Cerita Ulama di Sumatera Barat (Minangkabau) tidak dapat dipisahkan berbagai tokoh agama (ulama) yang terkenal. Baik dimulai dari Syekh Burhanuddin, Syaikh Ahmad Khatib al Minangkabau, Dr. Malik Karim Amrullah (Ayah HAMKA), HAMKA dan sejarah generasi di Pondok Pesantren Thawalib Putra, Dinniyah Putri dan Kayu Tanam.
Syaikh Ahmad Khatib al Minangkabau adalah mahaguru dari berbagai ulama Nusantara.
Diantara muridnya terdapat Syaikh Ibrahim Musa Parabek, Syaikh Sulaiman Arrasuh, Syaikh Muhammad Thahir Ibn Muhammad Jalaludin Cangking, Kiai Asnawi Kudus, Syaikh Karim Amrullah, Kiai Nawawi al Bantani dan Agus Salim.
Namun sebelum Syaikh Ahmad Khatib al Minangkabau, masyarakat Minangkabau mengenal Syekh Burhanuddin. Syekh Burhanuddin tidak dapat dilepaskan dari sejarah panjang dengan Syekh Abd Al-Ra’uf Al - Fansuri dan Tarekat Syattariyah.
Didalam Skripsi Agustianda yang berjudul PERKEMBANGAN PEMIKIRAN TASAWUF SYEKH BURHANUDDIN DI KALANGAN MASYARAKAT MINANG KOTA MEDAN” dijelaskan tentang Syek Burhanuddin. Salah seorang ulama besar yang Hidup di ranah Minangkabau.
Syekh Burhanuddin diperkirakan lahir pada tahun 1056 Hijiriah/1646 Masehi dari keluarga yang menganut agama Buddha. Sumber ini didukung oleh Azyumardi Azra, menyebutkan bahwa Syekh Burhanuddin diperkirakan hidup antara tahun 1056- 1111 Hijriah/1646-1699 Masehi. Boestami juga menyatakan Syekh Burhanuddin yang bernama kecil Pono lahir di Pariangan Padang Panjang tahun 1066 Hijriah/1646 Masehi.
Ia berasal dari daerah Guguk Sikaladi Pariangan, padang Panjang, kemudian orang tuanya pindah ke Sintuak Lubuk Alung. Nama aslinya adalah Kanun, kemudian ketika ia berguru kepada Syekh Abdul Arif (Syekh Madinah), ia diberi gelar Pakih Pono . Ayahnya bernama Pampak dan ibunya bernama Nili/Puteri Cukuep. Mereka adalah keluarga petani. Waktu kecil Kanun bertugas sebagai penggembala ternak orang tuanya.
Ketika masih kecil, Burhanuddin dan ayahnya menganut agama Buddhanamun kemudian atas ajakan dan dakwah seorang saudagar Gujarat yang menyebarkan agama Islam kepada penduduk di Pekan Batang Pengawas, Burhanuddin dan ayahnya meninggalkan agama Buddha dan masuk Islam.
Setelah memeluk agama Islam, Burhanuddin meninggalkan kampung halamannya, Sintuak, untuk merantau ke Tapakis dan berguru dengan seorang ulama, Yahyuddin (Tuanku Madinah).
Atas anjuran gurunya, Burhanuddin berangkat ke Aceh untuk belajar kepada Syekh Abdurrauf Sinkli mengembangkan Tarekat Syattariyah.
Syekh Abd Al-Ra’uf Al - Fansuri justru dikenal mengarang kitab berbagai disiplin ilmu Islam seperti fiqh, Tafsir Al Qur-an, Hadis, Akhlak, sejarah, eskatologi, akidah dan tasawuf.
Menurut Ridwan Arif didalam Disertasinya kemudian menyebutkan kekuatan Syekh Abd Al-Ra’uf Al - Fansuri dari kitab yang dituliskan semuanya ditulis berbahasa Melayu, beraksara Jawi. Dengan demikian maka kekuatannya justru di lokalitas karya.
Salah Satu kitab yang paling fenomenal adalah “Turjuman al Mustafid. Terjemahan Al Qur’an dalam bahasa Melayu.
Syekh Abd Al-Ra’uf Al - Fansuri dikenal dapat memadukan antara fiqh dan tasawuf. Sehingga Syekh Abd Al-Ra’uf Al - Fansuri kemudian dikenal toleran. Dalam bidang tasawuf, salah materi kitab yang menjadi namanya kemudian diperhitungkan, Ridwan Arif kemudian menyebutkan 41 kitab.
Yang paling terkenal adalah Tanbih Al-Mashi, Umdat al Muhtajin, Kifayah Al Muhtajin, Daqa’iq al Huruf dan Bayan Tajali.
Agak berbeda yang disampaikan oleh Agustianda yang mengutip Shalahuddin Hamid didalam bukunya “100 Tokoh Islam Paling Berpengaruh di Indonesia”, Syekh Abd Al-Ra’uf Al - Fansuri memiliki 21 kitab.
Setelah berguru dengan Syekh Abd Al-Ra’uf Al - Fansuri selama 30 tahun, Syekh Burhanuddin kembali ke Minangkabau.
Cara Syekh Burhanuddin meresapkan ajaran Islam kepada anak negeri Tanjung Medan adalah dengan jalan lunak secara berangsur-angsur. Beliau tidak mau melaksanakan secara keras. Jalan yang dilakukan adalah menerapkan salah satu ayat Al-Quran yang berbunyi: ― Lā Iqraha Fiddīn ― (tidak ada paksaan dalam beragama).
Agustianda kemudian menyebutkan Syekh Burhanuddin manuskrip. Manuskrip ditinggalkan merupakan mukhtasar (ringkasan) dari beberapa kitab tasawuf.
Pertama manuskrip yang ditulis tangan oleh Syekh Burhanuddin sendiri yang oleh pengikutnya dinamakan dengan Kitab Tahqîq (Kitab Hakikat). Kitab aslinya masih tersimpan di tangan khalifah Syahril Luthan Tuanku Kuning, khalifah yang ke-42 bertempat di Surau Syekh Burhanuddin Tanjung Medan Ulakan.
Kitab yang ditulis dengan mengunakan bahasa Arab ini ditulis dengan tinta kanji dan kertas lama berwarna kuning lebih tebal dari kertas biasa yang ada sekarang. Dilihat dari tulisan, tinta, dan kertas yang dipergunakan dapat diduga bahwa memang kitab ini sudah berusia sekitar 4 abad (zamannya Syekh Burhanuddin).
Menurut Agustianda, kitab sumber yang dipakai oleh penulis kitab Tahqīq dapat dipastikan bahwa kitab ini merupakan manuskrip tasawuf yang menjadi paham keagamaan yang dianut oleh penulisnya.
Kedua, manuskrip tulisan tangan berbahasa Arab dan bahasa Arab melayu terdiri dari lima kitab yang juga tidak dicantumkan nama penulisnya. Kitab ini lebih sedikit maju karena dicantumkan masa penulisannya. Pada bahagian akhirnya tertulis, ̳ ̳Alhamdulilah‖ tamatlah kitab ini ditulis pada hari Selasa bertepatan dengan tahun 1223 Hijriah Nabi Muhamad SAW bersamaan dengan 1788 Masehi.
Syekh Burhanuddin menjadi sosok terkenal di Minangkabau berkat ketinggian ilmu, serta menjadi tokoh penting penyebaran ajaran Syattariyah di penghujung abad 17.
Beliau inilah kemudian muncul sederetan ulama-ulama besar yang dulunya belajar dan berguru kepadanya baik yang masih tetap menyebarkan ajaran Syattariyah atau yang pada akhirnya memilih tarekat lain selain Syattariyah.
Dalam salah satu silsilah transmisi sanad dari Syekh Burhanuddin misalnya ada sosok yang bernama Tuangku Nan Tuo Mansiangan yang menjadi guru dari Tuangku Nan Tuo Cangkiang Ampek Angkek, yang pada akhirnya memilih mengembangkan Tarekat Naqsyabandiyyah, pun dari Tuangku Nan Tuo Cangkiang ini juga ada murid yang bernama Tuangku Nan Renceh kelak jadi bagian dalam kisah perang paderi di ranah Minang.
Baca : Cerita Ulama Sumatera (4)