01 September 2019

opini musri nauli : Mencari Pangkal dari Bungkul - Mencari asal dari usul


MENCARI PANGKAL DARI BUNGKUL – MENCARI ASAL DARI USUL[1]
Musri Nauli[2]


Entah mengapa Seloko Jambi yang menyebutkan “mencari pangkal dari Bungkul. Mencari asal dari usul” adalah “magnet”, mantra yang menggerakkan penulis untuk melihat resolusi konflik di Jambi.

Secara harfiah, seloko “mencari pangkal dari Bungkul. Mencari asal dari usul” melambangkan cara pikir masyarakat Melayu Jambi didalam melihat persoalan lebih komprehensif.
Ditengah masyarakat Melayu Jambi, tatacara penyelesaian dimulai dengan seloko “Keruh air dihilir balek kemudik”, “Mencari bungkul dengan pangkal. Mencari usul dengan asal“, atau “Dak tentu ujung dengan pangkal. Bak tebu digunggung musang” atau “Kalau anak tahu di bungkul. Lihatlah Dio dari pangkal. Kalau anak tahu dengan usul. Lihatlah pulo dari asal”.

Di Marga Sumay dikenal “tumbuh diatas tumbuh”[3]. Di Desa Semambu selain menggunakan nilai “tumbuh diatas tumbuh” dikenal juga “Pulai berpangkat naik. Tinjau ruas dengan bukunya”. Berjenjang naik bertangga turun[4]. Di Marga Pelepat dikenal “Seloko “Nengok tumbuh”[5].

Ungkapan adat didalam menyelesaikan perselisihan “Apabila duduk didalam musyawarah dan mufakat. Disitu kusut diselesaikan. Disitu keruh dijernihkan. Disitu kesat sama diampelas. Disitu bongkol sama ditarah”, ”Adat duduk bermusyawarah. Bertampan  hendak lebar. Bersambang hendak panjang. Supaya yang genting tidak putus. Supaya yang biang tidak tembuk’,

Tiung bak tiung bunyinyo ungko. Sambil melompat menggendong anak. Singgah memakan si buah pauh. Minta ampun pado nan tuo. Minta maaf pada nan banyak. Padamu bathin kami menyimpuh

“Jiko tumbuh silang selisih dalam kampung, diantara anak dengna penakan, ada yang bertukar pendapat, selisih paham. Urus dengan segera. Jangan dengar bak hujan ditengah malam. Dibiarkan bak jando ditumbuk biduk. Bilo lah aur tumbuh matonyo. Kita tidak boleh duduk bepangku tangan. Tidak dibenarkan betelingo pekak. Bemato buto. Tapi, kalau orang dak ngadu, jangan pulo merujak labing. Serenteh bumbun.

Bilo urusan sampai sampai ketangan. Jangan pulo ayik idak beilir. Kalam tidak bejalan. Hilang berito bak kijang lepeh kesemak. Beriak idak, bedetikpun idak. Bak batu jatuh ke lubuk. Bak pasir tambak ke buluh. Hilang dipicik bak angin. Hitam betungkus bak arang. Habis digenggam bak air, tegenang sesayak ayik, dinteh di ateh dak tentu pemancungnyo. Dibawah dak tentu mutusnya[6]. 

Makna Mencari bungkul dengan pangkal. Mencari usul dengan asal“, atau “Dak tentu ujung dengan pangkal. Bak tebu digunggung musang” atau “Kalau anak tahu di bungkul. Lihatlah Dio dari pangkal. Kalau anak tahu dengan usul. Lihatlah pulo dari asal”,  “tumbuh diatas tumbuh. Pulai berpangkat naik. Tinjau ruas dengan bukunya”. Berjenjang naik bertangga turun, Seloko “Nengok tumbuh”, Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya” dalam teori yang disampaikan oleh von Buri yang kemudian dikenal Teori hubungan sebab akibat yang biasa dikenal dengan istilah teori kausalitas (Teori conditio sine qua non). Teori ini pertama kali dicetuskan pada tahun 1873 oleh Von Buri, ahli hukum dari Jerman. Beliau mengatakan bahwa tiap-tiap syarat yang menjadi penyebab suatu akibat yang tidak dapat dihilangkan (weggedacht) dari rangkaian faktor-faktor yang menimbulkan akibat harus dianggap “causa” (akibat).

Sebutan lain dari teori Von Buri ini adalah “bedingungs theorie” (teori syarat). Disebut demikian karena dalam teori ini antara syarat (bedingung) dengan sebab (causa) tidak ada perbedaan.

Asas ini sering disebut “asas actori in cumbit probation (siapa yang menggugat dialah yang wajib membuktikan)”, “asas probatio qui dicit, non qui negat ( beban pembuktian ada pada orang yang menggugat, bukan yang tergugat), asas probandi necessitas incumbit illi qui agit (beban pembuktian dilimpahkan kepada penggugat), asas semper necessitas probandi incumbit ei qui agit (beban pembuktian selalu dilimpahkan pada penggugat), asas affirmanti, non neganti, incumbit probation (pembuktian bersifat wajib bagi yang mengajukan bukan yang menyangkal).

“Tumbuh diatas tumbuh”, “Yang berjalan dengan air”, atau “Pulai berpangkat naik. Tinjau Ruas dengan bukunya adalah nilai filosofis yang fundamental. Dalam bacaan modern, nilai ini merupakan nilai fundamental (ground norm) dalam pemikiran Hans Kelsen yang kemudian dapat ditarik menjadi norma-norma yang dapat diterapkan secara praktis.

Makna ini juga melambangkan cara pikir masyarakat Melayu Jambi didalam melihat persoalan lebih komprehensif.

Kekuatan pembuktian Hukum Adat Melayu Jambi ditandai dengan seloko Kuat Kerbo Kareno tali, Kuat perkaro karno saksi dan bukti”[7]

Batas-batas wilayah ditandai batas alam seperti “Sungai, bukit, gunung, lopak, tanjung, danau atau kondisi tanah (tanah tumbuh, renah). Batas alam tersebut dikaitkan dengan tumbuhan tertentu atau hewan tertentu yang ada di tempat tersebut. Seperti Sungai Aur, sungai rotan, lubuk ruso, padang kelapo, sungai bungur.

Sedangkan batas tanah ditandai dengan “parit”, “watas”, “batas” atau “pinang belarik”, “mentaro”. Batas dibuat dengan cara membangun saluran air (parit), menanam tanaman tua (seperti jengkol, durian, duku, petai). Atau pohon pinang ditanami rapat mengelilingi tanah.

Di daerah uluan Jambi disebut “pinang belarik”. Sedangkan didaerah ilir sering dikenal sebagai “mentaro”. Sebagaimana seloko “kok pinang lah seko, kok kelapo lah gayur”.

Atau dengan bukti sebagaimana seloko “masih ada suri bejak parit melintang”, “onjak lagi tercacak”, kandang lagi berlarik”, “masih ado tanaman mudo, lagi diulang”, “tanaman nan diulang”, “Tanaman serempak tumbuh” atau “Nan dilambuk serempak gedang”.

Selain itu dilihat “tanaman tumbuh”[8] atau “tunggul pemarasan”, atau tanda batang”.

Tanda dan bukti lain dapat berupa “Sejulur daun kayu, serentang akar”.

Sedangkan mengenai saksi dikenal “kiri-kanal”. Saksi kiri-kanal dikenal “tetangga tanah”.

Kesemuanya adalah bukti yang tidak terbantahkan. Asas ini dikenal Asas Indubium facto. Sebagaimana seloko “Terserak ke bumi, terbentang ke langit.

Didalam proses penyelesaian melalui Hukum Adat Melayu Jambi[9] dikenal “bertangkap naik. Berjenjang turun”. Dimulai dari proses dalam rapat Adat[10].

Di Kabupaten Batanghari[11], Kabupaten Sarolangun[12] dan Kabupaten Merangin[13]. dikenal Lid.

Didalam menjatuhkan putusan adat, Pemangku adat didalam LID dikenal sebagai “tigo tali sepilin, tigo tungku sejerang” ada juga menyebutkan “Tiga tali sepilin. Tungku sejarangan”. Sebagaimana seloko “Putusan dari adat, diakui syara’ dan dibenarkan oleh Pemerintah”.

Dalam penyelesaian adat “berjenjang naik, bertanggo turun”. Masalah-masalah yang muncul diselesaikan di tingkat adat paling bawah, dan seterusnya.

Sehingga terhadap kesalahan maka “Salah makan dimuntahkan, salah ambek dibalekkan”. Maka Lid kemudian mengembalikan hak dari pemilik tanah sebenarnya.




            [1] Disampaikan pada FGD “Mediasi sebagai alternative Penyelesaian potensi konflik tenurial di areal HTI, Jambi, 2 September 2019
            [2] Advokat. Tinggal di Jambi
            [3] Desa Muara Sekalo, 17 Maret 2013.
            [4] Desa Semambu, 19 Maret 2013
            [5] Zulkifli, Tokoh adat di Desa Senamat, 16 Agustus 2016
            [6] Desa Batu Empang, Sarolangun, 2 April 2013
            [7] FGD Lembaga Adat Melayu (LAM) Serentak Bak Regam, Muara Bulian, 28 Juni 2019
            [8] Mengenai “tanaman tumbuh” telah diputuskan Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Jabung Timur diperkuat di Mahkamah Agung berdasarkan putusannya Nomor 1779 K/PID.SUS/2013
[9] Sistem Pembuktian Hukum Adat Melayu Jambi, www.jambi-independent, 12 Juli 2019
            [10] Di Kabupaten Batanghari, Kabupaten Sarolangun dan Kabupaten Merangin dikenal Lid.
            [11] FGD LAM Serentak Bak Regam, Muara Bulian, 28 Juni 2019
            [12] Putusan Pengadilan Negeri Sarolangun Nomor  5/Pdt.G/2016/PN Srl. tanggal 18 Oktober 2016 dikuatkan di Pengadilan Tinggi Jambi Nomor 79/PDT/2016/PT.JMB tanggal 7 Februari 2017 dan ditingkat kasasi Nomor 1822 K/Pdt/2017 tanggal  9 Oktober 2017
            [13] Putusan Pengadilan Negeri Bangko Nomor 17/Pdt.G/2017/PN Bko tanggal 7 Desember 2017