Tiba-tiba
saya mendapatkan kabar telah meninggal Karim Hasan (KH), seorang pejabat karier
dan tokoh terpandang di Kabupaten Merangin. Dengan beragam jabatan karir baik
Sekwan Sarko (sebelum menjadi Kabupaten
Merangin dan Kabupaten Sarolangun), Kepala Bappeda Sarko, Asisten 1 Sarko
hingga menjabat Ketua DPRD Sarko dan Ketua DPRD Merangin dan Ketua DPD Golkar
Kabupaten Sarko dan DPD Kabupaten Merangin. Dengan jabatan karir di
pemerintahan dan di politik membuktikan kepiawaian dan kematangan politik dari
KH.
Secara
pribadi, beliau adalah teman dari almarhum ayahanda penulis. Penulis pernah
diceritakan oleh almarhum Ayahanda tentang kiprah KH. Bersama-sama dengan M.
Ali (mantan Kepala SMP 1 Jambi), OK
Hendrik (salah tokoh tari di Jambi), mereka
merumuskan tarian yang berasal dari “lenggak-lenggok” gemulai dari alunan
Sungai yang terkenal. Tarian Selampit Delapan. Tarian khas Jambi ini kemudian
dijadikan mascot dan melambangkan muda-mudi Jambi dengan ceria dengan kain yang
terikat di tiang. Tarian ini salah satu merupakan kekayaan Jambi yang masih
sering dipagelarkan dalam tarian-tarian resmi protokoler Jambi.
Pertemuan
dimulai ketika KH bersama-sama dengan petinggi Partai Golkar Jambi membuat
laporan di Kepolisian. Penulis mendampingi proses hukum kemudian mengaku kepada
beliau. Dan kekagetan dari beliau kemudian terucap dengan kalimat “Kau ananda. Kamu harus panggil om”.
Sejak itu, setiap berkomunikasi KH tidak pernah memanggil nama tetapi selalu
memanggil ananda.
Interaksi
selanjutnya kemudian ketika proses hukum anggota DPRD Merangin dalam kasus di
Pengadilan Negeri Bangko. Penulis kemudian direkomendasikan KH untuk
mendampingi proses hukum kepada Sekwan. Sedangkan beliau sendiri telah
menetapkan Pengacara (kalau tidak salah selain ada pengacara dari Bangko juga
ada pengacara dari Padang). Selanjutnya proses hukum bergulir. Perkara di PN
Bangko kemudian dilepaskan dari seluruh proses hukum (onslaag).
Praktis
kemudian komunikasi terputus. Dan akhir tahun 2012, KH menghubungi penulis
untuk membantu kasus tanah di Bangko. Komunikasi kemudian dilanjutkan.
Sembari
mengurusi teknis perkara di PN Bangko, penulis kemudian berkomunikasi intensif
diluar perkara. Dari diskusi dengan KH, ada beberapa ucapan beliau maupun sikap
politik yang menjadi ingatan penulis.
Pertama.
Mengenai kasus tanah, penulis pernah berujar. Mengapa ketika menjadi Ketua DPRD
tidak diselesaikan hingga tidak berlarut-larut. Dengan tegas beliau menjawab.
Selama menjadi ketua DPRD, beliau tidak mau menyelesaikan kasus tanah karena
dikhawatirkan dapat menimbulkan persepsi negative kepada diri beliau.
Padahal
dengan posisi ketua DPRD Merangin, beliau dapat meminta kepada Kapolres
Merangin untuk membantu menyelesaikannya. Selain Kapolres sudah bersedia
membantu, kasus ini dapat mudah diselesaikan.
Namun
beliau menolak. “Nanti jangan
mentang-mentang Ketua DPRD, menang melawan rakyat kecil”. Ucapan ini dipegang teguh hingga beliau menyelesaikan
tugasnya sebagai Ketua DPRD Merangin.
Kedua.
Di sela-sela diskusi, beliau dapat bercerita dengan baik “suasana” Bangko
ketika beliau bersama dengan almarhum ayahanda ketika masih bujangan. Beliau
masih fasih bercerita pergaulan muda-mudi di Bangko yang berkumpul untuk
menarikan tarian selampit delapan. Bahkan beliau juga bercerita kisah cinta
ayahanda dengan Ibunda penulis. Kisah romantis yang tidak pernah diceritakan
ayahanda penulis dan Ibunda selama ini.
Ketiga.
Dalam setiap pertemuan, penulis selalu mengajukan pertanyaan. “Sehat om ?. Beliau dengna tenang
menjawab. Iya. Seperti inilah”.
Kadang sakit namun kadang sehat. Bahkan menurut pengamatan penulis, beliau
masih diberi ingatan yang cukup baik menceritakan berbagai perjalanan hidup.
Bahkan beliau dengan enteng bercerita tentang upaya pengobatan di Malaka
(Malaysia).
Pilihan
ke Malaka, selain biaya pengobatan relative lebih murah di Jakarta, namun
pelayanan dari Rumah Sakit itulah yang membuat beliau betah berobat rutin.
Dengan panjang lebar, beliau bercerita bagaimana pelayanan dari Rumah Sakit.
Dimulai dari penjembutan dari bandara dan diperlakukan dengan menghibur diri
beliau. Sepertinya beliau cukup puas dari pelayanan rumah sakit.
Keempat.
Melihat interaksi yang panjang komunikasi dengan beliau, penulis sering iseng
mengajukan pertanyaan disela-sela diskusi. Misalnya bagaimana pandangan beliau
dengna kepemimpinan Kepala Daerah.
Dengan
tenang beliau menjawab. “Orang gedang
berlakulah gedang”. Kalimat itu bisa saja multitafsir. Bisa saja
ditafsirkan sebagai otokritik. Namun bisa saja kalimat bijaksana dari seorang
tua yang cukup dihormati di Merangin.
Kalimat
“Orang gedang berlakulah gedang”, juga sering penulis temukan dalam berbagai
pembicaraan dengan tokoh-tokoh adat di berbagai Desa di Merangin.
Kalimat
“Orang gedang berlakulah gedang” selain bisa ditafsirkan sebagai nasehat
bijaksana bagaimana seorang kepala daerah yang mempunyai amanat untuk memimpin
daerah, mendapatkan amanah dari rakyat kecil juga bisa ditafsirkan antara
perkataan dengan perbuatan haruslah sesuai dan dilihat oleh rakyat.
Kalimat
“Orang gedang berlakulah gedang” harus tercemin seorang pemimpin tidak boleh
sembarangan mengeluarkan kalimat yang bisa menyakiti rakyat. Seorang pemimpin
haruslah dapat bersikap adil. Jangan seperti pemimpin “Belah bambu”. Satu
dipijak namun satu diangkat. Harus adil dan tidak pilih kasih didalam
memutuskan.
Kalimat
“Orang gedang berlakulah gedang”, haruslah mencerminkan sikap kenegaraan dari
pemimpin. Sehingga dihormati layaknya seorang pemimpin.
Kalimat
“Orang gedang berlakulah gedang” bukanlah sekedar kalimat untuk koreksi. Namun
sebagai pegangan dari rakyat melihat cara-cara pemimpin didalam menyelesaikan
persoalan. Kalimat “Orang gedang berlakulah gedang” adalah kalimat dari beliau
sebagai cerminan “orang tua” yang melihat bagaimana pemimpin di Merangin cara
memimpin dan memperhatikan rakyatnya.
Kalimat
“Orang gedang berlakulah gedang” adalah kalimat yang paling sering penulis
ingat dan menjadi ingatan penulis kepada sosok dan kiprah dari almarhum.
Selamat
Jalan Om Karim Hasan. Rakyat Merangin dan Sarolangun pastilah kehilangan sosok
kebapaan yang cukup dihormati. Dan penulis kehilangan sosok kebapaan yang tetap
sederhana menjalani kehidupan namun tetap memberikan mutiara besar untuk
menatap hidup.