MENCARI PANGKAL DARI BUNGKUL –
MENCARI ASAL DARI USUL[1]
Musri Nauli[2]
Entah
mengapa Seloko Jambi yang menyebutkan “mencari
pangkal dari Bungkul. Mencari asal dari usul” adalah “magnet”, mantra yang menggerakkan penulis untuk melihat resolusi
konflik di Jambi.
Secara
harfiah, seloko “mencari pangkal dari
Bungkul. Mencari asal dari usul” melambangkan cara pikir masyarakat Melayu
Jambi didalam melihat persoalan lebih komprehensif.
Ditengah masyarakat Melayu Jambi, tatacara penyelesaian
dimulai dengan seloko “Keruh air dihilir balek kemudik”, “Mencari bungkul dengan pangkal. Mencari usul dengan asal“, atau “Dak tentu ujung dengan pangkal. Bak tebu
digunggung musang” atau “Kalau anak
tahu di bungkul. Lihatlah Dio dari pangkal. Kalau anak tahu dengan usul. Lihatlah
pulo dari asal”.
Di Marga Sumay dikenal “tumbuh diatas tumbuh”[3].
Di Desa Semambu selain menggunakan nilai “tumbuh
diatas tumbuh” dikenal juga “Pulai berpangkat naik. Tinjau ruas dengan
bukunya”. Berjenjang naik bertangga turun”[4]. Di Marga Pelepat dikenal “Seloko “Nengok tumbuh”[5].
Ungkapan
adat didalam menyelesaikan perselisihan “Apabila
duduk didalam musyawarah dan mufakat. Disitu
kusut diselesaikan. Disitu keruh dijernihkan. Disitu
kesat sama diampelas. Disitu bongkol sama
ditarah”, ”Adat duduk bermusyawarah. Bertampan hendak lebar. Bersambang hendak panjang.
Supaya yang genting tidak putus. Supaya yang biang tidak tembuk’,
Tiung
bak tiung bunyinyo ungko. Sambil melompat menggendong anak. Singgah
memakan si buah pauh. Minta ampun pado nan tuo. Minta maaf pada nan banyak. Padamu bathin kami menyimpuh
“Jiko
tumbuh silang selisih dalam kampung, diantara anak dengna penakan, ada yang
bertukar pendapat, selisih paham. Urus dengan segera. Jangan dengar bak hujan
ditengah malam. Dibiarkan bak jando ditumbuk biduk. Bilo lah aur tumbuh
matonyo. Kita tidak boleh duduk bepangku tangan. Tidak dibenarkan betelingo
pekak. Bemato buto. Tapi, kalau orang dak ngadu, jangan pulo merujak labing.
Serenteh bumbun.
Bilo
urusan sampai sampai ketangan. Jangan pulo ayik idak beilir. Kalam tidak
bejalan. Hilang berito bak kijang lepeh kesemak. Beriak idak, bedetikpun idak.
Bak batu jatuh ke lubuk. Bak pasir tambak ke buluh. Hilang dipicik bak angin.
Hitam betungkus bak arang. Habis digenggam bak air, tegenang sesayak ayik,
dinteh di ateh dak tentu pemancungnyo. Dibawah dak tentu mutusnya[6].
Makna
““Mencari bungkul dengan pangkal. Mencari usul dengan asal“, atau “Dak tentu ujung dengan pangkal. Bak tebu
digunggung musang” atau “Kalau anak
tahu di bungkul. Lihatlah Dio dari pangkal. Kalau anak tahu dengan usul.
Lihatlah pulo dari asal”, “tumbuh
diatas tumbuh. Pulai berpangkat naik.
Tinjau ruas dengan bukunya”. Berjenjang naik bertangga turun”, “Seloko
“Nengok tumbuh”, Pulai berpangkat naik.
Tinjau Ruas dengan bukunya” dalam teori
yang disampaikan oleh von Buri yang kemudian dikenal Teori hubungan sebab
akibat yang biasa dikenal dengan istilah teori kausalitas (Teori conditio
sine qua non). Teori ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von
Buri, ahli hukum dari Jerman. Beliau mengatakan bahwa tiap-tiap syarat yang
menjadi penyebab suatu akibat yang tidak dapat dihilangkan (weggedacht)
dari rangkaian faktor-faktor yang menimbulkan akibat harus dianggap “causa”
(akibat).
Sebutan
lain dari teori Von Buri ini adalah “bedingungs theorie” (teori syarat).
Disebut demikian karena dalam teori ini antara syarat (bedingung) dengan
sebab (causa) tidak ada perbedaan.
Asas ini sering disebut “asas
actori in cumbit probation (siapa yang menggugat dialah yang wajib
membuktikan)”, “asas probatio qui dicit, non qui negat ( beban
pembuktian ada pada orang yang menggugat, bukan yang tergugat), asas probandi
necessitas incumbit illi qui agit (beban pembuktian dilimpahkan kepada
penggugat), asas semper necessitas probandi incumbit ei qui agit (beban
pembuktian selalu dilimpahkan pada penggugat), asas affirmanti, non neganti,
incumbit probation (pembuktian bersifat wajib bagi yang mengajukan bukan
yang menyangkal).
“Tumbuh diatas tumbuh”, “Yang berjalan dengan air”, atau “Pulai berpangkat
naik. Tinjau Ruas dengan bukunya
adalah nilai filosofis yang fundamental. Dalam bacaan modern, nilai ini
merupakan nilai fundamental (ground norm) dalam pemikiran Hans Kelsen
yang kemudian dapat ditarik menjadi norma-norma yang dapat diterapkan secara praktis.
Makna ini juga melambangkan
cara pikir masyarakat Melayu Jambi didalam melihat persoalan lebih
komprehensif.
Kekuatan pembuktian Hukum Adat
Melayu Jambi ditandai dengan seloko “Kuat Kerbo Kareno tali, Kuat perkaro
karno saksi dan bukti”[7]
Batas-batas
wilayah ditandai batas alam seperti “Sungai,
bukit, gunung, lopak, tanjung, danau atau kondisi tanah (tanah tumbuh, renah). Batas alam
tersebut dikaitkan dengan tumbuhan tertentu atau hewan tertentu yang ada di
tempat tersebut. Seperti Sungai Aur, sungai
rotan, lubuk ruso, padang kelapo, sungai bungur.
Sedangkan batas tanah ditandai dengan
“parit”, “watas”, “batas” atau “pinang belarik”, “mentaro”. Batas dibuat dengan
cara membangun saluran air (parit), menanam tanaman tua (seperti jengkol,
durian, duku, petai). Atau pohon pinang ditanami rapat mengelilingi tanah.
Di daerah uluan Jambi disebut “pinang
belarik”. Sedangkan didaerah ilir sering dikenal sebagai “mentaro”. Sebagaimana
seloko “kok pinang lah seko, kok kelapo lah gayur”.
Atau dengan bukti sebagaimana seloko
“masih ada suri bejak parit melintang”, “onjak lagi tercacak”, kandang lagi
berlarik”, “masih ado tanaman mudo, lagi diulang”, “tanaman nan diulang”,
“Tanaman serempak tumbuh” atau “Nan dilambuk serempak gedang”.
Selain itu dilihat “tanaman tumbuh”[8]
atau “tunggul pemarasan”, atau tanda batang”.
Tanda dan bukti lain dapat berupa “Sejulur daun kayu, serentang akar”.
Sedangkan mengenai saksi dikenal
“kiri-kanal”. Saksi kiri-kanal dikenal “tetangga tanah”.
Kesemuanya adalah bukti yang tidak
terbantahkan. Asas ini dikenal Asas
Indubium facto. Sebagaimana seloko “Terserak
ke bumi, terbentang ke langit”.
Didalam proses penyelesaian melalui
Hukum Adat Melayu Jambi[9]
dikenal “bertangkap naik. Berjenjang turun”. Dimulai dari proses dalam rapat
Adat[10].
Didalam
menjatuhkan putusan adat, Pemangku adat didalam LID dikenal sebagai “tigo tali
sepilin, tigo tungku sejerang” ada juga menyebutkan “Tiga tali sepilin. Tungku
sejarangan”. Sebagaimana seloko “Putusan dari adat, diakui syara’ dan dibenarkan
oleh Pemerintah”.
Dalam penyelesaian adat “berjenjang
naik, bertanggo turun”. Masalah-masalah yang muncul diselesaikan di tingkat
adat paling bawah, dan seterusnya.
Sehingga terhadap kesalahan maka “Salah makan dimuntahkan, salah
ambek dibalekkan”. Maka Lid kemudian mengembalikan hak dari pemilik
tanah sebenarnya.