13 Desember 2023

opini musri nauli : Belajar dari Masyarakat Gambut

 


Lega rasanya ketika teman-teman Tenaga teknis (fasilitator Desa) BRGM Jambi telah menyelesaikan Peraturan Desa dan Peraturan Adat. Salah satu mandat yang dibebankan kepada Fasdes. Walaupun kelurahan yang tidak berwenang untuk mengatur Peraturan Desa dan membuat peraturan Desa, namun dengan adanya Peraturan Adat merupakan salah satu keunikkan sekaligus daya kreativitas Fasdes untuk mengisi kekosongan hukum. 


Diantaranya Peraturan Desa Sungai Aur (Muara Jambi), Peraturan Desa Marga Rukun (Tanjabbar) dan Peraturan Adat Kelurahan Teluk Dawan (Tanjabtim). Ketiganya mewakili kabupaten yang termasuk kedalam wilayah ilir Jambi yang dikenal sebagai daerah gambut. 

Kedua Desa dan satu kelurahan sudah lama ditetapkan sebagai DMPG (Desa Mandiri Peduli gambut). Salah satu program lanjutan DPG (Desa Peduli Gambut). Kelurahan  Teluk Dawan ditetapkan sebagai DPG tahun 2018, Desa Sungai Aur tahun 2019 dan Desa Marga Rukun Tahun 2022. Ketiganya kemudian ditetapkan kembali sebagai DMPG tahun 2023. 


Ditengah “macetnya” Peraturan Desa yang sebelumnya belum disahkan (baik dengan alasan pergantian Kepala Desa dan Pilkades maupun alasan yang belum sempat diselesaikan), kemampuan Fasdes untuk mengejar termasuk menyelesaikan tahun ini harus diacungi jempol. 


Selama 6 bulan terakhir, berbagai upaya “pendekatan” sekaligus membangun kesadaran pentingnya pengelolaan gambut berhasil kemudian Peraturan Desa dan Peraturan Adat kemudian disahkan. 


Sebagai keinginan dari masyarakat didalam mengatur dan mengelola gambut, tidak dapat dipungkiri berbagai Seloko, nilai, cara pandang, ajaran hingga pengelolaan terlalu sayang dilewatkan. 


Didalam Peraturan Desa Sungai Aur kemudian ditetapkan pendataan sekaligus pemetaan rawan kebakaran. Selain itu juga pengaturan tentang Pengolahan lahan gambut melalui sistem Pengolahan lahan tanpa membakar (PLTB). Salah satu maqom yang kemudian dikukuhkan didalam peraturan Desa. 


Didalam Peraturan Desa Marga Rukun juga mengatur tentang wilayah yang harus dilindungi yang terletak Terletak di sepanjang Sungai Pengabuan dan parit terdapat sebaran ekosistem gambut dan mangrove. Selain itu juga tempat-tempat yang telah dibangun sekat kanal kemudian ditetapkan sebagai wilayah yang harus dilindungi. 


Peraturan Desa Marga Rukun juga mengatur pemetaan ekosistem gambut, pemilik tanah yang harus membuat penanda tanah (berupa patok yang disebut pringgan atau pohon mati), pengaturan tentang semak belukar dan pembersihkan parit. 


Terhadap tanah yang kemudian tidak ditandai, tidak dibersihkan atau ditanami atau tanah yang ditumbuhi semak belukar kemudian dikategorikan sebagai tanah terlantar. Sehingga tanah terlantar (biasa juga disebut tanah kosong) maka mengikuti hukum Tanah Melayu Jambi. “Jatuh hak atas tanah”. Atau biasa dikenal hak atas tanahnya menjadi hilang. 


Selain itu juga adanya pengaturan apabila adanya perselisihan yang biasa dikenal jenjang adat. Bertangkap naik. Bertangga turun. 


Jenjang adat dimulai secara berjenjang seperti Setiap perselisihan dimulai ke jenjang dari Rukun Tetangga (RT). Apabila tidak terdapat penyelesaian di tingkat RT maka dapat diselesaikan di tingkat dusun. Apabila tidak terdapat penyelesaian di tingkat Dusun, maka dapat diselesaikan di tingkat Desa.  Terhadap keputusan di tingkat Desa harus dipatuhi.


Sedangkan Peraturan Adat Kelurahan Teluk Dawan menceritakan kisah tentang Teluk Dawan. Teluk dikenal sebagai sungai yang berbentuk Telur. Sedangkan kata Dawan berasal dari Senawan. Kisah orang yang mengambil senawam di Seberang tempat mereka berladang. Namun perahu yang dinaiki kemudian tenggelam di tengah sungai. Sejak itulah kemudian nama Teluk Dawan kemudian dikenal. 


Yang menarik adalah nilai-nilai yang dimulai dari “Adat Bersendikan Syarak, Syarak Bersendikan Kitabullah, Syarak Mangato, Adat memakai. Salah satu nilai yang dikenal masyarakat Melayu Jambi. Ada juga yang menyebutkan “Tali undang timbang teliti. Sebagaimana slogan di Lambang Kabupaten Merangin. 


Didalam Peraturan Adat Kelurahan Teluk Dawan bertaburan berbagai seloko. Seperti Rumah sudah, Ganden idak babunyi, api padam puntung tidak berasap, yang jatuh biarlah tertinggal yang tepijak biarlah luluh”. Seloko ini kemudian menyebutkan Dalam menetap keputusan yang sulit, harus kuat dengan janji setia menurut kenyataan hukum adat tersebut sangat besar pengaruh dalam menata kehidupan masyarakat yang taat pada hukum. 


Seloko “Kurang Sisik tunas tumbuh, kurang siang rumpun menjadi” yang dapat diartikan Lembaga Adat menjaga nilai-nilai adat sehingga tetap dipatuhi masyarakat. Sekaligus adat harus dapat menjadi penyelesaian berbagai persoalan yang terjadi ditengah masyarakat. 


Seloko Dimano Bumi dipijak, disitu langit dijunjung, dimano tembilang tecacak, disitu tanaman tumbuh” dapat diartikan sebagai aturan yang dipegang Teguh masyarakat Teluk Dawan. 


Seloko ini kemudian mengatur seperti dilarang aktivitas yang dapat menyebabkan terjadinya kebakaran dan pengerusakan lahan gambut seperti Membakar lahan kering dengan sengaja di musim kemarau, Membuang puntung rokok yang masih hidup pada areal gambut kering dan Membakar ikan hasil memancing di lahan gambut pada musim kemarau. 


Seloko “Keruh aek di muaro  coba liat keulu” yang kemudian dilanjutkan dengan seloko “Tepijak ke benang arang, hitam telapak kaki, jika tesuruk dibukit kapur putih tengkuk” kemudian dapat diartikan setiap orang yang melakukan kesalahan berdasarkan hukum. 


Sedangkan penyelesaian sengketa tetap berpijak kepada seloko “bejenjang naik, betanggo turun”. Seloko ini menggambarkan penyelesaian sengketa dimulai dari jenjang Ketua Rukun Tetangga, kemudain jenjang Ketua Rukun Warga dan jenjang Lembaga Adat Melayu Kelurahan Teluk Dawan bersama dengan Pemerintah Kelurahan Teluk Dawan. Dan proses penyelesaian tetap dilakukan melalui musyawarah dan mufakat Adat pegawai syarak.


Sebagai ikrar masyarakat Teluk Dawan maka kemudian ditutup dengan seloko “Bulat aer karena pembuluh, bulat kato oleh mufakat, bulat samo-samo kito golek, pipih sama-samo kita layangkan, terendam sama-sama basah, tarempai samo-samo kering” yang kemudian dapat diartikan, putusan adat Sudah melalui proses yang panjang sehingga dapat dijadikan pedoman didalam pelaksanaannya. Seiyo sekato kalau istilah Jambi. 


Menjelang akhir tahun, 2 Peraturan Desa dan satu Peraturan Adat yang telah diselesaikan baik masyarakat gambut dan dibantu fasilitasi oleh Fasdes adalah kado terindah menutup akhir tahun. 


Namun pelajaran paling mahal tiada ternilai harganya adalah pengetahuan dari masyarakat gambut itu sendiri. 


Dan saya bangga menjadi bagian dari penyaksi sumber pengetahuan masyarakat gambut. 


Advokat. Tinggal di Jambi