Arti Pancung yaitu “ujung atau penjuru”. Namun pancung kemudian diartikan sebagai memancung/me-man-cung/ menetak (memenggal) puncak (kepala dan sebagainya). Namun dalam istilah pancung kemudian diartikan “memotong hingga putus”. Sedangkan alas diartikan sebagai “dasar, fondasi” dari posisi rumah.
Dengan demikian, maka pancung diartikan sebagai “menandai pohon diujung sebagai batas tanah yang diberikan kepada masyarakat.
Seloko menggunakan kata “pancung” sering dilekatkan dengan kata “alas”. Sehingga sering disebutkan sebagai “pancung alas”.
Pancung alas merupakan “tanda” terhadap pembukaan hutan untuk dijadikan kebun. Tanda berupa pohon yang dipotong/ditakuk sebagai ditandai menggunakan “kapak” sehingga disebut sebagai pancung.
Di daerah hilir Jambi terutama di Kuala Tungkal (Tanjabbar), Muara Sabak (Tanjabtim) dan Muara Jambi hilir (Muara Jambi), istilah “pancung alas” biasa dikenal dalam model mengenai tanah.
Di daerah hulu Sungai Batanghari, istilah pembukaan tanah yang ditandai pohon sebagai batas tanah disebut dengan “takuk, sak sangkut, atau “lambas”.
Istilah “pancung alas” biasa dikenal dalam model mengenai tanah.
Di daerah Muara Sabak, istilah Pancung alas merupakan “tanda” izin kepada penghulu (Pemangku adat setingkat Kepala Desa atau pemangku adat) untuk memohon izin membuka hutan untuk dijadikan kebun.
Istilah “memancung putus” disimbolkan sebagai sifat pemimpin yang ditunjuk oleh masyarakat. Dalam maknanya “memancung putus”, sifat seorang pemimpin ketika menemui sebuah persoalan, maka setiap perkataan, ujarannya dapat menyelesaikan persoalan.
Setelah masing-masing ditandai dengan batas, maka antara batas tanah satu dengan batas tanah lain diberi luasan sekitar 1 meter sebagai tempat yang tidak ditanami. Di daerah Kumpeh Ilir biasa disebut dengan Mentaro.
Namun berbeda di daerah hilir Kumpeh Ilir. Di Tanjung, Pancung alas merupakan “cukai” dari hasil yang dikeluarkan dari hilir Sungai Kumpeh.
Hasil yang dikeluarkan dari Tanjung seperti hasil sungai seperti ikan, pasir kemudian dilelang. Pemenang dilelang diberikan kepada penawaran tertinggi. Pesirah kemudian dapat mengambil “cukai” dari hasil yang dikeluarkan. Sistemnya dikenal dengan “sepuluh duo”. Artinya. Setiap penghasilan dari obyek “cukai”, maka pesirah berhak mendapatkan 20 persen.
Definisi “pancung alas” sesuai dengan makna “cukai”.
Penarikan “cukai” inilah yang biasa disebutkan dengan “pancung alas. Selain itu Pesirah juga berhak menarik “cukai pasar. Sistemnya sama. “sepuluh duo”.
Selain itu Istilah “pancung alas” biasa dikenal dalam model mengenai tanah kemudian dikenal didalam berbagai putusan Pengadilan (Yurisprudensi). Seperti Putusan Mahkamah Agung Nomor 273 K/Pdt/2014 tanggal 17 Juli 2014, Pengadilan Negeri Tanjung Jabung Timur Nomor 01/Pdt.G/2014/PN.Tjt tanggal 14 Juli 2014, Putusan Pengadilan Negeri Jambi Nomor 732/Pid.B/2015/PN.Jmb dikuat berdasarkan Putusan Pengadilan Tinggi Jambi Nomor 17/Pid/2016/PT.JMB dan Pengadilan Negeri Kuala Tungkal Nomor 06/Pdt.G/2013 PN.Ktl tanggal 26 September 2013.
Menurut Putusan Mahkamah Agung Nomor 273 K/Pdt/2014 tanggal 17 Juli 2014,Pancung alas kemudian memperoleh persetujuan/izin dari Demang. Atau membuka hutan (Pengadilan Negeri Kuala Tungkal Nomor 06/Pdt.G/2013/PN.Ktl tanggal 26 September 2013).
Sedangkan “pancung alas” di Pesisir Riau, menurut Husni Thamrin, Zulfan Saam, “ECO-RELIGIO-CULTURE SUATU ALTERNATIF PENGELOLAAN LINGKUNGAN” adalah “sewa Tanah”. Pancung alas juga dikenal di Bangkinang (Pengadilan Negeri Bangkinang Nomor 224/Pid.B/2015/PN Bkntanggal 27 AGUSTUS 2015).
Sedangkan di Sumatera Selatan dikenal sebagai penebasan dan pembersihan hutan (Pengadilan Negeri Palembang Nomor 98 / PID / 2012 / PT.PLG tanggal 28 JUNI 2012)
Di daerah hulu Sungai Batanghari, istilah pembukaan tanah yang ditandai pohon sebagai batas tanah disebut dengan “takuk, sak sangkut, atau “lambas”.