lubuk Birah berasal dari kata “birah”. Artinya Gelembung atau jin. Terletak di Pematang Tebat. Lubuk Birah merupakan tempat tinggal selungkup. Daun selungkup mirip dauh keladi. Daun Selungkup tidak tenggelam di air.

Dalam cerita tutur dari masyarakat, ketika banjir menghantam daerah Lubuk Birah, tempat yang tidak dimasuki banjir cuma terletak di daerah daung selungkup. Daerah yang tidak terkena banjir inilah yang kemudian menjadi pemukiman di Lubuk Birah. Untuk mengenang daerah aman dari banjir, maka mereka kemudian menyebutkan “Birah”. Daerah birah terletak di Lubuk. Sehingga kemudian dinamakan Lubuk Birah[54].

Di Desa Karang Mendapo (Marga Simpang Tigo Pauh), Menurut cerita dan penuturan tua-tua tengganai, bahwa Desa Karang Mendapo berasal dari sepasang suami istri dari daerah Aik Amo-Padang yang merantau ke Jambi, mereka awalnya menepat di Tanjung Genting tepatnya disebelah Desa Ladang Panjang Kabupaten Sarolangun Sekarang[55].

Khabar ini akhirnya sampai ketelinga Rajo Jambi, kemudian Rajo Jambi mengunjungi sepasang suami istri ini. Kemudian Rajo Jambi berkata; ”kalau bigitu, dimana kamu minta tanah untuk tempat bermukim dan berladang”. Lalu sepasang suami istri ini diajak untuk menyusuri aliran sungai tembesi.

Sesampainya di Batu Napal yang melebar ke sungai tembesi, sepasang suami istri ini meminta kepada Raja Jambi untuk menetap disitu, dan Raja Jambi menyetujuinya. Keesokan harinya, mereka bajalan ke Ujung Tanjung.

Sedangkan Desa Batu Ampar sebelum berada di Muaro Merangin dengan sebutan dusun Balai Melintang di pimpin oleh Depati Gelar Singo delago. Dan hingga 1916 kampung ini pindah ke seberang Sungai Tembesi hingga saat ini yang lebih dikenal dengan sebutan Dusun Batu Ampar[56].  Penduduk Dusun Batu Ampar berasal dari Rawas, Palembang[57].

Barbaya Watson Andaya menyebutkan “ikrar” masyarakat yang kemudian memilih untuk “berajo” kepada Sultan Palembang dan kemudian bagian dari daerah uluan Musi adalah ketegangan antara Kerajaan Jambi dengan kerajaan Palembang[58].

Daerah hulu Tembesi, Merangin dan Hulu Batanghari terlalu jauh dari Ibukota. Namun aliran ke Sungai Musi. Bahkan Merangin terkenal sebagai penghasil merica[59].

Berbeda dengan Sungai Batanghari yang kemudian mengalir ke hilir Jambi sehingga menjadi kontrol Raja Jambi.


Di Marga Kumpeh dikenal berbagai cerita tentang Puyang. Di Desa Sponjen dikenal
KASAT  dan di gelar dengan DATUK LUMBUNG[60]

Di Marga Datuk Nan Tigo dikenal Datuk Temenggung, Datuk Ranggo, Datuk Demang. Datuk Temenggung berpusat di Dusun Mengkadai. Datuk Ranggo berpusat di Dusun Muara Mansao. Sedangkan Datuk Demang berpusat di Kampung Pondok[61]. Marga Datuk Nan Tigo mengaku keturunan Minangkabau. Sebagai keturunan Minangkabau, penamaan “Datuk” merupakan gelar yang diberikan sebagai pemimpin di kalangan masyarakat adat.


Di Desa Sogo dikenal cerita Bujang Tinggal yang namanya Dendang atau perahu yang terletak di desa Sogo sampai sekarang[62]. Di Desa Sungai Bungur dikenal Tumenggung yang bernama Tumenggung Mamat Setio Guno dan kemudian disusul bersama dua sahabatnya, Tumenggung Bujang Penyantan[63]

Ada juga yang mengaku berasal dari Jawa Mataram[64].  Cerita ini begitu kuat di Marga Sungai Tenang dan Di Desa Kembang Seri[65].  Disebutkan Marga Maro Sebo Sebo Ulu berasal dari Jawa Mataram yang bernama Demang Ahmad[66].

Cerita di Desa Rukam Yang pertama kali datang ke Desa Rukam adalah perantau yang berasal dari daerah Muaro Tebo yaitu  Dusun Tek Kayu Putih dengan dengan membawa satu keluarga anak beranak dengan menggunakan rakit dari bambu[67]

Di Marga IX Koto, Pengaruh Pagaruyung begitu terasa. Maka struktur social kemudian menggunakan sistem matrilineal. Garis keturunan dari Ibu[68].

Masyarakat Marga bukit bulan berasal dari pagaruyung, sumatera selatan, dan bugis. Namun untuk yang pertama kali menempati wilayah bukit bulan tepatnya di dusun Manggis desa Napal Melintang adalah nenek moyang dari pagaruyung yang bernama Datuk Penghulu Sakti

Penyebutan “Datuk Perpatih Penyiang Rantau” atau “Datuk Perpatih Tumenggung Penyiang Rantau” mengingatkan sejarah Minangkabau yang didalam Tambonya selalu menyebutkan “Datuk Perpatih Nan Sebatang[69], sebagai “puyang” dari Minangkabau.  Istilah Datuk juga dikenal dari masyarakat sebagai keturunan “Datuk Domang Muncak Komarhusin[70]”. Orang Rimba Bukit Dua Belas juga mengakui keturunan dari Pagaruyung[71]. Di Marga Tungkal Ulu juga mengakui keturunan dari Pagaruyung[72].

Begitu juga Marga VII Koto “puyang”[73]. Marga VII Koto juga dikenal sebagai tempat berkumpulnya “Debalang Raja” untuk menentukan rapat . Pusat Marga di Sungai Abang.

Marga VII Koto juga dikenal sebagai “jalur” perjalanan Raja Tanah Pilih. Alur perjalanan ini setelah ditempuh dari Marga IX Koto di Teluk Kuali.

Sebagai Raja, untuk “mengunjungi” wilayahnya, maka Raja menggunakan “jung” menempuh jalur “Pemayung” di Marga Pemayung Ulu, kemudian ke Marga IX Koto dan terakhir ke Marga VII. Sehingga alur ini selain “merupakan” wilayah Kerajaan Tanah Pilih[74] dan kemudian menjadi Kerajaan Jambi juga langsung berbatasan dengan Kerajaan Pagaruyung sebagaimana ikrar di Bukit Sitinjau Laut[75].

Marga VII Koto disebutkan sebagai wilayah Kerajaan Pagaruyung. Marga VII Koto yang mengilir Sungai Batanghari sebagai “ikua Rantau”. Cerita “Datuk Perpatih nan sebatang dan Datuk Ketemenggunggan” begitu kuat[76]. Bahkan Elsbeth Scholten-Locker “menyebutkan” Marga VII Koto dan Marga IX alur jalur Pagaruyung[77]”. Sehingga tidak salah kemudian Marga VII Koto dan Marga ICX Koto dikategorikan sebagai merupakan “ikua rantau”

“Puyang” Marga VII Koto “Rajo Hitam”. Ada juga menyebutkannya Raja Gagak. Mengilir dari Ulu Sungai Batanghari kemudian “bermukim” di dekat Tambun.

Namun ada juga versi yang menyebutkan “puyang” bernama “Sutan Suto Menggalo. Bermukim di Dusun Tuo Sebelah Kotojayo. Menurut tutur di Marga VII Koto, “Datuk Perpatih nan sebatang” kemudian mengilir ke Sungai Batanghari. Sedangkan Datuk Ketemenunggungan kemudian menuju ke Bangko dan Titian Dalam. “Titian Dalam” kemudian dikenal sebagai nama  Sarolangun.

Suta Suto Menggalo kemudian membawahi Kedemangan Niti Menggalo. Kedemangan Suto Yudho, Ngebi Kardelo dan Ngebi Tano Karti di Teluk Kembang, Jambu.

Kedatangan penduduk Batang sumay terdiri dari berbagai versi. Versi pertama adalah Rajo Patih Penyiang rantau[78].  Dimulai turunnya Datuk Patih Penyiang Rantau dicari tukang yang berempat. Keempatnya kemudian dinamakan Jutai Jati Bilangan Pandai untuk membuat Belancang kulit betimpo lekar untuk turun ke batang rantau. Seluruh rantau itu ada depatinyo.

Datuk Patih Penyiang Rantau kemudian berjalan dengan 4 orang. Mengilir dari Tuturan Padang.

Sampai di Muara Sungai Kecil, Rajo Datuk Temenggung Penyiang menemukan sebuah tikar yang terbuat dari dari daun rumbai. Maka dinamakan Sungai tikar-tikar.

Kemudian Datuk Patih berjalan dan bertemu puntung api. Namonya Dusun Tuo Muaro Sumay.  Datuk itu kemudian berjalan ke mudik meretas batang Sumay, pada saat melihat ke betandang belakang rumbut yang diretas bertaut. Datuk Patih mengambil keras dari Jawa dan berjalan kembali ke mudik Sumay, tidak bertaut lagi menempuh Muaro Sekalo

Karena berbentuk sekalo atau disebut juga seperti Sekalo kemudian mudik lagi ke Teluk Sepuntung. Ditemukanlah puntung api berarti ada manusia.

Dan diteruskan ada sungai disebelah kanan. Dan bernama batang andelang. Dari batang andelang mudiklah ke sungai sekelat yang bernama “Muara Dusun Setelak”.

Kemudian terus meretas batang ikat-ikat, ada anyaman tikar. Tiap-tiap ada tikar pasti ada manusia. Kemudian mudik lagi ke sampai ke pekundangan. Kemudian lagi mudik lagi sampai ketemu Gabus berambut api.

Datuk Patih kemudian berunding di Muara Kundangan. Datuk Patih berunding bagaimana cara bertemu Manusia. Diambil air laut di bawah dan dipasang untuk memanggil orang atau makhluk lainnya. Satu sampai 3 hari dilihat. Dan garam berkurang. Dan lama kelamaan, bertemu dengan manusia. Dan adanya bau asap. Bau asap inilah yang kemudian dikenal dengan istilah Semambu

Sedangkan versi kedua disebutkan[79]. Dahulu ada seorang sakti yang berasal dari Pagaruyung yang bernama  Datuk Intan Jayo, Raja kuasa. Dia datang dari ulu Sumay. Ketika dia datang, dusun yang pertama didatangi adalah di Dusun Muko-muko. Disebutkan “muko-muko” karena memang dusun ini yang dimuko (didepan). Dengan demikian, maka Dusun “muko-muko” ditetapkan sebagai Dusun Tuo dari Sumay. Dan sekarang disebutkan sebagai Dusun “tuo sumay”.


Di Desa Rukam cerita tentang Rakit juga dikenal.  Yang pertama kali datang ke Desa Rukam adalah perantau yang berasal dari daerah Muaro Tebo yaitu  Dusun Tek Kayu Putih dengan dengan membawa satu keluarga anak beranak dengan menggunakan rakit dari bambu. Pertama dia singgah di daerah Olak Siri Sekapur setelah dia  menetap  beberapa hari lamanya di sini dan seberang Sungai Batanghari ada pohon yang di dihinggapi Repo, sialang di kayu rengas. sebanyak 9 Batang pohon rengas mekar dengan itu lalu ia berusaha untuk mengambilnya dan tempat itu ada di sebanyaknya sialang ranto[80]

Di Marga Tiang Pumpung, Marga Renah pembarap dan marga Senggrahan selain ikrar dari keturunan Serampas rendah, juga menyebutkan sebagai keturunan dari “Syech Raja” di Renah Pembarap, Syech Saidi Malin Samad di Senggrahan dan Siti Baiti di Tiang Pumpung.

Sejarah kedatangan masyarakat di Marga Batin V berasal dari kelompok 60 tumbi yang pindah dari Koto Rayo. Namun kemudian Koto Rayo dihilangkan demi keamanan dan di Tanjung Muara Semayo kemudian tinggal 19 orang kepala Keluarga (tumbi) yang disebut “Puyang Depati”.

Semayo berasal dari kata “semayo” yang berarti perjanjian”. 60 tumbi kemudian mengadakan perjanjian dan meninggalkan Koto Rayo. Tanjung Muara Semayo berubah menjadi Rantau Panjang. Tanjung Muara Semayo ialah berasal dari Kata Semayo yang berarti Perjanjian.  Dusun Seling ialah dusun yang terletak antara Tanjung Muara Semayo dengan dusun kapuk[81].


Menurut tutur di Marga Renah Pembarap, “Puyang” mereka berasal dari Jawa Mataram dan Minangkabau. Yaitu Panatih Lelo Majnun, Panatih Lelo Baruji dan Panatih Lelo Majanin. Sedangkan dari Minangkabau Syech Rajo, Syech Beti dan Syech Saidi Malin Samad. Cerita tentang sejarah Marga Renah Pembarap mengenai “Syech Rajo, Syech Beti dan Syech Saidi Malin Samad” juga ditemukan di Marga Senggarahan[82].

Sejarah Mataram merupakan wujud ikrar kedatangan dari Kerajaan-kerajaan yang mengakui kebesaran Mataram. Sedangkan Minangkabau merupakan kedatangan masyarakat dari Kerajaan Pagaruyung yang hidup di ulu Sungai Batanghari.

Ikrar hubungan kekeratan Tiang Pumpung, Renah Pembarap dan Senggrahan ditandai dengan seloko “gedung di Pembarap. Pasak di tiang pumping. Kunci di senggrahan’. Maknanya jelas. Dalam rapat adat di Marga Tiang Pumpung, Renah pembarap dan Senggrahan, ketiganya mempunyai posisi penting. Rapat bisa diadakan apabila ketiga Marga telah hadir.

Penghormatan terhadap “Alam sekato Rajo” dan Ikrar terhadap Kerajaan Jambi dan Minangkabau ditandai dengan berbagai seloko.

Di Marga Pelawan, mereka mengaku sebagai orang batin[83]. Sebagai keturunan Batin mereka mengaku sebagai keturunan Jawa Mataram. “Puyang” yang bernama Putri Dara Putih dan kemudian meneruskan keturunan yang biasa dikenal Putri Ayu. Cerita Putri Dara Putih mengingatkan cerita tentang Putri Dara Jingga Dan Putri Dara Petak.
Didalam Bukunya M. Rasyid Manggis Dt Radjo Panghulu “Cindua Mato” menerangkan[84] “sebuah batu Basurek di Saruaso, Raja Sri Kertanegara membawa dua Putri sebagai persembahan. Kedua Putri kemudian dikenal sebagai Dara Jingga dan Dara Petak.
Menurut N.J. Krom dalam "Inventaris der Oudheden in de Padangsche Bovenlanden",Prastati Kuburajo[85] menyebutkan keturunan dari Dara Jingga putri Kerajaan Melayu di Dhamasraya adalah Adityawarman. Adityawarman disebutkan oleh Bosch, F.D.K. “Verslag van een reis door Sumatra. Oudheidkundige Verslag dikenal sebagai Penguasa di Kerajaan Malayapura[86]. Oleh Kozok, Uli, & Eric van Reijn. “Adityawarman : Three Incriptions of the Sumatran King of All Supreme Kings.” Indonesia and the Malay World” kemudian Kerajaan Malayapura kemudian dikenal sebagai Kerajaan Swarnanadwipa[87].
Sedangkan dari cerita lain, Dara Jingga merupakan istri dari Raden Wijaya. Dara Jingga dan Dara Petak setelah perjalanan kembali dari Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Mahesa Anabrang. Raden Wijaya kemudian menjadi Raja di Singasari dan Majapahit.

Di Marga Sungai Tenang dikenal seloko “Tegak Tajur, Ilir ke Jambi. Lipat Pandan Ke Minangkabau. Sedangkan di Marga Jujuhan, Marga VII Koto dan Marga IX Koto dikenal seloko “Jika mengadap ia ke hilir, jadilah beraja ke Jambi. Jika menghadap hulu maka Beraja ke Pagaruyung. Barbara Watson Andaya sendiri memberikan istilah “hubungan otonom Hulu-hilir[88].

Seloko seperti “menghadap ke hilir beraja ke Jambi. Balik mudik berajo ke Minangkabau” atau “Mengilir berajo Jambi, lipat pandan berajo ke Minangkabau” merupakan Seloko yang ditetapkan oleh Raja Indrapura dan Raja Tanah Pilih. Ulu Kozok menyebutkan “sultan Inderapura Muhamad Syah Johan tertanggal 23 Ramadan 124(?)6H atau 14 Juni 1830M, yang kini disimpan oleh Depati Muda di dusun Kemantan Barat (Tambo Kerintji No. 140). Dalam surat tersebut Kerinci disebut sebagai “tanah pertemuan raja antara sultan Jambi dengan sultan Inderapura. Jika mengadap ia ke hilir, jadilah beraja ke Jambi. Jika menghadap ia ke barat, ialah ke tanah Inderapura”[89].

Di Marga Batin Pengambang, Dulu datang nenek moyang Bukit Lupo bernama Datu Semula Jadi kemudian didirikan 4 Kepala Dusun dan 8 Kampung. Kemudian diubah dari Margo menjadi 6 Desa.

Dalam versi lain disebutkan adanya Rio Cekdi Pemangku Rajo. Yang bertugas menjaga pintu dari Timur. Dengan wilayahnya Bathin Pengambang, Batu berugo, Narso. Debalang Sutan yang bertugas menjaga pintu di sebelah selatan. Dengan wilayah Sekeladi, Guguk tinggi, Tangkui, Padang Baru. Menti Kusumo yang bertugas menjaga pintu dari Utara. Dengan wilayah Rantau Jungkai, Renah Kemang, Sungai keradak. Debalang Rajo yang  menjaga pintu dari barat. Dengan wilayah Muara Simpang, narso kecil[90].

Di Desa Sungai Keradak yang berasal dari nenek moyang Margo Bathin Pengambang Semulo jadi yang berasal dari Jawa Mataram. Kemudian datang bertujuan cari genah (lokasi). Sampai lokasi bertemu dengan sungai dan diberilah nama Sungai Keradak yang kemudian menjadi Desa Sungai Keradak. Kemudian dari nenek Moyang yang bernama Seteluk datang ke Sungai Keradak. Nenek Seteluk kemudian mempunyai keturunan yang bernama bayang Mas[91].




Di daerah Ilir Jambi, di didalam Marga Kumpeh Ilir mereka menyebutkan berbeda-beda. Di Sungai Bungur mereka menyebutkan “Tumenggung Bujang Pejantan[92]”. Di Dusun Pulau Tigo mereka menyebutkan sebagai keturunan “Rajo Sari”[93].  Bahkan dari cerita rakyat, Marga Tungkal mengaku keturunan dari “Datuk Kadinding”.

Namun yang unik, masyarakat Desa Muara Sekalo mengaku keturunan dari “Tumenggung Gamo[94]”. Padahal Muara Sekalo termasuk kedalam Marga Sumay yang terletak di hulu Sungai Batanghari. Nama “datuk Perpatih Penyiang Rantau” tidak dikenal di kalangan masyarakat Muara Sekalo.

Orang Rimba berasal dari keturunan Bujang Perantau dan Puteri Buah Gelumpang. Bujang Perantau adalah orang yang merantau berasal dari tanah Minang-Pagaruyung dan menikah dengan Puteri Gelumpang. Sedangkan Secara mitologi, mereka (Suku Anak Dalam) di Marga Batin IX Ilir masih menganggap satu keturunan dengan Puyang Lebar Telapak yang berasal dari Desa Cambai, Muara Enim[95]

Istilah Marga Pangkalan Jambu berasal dari Kata Pangkalan Jambu adalah cerita dari “Belalang Padang. Padang dari Jambi. Puyang Pangkalan Jambu kemudian “berakit dari Indrapura kemudian di pemberhentian terdapat Pohon Jambu. Pemberhentian inilah yang kemudian disebut Pangkalan Jambu. Tempat ini masih bisa ditemukan didalam Hutan adat Pangkalan Jambu.

Marga Pangkalan Jambu terdiri dari Dusun Nangko, Dusun Dalam dan Dusun Birun.

Sebagai pemegang mandate dan kemudian bergelar “Datuk Raja Nan Putih. maka menurut Ranji Kerajaan Indrapura (silsilah keluarga Kerajaan Indrapura), maka Sultan Gadamsyah kemudian menjadi Raja di Pangkalan Jambu-Birun.

“Puyang” mereka berasal dari Minangkabau Kerajaan Pagaruyung. Namun melihat kedekatan wilayah Marga Pangkalan Jambu, maka yang dimaksudkan adalah Kerajaan Indrapura sebagai “Vassal” dari Kerajaan Pagaruyung. “Vassal” kemudian sebagai “ujung“ Kerajaan Pagaruyung. Secara resmi Indrapura “pernah menjadi vassal” dari Kerajaan Pagaruyung. Kesultanan Indrapura, adalah Kerajaan Islam Malayu yang diperkirakan berdiri  1100  m– 1911 m[96].



Kesemuanya tidak perlu kita bantah[97]. Karena pengetahuan tentang “puyang” merupakan cerita tutur yang diwariskan turun temurun. Sebagaimana seloko “Dari puyang turun ke datuk. Dari datuk turun ke bapak. Dan dari bapak turun ke sayo”.

Penyebutan “Datuk”, Rajo, Nenek, Tumenggung, Pangeran, Depati, Syech dan Sutan” merupakan bentuk keragaman asal keturunan masyarakat di Jambi. Kata-kata seperti Syech dan Sutan melambangkan masyarakat yang mengaku keturunan dari Arab/Turki atau Jawa mataram. Sedangkan Datuk, Rajo, Pangeran, nenek maupun tumenggung merupakan bentuk masyarakat yang mengaku dari “puyang” sebelum masuknya agama islam. Jauh kedatangan “puyang” mereka sebelum kedatangan penyebaran Islam.



Kisah Turki dapat ditemukan di masyarakat pesisir Pantai Timur Sumatera. Seperti di Senyerang (Marga Tungkal Ilir)[98], Marga Kumpeh[99], Marga Jebus dan masyarakat di pantai timur Sumatera[100].

Pada masa Kerajaan Jambi,  di Marga Maro Sebo, Sejarah panjang Dusun Kembang Seri juga telah diceritakan oleh Barbara Watson Andaya[101]. Dalam lintasan perdagangan merica Kerajaan Jambi, Kembang Seri salah satu daerah penghasil merica dalam lintasan perdagangan. Sehingga sebagai daerah penghasil merica untuk perdagangan Kerajaan Jambi, pada tahun 1738 pasukan dari Minangkabau menyerang Desa Kembang Seri di Batanghari dan menghancurkan semua perkebunan merica. Penyerangan dari Minangkabau diakibatkan perselisihan antara Kaisar Minangkabau dengan Kerajaan Jambi. Namun hubungan baik antara Kerajaan Minangkabau dengan Kerajaan Jambi oleh Sultan Astra kemudian dapat menyelesaikan dengan baik.

Di Marga Senggrahan Kata “senggrahan” berasal dari kata “pesanggrahan”. Artinya “persinggahan” Raja Jambi dari Tanah Pilih sebelum pergi berburu[102].


Namun walaupun berada dalam lindungan Kerajaan Jambi, hubungan dagang antara daerah penghasil merica dengan kerajaan Jambi tetap independent. Kembang Seri tetap dapat menjalin hubungan dagang dan mendirikan kontak untuk mengatur perdagangan. Sedangkan Kerajaan mengatur tentang batas-batas, administrasi, menyelesaikan perselisihan dan denda perselisihan.

Namun pemaksaan penanaman merica tidak terhenti walaupun telah selesai perdamaian antara Kerajaan Minangkabau dengan Kerajaan Jambi. Tahun 1741, Kepala Kembang Seri mengeluhkan terhadap Pangeran Ratu yang tetap memaksa penduduk untuk kerja paksa menanam merica. Sedangkan Pangeran termuda yaitu Pangeran Sutawijaya yang menguasai Tujuh Koto dengan mencabuti pohon kapas dan memaksa penduduk untuk menanam merica. Pertengkaran keluarga Kerajaan juga terjadi di Merangin dan Air. Kesemua pangeran yang menguasai daerah hulu memaksa penduduk untuk membayar upeti dan pajak dan memaksa menanam merica.

Kisah tentang Kerajaan Jambi  dengan daerah hulu Jambi dapat dilihat seruan Raja Jambi untuk penduduk Sungai Tenang, Serampas dan Kerinci. Menurut Residen Bengkulu didalam surat rahasianya tertanggal 6 Februari  tahun 1919, daerah Sungai Tenang dan Serampas lebih baik dijalin hubungan dagang dari Jambi[103]. Penduduk di Sungai Tenang dan Serampas terkenal menguasai ilmu gaib seperti kebal[104]. 

Bahkan menurut Charles Campbell melaporkan bahwa di tahun 1800 penduduk Sungai Tenang jarang membayar upeti kepada sultan Jambi yang selayaknya terdiri dari seekor kerbau, setahil emas, dan seratus bambu beras dari setiap kampung. Surat-surat yang ditulis oleh temenggung sultan Jambi yang sampai sekarang masih disimpan sebagai pusaka di Kerinci juga menunjukkan bahwa penduduk di Kerinci tidak selalu patuh kepada perintah rajanya di Jambi[105]

Jejak Kerajaan Jambi kemudian dikenal kisah Dara Petak dan Dara Jingga[106]. Sejarah kedatangan dan pesiar Raja Jambi dikenal di beberapa perjalanan. Di Marga Pemayung Ulu, Marga Pemayung Ilir, Marga VII Koto dan Marga IX Koto.

Istilah Pemayung atau Pemayungan yang terdapat di Marga Pemayung Ulu, Marga Pemayung Ilir dan Desa Pemayungan (Marga Sumay) adalah sebagai payung untuk kedatangan Raja. Sedangkan istilah “Renah” adalah tempat peristirahatan Raja yang dikenal di Desa Guguk (Marga Renah Pembarap).

Di Marga VII Koto juga dikenal sebagai “jalur” perjalanan Raja Tanah Pilih. Alur perjalanan ini setelah ditempuh dari Marga IX Koto di Teluk Kuali.

Sebagai Raja, untuk “mengunjungi” wilayahnya, maka Raja menggunakan “jung” menempuh jalur “Pemayung” di Marga Pemayung Ulu, kemudian ke Marga IX Koto dan terakhir ke Marga VII. Sehingga alur ini selain “merupakan” wilayah Kerajaan Tanah Pilih[107] dan kemudian menjadi Kerajaan Jambi juga langsung berbatasan dengan Kerajaan Pagaruyung sebagaimana ikrar di Bukit Sitinjau Laut[108].

Melihat alur dari perjalanan Raja dimulai dari Marga Pemayung Ilir, Marga Pemayung Ulu, Marga VII Koto, Marga IX Koto, Marga Sumay dan Marga Renah Pembarap membuktikan alur perjalanan dari hilir ke hulu Sungai Batanghari.

Kisah perjalanan perang gerilya dikenal ditengah masyarakat. Dengan perhitungan waktu sejak Istana Kerajaan Jambi diserbu tahun 1857 dengan dinyatakan gugur dalam perlawanan di Tanah Garo tahun 1904, maka hampir 50 tahun Sultan Thaha Saifuddin begitu bertahan. Tentu saja ini menjadi perhatian ahli sejarah. Sampai sekarang ahli sejarah belum dapat menjelaskan secara detail hingga Sultan Thaha Saifuddin mampu bertahan setengah Abad.

Dengan rute perlawanan dari Danau Solok Sipin terus ke Lubuk Ruso, kemudian ke Muara Tembesi, Muara Tebo hingga kemudian sempat mampir di Tanah Sepenggal di Lubuk Landai (Muara Bungo).

Berbagai versi kemudian berkembang setelah alur perjalanan ini. Versi pertama menyebutkan rute pelarian Sultan Thaha Saifuddin bermula dari Danau Solok Sipin kemudian ke Lubuk Ruso, kemudian ke Muara Tembesi kemudian ke Muara Tebo dan Sungai Alai. Dari Sungai Alai kemudian “mudik” ke  arah batas Sumbar dan “diperkirakan” ke Malaysia. Negeri Malaysiapun banyak versi. Ada yang menyebutkan ke Johor. Ada yang menyebutkan Ke Penang.

Versi lain kemudian menyebutkan setelah tiba di Tebo kemudian ke Sungai Alai kemudian “berlindung” di Tanah Sepenggal. Dan kemudian terlibat pertempuran di Tanah Garo hingga Belanda kemudian menyatakan tewas tahun 1904.

Sejarah kedekatan Sultan Thaha Saifuddin hingga sampai ke Tanah Sepenggal masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Namun dengan rentang waktu 50 tahun sejak Istana Kerajaan Jambi diserbu Belanda, “kekuatan” yang melindungi Sultan Thaha Saifuddin begitu hebat.

Laporan resmi Residentie Palembang kepada Gubernur Jenderal Batavia sebagaimana disampaikan oleh Snouck Horgrunje menyebutkan “upaya pengakuan Kerajaan Jambi kepada Sultan Thaha Saifuddin”. Dengan mengangkat Sultan (bayangan) diharapkan dapat mematahkan perlawanan Sultan Thaha Saifuddin yang mendapatkan dukungan dari rakyat.

Namun rentang waktu hingga 50 tahun, Sultan Thaha Saifuddin begitu kokoh merupakan sebuah peristiwa penting.

Didalam pelarian dengan ditemani “orang kepercayaan” Sultan Thaha Saifuddin, Sultan Thaha Saifuddin begitu dihormati. Setiap jalur pelarian, Sultan Thaha Saifuddin diterima dan dikawal dengan disiapkan “julat[109]”. Julat adalah seorang kepercayaan dari pemimpin dusun di setiap jalur pelarian. Julat kemudian mengawal selama perjalanan hingga ke tempat berikutnya.

Dengan kesaktian dan kemampuan menguasai medan dari julat, Sultan Thaha Saifuddin mudah bersembunyi dan berhasil menghindari dari kejaran Belanda. Julat yang menguasai rute perjalanan kemudian mengantarkan Sultan Thaha Saifuddin pada rute berikutnya. Demikian seterusnya.

Dengan charisma Sultan Thaha Saifuddin, julat yang ditunjuk merupakan “punggawa” kehormatan dari jalur masing-masing yang dilewati oleh Sultan Thaha Saifuddin.

Bahkan didalam setiap rute yang dilalui, Sultan Thaha Saifuddin selalu “berkabar” kepada Negara Turki. Sultan Thaha Saifuddin membutuhkan ‘stempel” yang menyatakan Kerajaan Jambi sebagai “vassal dari Negara Ottaman Turki.

“Puyang” orang Pemayung berasal dari Marga VII Koto. Dengan mengilir Sungai Batanghari kemudian menetap di daerah wilayah Marga Pemayungan Ulu. Namun sebagian meyakini berasal dari “Puyang” Datuk Paduko Berhalo.

Sedangkan di Dusun Bajubang Laut, mereka meyakini “puyang” berasal dari Piagam Jambi yang “Pangeran Singodilago”.

Menurut Mukti Nasruddin didalam bukunya, Jambi Dalam Sejarah, Sultan Jambi yang kemudian di buang di Pulau Banda tahun 1690 adalah Sultan Abdul Mahyi Sri Ingalago[110]. Sehingga yang disebutkan oleh masyarakat Dusun Bajubang Laut “Pangeran Singodilago” adalah Sultan Abdul Mahyi Sri Ingalago.

Dengan demikian, maka wilayah Marga Pemayung Ulu merupakan wilayah Kerajaan Tanah Pilih dan kemudian menjadi Kerajaan Jambi.

Sebagai keturunan dari Kerajaan Jambi, masih dikenal gelar seperti “Raden, kemas atau Nyimas’.

Di Dusun Bajubang Darat[111], istilah Raden dan Kemas/Nyimas menunjukkan derajat kebangsawan. Raden merujuk kepada keturunan anak tertua Raja. Sedangkan Kemas/nyimas menunjukkan keturunan anak raja yang kecil yang kemudian menjadi Raja.

Di Rantau Gedang dikenal cerita tiga macam barang, yaitu; 1) Tumbak Canggah Cabang Tigo, 2) Sebilah Parang, dan 3) Sebilah keris.

Di Marga Batin III ilir dikenal tempat “Nunggu Rajo’. Tempat “Nunggu Rajo” adalah pelabuhan yang biasa disinggahi oleh Raja dari Jambi. Tempat ini terletak Sungai yang membentang antara Dusun Tanjung Gedang dengan Dusun Tanjung Menanti[112].


“Gunoe tumbak yang bercabang tigo iko adolah sebagai kiasan bagi kito, yang berarti, canggah yang tengah harus ado kepalo kampung, canggah yang kanan harus ado imam dan canggah yang kiri berarti harus ado ketuo adat bagi kito, adopun tiang tumbak berarti kito harus berpegang teguh dengan adat yang ado. “Kjud Bti, iman sabuah”, namun kito tetap berpegang teguh pado adat, idak lapuk dek ujan, idak kekang dek panas, idak boleh diombang ambing oleh siapopun. Adopun Sebilah Keris yang Sekilan dikilani dan seseto disetoi. Adolah kias bagi kito, yang berarti kito boleh beundu maro (kita boleh berunding) dalam memecahkan persoalan yang dihadapi, maksudnyo kalo berat boleh minta ringan, kalo ringan boleh minta dilepas. Adopun guno Parang, sebagai kias bagi kito, duduk sama rendah, tegak sama tinggi, sama dirasakan kelat atau manisnyo, namun hukum tetap satu. Artinyo hukum yang harus ditegakkan tidak boleh pandang bulu. Untuk diketahui, tombak tersebut saat ini masih ada dan masih dipergunakan untuk tongkat khotbah setiap shalat jum’at dan hari raya di mesjid Istiqomah Desa Rantau Gedang[113].

Kisah rakyat tentang Marga Air Hitam tidak dapat dipisahkan dari cerita rakyat tentang Orang Kayo Hitam. Orang Kayo hitam adalah putra dari Datuk Paduko Berhalo. Datuk Paduko berhalo sering disebut sebagai orang yang meneruskan kerajaan Tanah Pilih. Saudara Rang Kayo Hitam adalah Orang Kayo Pingai, Orang Kayo Pedataran dan Orang kayo Gemuk[114].

Orang Kayo hitam adalah Kemenakan Tumenggung Merah Mato. Tumenggung Merah Mato berasal dari Pagaruyung. Istri Tumenggung Merah Mato disebut Susu Tunggal. Disebut sebagai Susu Tunggal karena menurut legenda, setiap menyusu putranya, putranya selalu meninggal. Akhirnya diperah air susu dan diberikan anjing. Melihat anjing mati maka salah satu susunya mengandung racun. Sejak itu disebut Susu Tunggal[115].

Di MARGA KASANG MELINTANG, [116]Pada zaman dahulu kala, mulai berdirinya sungai pinang ini, yang mendirikan nya menti yang 6, diantaranya : 1. Manuang Sakti yang berkedudukan di kampung tengah, 2. Mahkuto Sutan yang bertempat di dusun Sungai Baung, 3. Mpang Laut yang berkedudukan di muara sungai pinang, 4. Menti Jayo yang berkedudukan di Sungai Bemban, 5. Sutan Nan Garang yang berkedudukan di Lubuk Bangkar, 6. Sutan Bagindo yang berkedudukan di Muara Pemuat, orang 6 ini lah yang merancang dan menata dari Marga Sungai Pinang, yang meletak inggan Batas-batas, diantara yang 6 ada yang memimpin yang di tuakan adalah Manuang Sakti yang berkedudukan di kampung tengah, Desa Sungai Baung.  

Maka pada zaman itu di nyatokan karang setio (janji setia), ‘NGAI SUNGAI PINANG” CUBAN SUNGAI BESA” SEBINGKAH TANAH SEKAKI PAYUNG” KE AIR SAMO-SAMO DI PERIKAN, KE DARAT SAMO-SAMO DI PAUMO, ini dasar dari Perjanjian bersama yang bernama KARANG SETIO, maka pada proses zaman berjalan kurun waktu yang panjang, maka di tetepkan lah batas kampung, salah satunya yang di SUNGAI BAUNG : kalau yang di tepi rimbo, batas

Pada masa zaman perubahan marga menjadi desa, desa sungai baung dengan dahulu namanya ‘Kampung Tengah” menjadi Nama Desa Sungai Baung”, dan pada zaman Menti 6 itu bersepakat meletakkan Ibu Kota Marga di Kampung Tengah yang sampai saat ini menjadi Desa Sungai Baung.

Marga Sungai Pinang ini diperkirakan pada masa Abad ke XVIII, kemudian menti 6 melaksanakan perjanjian dengan Muara Siau dan Jangkat untuk Batas Marga, untuk Muara Siau batas Marganya dengan NAMA SUNGAI ARAI ke MUDIK NYA BATAS BATU PENGAJI (TEMPAT ORANG MENGKAJI) DAN KE ILIRNYA KASAI BETINDIK (BEKAS KAYU YANG DI BOLONG DENGAN MENGGUNAKAN TINJU TANGAN), DAN MASIH DENGAN MUARA SIAU DI SUNGAI BATANG NGAI - GLUNTUNG BATU PUTIH/ MUAT (SEMPIT), TERUS KE SUNGAI SIAMANG SAMPAI KE POHON PARA (KARET) SEBATANG. Untuk batas dengan Jangkat dan Marga Sungai Pinang adalah SUNGAI DUO (sungai yang di miliki dua yang dimiliki oleh dua Marga ini, air yang jatuh ke Lembak Ilir milik wilayah batang asai (marga sungai pinang), ke Lembak Tengah masuk Marga Sungai Pinang (Desa Pemuat), Lembak Mudik adalah milik Jangkat (Marga Sungai Tenang). Lembak artinya aliran hulu sungai yang airnya mengalir ke anak sungai yang dekat dengan sebuah wilayah kekuasaan

Masyarakat Desa SUNGAI BAUNG yang berasal dari nenek moyang Marga Sungai Pinang yang berasal dari Jawa Mataram. Kemudian datang bertujuan cari genah (lokasi). Sampai lokasi bertemu dengan sungai dan diberilah nama SUNGAI BAUNG yang kemudian menjadi Desa SUNGAI BAUNG., dahulunya nama Kampung Tengah (Ibukota Marga)

Di Marga Batin V Sarolangun Sejarah “puyang” Batin V terdapat berbagai versi. Versi pertama disebutkan pada masa kerajaan Jambi, seorang Cokro Aminoto berasal dari Dusun Biaro menyusuri Batang Asai. Batang Asai adalah Sungai yang berasal dari Marga Bating Pengambang yang kemudian mengilir ke Sungai Tembesi.

Sebagian masyarakat meyakini “Rio Depati Jayaningat Singodilago”.

Penyebutan nama “Singodilago” merupakan nama dari Kerajaan Jambi. Waktu itu Kerajaan Jambi masih bernama Kerajaan Tanah Pilih. Dengan penyebutan nama Kerajaan Jambi dan Raja Singodilago membuktikan, cerita Kerajaan Tanah Pilih hidup di tengah masyarakat.

Setelah berada di tempat Lidung, maka bertemunya masyarakat dari 3 suku yaitu Suku Senaning, Tanjung Putus dan Dusun Alai. Pertemuan ketiga suku di daerah lidung kemudian menganggap sebagai tempat berlindungnya dari serangan luar.

Penyebutan Lindung kemudian dengan pengucapan dialek kemudian disebut “lidung” yang kemudian menjadi Dusun Lindung.

Sedangkan cerita versi kedua adalah “puyang” berasal dari Jawa Mataram. Kemudian menyusuri Tungkal, terus ke Jambi. Di Sungai Asam kemudian mampir di Pinang Belarik.

Di Sungai Asam, kemudian mengikat biduk. Disanalah kemudian “jatuh pinang berwarna kuning”

Cerita ini juga dikenal sebagai hikayat Putri Selaras Pinang Masak.

Setelah itu kemudian menyusuri Sungai Nibung dan bertemu batu putih dan kemudian menemukan batu hitam. Batu putih kemudian ditetapkan sebagai batas wilayah Jambi. Sedangkan batu hitam merupakan wilayah Sumsel.

Batu hitam kemudian dikenal sebagai daerah DAS Air hitam yang hilir sungainya kemudian langsung berbatasan langsung dengan wilayah Sumsel.

Daerah ini kemudian masuk kedalam Taman Nasional Berbak yang langsung berbatasan dengan Dangku-Sembilang.

Sungai Asam adalah nama tempat yang terdapat di Kota Jambi dekat Jembatan Makalam. Sedangkan “belarik” adalah berbaris memanjang. Dengan demikian, maka Pinang Belarik adalah tanaman pinang yang berbaris teratur rapi dan memanjang.

Barisan pinang memanjang (belarik), masih bisa dijumpai terutama di daerah hilir Propinsi Jambi seperti di Marga Sabak, marga Kumpeh, Marga Jebus, Marga Dendang, Marga Tungkal Hilir.

Pinang adalah salah satu komoditi utama yang diekspor dalam jalur perdagangan di Selat Malaka.

Tome Pires didalam buku klasiknya “Suma Oriental” menyebutkan jalur lintas perdagangan di daerah Muara Sabak. Sabak kemudian diidentikkan dengan “Zabag” yang dceritakan orang Arab, Abu Zayd.

Sedangkan catatan arkeologi Uka Tjandrasasmita maupun “undang-undang Negeri Jambi”, Muara Sabak merupakan salah satu pelabuhan besar yang terletak di tanah Tungkal.


Selain menyebutkan puyang sebagai nenek moyang, masyarakat Melayu Jambi juga mengenal cerita-cerita rakyat yang dituturkan turun temurun.

Cerita tentang Sultan Thaha, Datuk Paduko Berhalo[117], Datuk Rangkayo Hitam, Putri Pinang Masak, Dara Jingga – Dara Petak, Bukit Siguntang, Angso Duo (Dua Angsa)[118], SI Pahit Lidah[119], Tapah Melenggang (Pulau Temiang), Malin Tembesu (Jambi), Raja Kolong (Muara Bulian), Numang Kasia (Kerinci), Putri Tanglung (Suko Berajo)[120], Datuk Marsam – Sang Belalang Kunyit[121], Tupai Janjang (kerinci)[122], Si Kelingking[123], Legenda Putri Cermin Cina (Pemayung, Batanghari)[124], Legenda Bukit  dan Perak[125]. Tentu saja banyak lagi cerita rakyat yang popular ditengah masyarakat.

II.              SELOKO

Didalam mengungkapkan berbagai ujaran kebijaksanaan terhadap pengetahuan, sejarah keberadaan (Puyang) maupun tentang ajaran kehidupan dikenal seloko.

Didalam nilai-nilai yang agung yang kemudian dikenal seperti Titian teras betanggo batu, cermin yang tidak kabur, lantak nan tidak goyah, dak lapuk dek hujan dak lekang dek panas, kato nan saiyo, adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah, syara’ mengato, adat memakai; [126]

Adat Bersendikan syara’ merupakan Adat Melayu Jambi berisi nilai- nilai, aturan-aturan, norma dan kebiasaan-kebiasaan kuat dan benar serta menjadi pedoman dalam penataan tatanan masyarakat, sistem hukum, sistem kepemimpinan dan pemerintahan yang dipegang teguh masyarakat Melayu Jambi dengan sistem sanksi yang tegas jika anggota masyarakat melakukan pelanggaran.

Sedangkan di Marga Sungai tenang disebut seloko Titian Teras bertangga batu”, “Cermin nan tak kabur”,  ”Lantak nan tak goyang, kaping idak tagensuo. Tidak lekang karena panas tidak lapuk karena hujan”, ”Adat lamo pusako usang, yang terpahat di tiang panjang yang terlukis di bendul jati. Setitik nan dak ilang, sebaris yang tidak tebo”, nilai ini merupakan nilai fundamental (ground norm) dalam pemikiran Hans Kelsen[127],  yang kemudian dapat ditarik menjadi norma-norma yang dapat diterapkan secara praktis.

Dalam pengungkapan kemudian “Bak li beganti li, lapuk pua jelipung tumbuh. Bak lapuh di ujung tanjung ilang sekok timbul sekok.  Adat yang diturunkan nenek moyang yang  “Adat bersendikan syarak, Syarak bersendikan kitabbullah”. Adat yang disahkan oleh Syarah.

Turun yang diturunkan nenenk moyang tidak akan hilang, karena akan timbul. Waris dari Depati Surau gembala hakim yang memegang adat, yang diwariskan tidak hilang, walaupun mati rajo kehilangan tembo mati tuo kehilangan toto.

Nilai yang menjadi pegangan dan dihormati masyarakat, Titian Teras bertangga batu. Cermin nan tak kabur. Lantak nan tak goyang, kaping idak tagensuo. Tidak lekang karena panas tidak lapuk karena hujan, “Adat bersendikan syarak, Syarak bersendikan kitabbullah.

Nilai yang terkandung didalam “Titian Teras bertangga batu. Cermin nan tak kabur. Lantak nan tak goyang, kaping idak tagensuo. Tidak lekang karena panas tidak lapuk karena hujan, “Adat bersendikan syarak, Syarak bersendikan kitabbullah, menurut Ajaran Hukum Murni hipotesis yuridis yang disebutnya Grundnorm.

Hipotesis yuridis ini diurai oleh Ali Safa’at, selama Orde Baru Grundnorm diisi dengan Pancasila dan Orde Reformasi diisi dengan Proklamasi 17 Agustus 1945. Grundnorm yang berada di “atas“ norma-norma hukum positif merupakan daya tarik dan sekaligus krisis bagi Ajaran Hukum Murni di kemudian hari. Masa ini dihiasi dengan munculnya Ajaran Hukum Murni (Reine Rechtslehre) dari Hans Kelsen yang mendefinisikan Ajaran Hukum Murni sebagai Teori Hukum Positif yang objeknya adalah hukum positif. Berbagai istilah digunakan oleh Hans Kelsen guna menamai Teori Hukum Positif seperti Ilmu Hukum Normatif dan Teori Juristik yang sebangun struktur argumentasinya. Sikap yang diambil Hans Kelsen adalah pemurnian “hukum” dari kepentingan-kepentingan di luar hukum seperti politik, keadilan, ideologi dan seterusnya. Hukum merupakan teknik sosial yang spesifik dengan objek hukum positif.

Nilai yang terkandung didalam “Titian Teras bertangga batu. Cermin nan tak kabur. Lantak nan tak goyang, kaping idak tagensuo. Tidak lekang karena panas tidak lapuk karena hujan, “Adat bersendikan syarak, Syarak bersendikan kitabbullah, dalam Teori stufenbau, menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm). Menurut Kelsen norma hukum yang paling dasar (grundnorm) bentuknya tidak kongkrit (abstrak)

Contoh norma hukum paling dasar abstrak adalah Pancasila. Melalui grundnorm ini semua peraturan hukum disusun dalam satu-kesatuan. Grundnorm merupakan sumber nilai bagi adanya sistem hukum, Grundnorm merupakan norma hukum tertinggi dalam Negara. Dibawah grundnorm terdapat norma-norma hukum yang tingkatannya lebih rendah dari grundnorm tersebut. Maka berdasarkan stufenbau der rechtstheorie (teori pertingkatan hukum) Hans Kelsen, nilai adat berkedudukan sebagai grundnorm (norma dasar). Grundnorm adalah kaidah tertinggi, fundamental, dan menjadi inti (kern) setiap tatanan hukum dan negara. Grundnorm, disebut juga staas grundnorm. Dalam ajaran mazhab sejarah hukum yang dipelopori Friedrich Carl von Savigny dan bertitik tolak pada volksgeist (jiwa bangsa), nilai adat dapat digolongkan sebagai volksgeist bangsa Indonesia

Dengan menggunakan berbagai pendekatan, maka menurut Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, Nilai-nilai yang diajarkan didalam Masyarakat Adat dikenal sebagai ajaran nilai (waardenleer).

Yang berhak untuk memutih menghitamkam, Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek. Mampu menyelesaikan dengan cara Jenjang Adat. Betakap naik, berjenjang turun. Dari Suku membawa ke nenek mamak. Apabila tidak dapat diselesaikan, maka memberitahu kepada Debalang. Apabila tidak dapat diselesaikan, maka Debalang memberitahu kepada Kepala Dusun. Apabila tidak dapat diselesaikan, maka kepala Dusun memberitahu kepada kepala Negeri.



Membicarakan Melayu Jambi tidak dapat dipisahkan dari kewilayahan Propinsi Jambi yang merupakan daerah yang menjadi residentie Djambi. Dalam Tambo, batas wilayah Jambi dikenal dengan istilah durian di Takuk Rajo (Batas dengan Sumsel), sialang belantak besi (Batas dengan sumbar), Salo belarik (batas dengan Riau)

Dalam dokumen-dokumen Belanda wilayah Jambi sebagai bagian dari kekuasaan Belanda dapat dilihat pada Peta Belanda seperti Schetkaart Resintie Djambi Adatgemeenschappen (Marga’s), Tahun 1910, Skala 1:750.000, Schetskaart Van de Residentie Djambi, Tahun 1906, Skala 1 : 500.000, Schetskaart Van de Residentie Djambi, Bewerkt door het Encyclopaedisch Bureau 1922 – 1923, Skala 1 : 750.000, Automobielkaart van Zuid Sumatra Samengesteld en Uitgegeven door Koniklijke , Vereenging Java Motor Club, Tahun 1929, Skala 1 : 1.500.000, Economical MAP of The island Of Sumatra, Gold and silver, Tahun 1923, Skala 1 : 1.650.000, Verkeers en Overzichtskaart van het eiland Sumatra, Tahun 1929, Skala 1.650.000, dan Kaart van het eiland Sumatra, Tahun 1909, Skala 1 : 2.000.000, , Aangevende de ligging Der Erfachtsperceelen en Landbrouwconcessies Of Sumatra, Tahun 1914, Skala 1 : 2.000.000 telah jelas menerangkan posisi Residentie Jambi sebagai jalur perdagangan karet yang utama bagi Pemerintah Kolonial.

Kekerabatan Melayu dapat dilihat dalam seloko adat. “Sumpah setio. Ke langit sama dikadah Ke bumi sama dikutungkan, Darah samo dikacau, daging samo dikimpal, Kehilir serentak dayung, kemudik sehentak satang, Kebukit samo mendaki, kelurah samo menurun, Tegak sama tinggi, duduk sama rendah, serumpun bak serai, seinduk bak ayam, Tolong menolong bagai aur dengna tebing, Tudung menudung bagai daun sirih, samo-samo berbenteng dadober berkuto betis beranjau, tunjuk menunjuk menghadapi musuh, Tidak boleh pepat diluar rencong didalam, tidak boleh budi menyuruk akal merangkak, Menggunting dalam lipatan, tidak boleh menohon kawan seiring, harus sesopan semalu, Dapat samo belabo hilang samo merugi. Samo makan tanah bila telungkup, samo minum air bila telentang”

Clifford Geerz mendefinisikan ikatan primordial adalah “perasaan yang lahir dari yang dianggap ada dalam kehidupan sosial, sebagian besar dari hubungan langsung dan hubungan keluarga, tetapi juga meliputi keanggotaan dalam lingkungan keagamaan tertentu, bahasa atau dialek tertentu, serta kebiasaan-kebiasaan sosial tertentu. Persamaan hubungna darah, bahasa dan kebiasaan pada dirinya memiliki kekuatan yang meyakinkan.

Membicarakan Seloko dapat mengatur tentang alam, cara menghormati pemimpin, menyelesaian persoalan maupun berbagai ujaran-ujaran atau pengajaran kebijaksanaan.

Seloko tentang etika kepemimpinan Jambi dikenal ditengah masyarakat.  Sebagai pemimpin maka memiliki sikap-sikap yang menjunjung tinggi nilai-nilai.

Seloko seperti “Sedekuk bak batu di pulau, Sedencing bak besi dipalu, Seilmu bak kuaw lanting, Tudung-menudung bak dawn sirih, Jahit menjahit bak daun petai, jangan bak tanduk diikat silang siur” adalah seorang pemimpin harus mampu bersikap jujur dan adil.

Seorang pemimpin haruslah ”cerdik idak membuang kawan, gemuk idak membuang lemak, tukang idak membuang kayu, gedang idak melando, panjang idak melilit” yang melambangkan kecerdikan.

Seloko ”Orang buto peniup lesung, Orang pekak pelepas bedil, orang lumpuh penunggu rumah, Orang patah pengejut ayam, Orang buruk pelantun dune, Kain baju peneding miang, Emas perak peneding malu, Idak ado bergs atah dikisai” melambangkan kepemimpin yang pintar untuk menempatkan seseorang sesuai dengna kemampuannya.

Seloko seperti  Bekato benar bejalen lurus, Memakai suci memakan halal” adalah menempatkan dan menghargai kebenaran.

Seloko seperti ”Bejalan dulu selangkah, Bekato dulu sepatah, netak mutus, Makan ngabisi” adalah melambangkan sikap yang bijaksana.

Seloko seperti Tempat Betanyo, artinya pergi tempat betanyo, Balik tempat beberito” adalah menempatkan keteladanan kepemimpinan yang kemudian menjadi tempat berteduh dan menjadi saluran dari semua persoalan masyarakat.

Seloko Kepempinan mengatur tentang struktur kepemimpinan, Kedudukan pemimpin,  Tipe kepemimpinan


Struktur kepemimpinan

Kepemimpinan ditengah masyarakat ditandai dengan seloko “Alam sekato Rajo. Negeri sekato Batin. Atau “Alam Berajo, Rantau Berjenang, Negeri Bebatin, Luhak Berpenghulu, Kampung betuo, Rumah betengganai”. Ada juga menyebutkan “Alam sekato Rajo. Negeri sekato Batin. Atau “Alam Berajo, Rantau Berjenang, Negeri Bebatin, Luhak Berpenghulu, Kampung betuo, Rumah betengganai”. Atau “Alam sekato Rajo, Negeri sekato Bathin. Atau Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak. Atau “Luak Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, Alam sekato Rajo, Rantau Sekato Jenang, Negeri sekato nenek moyang.

Cara penghormatan kepada pemimpin ditandai dengan seloko Alam sekato Rajo. Negeri sekato Batin. Atau “Alam Berajo, Rantau Berjenang, Negeri Bebatin, Luhak Berpenghulu, Kampung betuo, Rumah betengganai”  melambangkan alam kosmos Rakyat Melayu Jambi untuk menempatkan dan menghormati pemimpin. Dengan mengikuti alur dan menempatkan pemimpin ditengah masyarakat, maka setiap perkataan, seruan kemudian diikuti oleh masyarakat.

Begitu agung dan dihormati pemimpin, masyarakat akan mengikuti setiap perintah, setiap perkataan dari pemimpin. Setiap perkataan dan perintah dari pemimpin sebagai bentuk pemimpin yang dihormati.

Mereka “menyerahkan” hidupnya. Menyerahkan masa depannya kepada pemimpin.


Kedudukan pemimpin

Kedudukan pemimpin diibaratkan “Pohon gedang ditengah dusun. Pohonnya rindang. Tempat beteduh. Akarnya besak tempat besilo.

Tipe kepemimpinan

Di samping itu dalam sloko adat Melayu Jambi dikenal adanya 7 macam pimpinan yang tidak disenangi.

Pertama adalah Pimpinan Di Ujung Tanjung. Sikap pemimpin yang suka mengambil muka, berdusta dan berdiri di atas penderitaan teman, dan suka mengaku sebagai pahlawan.

Kedua. Pimpinan Ayam Gedang.  SIkap pemimpin yang suka menonjolkan tuahnya atau kemampuannya dengan berkoar. Padahal sehari-hari dia saja “yang mampu berkotek. Namun tidak mampu bertelur. Sikap pemimpin ini “elok bungkus pengikat kurang.

Ketiga. Pimpinan Buluh Bambu, Sikap pemimpin yang cuma mengutamakan penampilan luar, kosong di dalam, namun hilir mudik membanggakan dirinya sebagai seorang pimpinan.

Ada juga menyebutkan Pemimpim belah bamboo. Yang sekok diangkat. Yang sekok diinjak. Ini melambangkan tipe kepemimpinan yang tidak adil. Apabila keluarga atau kelompoknya diutamakan. Tapi terhadap diluar kelompoknya kemudian ditindas (diinjak).

Pemimpin yang baik tidak akan mencoba “menyakiti” rakyatnya. Tidak boleh mengkhianati rakyat. Tidak boleh “berbohong”. Tidak boleh bertindak tidak adil. “Belah bambunya”. Satu diangkat. Satu diinjek (dipijak). Satu di untungkan namun yang lain dikorbankan.

Satu dibedakan. Satu diistimewakan. Satu diperlakukan tidak adil. Satu diperlakukan begitu kejam. Satu diperlakukan tidak pantas. Tidak boleh itu.

Keempat. Pimpinan Ketuk-Ketuk. Sikap pemimpin yang tidak memiliki keberanian membela masyarakat

Kelima adalah Busuk Aring”. Sikap yang berhati licik, curang, serakah, melilit orang, korup, kadangkala mau menjual keluarga dan sahabatnya.

Keenam adalah “Pisak Celano”. Sikap pemimpin yang suka kawin cerai, suka melirik dan melihat wanita cantik maka hatinya tergiur untuk mengawininya kemudian ia ceraikan.

Ketujuh. “Pimpinan Tupai Tuo, adalah pimpinan berhati minder atau rendah diri, dan tidak berani tampil ke gelanggang.

Ditengah masyarakat dikenal tipe-tipe Penghulu. Seperti Penghulu nan ditanjung, penghulu ayam gedang, penghulu buluh bamboo, penghulu ketuk-ketuk, penghulu tupai tuo, penghulu pisak serawal[128].


Pemimpin yang lalim

Pemimpin lalim ditandai dengan seloko “Raja alim. Raja disembah. Raja Lalim Raja disanggah”. 


Pemimpin yang dijauhi

Pemimpin yang lalim kemudian dijauhi oleh masyarakat ditandai dengan Seloko “Jatuh dipemanjat. Jatuh di perenang”

Selain seloko tentang nilai-nilai, tentang kepemimpinan juga mengatur tentang alam. Seloko alam seperti ngambil arin dan baleh arin” atau “narin” atau “pelarian” yaitu dimana petani bekerja di lahan petani yang lain secara bergantian berdasarkan hitungan jumlah hari kerja.

Gerebuh yaitu jika ada keluarga yang mendapat musibah (misalnya kematian, kecelakaan atau musibah besar lainnya) maka anggota keluarga terdekat atau bisa penduduk dusun secara suka rela membantu menyelesaikan pekerjaan yang mendesak seperti : panen padi (nuai), nebas jerami, merumput (membersihkan gulma/rerumputan pada areal ladang tempat menanam padi ladang).

Nyerayo meminta bantu kepada keluarga, tetangga atau dalam skala besar kepada seluruh penduduk (isi alam isi negeri, anak jantan anak betino) untuk membantu meyelesaikan pekerjaan yang mendesak seperti panen padi (nuai), nebas jerami, merumput (membersihkan gulma/rerumputan padi ladang).

Gotong Royong pemerintah desa atau nenek mamak memerintahkan kepada seluruh masyarakat untuk membantu sesuatu pekerjaan seperti mendirikan masjid dan sebagainya

Ngingah Ternak yaitu memelihara ternak orang lain dengan kemudian keturunannya menjadi milik bersama”.

“motong kebun orang” yaitu memanen / menderes karet orang lain dengan sistem bagi hasil (umumnya sistem bagi tiga, 2/3 menjadi bagian pemotong)

“Nigoi sawah” yaitu mengelola sawah orang lain dengan sistem bagi tiga.

“Nugal” yaitu bersama-sama dengan petani-petani yang bedekatan lokasi ladang (kelompok talang) menanam padi ladang. Penanaman padi ladang mengunakan alat dari kayu yang diruncingkan untuk membuat lobang tanam yang dinamakan “tugal

Betegak rumah mengundang dan meminta bantuan penduduk desa dalam mendirikan rumah biasanya diiringi dengan sedekah dan beberapa tahapan prosesi adat.

Keayek bebungo pasir ke darat bebungo kayu, ke Ladang bebungo emping ke tembang bebungo emas” yaitu pemanfaatan bahan bangunan dari air seperti pasir, batu dan koral serta bahan bangunan dari daratan seperti kayu pada saat akan mendirikan bangunan ada biaya dibayarkan kepada desa.

Aturan turun kesawah” beberapa minggu sebelum musim turun kesawah nenek mamak mengumumkan pada saat turun ke sholat jum’at. Umumnya waktu turun kesawah ditetapkan dimulai pada hari kesepuluh bulan haji. Mulai tanggal 10 Dzulhijah masyarakat sudah mulai menabur benih padi di persemaian (“mulai nabur”).

Larangan menjual hutan kepada pendatang dari luar, aturan ini baru beberapa tahun terakhir diberlakukan semenjak mulai seringnya penduduk dari luar (migrant) yang berekspansi membuka kawasan hutan untuk dijadikan areal berkebun kopi.

Larangan meracun ikan” yaitu larangan penduduk meracun ikan di sungai. Jika kedapatan atau ketahuan dikenakan sanksi adat.

Seloko Tentang Penerapan hukum kebiasaan

Hak Dacin pado yang ditimbang, hak sukam pado yang digantang, Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung.  Dimana air disauk, disana ranting dipatah. Datang Nampak muka. Balek Nampak punggung adalah seloko yang menghargai hukum adat setempat dan menghormati hukum yang berlaku pada daerah tertentu.

Selain itu juga dikenal seloko “ico pakai”. Ico pakai adalah bahasa adat yang berarti  kebiasaan yang berlaku pada suatu tempat dalam Wilayah Adat[129]. Ico Pakai” (Penerapan) adat istiadatnya yang disebut “Tak Lapuk di Hujan, Tak Lekang di Panas”[130]. Istilah Ico Pakai dapat ditemukan didalam Perda Provinsi Jambi No. 2 Tahun 2014, Perda Kotamadya Jambi No. 4 Tahun 2014 dan Perda Kabupaten Tanjung Jabung Timur No. 5 Tahun 2014, Perda Kabupaten Bungo No. 9 Tahun 2007.


Hubungan antara pemimpin dengan alam.

Hubungan antara pemimpin dengan alam kemudian ditandai dengan Tanda hubungan baik antara pemimpin dengan alam. Seperti seloko Negeri Aman, Padi Menjadi. Airnyo bening, ikannya jinak. Rumput mudo, kebaunya gepuk. Padi masak, rumpin mengupih. Timun mengurak, bungo tebu. Meyintak ruas terung ayun mengayun. Cabe bagai bintang timur. Ke ayek tiik keno, ke darat durian guguu.


Seloko tentang ruang

Seloko tentang penyelesaian

Didalam menyelesaikan setiap persoalan maka dikenal seloko “Berjenjang adat, Berjenjang naik, Bertangga turun”. Sebagian juga menyebutkan  Bertampan  hendak lebar. Bersambang hendak panjang. Supaya yang genting tidak putus. Supaya yang biang tidak tembuk.

Yang dimulai dari prosesi adat dimulai dari “Sirih senampan.  Keris nan sebilah.  Kok tinggi pusako rajo dijuluk dengan yang sebatang.  Kok rendah pusako rendah kok dengan keris nan sebatan.  Kusut minta diusaikan.  Keruh minta dijernihkan.

Ada juga menyebutkan ”Disitu kusut diselesaikan.  Disitu keruh dijernihkan. Disitu kesat sama diampelas. Disitu bongkol sama ditarah.

Didalam menyelesaikan perselisihan maka dikenal seloko ”Mencari bungkul dari pangkal, Mencari usul dari asal”.


Seloko sanksi

Didalam memberikan sanksi maka dikenal Seloko seperti ”Beras segantang, atau selemak-semanis”, atau ”luka dipampeh, Mati dibangun’.  Seloko ini mengandung arti terhadap pemberian sanksi disesuaikan dengan kesalahannya.

Selain itu dikenal seloko seperti ”Be adat dewek pesako mencil. Bebapak pada harimau.  Berinduk pada gajak.  Berkambing pada kijang. Berayam pada kuaow.

Menurut Muhammad Fadli,  Seloko mengandung Nilai budaya tersebut dikelompokan berdasarkan 5 kategori hubungan manusia dalam berbudaya, yaitu: (1) Nilai budaya dalam hubungann manusia dengan tuhan, (2) nilai budaya dalam manusia dengan alam, (3) nilai budaya dalam manusia dengan masyarakat, (4) nilai budaya dalam hubungn manusia dengan manusia lain, (5) nilai budaya dalam hubungan manusia dengan dirinya sendiri[131].

Seloko hukum adat merupakan bentuk ungkapan tradisional melayu Jambi. Konsep seloko dalam konteks bahasa Melayu Jambi pada dasarnya adalah sama dengan peribahasa dalam bahasa Indonesia. Seloko merupakan yang berisi petuah-petuah untuk keselamatan dan kebaikan hidup bagi masyarakat[132].

Seloko dapat dikatakan Seloko hukum adat karena ungkapan tersebut sering digunakan pada acara-acara yang berhubungan dengan adat, seperti saat meminang gadis, musyawarah adat, penetapan hukum adat, penentuan hukuman bagi seseorang yang melanggar adat maupun dalam pergaulan muda-mudi[133]. Simbol adalah makna yang tersirat didalam seloko[134]

Simbol-simbol ungkapan tersebut sarat dengan nilai-nilai moral, agama, sosial,dan budaya dapat berfungsi sebagai sarana pendidikan karakter. Mengacu pada pendapat Cassirer[135], hal ini menunjukkan bahwa manusia terlibat dalam suatu jalinan simbol-simbol yang diungkapkan melalui mitos, religi, adat istiadat, bahasa, seni, sejarah, dan ilmu pengetahuan.

Menurut Ade Rahima, Seloko hukum adat merupakan satu jenis kesusasteraan masyarakat Melayu Jambi berbentuk ungkapan tradisional. Sebagai ungkapan tradisional seloko hukum adat Melayu Jambi merupakan bagian dari tradisi lisan yang diwariskan secara turun-temurun dalam bentuk tutur kata. Seloko hukum adat Melayu Jambi telah dikenal semenjak berdirinya kerajaan Melayu di Jambi yakni masa pemerintahan kesultanan Jambi sekitar abab ke XV. Dengan demikian, keberadaan seloko sama tuanya dengan keberadaan kerajaan Melayu Jambi, karena pada masa itu selain di lingkungan istana dan para piyayi, seloko telah dipakai dalam hubungan sosial di Masyarakat. Pemakaian seloko merupakan kebiasaan masyarakat sehari-hari sebagai bahasa adat untuk pengokoh nilai-nilai dan norma-norma. Dari aneka ungkapan seloko tersebut dapat ditelusuri peranan adat yang membina masyarakatnya yang diiringi dengan sanksi atau hukum adat jika ada kejahatan yang dilakukan atau pelanggaran hukum[136].

Nurhasanah menyebutkan Seloko adalah produk Islam Melayu[137]. Namun ketika disimak didalam seloko seperti “Teluk Sakti. Rantau Betuah. Gunung Bedewo”, atau “rimbo sunyi. Tempat siamang beruang putih. Tempat ungko berebut tangis” tidak menggambarkan Islam Melayu. Penempatan dengan menghormati tempat-tempat leluhur atau tempat-tempat yang dihormati seperti pengungkapan “teluk sakti. Rantau betuah gunung bedewo” atau “rimbo sunyi”, atau penggunaan kata-kata seperti “sakti, betuah, bedewo” lebih tepat menggambarkan mempunyai pengaruh yang kuat dari ajaran Hindu Spritualitas Upanishad[138].

Dalam tradisi intelektual India, Upanishad[139] dihubungkan dengna gerakan yang ingin melakukan reinterpretasi atau reformasi kehidupan religius. Paham ini kemudian menempatkan dalam monistik. Termasuk dalam perkembangan kehidupan sosial keagamaan yang menempatkan tidak semata-mata milik kelompok elite tertentu.

Pertanyaan tentang konsepsi Tuhan sebagai penyebab alama semesta “darimana makhluk itu lahir, melalui siapa mereka hidup dan kepada siapa mereka kembali” ? Menyebabkan pertanyaan tentang konsepsi alam dapat dilihat sebagai berikut :
  1. Alam semesta tidak dianggap ada dari ketiadaan atau non eksistensi (creatio exnihilo). Alam harus dipandang sebagai sebuah proporsi prime facie yang suatu saaat digugurkan oleh kebenaran. Alam semesta lahir dari Tuhan.
  2. Alam Semesta kembali kepada tujuan akhir, yakni Tuhan. Sumber darimana mereka muncul pada awalnya.

Tujuan utama Upanishad bukanlah mengajarkan kebenaran filsafat melainkan kedamaian dan kebebasan.

Dalam uraian yang lain, Prof. Dr. H. Kaelani, MS menjelaskan[140]
Dalam kosmologis-ekologis ini menunjukkan kehidupan manusia senantiasa dalam kondisi lingkungan yang tidak terpisahkan satu dengan yang lain. Manusia haruslah ditempatkan dalam konteks real dan kongkrit. Unsur dimensi materialis merupakan perspektif manusia yang bersifat real dan alamiah.

Memahami manusia berarti menempatkannya dalam konteks kehidupan yang nyata. Dalam kaitannya dengan alam lingkungannya. Dalam pengertian inilah maka manusia harus senantiasa membudayakan dirinya dan menyosialisasikan dirinya demi kehidupan dan meningkatkan harkat dan martabatnya.

Dengan demikian maka Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo  atau Rimbo sunyi yang dikenal dengan seloko “Tempat siamang beruang putih. Tempat ungko berebut tangis hanyalah tempat dan bentuk penghormatan manusia kepada Tuhan. Aristoteles menyebutkannya “hylemorfisme”[141]. Sedangkan Islam sendiri menyebutkannya “Zuhud”, yakni menjalani kehidupan dunia secara sederhana pengaturan yang bertujuan untuk akherat (aspek eksatologis/ukhrawi)[142].

III.            KOSMOSPOLITAN  DAN TANAH

Setiap peradaban tidak dapat dipisahkan alam pikiran dengan alam semesta. Sistem budaya masa prasejarah adalah sistem budaya mistis yang berkaitan erat dengan sistem kepercayaan mistis. Menurut Jakob Sumardjo: “Dalam masyarakat dengan konteks budaya mistis ini terdapat cara berpikir berdasarkan kesatuan kosmos. Mikrokosmos (manusia), makrokosmos (semesta), dan metakosmos (alam lain) menjadi satu keutuhan”. Konsep adanya kehidupan sesudah kematian, sesungguhnya berawal dari masa prasejarah ini. Cara berpikir bahwa ada sesuatu kekuatan di luar diri manusia dan menguasai mereka yang masih hidup merupakan norma-norma yang dijunjung tinggi dan utama dalam hidup dan kehidupan manusia purba, sebagai sebuah sistem kepercayaan[143].

Tradisi pembuatan bangunan megalitik selalu berkaitan dengan kepercayaan adanya hubungan antara orang yang masih hidup dengan nenek moyang mereka yang sudah meninggal. Dalam hal ini manusia pendukung kebudayaan megalitikum percaya nenek moyang yang sudah mati mampu mempengaruhi kesejahteraan hidup masyarakat atau kesuburan tanah dari generasi yang masih hidup[144]

Perbedaan arah hadap mulut tempayan membuktikan bahwa tempayan sengaja dikubur dalam posisi rebah. Arah hadap mulut tempayan ke timur ditemukan juga di Situs Lolo Gedang, Kerinci. Kemungkinan besar arah hadap mulut berkaitan dengan arah kosmis atau mata angin[145].

Gambaran atau citra terhadap dunia (makrokosmos), ikut menentukan tatanan mikrokosmos yang akan diwujudkan dalam penataan wilayah, ibukota, kompleks keraton, maupun bangunan pada umumnya.

Seperti yang dijelaskan oleh Geldern[146] bahwa menurut doktrin Brahmana, gambaran atas dunia (makrokosmos) atau jagat ini terdiri dari: “Jambudwipa”, sebuah benua berbentuk lingkaran terletak di pusat, dikelilingi oleh tujuh buah samudra berbentuk cincin dan tujuh buah benua lain berbentuk cincin juga.

Di luar Samudra terakhir dari ketujuh samudra tadi, jagat itu ditutup oleh barisan pegunungan yang sangat besar. Di tengah-tengah jambudwipa (tengah-tengah jagat raya), berdirilah gunungmeru menjadi pusat dari jagat raya, gunung ini dikelilingi oleh tujuh barisan pegunungan.

Masing-masing pegunungan ini dipisahkan oleh tujuh buah samudera yang berbentuk cicin. Di luar rantai pegunungan terakhir terletak lautan dan di dalam lautan ini dijumpai empat buah benua, masing-masing pada penjuru angin. Benua yang terletak di Selatan gunungmeru adalah Jambudwiva, tempat tinggal umat manusia. Jagat raya itupun dikelilingi oleh sebuah dinding besar yang terdiri dari batu karang, disebut barisan cakrawala.

Pada lereng gunungmeru terletak Swarga (surga) yang terendah, yaitu swarga dari keempat raja besar atau penjaga dunia.. Pada puncaknya Swarga ke dua, yaitu Swarga ke-33 dewa serta Sudarsana, kota dewa-dewa, tempat Indra bersemayam sebagai raja.

Di atas Gunungmeru terdapat lapisan-lapisan lainnya dari kayangan” (biasanya ada 26, termasuk lapisan-lapisan diatas gunungmeru, tetapi jumlah ini kadang-kadang berbeda). Perbedaan penafsiran atas ujud jagat raya ini juga terjadi diberbagai wilayah di Asia Tenggara, termasuk Jawa dan Bali. Meskipun ada sedikit perbedaan dalam hal-hal kecil namun, intinya seperti: bentuk yang berupa lingkaran, wilayah-wilayah yang berpusat mengelilingi gunungmeru (Meru sebagai pusat atau center)[147]

Alam cosmopolitan Marga Batin Pengambang dituturkan dengan menempatkan 4 Penjaga Negeri . Rio Cekdi Pemangku Rajo. Yang bertugas menjaga pintu dari Timur. Dengan wilayahnya Bathin Pengambang, Batu berugo, Narso. Debalang Sutan yang bertugas menjaga pintu di sebelah selatan. Dengan wilayah Sekeladi, Guguk tinggi, Tangkui, Padang Baru. Menti Kusumo yang bertugas menjaga pintu dari Utara. Dengan wilayah Rantau Jungkai, Renah Kemang, Sungai keradak. Debalang Rajo yang  menjaga pintu dari barat. Dengan wilayah Muara Simpang, narso kecil.

Penempatan “penjagaan” yang bertugas empat penjuru mata angin seperti di Marga Batin Pengambang seperti Rio Cekdi Pemangku Rajo (Timur), Debalang Sutan (Selatan), Menti Kusumo (Utara) Debalang Rajo (barat) adalah “punggawa” menjaga pemukiman Marga Batin Pengambang.

Di Marga Maro Sebo Ulu, dikenal Debalang Raja Jambi[148]. Sebagai Debalang Raja Jambi maka senang disebut sebagai “Orang Raja. Yang memerintah di Dusun Kembang Seri, Dusun Sungai Rengas dan Dusun Sungai Ruan.

Sebagai Debalang Raja, maka Dubalang di Teluk Leban bertugas untuk menyambut tamu Raja. Debalang di Rengas 9 bertugas untuk penjaga kebun raja. Sedangkan Dubalang di Peninjauan sebagai peninjau terhadap kedatangan yang datang ke Marga Maro Sebo Ulu[149].

Pemangku Marga Maro Sebo Ulu sering disebut Ngebi. Sedangkan Pemangku Dusun disebut Mangku.

Dewa dalam sistem kepercayaan Orang Rimba, dikenal ada delapan dewa, yakni; dewa Rimau, dewa Siluman, dewa Penyakit, dewa Gajah, dewa Padi, dewa Tenggiling, dewa Madu, dan dewa Langit. Para dewa tersebut akan muncul dalam acara besale (acara ritual pernikahan orang rimba)[150].

Alam cosmopolitan umumnya memiliki ciri antara lain. Magis dan keagamaan (magis religious), nyata atau konkrit (concrete), kontan atau tunai, (cash), keberlakuan ajeg (constant) dan fleksibel (flexible). Kurang atau tidak menjadi pengetahuan masyarakat lokal. Hak ini kemudian melekat sebagai
1.    Hak untuk “menguasai” (memiliki, mengendalikan) & mengelola (menjaga, memanfaatkan) tanah dan sumber daya alam di wilayah adatnya;
2.    Hak untuk mengatur diri sendiri sesuai dengan hukum adat (termasuk peradilan adat) dan aturan-aturan adat yang disepakati bersama oleh masyarakat adat;
3.    Hak untuk mengurus diri sendiri berdasarkan sistem kepengurusan/ kelembagaan adat;
4.    Hak atas identitas, budaya, sistem kepercayaan (agama), sistem pengetahuan (kearifan tradisional) dan bahasa asli.

Hubungan manusia dengan alam dalam pandnagan kosmos ditandai dengan penggunaan nama “Koto” untuk menunjukkan nama tempat.

Penamaan “Koto” menunjukkan jejak peradaban. Koto adalah simbol penghormatan terhadap leluhur sekaligus sebagai benteng pertahanan.

Di Marga Sungai Tenang dikenal Pungguk 6, Pungguk 9 dan Koto Sepuluh. Pungguk 6 berpusat di Dusun Pulau Tengah, Pungguk 9 berpusat di Muara Madras dan Koto Sepuluh berpusat Dusun Gedang.

Pungguk 6 terdiri dusun asal yaitu Dusun Pulau Tengah, Dusun Kotojayo, Dusun Ranah Mentenang, Dusun Sungai Danau Pauh, Dusun Simpang Danau Pauh, Dusun Tanjung Jati, Dusun Koto Sawah, Dusun Koto Tinggi. Sebagian menyebutkan “Pungguk enam terdiri dari dusun asal yaitu Kotojayo, Pulau Tengah, Koto Renah, Koto Teguh, Rantau Suli dan Dusun Baru.

Pungguk 9 terdiri dusun asal yaitu Renah Pelaan, Dusun Lubuk Pungguk, Dusun Muara Madras, Dusun Talang Tembago, Dusun Pematang Pauh.

Sedangkan Koto 10 terdiri dusun Kotobaru, Dusun Gedang, Dusun Tanjung Benuang, Dusun Kototapus, Dusun Tanjung Dalam, Dusun Muara pangi, Dusun Rantau Jering.

Dengan “penyebutan” Koto maka terdapat Koto Renah, Koto Teguh, Koto Sepuluh, Kotobaru, Koto Tapus. Koto Tapus dikenal sebagai Dusun Jangkat.

Di Marga Peratin Tuo dikenal Dusun Kotorami. Sekarang termasuk kedalam Kecamatan Lembah Masurai, Merangin.

Di Tebo dikenal Marga VII Koto dan Marga IX Koto. Hubungan antara Marga VII Koto dan Marga IX Koto sering disebut “koto bersekutu”. Atau sering juga disebut “7 jantan dan 9 betino.  Hubungan ini masih berlaku baik didalam menyelesaikan persoalan adat maupun hubungan perkawinan.

Dengan tuturan ini maka setiap proses adat dapat dilihat dari tutur dan pendekatan kekeluargaan. Hubungan ini kemudian dilanjutkan dengan Marga Sumay sebagai anak dari kedua Marga. Sehingga Marga VII kemudian disebut “Berbenteng dado. Berkutu berpagar di batu”.

Koto diartikan sebagai benteng tempat berlindung. Koto terdiri dari 3 suku asal dan sudah bersawah, berladang dan beternak peliharaan. Dengan demikian maka Koto adalah tempat benteng perlindungan yang didalamnya terdapat persawahan, peladangan dan tempat gembala ternak.

Sedangkan di Marga IX Koto, Makna “Koto” adalah Kota. Kota dimaksudkan bukanlah makna kota. Tapi dusun atau kampong yang dihuni oleh penduduk.

Untuk menjaga keamanan didusun, sebagaimana tutur di Teluk Kuali, maka dibuatkan parit yang mengelilingi Dusun. Parit yang dibangun selain lebar juga cukup lebar. Dengan dibangunnya parit yang mengelilingi dusun, sehingga binatang buas tidak dapat memasuki dusun. “Maklumlah. Negeri harus aman”. Istilahnya “harus aman dari musuh alam”.

Disebut dengan IX merujuk kepada 9 orang yang pertama kali mendatangi daerah Marga IX Koto. Berasal dari Banten, kemudian 9 orang kemudian mendiami 9 dusun.

Dusun-dusun yang termasuk kedalam Marga IX Koto yaitu Dusun Teluk Kuali, Dusun Kebung, Dusun Pulau Puro, Dusun Tanjung Aur, Dusun Rantau Langkap, Dusun Rambahan, Dusun Jambu, Dusun Pagar Puding, Dusun Sungai Rambai.

Penetapan ruang dengan kiblat penjuru mata angin ditempatkan sebagai Koto adalah bentuk perlindungan. Konsepsi ini lahir dari peradaban Hindu Upanishad dari India berkembang di kalangan filsuf India seperti kaum Jaina, Nyaya dan Vaiseshika sekitar 500 tahun sebelum masehi.  Di Masyarakat bersawah dan peladangan Anton Bakker kemudian menyebutkan Realisme ekstrem. 

Penempatan “penjagaan” yang bertugas empat penjuru mata angin seperti di Marga Batin Pengambang seperti Rio Cekdi Pemangku Rajo (Timur), Debalang Sutan (Selatan), Menti Kusumo (Utara) Debalang Rajo (barat) adalah “punggawa” menjaga pemukiman Marga Batin Pengambang.

Sedangkan perlindungan koto dengan membangun parit terdapat di Marga IX Koto, Marga VII Koto dan di Koto Teguh, Koto Renah di Marga Sungai Tenang.

William  Marsden juga bercerita tentang kesaktian “Sungei Tenang, Koerinchi dan Serampei (Baca Sungai Tenang, Kerinci dan Serampas). Wilayah dataran tinggi Jambi.

Bahkan dengan memulai perjalanan panjang menyusuri dari Moco-moco (sekarang Kabupaten Muko-muko), meyusuri lembah Korinchi (Kerinci).

Kesaktian orang “Sungei Tenang, Koerinchi dan Serampei” terkenal setelah menyerang Ipu (salah satu distrik Belanda) pada tahun 1804. Kesaktiannya mampu mengalahkan penjaga di Ipuh.

Inggeris kemudian menyiapkan pasukan dibawah pimpinan Letnan Hastings Dare, 83 perwira, lima lascar. Mereka kemudian meninggalkan Benteng Marlborough dan tanggal 3 Desember kemudian tiba di Ipu (Ipuh). Perjalanan panjang menyusuri Ipu, Dusun Arah, Dusun Tanjong, Sungai kecil Ayer (Sungai Air diki), membangun gubuk di Napah Kapah, melewati air terjun Ipu-Machang, Bukit Pandang, Pondo Kuban.

Setelah berjalan jauh kemudian mampir di seberang Rantau Kramas (Rantau Kermas). Kemudian menebang pohon besar dan menyeberang sungai dan tiba di Rantau Kramas. Setelah melakukan “selidik” ke Ranna Alli (renah Alai), didapatkan informasi “berkumpullah” penduduk di Koto Tuggoh (Koto Teguh).

Tanggal 3 Januari, kemudian terjadi tembakan. Akibat banyak yang sakit dan terluka, pasukan kemudian kembali ke Rantau Kramas. 18 hari kemudian tiba di Sungei Ipu (Sungai Ipuh) dan tanggal 19 Januari tiba di Moco-moco.

Kekokohan “Koto” juga ditemukan di Koto Rayo, pemukiman kuno Sungai Tabir. Koto Rayo adalah pemukiman kuno atau Kerajaan kecil yang menguasai wilayah.

Pada Kerajaan Koying dikalahkan oleh dominasi Kerajaan Tupo di abad ke-3 Masehi dan berhasil menguasai Jambi selama sekitar dua ratus tahun sampai kemudian dikalahkan oleh kekuatan baru di wilayah tersebut, Kerajaan Kantoli. Ternyata Kantoli juga tidak lama berkuasa di Jambi karena kemudian muncul kekuatan lainnya yang juga ingin menguasai wilayah ini, yaitu Kerajaan Melayu Jambi pada abad ke-6 Masehi. Seperti halnya Kantoli yang harus menyerah pada lawannya, Melayu Jambi juga harus mengakui kekuatan berikutnya yang tak kalah dahsyatnya, Kerajaan Sriwijaya di abad yang sama dalam kisaran 70 tahun saja.

Beragam persaingan yang berakibat pada peperangan dan berujung pada pergantian kekuasaan tentu tidak menumpas habis kekuatan yang ada sebelumnya. Ada sisa kekuatan dalam skala kecil yang lebih memilih menyingkir atau melarikan diri atau menjauh dan mencoba membangun kekuatan di wilayah-wilayah terpencil yang biasanya di pedalaman yang sulit dijangkau musuh. Hal seperti inilah yang mungkin terjadi dengan Koto Rayo, yaitu sisa-sisa kekuatan yang dikalahkan oleh musuhnya dan melarikan diri serta membangun kekuatan di pedalaman Jambi.

Di Bangko kemudian dikenal Koto Rayo. Menurut Pahrudin, situs Koto Rayo hampir satu masa dengan Candi Muaro Jambi dan orang-orang Koto Rayo mungkin adalah para pelarian atau sisa-sisa kekuatan dari Kerajaan Melayu Jambi yang ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-6 Masehi.

Dari aspek pertahanan militer yang mungkin ada saat itu, posisi Koto Rayo sangat menguntungkan untuk memantau keadaan sekitarnya dari kemungkinan serangan musuh. Terletak di atas sebuah bukit yang agak bertingkat, berada persis di tikungan dari aliran Sungai Tabir yang membentuk huruf L (letter L) dan dari posisinya ini orang-orang Koto Rayo dapat memandang lurus ke arah timur sepanjang aliran sungai sejauh sekitar satu kilometer. Jika ada armada militer musuh yang menggunakan kapal dan perahu dari arah timur (Jambi) maka akan segera dapat diketahui oleh orang-orang yang ada di Koto Rayo.


IV.           BAHASA MELAYU JAMBI

Berdasarkan bentuknya, adjektiva Bahasa  Melayu Jambi terbagi atas bentuk asal dan bentuk turunan[151]. Bahasa Melayu Jambi kemudian dikenal sebagai Bahasa Melayu Jambi, Bahasa Batin, Bahasa Penghulu, Bahasa Kubu, Bahasa Bajau, Bahasa Kerinci[152].

Bahasa Melayu Jambi digunakan di Kotamadya Jambi, Kabupaten Batanghari, Kabupaten Muara Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Kabupaten Tebo dan Kabupaten Bungo.

Bahasa Batin digunakan suku batin di Sarolangun, Merangin, Bungo dan Tebo. Bahasa Penghulu digunakan di Sarolangun dan Merangin, Bahasa ini dipengaruhi Bahasa Minangkabau dan Bahasa Batin. Bahasa Kubu atau Bahasa Suku Anak Dalam digunakan di suku Anak Dalam. Sedangkan Bahasa Bajau digunakan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Bahasa Kerinci digunakan masyarakat di Kerinci.

Bahasa Melayu Jambi dipengaruhi kebudayaan Minangkabau, Melayu, Jawa, Hindu dan Islam.

Sebagai Bahasa Melayu Masyarakat Jambi dikenal kata yang bersifat adjektiva yang berbentuk asal[153]. Adjektiva tidak dapat diuraikan lagi menjadi satuan kecil yang bermakna. Seperti “tinggi, rendah, Kecik,

Seloko seperti “berat sama dipikul. Ringan sama dijinjing”. Di Marga Batin Pengambang juga dikenal kata “ringan” dengan seloko Harta berat ditinggal. Harta ringan dibawa. Seperti di Desa Sungai Keradak[154], Desa  Batu Empang[155],  Desa Tambak Ratu[156] Dan Desa  Simpang Narso[157]

Sedangkan Adjektiva turunan berupa berafik ter seperti “mencil” yang ditandai dengan seloko beumo jauh betalang suluk, beadat dewek pusako mencil[158]

Selain itu juga struktur Seloko Jambi menampilkan ciri-ciri dengan penggunaan kata-kata magis, terdiri dari dua atau tiga suku kata.

Kata-kata magis dilihat dari seloko di Marga Batin Pengambang yang menyebutkan daerah-daerah yang dilindungi dengan seloko “Teluk sakti rantau betuah. Gunung Bedewo”[159]. Di Marga Sungai Tenang dikenal Seloko “Rimbo Sunyi. Tempat siamang beruang putih. Tempat ungko berebut tangis”.

Terdiri dari tiga suku kata. Seperti Keayek bebungo pasir. ke darat bebungo kayu. ke Ladang bebungo emping. ke tembang bebungo emas

Atau penghormatan terhadap pemimpin dengan seloko “ Alam sekato Rajo, Negeri sekato batin. Di Marga Sungai Tenang Desa Tanjung Alam ”Luak Sekato Penghulu, Kampung Sekato Tuo, Alam sekato Rajo, Rantau Sekato Jenang, Negeri sekato nenek moyang[160].

Di Marga Batang Asai Tengah dikenal Seloko Dimano bumi ditijak. disitu langit dijunjung,Dimano tembilang dicacak, disitu tanaman tumbuh, Dimano ranting dipatah disitu aiknyo disauk, dimano negeri dihuni, disitu adatnyo[161].

Di Marga Kembang Paseban Desa Rantau Gedang dikenal Dimano bumi dipijak disitu langit dijunjung, dimano biduk ditarik disitu galang diletakkan, dimano akar ditetak disitulah aiknyo menetes”[162].

Sedangkan proses penyelesaian persoalan Marga Sungai Tenang dikenal Seloko Disitu kusut diselesaikan. Disitu keruh dijernihkan. Disitu kesat sama diampelas. Disitu bongkol sama ditarah.

Terdiri dari dua suku kata. Di Marga Sungai Tenang, Desa Kotobaru  dikenal  Bertangkap naik, Berjenjang turun[163]. Begitu juga perumpamaan hukum adat yang ditandai dengan “Adat datar, pemakaian bebeda”.

Atau seloko Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak[164]

Di Marga Serampas dikenal “Tanah ajun. Tanah arah” [165]. Di Marga Sungai Tenang dikenal “tanah irung. Tanah gunting[166]

Didalam menyelesaikan persoalan, Marga Batin Pengambang mengenal Seloko “Tegur Sapo. Tegur Ajar dan Guling Batang. Tiga Tali Sepilin”[167].

Atau seloko “empang kerenggo di Marga Bating Pengambang. Marga Kumpeh menyebutkan “larangan kerenggo”. 
Di daerah hilir dikenal “pancung alas”. Di Marga Sungai Tenang dikenal Seloko “Larik terung, larik kunyit, larik ceko” sebagai penanda tembo (batas) antara satu tempat dengan tempat lain. Larik adalah dengan cara menaburkan kunyit sebagai batas yang telah disepakati.

Sedangkan terhadap pemimpin yang lalim selain ditandai dengan Seloko “Raja alim. Raja Disembah. Raja lalim raja disanggah” juga dikenal Seloko “Jatuh dipemanjat. Hanyut di perenang. Di daerah uluan Jambi dikenal Seloko “tegak tajur, ilir ke Jambi, Lipat pandang ke Minangkabau[168]

penggunaan kata-kata khas pada Seloko dapat ditandai pada daerah-daerah tertentu. Di Marga Batin Pengambang dikenal istilah Lambas” dan “Tuki”. Lambas adalah pengecekan tempat yang mau dibuka, maka ditandai dengan cara sistem tuki. Tuki berupa  Pohon kayu silang. Atau pohon dikupang-kupang sebagai tanda telah membuka rimbo[169].

Kata-kata yang dipengaruhi dari Minangkabau ditandai dengan “Adat bersendi syara’. Syara’ bersendikan kitabullah[170]. Seloko seperti “menghadap ke hilir beraja ke Jambi. Balik mudik berajo ke Minangkabau” atau “Mengilir berajo Jambi, lipat pandan berajo ke Minangkabau” merupakan Seloko yang ditetapkan oleh Raja Indrapura dan Raja Tanah Pilih. Ulu Kozok menyebutkan “sultan Inderapura Muhamad Syah Johan tertanggal 23 Ramadan 124(?)6H atau 14 Juni 1830M, yang kini disimpan oleh Depati Muda di dusun Kemantan Barat (Tambo Kerintji No. 140). Dalam surat tersebut Kerinci disebut sebagai “tanah pertemuan raja antara sultan Jambi dengan sultan Inderapura. Jika mengadap ia ke hilir, jadilah beraja ke Jambi. Jika menghadap ia ke barat, ialah ke tanah Inderapura”[171].

Di Marga Sumay dikenal ”Datuk Perpatih penyiang rantau’. Sedangkan di Semambu mereka menyebutkan “Datuk Perpatih Tumenggung Penyiang Rantau[172]”. Datuk Perpatih” mengingatkan nenek moyang di Minangkabau.

Selain itu dikenal istilah Datuk di Marga Datuk Nan Tigo, kata Penghulu di struktur sosial di hilir Jambi, ”tanah berjenang” atau ”luhak berpenghulu”.

Cerita Jawa juga dikenal di Luak XVI, Marga Batin Pengambang, Marga Batang Asai,  Marga Air Hitam[173], Marga Jujuhan[174] yang ditandai dengan “Depati” atau rio”. Di Marga Maro Sebo ulu dikenal “Ngebi” [175].

Di Marga Sumay di Semambu mereka menyebutkan “Datuk Perpatih Tumenggung Penyiang Rantau[176]”.Di Desa Muara Sekalo dikenal “Tumenggung Gamo”[177].


V.             PANGGILAN BEBASO JAMBI

Dalam hubungan kekerabatan di Jambi, panggilan menunjukkan derajat hubungan (baik perkawinan maupun hubungan darah).

Untuk saudara Ibu, saudara Ibu laki-laki tertua biasa dipanggil “pak wo (bapak Tuo)”. Ada yang menyebutkan “Paklung” (Bapak Sulung).

Yang menengah dipanggil Pak Ngah (bapak Tengah). Yang bungsu dipanggil Uncu (uncu sebagai panggilan bungsu). Ada juga menyebutkan “bisu’ (bibi bungsu).

Diatas “uncu” biasa dipanggil Pakci (bapak Kecil) atau Makcik (Mamak Kecil atau tante dari Ibu). Makcik biasa disebutkan dengan Bikcik (bibik Kecik).

Namun ada juga menyebutkan “Pakcik/bicik” sebagai adik Bapak/Ibu yang terkecil.

Apabila keluarga Ibu cukup banyak namun tidak tepat dikategorikan sebagai Pakwo, Pakngah, Pakcik atau Uncu, maka panggilan biasanya menunjukkan fisik dari panggilan. Misalnya Pakmuk (bapak Gemuk), Paktih (Bapak Putih), Pakjang (bapak panjang atau kurus), Pakte (Bapak kate/pendek/bapak kecil).

Dialek Paktih juga bisa disebutkan “Bapak Putih”. Menunjukkan fisik dari kekerabatan.

Sedangkan saudara Bapak, biasanya menunjukkan derajat dari urutan saudara bapak. Pakwo (Bapak Tuo) biasanya menunjukkan dia laki-laki pertama atau tertua. Sedangkan apabila Bapak yang tertua, maka biasanya memanggil adik-adik Bapak dengan panggilan “maman (Paman).

Ada juga menyebutkan “Pakdo/makdo (Bapak Mudo atau Mamak Mudo) untuk menyebutkan adik yang bungsu.

Orang tua dari ayah/Ibu biasanya dipanggil “nenek” atau “datuk”. Ada juga menyebutkan “nektan (Nenek jantan) atau “nekno (nenek Betino/Nenek perempuan). Ada juga menyebutkan “Nenek” terhadap ibu daripada ayah/ibu. Sebagian ada yang menyebutkan “nyai”. Nyai tidak bisa dipadankan dengan panggilan “nyai” dari istri Kiai di Jawa. Nyai biasa dikenal sebagai perempuan tua desa yang tidak pernah ketinggalan Nyirih (makan sirih) didalam bilik rapat. Saudara Ibu/Bapak yang tertua biasa disebut “Gdeh” (Gede atau besar).

Di atas nenek/Datuk ada yang menyebutkan “Buyut”. Diatas buyut biasa disebut juga “puyang”. Puyang merupakan nenek yang dianggap sebagai keturunan utama yang mendiami dusun. Atau bisa juga disebutkan dengan “puyang” apabila urutan diatasnya yang tidak bisa diketahui oleh urutan keluarga diatasnya (tambo).

Panggilan yang tidak mempunyai hubungan kekerabatan dapat dipanggilan berdasarkan jabatannya di dusun. Seperti “Bilal, khatib, imam”. Bilal, Khatib dan Imam adalah perangkat struktur social yang dikategorikan sebagai “pegawai syara’”. Posisi mereka cukup dihormati.

Atau “Datuk” untuk Kadus, kades. Datuk sebagai lambang penghormatan kepada Kepala Dusun atau kepala Desa. Sebutan Datuk tidak melambangkan “tuanya umur” tapi sebagai bentuk penghormatan. Dulu dikenal istilah Mangku atau menti sebagai pegawai yang membantu Kepala Dusun. Ada juga menyebutkan “hulubalang”.

Sedangkan terhadap Guru bisa juga disebutkan “cikgu (Pak/mak Cik Guru). Panggilan Cikgu biasa disebutkan oleh Upin dan Ipin dalam film kartunnya.

Sedangkan panggilan yang lain terhadap kepala keluarga biasanya menunjukkan ‘nama putra/putri tertua”. Misalnya Bapak… (menyebutkan nama sang putra/putri) atau “mamak… (menyebutkan nama sang putra/putri)

Dengan demikian, maka tidak dibolehkan memanggil seseorang yang sudah berkeluarga dengan panggilan nama saja. Harus “Bebaso” istilah Jambi.

Tentu saja berbeda dengan panggilan yang masih belum berkeluarga. Cukup dipanggil nama saja. Atau bisa diganti dengan panggilan “Bujang atau Upik”. Ada juga memanggil “kulup atau upik”.

Posisinya yang belum berkeluarga belum bisa diajak musyawarah. Posisinya biasa dikenal dengna istilah “kepak lambai hulubalang”. Menjadi tenaga “memanjat kelapa”, mengocek kelapa (membuka kelapa), mengaduk santan.

Didalam rapat, bertugas memanggil peserta rapat yang belum hadir. Misalnya memanggil pemangku adat, memanggil “datuk Kepala Desa” atau yang lain yang dianggap penting sehingga rapat bisa dimulai.

Tentu saja masih banyak panggilan yang belum disebutkan.

Lalu bagaimana apabila kita mau menyampaikan kata sambutan dari sebuah acara adat di Dusun ?.  Apabila kita sudah menyebutkan yang hadir sebagai penghormatan, namun tidak mungkin menyebutkan satu persatu, biasanya selalu diakhiri dengan kalimat “Yang gedang dak sebut gelar. Yang kecik dak sebut namo.

VI.           MODEL PENGHITUNGAN

Di kalangan masyarakat Melayu Jambi, sistem penghitungan luas, jauh, lebar, jumlah dikenal di tengah masyarakat.

Terhadap tanah yang dibuka dikenal satu bidang. Kemampuan orang membuka tanah yang berbeda-beda kemudian disebut satu bidang. Bisa saja satu orang kemampuan buka tanah berbeda antara satu dengan yang lain. Tapi setiap pembukaan tanah tetap disebut satu bidang.

Ukuran luas kemudian dihitung antara lebar dan panjang. Ukuran untuk menentukan lebar dan panjang kemudian ditentukan dengna istilah “depa” (depo).

Depo berasal dari kata Depa. Didalam kamus Bahasa Indonesia disebutkan “depa” yaitu sistem pengukuran sepanjang kedua belah tangan mendepang dari ujung jari tengah tangan kiri sampai ke ujung jari tengah tangan kanan (empat hasta, enam kaki). Satu depa kemudian diukur menjadi 1,5 meter.

Proses membuka tanah hanya dibolehkan seluas 60 depo x 200 depo. Terhadap tanah yang telah dibuka maka kemudian dikenal bidang. Jadi walaupun seseorang karena kemampuan membuka tanahnya berbeda-beda namun tetap dengan istilah satu bidang. Sedangkan di Lubuk Mandarsyah biasa dikenal dengan istilah Tapak.

Begitu juga istilah tumbuk. Tumbuk berasal dari kata “tombak”. Tombak yaitu senjata berupa kayu yang diujungnya terdapat sebilah baja tajam. Sedangkan tombak digunakan untuk berburu dengan cara melempar. Dengan demikian maka tombak yaitu kemampuan orang melempar tombak. Kemampuan manusia untuk melempar tombak ditentukan sejauh 10 meter. Sehingga biasanya 1 tumbuk kemudian diukur 10 meter x 10 meter. Sedikit berbeda istilah “tombak” didalam kamus Bahasa Indonesia. Satu tombak diukur  sama 12 kaki.

Istilah “tumbuk” masih dikenal di Jambi. Bahkan jual beli tanah di kota Jambi masih sering menyebutkan tanahnya dengan istilah “tumbuk” untuk menunjukkan luas tanah.

Cara penghitungan lain yaitu menggunakan istilah batu emas. Dibeberapa tempat terhadap pelanggaran terhadap hukum adat dikenal denda adat dengan istilah kambing Sekok, beras 20, batu emas. Istilah batu emas dikonvesi dengna nilai Rp. 500.000,-.

Melihat nilai konversi, maka Batu emas senilai Lima ratus ribu rupiah tidak berbeda dengan nilai emas di Bungo yang biasa dikenal dengna istilah Mayam[178]. 1 mayam senilai 3,37 gram. Sementara di tempat lain Ada juga menyebutkan 1 suku emas senilai 6 gram. Sehingga tepat kemudian definisi mayam didalam kamus Bahasa Indonesia “satuan ukuran berat emas 1/16 bungkal.

Ada juga yang menyebutkan  1 mayam sama dengan 1 ¼ mas. 1 mayam diukur 2,5 gram. Sehingga 1 mas menjadi 3,7 gram[179].

Ukuran emas ternyata berbeda di Bangko. Didalam Perdes Desa Tanjung Benuang disebutkan denda adatnya “kambing sekok, beras 20, selemak semanis dan Emas 7 tail Sepaho” (denda adat dijatuhi dengna nilai “seekor kambing, beras 20 gantang, selemak semanis dan emas setengah 7 tahil emas). Istilah Tahil dikenal di masyarakat dengan nilai dikonversi dengan 1 gram sama dengan 0,5 tahil.

Di daerah hilir  sendiri istilah “mayam” atau “mas” kurang dikenal. Penghitungan mas Biasa menyebutkan 1 suku. 1 suku berupa 6,7 gram.  Sehingga 1 mayam adalah 1,5 suku.

Sedangkan cukai adat (pajak hasil bumi),  ada juga menyebutkan “60 kidding maka membayar cukai 60 gantang. Istilah “gantang” merupakan satuan ukuran/isi dengan nilai 3 kg. Istilah  sering digunakan untuk menjumlah satuan beras[180].

Satuan beras juga dikenal dengan canting. Kata canting menunjuk kaleng susu sapi yang kecil. Satu kilogram diukur dengan 4 canting.

Selain canting, gantang juga dikenal istilah “pikul”. Satu pikul lebih kurang 100 kg. Sehingga satu ton biasa disebut 10 pikul.

Namun dalam penghitungan jumlah pembelian selain beras seperti cabe dikenal istilah “mato”. Satu mato ditaksir 100 gram. Sehingga satu kilogram biasa disebut “10 mato”.

Istilah penghitungan yang digunakan masih digunakan masyarakat. Sehingga cara penghitungan masih diterapkan dan masih berlaku hingga sekarang.

Di Talang Mamak, Marga Sumay juga mengenal istilah gantang. Gantang terdiri dari 4 cupak. Satu cupak terdiri dari 3 canting. Sehingga satu gantang adalah 12 canting.

Ganting adalah takaran beras seukuran kaleng susu. Masyarakat mengenal pengukuran kaleng susu sebagai takaran besar. Kaleng susu adalah kaleng sebagai wadah susu kental yang sudah lama dipergunakan di pelosok-pelosok Jambi.

Istilah gantang, cupak juga dituliskan didalam Kitab Tanjung Tanah[181]

Sebagai salah satu daerah “penghasil” emas, di Marga Pangkalan Jambu[182], kebiasaan “mendulang” telah lama dikenal masyarakat[183]. Mendulang adalah kebiasaan “mencari” emas dari sungai dengan cara “mengayak”. Cara ini salah satu pilihan untuk mendapatkan emas tanpa merusak sungai. Dan tidak pernah menggunakan alat berat ataupun zat kimia yang sering digunakan  untuk memisahkan pasir dengan butiran emas.

Pengukuran emas yang didapatkan menggunakan penghitungan dari dahulu kala hingga sekarang tetap digunakan.

Mereka menyebutkan “1 mayam”. Istilah “mayam” masih dikenal selain di Merangin juga dikenal di Sarolangun dan Bungo. 1 mayam sama dengan 1 ¼ mas. 1 mayam diukur 2,5 gram. Sehingga 1 mas menjadi 3,7 gram.

Di daerah hilir  sendiri istilah “mayam” atau “mas” kurang dikenal. Penghitungan mas Biasa menyebutkan 1 suku. 1 suku berupa 6,7 gram.  Sehingga 1 mayam adalah 1,5 suku.






[1] Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1997
[2] Yusmar Yusuf, Studi Melayu, Penerbit WEDATAMA WIDYA SASTRA, Jakarta, 2009, Hal.31
[3] Ibid, Hal. 34
[4] Ibid, Hal. 40
[5] Pohon karet pertama diimpor dari Singapura pada tahun 1904. Petani di Jambi membuka perkebunan karet, didorong oleh pihak berwenang yang pada mulanya kebanyakan dusun di sekitar Jambi. Elsbeth Locher Sholten, Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya imprealisme Belanda, KITLV, Jakarta, 2008, Hal. 314
[6] Yusmar Yusuf, Studi Melayu, Penerbit WEDATAMA WIDYA SASTRA, Jakarta, 2009,  Hal 46
[7] Yusmar Yusuf, Studi Melayu, Penerbit WEDATAMA WIDYA SASTRA, Jakarta, 2009,  Hal. 44
[8] Yusmar Yusuf, Studi Melayu, Penerbit WEDATAMA WIDYA SASTRA, Jakarta, 2009, Hal. 72
[9] Kriteria dominan didasarkan jumlahnya yang proporsional, punya tradisi pemerintahan Kerajaan yang mapan pada periode lampau, menyumbangkan banyak tokoh nasional dalam setiap kehidupan, terutama kebudayaan, intelektual dan elite negeri.
[10] Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1997
[11] Catatan perjalanan seperti Willian Marsden ataupun catatan Cornelis Von vollenhoven, Tideman maupun Elizabeth  hanya menceritakan sekilas. Sebelum kedatangan Islam ke Tanah Melayu, agama masyarakat Melayu pada ketika itu yaitu Agama Buddha Puja Dewa, Agama Hindu Puja Dewi dan animisme). Mereka sangat kuat kepada pemujaan. Data dari berbagai sumber.
[12] sebagian kalangan ahli mendefinisikan sebagai masuknya budaya-budaya dan agama besar dunia.
            [13] Zaman Megalitik adalah system  kepercayaan (megalitik) pada  zaman batu besar seperti Menhir, dolmen, ponden, berundak dan Sarkofagus. Sejarah Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, 2013, Hal. 45.
[14] Sutaba, Masyarakat megalitik di Indonesia, Balai Arkeologi, Bandung, 1996, Hal. 1
            [15] Izzudin Arafah, Karakteristik Epigenetika pada Upper Viscerocranium dan Bagian Dahi Tengkorak Jawa dan Papua Berdasarkan Perbedaan jenis Kelamin, Departemen Antropogi, FISIP, Unair, 2017, Hal. 273
            [16] A TOBLER,  Ueber Deckenbau im Gebiet von Djambi. Verhandlungen der Naturforschenden Gesellschaft in Basel, 1917, 2, hal. 123-147.
            [17] Hubert Forestier, Ribuan Gunung, Ribuan Alat Bantu – Prasejarah Song Keplek, Gunung Sewu Jatim (terjemahan), KPG, Jakarta, 2007, Hal. 71
            [18] Dikenal sebagai Situs Batu Muak.
            [19] Tri Marhaeni S. Budisantoso, Pola Pemukiman Komunitas Budaya Megalitik Di Desa Muak, Dataran Tinggi Jambi, Balai Arkeologi Yogyakarta, 2015, Hal. 77
            [20] Yoni Elviandri, Studi Potensi Lanskap Sejarah Suku Kerinci di Provinsi Jambi, IPB, Bogor, 2014, Hal. 20 - 30
            [21] Tri Marhaeni S. Budisantosa, Kubur Tempayan di Siulak Tenang, Dataran Tinggi Jambi Dalam Perspektif Ekonomi, Sosial dan Kepercayaan, Balai Arkeologi Palembang, 2015, Hal. 1
            [22] John David Neidel, “ The garden of forking path; History, its erasure and remembrance in Sumatra’s Kerinci Seblat National Park,” Ph D Thesis, Yale University, New Haven, 2006, Hal. 403-404
            [23] Jet Bakels, “Kerinci’s Living Past: Stones, Tales, and Tigers.” Dalam  From Distant Tales: Archaeology and Ethnohistory in the Highlands of Sumatra, Dominik Bonatz, John Miksic, John David Neidel, Mai Lin Tjoa- Bonatz (Ed.).). Newcastle: Cambridge Scholar Publishing, 2009, hal. 367-382.
            [24]Tri Marhaeni S. Budisantosa, Megalit dan Kubur Tempayan Dataran Tinggi Jambi Dalam Pandangan Arkeologi dan Etnosejarah, Balai Arkeologi Palembang, 2015
            [25] Indra Idris, Menguak tabir Prasejarah Di alam Kerinci, Sungai Penuh: Pemerintah kabupaten Kerinci Dinas pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kerinci, 2001, hal.  219.
            [26] Iskandar Zakaria, asal usul suku Kerinci, Koran Haluan, 1976
            [27] Dominik Bonatz, John David Neidel, The Megalithic Complex of Highland Jambi,
            [28] Bont, G.K.H. de. 1922: “De batoe’s larong (kist-steenen) in Boven Djambi, Onderafdeeling Bangko”,Nederlandsch-Indië Oud en Niew 7: 31-32.
            [29] Sejarah Maritim Indonesia, Pusat Kajian Sejarah dan Budaya maritim Asia Tengara, Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro, Semarang, 2003,Hal. 46
       [30] Dahulu hiduplah raja banting yang selalu mengadakan perlawanan dengan di mata Empat dan Si Pahit Lidah. Suatu kali Raja Banting sedang menyusun batu gedung untuk dijadikan lantak lukah pemasang takalok penangkap ikan. Belum selesai menyusun batu, Raja Banting disapa oleh Si pahit Lidah. Setelah disapa, batu-batu yang telah disusun menjadi runtuh. Sampai sekarang masih terlihat batu yang runtuh di Desa Batu Basawar.  Demikian seterusnya seperti Lubuk Si Lanca Tiang atau Lubuk Bubur Tabayak, Lubuk Idung Kerbau.  Struktur Sastra Lisan Daerah Jambi, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud, Jakarta, 1997, Hal. 77.
            [31] S. R Hasibuan S.R, Karakteristik dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Lanskap Budaya Rumah Larik Limo Luhah di Kota Sungai Penuh, Kerinci, Provinsi Jambi, Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor,  2010 dalam Yoni Elviandi, Studi Potensi Lanskap Sejarah Suku Kerinci di Provinsi Jambi, IPB, Bogor, 2014, Hal. 24
[32] Berjarak sekitar 10 kilometer di sebelah timur Desa Rantau Limau Manis, Bangko. Posisi Koto Rayo terletak di sebuah bukit bertingkat-tingkat yang menjorok ke sungai dan menyimpan banyak misteri yang belum terpecahkan hingga saat ini dan dianggap keramat oleh masyarakat setempat.
[33] Slamet Muljana, Sriwijaya, LKiS, Yogyakarta, 2008, 
             [34]Sartono, S. Kerajaan Melayu Kuno Pra Sriwijaya di Sumatera, Makalah disampaikan dalam Seminar Sejarah Melayu Kuno, Jambi 7-9 Desember 1992.
[35] Bambang Budi Utomo, Kebudayaan Zaman Klasik Indonesia di Batanghari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi, Jambi, 2011, hal. 136-137
            [36] W.O Wolters, Kejatuhan Sriwijaya Dalam Sejarah Melayu, Dewa Bahasa Dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1990, hal. 67
            [37] Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, edisi Kedua: Jakarta, 1991, Hal. 784.
            [38] A.D. EL Marzdedeq. Parasit Aqidah: Perkembangan agama-agama kultur dan pengaruhnya terhadap Islam di Indonesia. Jakarta, 2014,
[39] Hampir semuanya mengaku keturunan dari Pagaruyung. Baik dari Marga Sungai Tenang, Marga Batin Pengambang, Marga Sumay, Marga Serampas.
            [40] Eson, Rantau Panjang, 25 Agustus 2016
            [41] M. Zen, Ketua Lembaga Adat Kecamatan Mandiangin, Mandiangin, 24 Oktober 2017
[42] Desa Semambu, 18 Maret 2013
[43] Desa Suo-suo, 13 Maret 2013
[44] Pulau Tengah, 14 Maret 2016. Nama Sutan Geremung juga ditemukan di Dusun Renah Pelaan, 15 maret 2016
[45] Desa Renah Pelaan, 15 Maret 2016
[46] Perdes Tanjung Mudo Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Piagam Rio Penganggun Jago Bayo
[47] Peraturan Desa Tanjung Alam Nomor 3 Tahun 2011 Tentang Piagam Depati Dua Menggalo.
[48] Peraturan Desa Tanjung Benuang Nomor 9 Tahun 2011 Tentang Keputusan Depati Suko Menggalo
[49] Perdes Kotabaru No. 1 Tahun 2011
            [50] Nazurty, Perjuangan Perempuan Dalam Legenda Teluk Wang : Persepsi Gender, UNJA, 2015, Hal. 35
[51] Sabawi, Pulau Tengah, 14 Maret 2016. Sabawi merupakan mantan Depati terakhir di Pulau Tengah. Baru menjabat dua tahun sebagai Depati kemudian sistem pemerintahan diganti dengan Kepala Desa. Sabawi kemudian menjabat dua periode sebagai kepala Desa Pulau Tengah.
     [52] Perdes No.  Tahun 2014KEPUTUSAN DEPATI SUKO DERAJO
            [53] Nasrun, Ketua Lembaga Adat Desa Renah Pelaan. Wawancara, April 2016
[54] Kepala Dusun Lubuk Beringin, Desa Lubuk Beringin 27 Maret 2016
[55] BUKU PERJUANGAN MASYARAKAT DESA KARANG MENDAPO DALAM UPAYA MENDAPATKAN HAK ATAS TANAH DAN KEBUN SAWIT, Walhi Jambi, 2009
[56] Pertemuan Desa Batu Ampar, Batu Ampar, 3 Mei 2015
[57] Yazin, Pauh, 6 Agustus 2016
            [58] Barbara Watson Andaya,  Hidup Bersaudara - Sumatera Tenggara Pada Abad XVII dan XVIII, Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2016, hal 160
            [59] Barbara, Hal. 152
            [60] Perdes No   Tahun 2017
            [61] Bustami, Dusun Pulau Pandan, 5 Agustus 2016
     [62] Perdes No.   Tahun 2017
[63] Perdes No.   Tahun 2018
[64] Versi Jawa Mataram ditemukan di Pulau Tengah, Renaah Pelaan. Bahkan hingga Marga di Tiang Pumpung, Marga Renah Pembarap dan Marga Sanggrehan.
       [65] Desa Kembang Seri, Batanghari, 14 Mei 2017
            [66] Desa Kembang Seri, Batanghari, 14 Mei 2017 dan Desa Kembang Seri, Batanghari, 23 Februari 2015
     [67] Desa Rukam,  Oktober 2017
     [68] Sarlis Jani, Desa Teluk Kuali, 16 Agustus 2016
[69] MINANGKABAU – DARI DINASTI ISKANDAR ZULKARNAIN SAMPAI TUANKU IMAM BONJOL, Amir Sjarifoedin, PT. Gria Media Prima, Jakarta, 2014, Hal 66.
[70] Perdes Pemayungan Nomor    tahun 2012
            [71] Adi Prasetijo,  Etnografi Orang Rimba Di Jambi, Wedatama Widya Sastra, Jakarta, 2011, Hal. 47
            [72] Erdianto, Perkembangan Kelembagaan Dari Negeri dan Marga Menjadi Desa di Kecamatan Tungkal Ulu Kabupaten Tanjab Barat Provinsi Jambi, Jurnal ilmu Hukum Unri,
[73] Cikman, Desa Tebing Tinggi, 20 Agustus 2016. Cikman, Ketua Lembaga Adat Kecamatan Pemayung, Kabupaten Batanghari.
[74] Kerajaan Tanah Pilih merupakan Kerajaan Jambi Tua atau Muara Jambi. Legenda Tanah Pilih merupakan perpindahan dari hulu Batanghari kemudian pindah ke Jambi. Barbara Watson Andaya, To Live as Brothers : Southeast Sumatra in the Seventeenth and Eighteenth, Universitas Hawaii Press, Hal. 260
[75] Ikrar Bukit Sitinjau Laut adalah bertemunya Kerajaan Tanah Pilih, Kerajaan Pagaruyung dan Kerajaan Indrapura untuk meletakkan hukum adat sebagai pedoman kehidupan masyarakat. Samson, Desa Rantau Panjang, 25 Agustus 2016
[76] Barbara W Andaya, Cash Cropping and Upstream-Downstream Tension : The Case of Jambi in the 17th and 18 th Century, University of Hawaii Press, Honolulu, 1993
[77] Watson Andaya, Cash Cropping, Hal. 99-100 sebagaimana dikutip oleh Elsbeth Locher Sholten, Kesultanan Sumatera 
dan Negara Kolonial – Hubungan Jambi – Batavia (1830-1907) dan Bangkitnya imprealisme Belanda, KITLV, Jakarta, 
2008, Hal. 43
[78]Ahmad Intan, Kepala Dusun Semambu, tanggal 18 Maret 2013
[79] Khatib Karim, Ketua Lembaga Adat Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, 22 Maret 2013
     [80] Desa Rukam, 22 - 24 Agustus 2017

            [81] Data dari berbagai sumber
[82] Kepala Dusun Lubuk Beringin, Desa Lubuk Beringin 27 Maret 2016
            [83] Zaini, tokoh adat Kecamatan Pelawan, Muara Danau, 7 Agustus 2016
[84] M. Rasjid Manggis Dt. Radjo Pangkulu, “Cindua Mato, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1980, Hal. 10
[85] N.J. Krom dalam "Inventaris der Oudheden in de Padangsche Bovenlanden" (OV 1912:41)
[86] Bosch, F.D.K. (1930) “Verslag van een reis door Sumatra.” Oudheidkundige Verslag hal. 133-57
[87] Kozok, Uli, & Eric van Reijn. (2010) “Adityawarman: Three Incriptions of the Sumatran King of All Supreme Kings.” Indonesia and the Malay World 38, hal. 135-158
[88] Hubungan antara Hulu dan Hilir merupakan hubungan dagang yang saling otonomi. Barbara Watson Andaya, Hidup Bersaudara – Sumatra Tenggara Pada Abad XVII – XVIII, Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2016, Hal. 246
     [89] Ulu Kozok, Kitab Undang-undang Tanjung Tanah – Naskah Melayu Yang Tertua, Yayasan Naskah Nusantara – Yayasan Obor, Jakarta. Hal 8
     [90] Desa Muara Air Duo, 2 April 2013
            [91] Sungai Keradak, 27 Juli 2013
[92] Sungai Bungur, 26 Februari 2016
[93] Pulau Tigo, 27 Februari 2016
[94] Desa Muara Sekalo, 21 Maret 2013
            [95] LAPORAN SURVEY SEBARAN SAD DI WILAYAH PENYANGGA HUTAN HARAPAN, AMAN, 2012
[96] Amir Syarifoedin, Minangkabau –Dari Dinasti Iskandar Zulkarnain Sampai Tuanku Imam Bonjol, Penerbit Gria Media Prima, Jakarta, 2014, Hal. 310
[97] Menurut seorang sejarahwan asal Belanda, yaitu Von Heine Geldern, Asal usul nenek moyang bangsa Indonesia adalah bangsa dari daratan Yunan di China Selatan. Pendapat Von Heine Geldern ini dilatarbelakangi oleh penemuan banyak peralatan manusia purba masa lampau yang berupa batu beliung berbentuk persegi di seluruh wilayah Indonesia meliputi Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Pendapat Von Heine Geldern juga didukung oleh hasil penelitian Dr. H. Kern di tahun 1899 yang membahas seputar 113 bahasa daerah di Indonesia.
            [98] Pelajaran dari Konflik, Perundingan dan Kesepakatan antara Desa Senyerang dengan PT. WKS, Laporan FPP, Walhi Jambi dan Scale Up, 2014
            [99] Desa Sponjen, 4 Januari 2016
            [100] A. Mukty Nasruddin, “Jambi Dalam Sejarah Nusantara 692-1949,” Stensilan, tidak diterbitkan, 1989, h. 64-65
[101] Hal. 297 - 281
            [102] Kepala Dusun Lubuk Beringin, Desa Lubuk Beringin 27 Maret 2016
[103] Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje semasa kepegawaiannya kepada pemerintah Hindia Belanda, 1889-1936, Volume 11, Christian Snouck Hurgronie, E. Gobee, C. Adriaanse, INIS, 1995
2190
[104] Nilai dan manfaat sastra daerah Jambi, H. Idris Djakfar, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1994
Hal. 62-64
[105] Uli Kozok, Kitab  Undang-undang Tanjung Tanah – Naskah Melayu yang Tertua, Penerbit Yayasan Obor, Jakarta, 2006 , Hal. 10
            [106] Raden Wijaya menikahi putri Melayu (Dara Petak) dan diiringi juga oleh Raja Mauliwarmadewa menikahi Dara Jingga, yaitu pada tahun 1293 M. Dengan demikian Kerajaan Melayu yang meliputi Jambi, Tebo, Ulu Batanghari dan Minangkabau di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit. Pada tahun 1347 M[106], Adityawarman dinobatkan sebagai raja Kerajaan Melayu setelah raja Rendra. Pada masa kekuasaannya, Adityawarman ingin kerajaan Melayu berdiri sendiri dan lepas dari kerajaan Majapahit.
[107] Kerajaan Tanah Pilih merupakan Kerajaan Jambi Tua atau Muara Jambi. Legenda Tanah Pilih merupakan perpindahan dari hulu Batanghari kemudian pindah ke Jambi. Barbara Watson Andaya, To Live as Brothers : Southeast Sumatra in the Seventeenth and Eighteenth, Universitas Hawaii Press, Hal. 260
[108] Ikrar Bukit Sitinjau Laut adalah bertemunya Kerajaan Tanah Pilih, Kerajaan Pagaruyung dan Kerajaan Indrapura untuk meletakkan hukum adat sebagai pedoman kehidupan masyarakat. Samson, Desa Rantau Panjang, 25 Agustus 2016
            [109] Sarlis Jani, Desa Teluk Kuali, 16 Agustus 2016
            [110] Mukti Nasruddin, Jambi Dalam Sejarah, 1989
            [111] Kemas Yasin, Bajubang Laut, 15 Agustus 2016
     [112] Machmud, A.S, Pedoman Adat Kabupaten Bungo. Pemerintah Daerah Kabupaten Bungo, Muara Bungo. Indonesia, 2005
            [113] Buku Perjuangan Masyarakat Desa Rantau Gedang, Walhi Jambi, 2011
            [114] Musri Nauli, Datuk Paduko Berhalo, Jambi Ekspress, 1 September 2015,
            [115] Muktar, Ketua Lembaga Adat Kecamatan Air Hitam, Sarolangun, 24 Oktober 2017
            [116] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016
            [117] Dikisahkan Tuanku Ahmad Salim dari Gujarat berlabuh di selat berhala. Dia mendirikan pemerintahan baru dan bergelar Datuk Paduko Berhalo. Dia menikah dengan Putri Pinang Masak.  Mohammad Redzuan Othman menyebutkanya “Puteri Selaras Pinang Masak. Datuk Paduko berhalo memerintah 1460 masehi.
            [118] S. Amran Tasai, Dua Angsaku Yang Sakti, Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2005
            [119] Maizar Karim, Jambi Masa Pemerintahan si Pahit Lidah, Laporan Penelitian, Lembaga Penelitian Universitas Jambi, 1997
            [120] Agatha Trisari dkk, Struktur Naratif Cerita Rakyat Jambi – Telaah Berdasarkan Teori Vladimir Propp, Program Studi Sasstra Indonesia dan Jawa, Program Paskasarjana UGM, Yogyakarta, 20010, Hal. 511.
            [121] Muhammad Ikhsan, Badan Pengembangan Dan pembinaan Bahasa – Kementerian Pendidikan dan kebudayaan, Jakarta, 2016
            [122] Leni Effendi dkk, Tinjauan Sejarah dan Budaya Yang mempengaruhi Teater Tupai Jaanjang Masyarakat Kerinci Jambi, ISI Padang Panjang,
            [123] Imelda, Perbandingan Cerita Rakyat Si Kelingking (Jambi dan Bangka Belitung), Balai Bahasa Provinsi Riau, 2015
            [124] Ilsa Dewita Putri Soraya, Legenda Putri Cermin Cina, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 2017
            [125] Legenda Bukit Perak menampilkan tokoh Penghulu Desa yang bernama Datuk Sengalo, Ricky A Manik, Legenda Bukit Perak, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 2016
[126] Pasal 1 angka 8 Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Lembaga Adat Melayu Jambi
[127] Hans Kelsen mengembangkan teori lain yaitu Teori Anak Tangga (Stuffenbau Theorie) yang dicetus oleh Adolf Merkl (1836- 1396).
            [128] Pidato Adat Yang Seiring Dengan Syara’, Bangko, 1957, hal. 5
            [129] Perda Provinsi Jambi No. 2 Tahun 2014 Tentang Lembaga Adat Provinsi Jambi dan Perda Kota Jambi No. 4 Tahun 2014.
            [130] Budhi Vrihaspathi Jauhari dan Eka Putra, Senarai Sejarah Kebudayaan Suku Kerinci, Bina Potensia Aditya Yodha Kota Sungai Penuh dan Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi, 2012, hlm. 87-88
[131] Muhammad Fadli, Nilai-nilai Budaya Dalam Seloko Adat Perkawinan Masyarakat Desa Muara jambi, Kecamatan Maro Sebo, Skripsi, FKIP UNJA, Jambi,2018,
[132] Hasip Kalimudin Syam. (ed). Pokok-pokok Adat Pucuk Jambi Sembilan Lurah, Lembaga Adat Melayu Jambi, Jambi 2001, Hal. 9
[133] Sagimun M.D. Sagimun, (ed). Adat Istiadat Adat Jambi, Lembaga  Adat Jambi, Jambi, 2001, Hal. 183.
[134] Klaus Krippendorf,  Content Analysis : Introduction to its Theory and Methodology, Sage Publications, Inc, California, 2004.
[135] Ernst Cassirer, An Essay on Man, Fredericksburg: Book Crafters, 1979, Hal. 315
[136] Lihat Ade Rahima, Interpretasi Makna Simbolik Ungkapan Tradisional Seloko Hukum Adat Melayu Jambi, Jurnal Ilmiah Universitas jambi Vol 17, Jambi, 2017, Hal. 250
[137] Nurhasanah, 2004, Makna Simbolik Seloko Adat Jambi: Suatu Tinjauan Filosofis, Tesis, Program Studi Filsafat, Universitas Indonesia, 2004, Jakarta.
[138] Lihat Filsafat Timur – Sebuah pergulatan Menuju Manusia Paripurna, Ach. Dhofir Zuhri, Madani, 2013, Surabaya, Hal. 47
[139] Upanishab mempunyai pengaruh sistematika filsafat, agama, kebudayaan dan kehidupan umat manusia selama beberapa milenium. Denyut dapat dilihat dari penyebaran agama Hindu di Tibet, Thailand, Tiongkok, Indonesia dan negara-negara Indo China. Konsep “membantu sesama manusia sejatinya memuja Tuhan” telah menempatkan kitab Upanishab tentang pandangan tentang realitas yang menjawab ilmiah, filsafat dan agama manusia. Paparan ini telah diuraikan oleh Renada, A. Constructive of Unasibhadic Philosophy.
[140] H. Kaelani, MS, Negara – Kebangsaan – Pancasila – Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis dan Aktualisasinya, Paradigma, Yogyakarta, 2013, Hal. 235.
[141] Ach. Dhofir Zuhri, Op.cit. Hal. 57
[142] Lihat Pengaruh Hindu Dalam Seloko Melayu di Hulu Batanghari, Musri Nauli, Jurnal Hukum, Universitas Riau, Vol. 4, Juli 2014, Riau, 2014, Hal. 105
            [143] Jakob Sumardjo2000. Filsafat Seni, ITB, 2000, Bandung.
            [144] Sejarah Maritim Indonesia, Pusat Kajian Sejarah dan Budaya maritim Asia Tengara, Lembaga Penelitian Universitas Diponegoro, Semarang, 2003,Hal. 46
            [145] Tri Marhaeni S. Budisantosa, Kubur Tempayan di Siulak Tenang, Dataran Tinggi Jambi Dalam Perspektif Ekonomi, Sosial dan Kepercayaan, Balai Arkeologi Palembang, 2015, Hal. 6
            [146] Pratiwi, Konsep Kosmologi Candi Kembar Batu di Muara Jambi, FKIP Universitas PGRI Palembang.
            [147] Handinoto, Perkembangan Kota di Jawa, Ombak, Yogyakarta, 2015 Ombak.
            [148] Desa Kembang Seri, Batanghari, 14 Mei 2017
[149] Peninjauan bisa diartikan sebagai “peninjau”. Dapat dimaknai sama dengan penyambai kabar kepada Raja.
            [150] Adi Prasetijo, Etnografi Orang Rimba Di Jambi, Wedatama Widya Sastra, Jakarta,  2011
[151]  Imam Suwardi Wibowo dkk, Struktur Adjektiva Dan Adverbia Bahasa Melayu Jambi,  Depdikbud, Jakarta, 1996, Hal. 9
[152] Nurzuir Husin, dkk, Struktur Bahasa Melayu Jambi, Depdikbud, Jakarta, 1985, Hal. 3
[153] Imam Suwardi Wibowo dkk, Struktur Adjektiva Dan Adverbia Bahasa Melayu Jambi, Op.cit, Hal. 10
[154] Sungai Keradak, 27 Juli 2013
[155] Desa batu Empang, 2 April 2013
[156] Desa Tambak Ratu, 28 Juli 2013
[157] Simpang narso, 2 April 2013
[158] Riset Walhi Jambi, 2013
[159] LAPORAN RISET MARGA BATIN PENGAMBANG, G-CINDE, 2013
[160] Peraturan Desa Tanjung Alam  No. 3 Tahun 2011 Tentang  Piagam Depati Duo Menggalo
[161] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016, Hal. 5
[162] Buku Perjuangan Masyarakat Desa Rantau Gedang, Walhi Jambi, 2011
[163] Perdes Kotobaru No.  Tahun 2014 KEPUTUSAN DEPATI SUKO DERAJO
[164] Perdes Kotobaru No.  Tahun 2014 KEPUTUSAN DEPATI SUKO DERAJO
     [165] Pasal 1 angka 25 Perda Kabupaten Merangin No. 8 Tahun 2016 Tentang  Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat
Marga Serampas.
[166] Riset Walhi Jambi, 2013
[167] LAPORAN RISET MARGA BATIN PENGAMBANG, G-CINDE, 2013
[168] Uli Kozok, Kitab  Undang-undang Tanjung Tanah – Naskah Melayu yang Tertua, Penerbit Yayasan Obor, Jakarta, 2006 , Hal 8
[169] LAPORAN RISET MARGA BATIN PENGAMBANG, G-CINDE, 2013
     [170] Peraturan Daerah Propinsi Jambi Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Lembaga Adat Melayu Jambi;
     [171] Ulu Kozok, Kitab Undang-undang Tanjung Tanah – Naskah Melayu Yang Tertua, Yayasan Naskah Nusantara – Yayasan Obor, Jakarta. Hal 8
[172] Desa Semambu, 18 Maret 2013
[173] Muktar, Ketua Lembaga Adat Kecamatan Air Hitam, Sarolangun, 24 Oktober 2017
[174] Eson, Rantau Panjang, 25 Agustus 2016
     [175] Desa Kembang Seri, Batanghari, 14 Mei 2017
[176] Desa Semambu, 18 Maret 2013
     [177] Muara Sekalo, Maret 2013
     [178] Birun, 7 Agustus 2016
     [179] Birun, 7 Agustus 2016
     [180] Marga Pangkalan Jambi, Birun,
     [181]Dan lagi, barang siapa mengubah sukatan gantang, cupak, katian, kundir, bungkal, pihayu.Ulu Kozok, Kitab Undang-undang Tanjung Tanah – Naskah Melayu Yang Tertua, Yayasan Naskah Nusantara – Yayasan Obor, Jakarta, Hal. 26
     [182] Zulkifli, Birun, 7 Agustus 2016
[183] Budihardjo, Perkembangan Ekonomi Masyarakat Daerah Jambi – Studi Masa Kolonial, Philosophy Press, University of Michigan, 2001, Hal. 64