Didalam kamus besar bahasa Indonesia, Huma diartikan sebagai ladang yang ditanami padi. Dapat juga diartikan sebagai Tanah yang baru dibuka.
Agak berbeda dengan pengetahuan yang dikenal ditengah masyarakat. Huma yang kemudian sering disebutkan dalam dialek “Humo” atau “umo” adalah tempat pertanian ataupun Perkebunan yang kemudian dihuni.
Jadi “humo” atau “umo” tidak mesti harus tanah yang baru dibuka. Bahkan tempat menanam padi yang rutin ditanami, juga dikenal sebagai “humo” atau “umo”.
Makna kata “humo” atau “umo” juga tidak dapat dipisahkan dari kata “talang”. Berbagai “Humo” atau “umo yang kemudian cukup banyak kemudian sering dikenal sebagai “talang”. Sehingga talang sering juga disebut sebagai “dusun Kecil” terletak di tepi hutan. Bahkan juga merupakan peladangan.
Membicarakan seloko tentang “humo”, “umo”, “talang” tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga dikenal “behumoa ronah” dan “Behumo rimbo”.
“Behumo Ronah” sebagai areal pertanian. Sedangkan “behumo rimbo” adalah prosesi hukum adat didalam membuka Tanah (membuko rimbo). Biasanya proses dimulai dari penentuan waktu seperti “pangkal” tadi, lambas, sak sangkut, bebanjar dan “setawar”.
Dalam hukum adat Jambi, “Induk 8. Anak 12” sering disebutkan seloko seperti “Humo bekandang siang. Ternak bekandang malam. Ada juga menyebutkan “Humo bepagar rendah. Kerbo bepagar tinggi”, “Padi Bapaga Siang. Kebau Bakandang Malam”, “Undang – undang pagar sawah. Sawah bakandang siang. Tonak bakandang malam. Siang bapaga tegak malam bapaga rebah”.
Maknanya adalah terhadap pemilik Tanah, harus menjaga tanahnya dengan cara membuat pagar sekeliling. Sehingga ternak tidak bisa masuk kedalamnya dan memakan tanaman.
Sedangkan “ternak bekandang malam”, Kebau Bakandang Malam”, Tonak bakandang malam, malam bapaga rebah” diartikan, para pemilik ternak agar memasukkan ternak kedalam kandangnya.
Humo genah” atau “genah umo” dikenal ditengah masyarakat Hilir. Terutama di Desa Rantau Rasau dan Desa Sungai Rambut yang termasuk kedalam Marga Berbak.
“Genah” adalah tempat biasanya masyarakat menyebut tempat. “Genah” sering juga diartikan “letak”.
Sedangkan “Humo” adalah suatu tempat atau lokasi untuk menanam padi bagi masyarakat. Dan tidak boleh di tanami jenis tanaman lain selain padi.
Sehingga “genah umo” atau “Humo genah” adalah areal yang memang dikhususkan untuk menanam padi. Di Marga Kumpeh Ulu dan Marga Kumpeh Ilir dikenal istilah “peumoan”. Di Tebo dikenal dengan istlah “lambas berbanjar”.
Nah, ‘Pusako Mencil. Umo betalang jauh” sering dilekatkan dengan sanksi adat yang keras. Sering juga disebut “ingkar”, buangan dalam negeri” atau “plali”.
“Pusako Mencil. Umo betalang jauh” sering disebutkan didalam seloko seperti “Ingkar pulang ke bathin, kereh pulang ke rajo”. “bejalan melintang tapak, panjang tanduk naik menggileh, mentang-mentang tanduk panjang nak menjadi orang celako dalam negeri”.
Istilah “buangan dalam negeri”, “ingkar pulang ke batin. Kereh pulang ke rajo’ menggambarkan bagaimana “tidak taatnya” untuk mematuhi sanksi adat.
Sehingga hukum “plali” sering disebutkan didalam seloko “tinggi tidak dikadah. Rendah tidak dikutung. Ditengah dimakan kumbang”.
Atau sering juga disebutkan dengan “be ayam kuau, bekambing kijang, bekalambu rosam, bekasua gambi’. Sehingga tidak salah kemudian disebutkan sebagai “buangan dalam negeri”.
Advokat. Tinggal di Jambi