Entah
mengapa kata “Selangkangan” begitu
menjijikkan ketika menjadi tema didalam aksi-aksi menolak RUU-KUHP. Kata-kata
kasar yang menggambarkan bagaimana “paranoid” perumus RUU-KUHP dan kemudian
menggelinding menjadi tema yang menyentak orang banyak.
Entah
mengapa saya suka kata “Selangkangan” sebagai respon serius terhadap upaya “kriminalisasi”
urusan ranjang. Entah mengapa kata ini kemudian menggambarkan “upaya kontrol negara”
didalam urusan ranjang.
Benar.
Agama justru melarang “hubungan seks” bukan “Suami istri”. Agama apapun di
Indonesia menjunjung tinggi lembaga perkawinan. Lihatlah makna Pasal 1 ayat (1)
Perkawinan yang menyebutkan “Perkawinan
ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumahtangga) yang bahagia dan
kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’.
Penghormatan
terhadap lembaga perkawinan begitu agung. Sehingga UU Perkawinan justru
menganut asas monogami (Pasal 3 ayat (1)
UU Perkawinan). UU Perkawinan tetap membuka ruang untuk “poligami”. Dengan
persyaratan yang cukup ketat (Pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 UU Perkawinan).
Makna
yang agung ini kemudian justru hendak direduksi dengan ramainya ajakan poligami
berbagai tokoh-tokoh agama. Dan justru malah mengabaikan makna luhur dari UU
Perkawinan.
Hukum
adat juga menjunjung tinggi. Di Jambi, persoalan kesusilaan kemudian dikenal
sebagai norma “salah bujang dengan gadis’.
Sebagaimana didalam Seloko “Duduk mengintai gelap.
Tegak mengintai sunyi’. Muda-mudi dilarang berduaan. Ditempat sepi.
Sanksi berat. Selain dijatuhi denda adat (kambing sekok, beras 20 gantang, selemak
semanis) juga harus dikawinkan. Supaya tidak timbul fitnah kepada
perempuan.
Itu
sudah cukup.
Lalu
mengapa kemudian norma-norma agama dan norma adat kemudian malah “dikuatkan”
menjadi norma hukum. Apakah agama dan adat tidak mampu mencegah agar manusia
Indonesia “akan patuh” ? Siapa yang mendompleng RUU-KUHP sehingga ditikungan
terakhir kemudian menggelinding “issu selangkangan” dan kemudian memantik polemik.
Dalam
ranah dan fungsi negara, negara hanya boleh mengatur kehidupan publik. Negara
tidak dibenarkan mengatur kehidupan pribadi manusia.
Dalam
istilah yang sering saya gunakan, “kontrol”
negara berhenti sampai pintu rumah. Negara tidak dibenarkan untuk memasuki
kerumah orang. Urusan didalam rumah adalah urusan privat. Negara tidak
dibenarkan “campur tangan” mengenai
urusan privat. Apalagi “mengurusi ranjang”.
Namun
akhir-akhir ini, paranoid “negara”
begitu dominan mengatur kehidupan privat. Bukankah masih ingat ketika adanya
Perda yang mengatur “pakaian perempuan”. Atau ada ajakan untuk mengatur “duduk
perempuan” diatas sepeda motor ? Mengapa “negara” dengan “alat paksa” lebih
suka mengatur pakaian dan perilaku perempuan yang “sebenarnya’ masuk wilayah
privat ?
Tema
ini sudah lama saya khawatirkan. Ketika kasus Ariel-Peterpan menarik perhatian publik,
saya sudah menuliskannya “Mengintip Kamar Artis” (7 Agustus 2010).
Begitu
juga ada anggota DPRD Provinsi Jambi yang mempersoalkan “keperawanan”, saya
juga menuliskannya “Memaknai Keperawanan Dari Sudut Sistem Sosial (30 September
2010).
Dan
7 tahun kemudian. Ketika tokoh agama kemudian “dikriminalisasi” dengan urusan
ranjang, saya kemudian menuliskan “Ketika Negara Mengurusi Ranjang” (Februari
2017).
Nah.
Didalam RUU-KUHP, lagi-lagi tema ini kemudian menjadi dominan. Publik kemudian
tersentak. Ketika RUU-KUHP mulai menampakkan “watak” negara yang hendak
mengontrol rakyatnya. Termasuk “urusan rumah” dan urusan ranjang”.
Apakah
tidak pernah terpikirkan bagaimana penerapan KUHP ?
Apakah
“Polisi” kurang kerjaan sehingga harus menambah kerjaan Polisi ? Apakah Polisi
setiap malam mengintip setiap hotel, setiap kost-kostan, anak-anak remaja yang
menyelinap malam-malam, bapak-bapak genit dan tante-tante nakal ? Sebagaimana
dikeluhkan salah satu teman saya di status FB-nya.
Apakah
“kurang kerjaan” dari perumus UU sehingga membebankan kerjaan polisi yang sudah
seabrek-abrek tugas dan fungsinya menjaga ketertiban ?
Mengapa
kita tidak mengembalikan hakekat negara. Yang berfungsi sebagai “alat
ketertiban” (law and order). Negara
hanyalah berkewajiban menjaga ketertiban umum dan melindungi kebebasan warga
negara.
Fungsi
negara melindungi hak masyarakat dengan UU, menciptakan keamanan negara, tidak
boleh mengurusi urusan pribadi (privat). Sehingga negara hadir ketika adanya “gangguan”
yang mengancam hak-hak masyarakat. Bukan sibuk “mengurusi” urusan moral.
Biarlah
fungsi “moral” menjadi ranah agama dan adat. Bukankah sebagai manusia Indonesia
yang beragama dan beradat pasti menjunjung nilai-nilai kesusilaan. Bukankah Agama
dan adat justru menempatkan keagungan dan penghormataan kesusilaan.
Advokat. Tinggal di Jambi
-->