“Bang, Abang jadi Tim Panelis Debat
Publik KPU Jambi, ya”
Demikian pembicaraan diujung telp.
Sayapun
terhenyak. Saya yang merasa bukanlah apa-apa apabila dibandingkan dengan Tim
Panelis yang lain. Baik karena pengalaman maupun gelar akademik membuat saya
berfikir ulang.
Tema
yang diangkatpun adalah Hukum dan Lingkungan Hidup. Tema yang menurut saya
masih jauh disebut sebagai panelis.
“Abang selalu kritis dan paling
paham” kata sang penelphon terus
meyakinkan saya. Tanpa bermaksud untuk mengabaikan sarannya, saya kemudian
mengikuti proses menjadi Tim panelis Debat public KPU Jambi.
Mekanismepun
dijalani. Saya kemudian mengirimkan pertanyaan kepada tim untuk dibahas. Dan
pertanyaan itulah yang kemudian saya sodorkan kepada Moderator pada saat hari
H.
Sebelum
dilaksanakan acara hari H, kamipun berkumpul. Di Rumah Makan di sipin ujung.
“Temanya sih, simulasi dengan
Moderator”. Bak kata Orang
melayu Jambi. “Tak kenal maka tidak sayang”.
Demikian kata sang punya hajat acara.
Sayapun
kemudian mengenal Sang Moderator. Anak SMP 7 Negeri Jambi. Dan Bang Amri Amir (Ketua
Tim Panelis) kemudian menyambar. “Ya.
Kita satu Alumni’.
Untuk
mengukur “masih ada Jambi atau tidak”,
Berbagai celetukan khas Jambi disampaikan. Sekalian menguji “apakah dia anak Jambi atau tidak’.
Hampir istilah Jambi disambar dengan cepat sang moderator. Entah dengan Bahasa Tempoyak,
sembari “kick” balik dengna khas anak Jambi. “oh. Ternyata anak Jambi tokh”. Kamipun lega. Khawatir issu ini
akan disambar dan menjadi tema tersendiri. Sembari hendak bubar, kamipun
berphoto sejenak. Ya. Sekedar untuk kenang-kenangan. Tidak terfikir akan
menjadi kenangan yang penting.
Usai
debat public Pilwako Jambi, bukan tema yang disampaikan para candidate yang
bersilewaran di media massa yang paling menarik perhatian saya. Tapi sang “Host’
yang “Dianggap lebih nasional” daripada “Host Jambi’.
Sayapun
“tergelitik” untuk nimbrung.
Pertama.
Menempatkan tokoh nasional baik di Tim Panelis maupun host moderator adalah “Kekeliruan”
mental “underminded’ yang masih kuat dikalangan masyarakat. Cara ini haruslah
ditinggalkan. Selain “yang paling paham” masalah daerah, ya orang Daerah itu
sendiri, juga cara ini sudah harus ditinggalkan.
KPU
Jambi sudah meninggalkan tradisi ini. Dengan menempatkan “orang-orang Jambi”, KPU
Jambi justru “mempercayakan” orang Jambi yang membicarakan Jambi. Cara ini
lebih unggul karena karena setiap detail nafas Jambi masih dalam ingatan
kolektif para tim Panelis. Data-data yang diperlukan hanya memperkuat analisis
pembahasan. Tidak perlu lagi “tracking’ ataupun menduga-duga mengenai persoalan
Jambi.
Selain
itu, seluruh para candidate pastilah dikenal baik oleh Tim Panelis. Baik latar
belakang sebelumnya, jejak politik, pandangan politik maupun berbagai ucapan di
media massa. Cara ini berhasil “Mengepung” para candidate terjebak dengan
jawabannya sendiri.
Saya
saja sering-sering senyum simpul mendengarkan jawaban dari para candidate.
Alhamdulilah.
Tim Panelis berhasil “memberikan pertanyaan” yang hingga akhir tidak mampu
dijawab dengan tuntas oleh para candidate.
Kedua.
KPU Jambi justru mengangkat “putri Jambi” yang sukses di tingkat nasional. Saya
justru mendapatkan penjelasan dari tim KPU ketika saya bertanya siapa “host”
acara tersebut.
Sebelum
kedatangan Host yang dimaksudkan, Tim KPU Jambi dengan enteng menyampaikan. “Orang
Jambi-lah bang”.
Nah.
Makanya ketika kedatangan host ditemani teman sekolahnya di Jambi, joke-joke Bahasa
Jambi sengaja dikemukakan agar menguji “Orang Jambi’. Dan akhirnya sayapun
lega.
Ketiga.
Sebaiknya perbanyak tabayun untuk menentukan siapakah “Host”. Jangan
mentang-mentang sudah berkiprah di nasional malah langsung disebut “host”
nasional dan meminggirkan host Jambi.
Bukankah
masih ada akses di KPU Jambi untuk memastikan “siapa sih host” ?. Khan lebih
enak ditanyakan langsung daripada publish di public.
Bukankah
host yang sekolah di Jambi, masih punya kawan di Jambi, masih fasih Bahasa Jambi
masih disebut anak Jambi.
Yang
keliru, apabila kita justru menganggap “orang
nasional” yang pantas menjadi Tim Panelis debat public dan “terkesan keren”.
Atau
memuja kepala Daerah yang tidak pernah lahir, sekolah, kawin di Jambi setinggi
langit.
Tapi
sudahlah. Sayapun teringat kata ujaran bijaksana dari Kampung. “Raja turun singgana, pergilah betapa’.
“Mungkin adek lelah, ya”. Kata Putra terkecil kalo disuruh balas SMS.
Dan lebih suka video call Whattapp.