Ketika
hasil karya ilmiah akademik setingkat Disertasi (Kitab dalam maqom tertinggi
dalam ilmu Pengetahuan) kemudian dipersoalkan, nurani saya terganggu. Karya
ilmiah yang telah melewati proses yang panjang, ujian terbuka dan pertanggungjawaban
akademis dapat dipertanggungjawabkan kemudian harus dikalahkan oleh
factor-faktor non ilmiah. Dan factor ilmiah justru dari gemuruh supporter yang
teriak paling kencang.
Kisah-kisah
ini mirip dengan “pengadilan pikiran “ Socrates, teori pusat tatasurya yang
disampaikan oleh Copernicus (heliocentric) yang berhadapan dengan ajaran agama
yang menempatkan bumi sebagai pusat tata surya (geosentris), perdebatan antara
Al Gazali-Ibnu Rusyd, pertengkaran dengan Syech Siti Jenar, pertentangan dengan
Hamzah Fansuri. Kesemuanya kemudian mengalamni nasib naas. Ada yang kemudian
dihukum. Disidangkan bahkan dihina ditengah masyarakat.
Bukankah
sejarah kemudian membuktikan teori Copernicus terbukti benar. Bukankah ajaran
Syech Siti Jenar masih hidup dikalangan Jawa. Bukankah Hamzah Fansuri tetap
menjadi kajian lengkap tentang Islam. Bukankah pemikiran Ibnu Rusyd tetap
menjadi kajian yang menarik. Kesemuanya kemudian mengambil pilihan yang
berhadapan dengan masyarakat. Yang cenderung dogmatic dan konservatif.
Mereka
kemudian memilih jalan sunyi. Mengajarkan konsistensi pemikiran yang berangkat
dari puncak peradaban. Mengagungkan “logika” berfikir. Meletakkan pengetahuan
sebagai sumber akal. Dan kemudian tetap memperjuangkan gagasan tanpa harus
terhenti berhadapan dengan negara, masyarakat dan agama. Mereka tetap konsisten
walaupun ajal kemudian menjemput.
Kembali
ke karya disertasi yang kemudian “dipersoalkan” para supporter. Sebagai karya
ilmiah, saya belum cukup maqom untuk menolak ataupun menerimanya. Dengan maqom
yang tinggi, saya kemudian meminta bantuan dari pemikiran yang selevel.
Dalam
hal ini saya kemudian mengutip dari Dr. M. Zainal Majdi (mantan Gubernur NTB.
Biasa dikenal Tuan Guru Bajang/TGB) “Saat
ini, seluruh dunia sudah meratifikasi penghapusan perbudakan secara total
termasuk kedalam peperangan. Sehingga pintu perbudakan sudah tertutup. Seluruh
perempuan (manusia) dimuka bumi berstatus merdeka”.
Secara
limitative, TGB ingin menegaskan. Keadaan dunia yang sudah menempatkan
“perempuan (manusia)” sebagai manusia merdeka tidak dapat menjadi persyaratan
terjadinya “hubungan tanpa nikah”. Maqom ini jelas memberikan penegasan.
Perumpamaan (Qisas) yang disampaikan didalam disertasi tidak mempunyai
persyaratan lagi. Sehingga “perumpamaan” menjadi tidak tepat (gugur).
Polemik
ini sudah berakhir dengan dalil yang disampaikan oleh TGB. Seorang pakar Fiqh
yang menyelesaikan Disertasinya di Universitas Al Azhar dengan karya monumental
“Studi dan Analisis terhadap Manuskrip KItab Tafsir Ibnu Kamal Basya (dari awal
Surat An-Nahl sampai akhir Surat Ash-Shoffat). Disertasi yang meraih “summa cum
laude (Martabah El-Syaraf El Ula Ma’a Haqqutha””. Sehingga “meminjam” pemikiran
TGB saya menolak substansi dari karya Disertasi.
Namun
“standing” saya juga mendukung sebagai karya Disertasi. Sebagai karya akademik
tertinggi, saya memberikan apresiasi terhadap karya Disertasi. Dengan pemikiran
yang disampaikan didalam forum ilmiah tentu saja mengalami proses yang ketat,
literature yang mumpuni dan dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga saya harus
menjaga “standing” kepada sang Doktor agar tetap bersuara untuk menyampaikan
hasil disertasinya.
Dukungan
kepada karya Disertasi tidaklah kemudian ditafsirkan “mengamini” substansi
Disertasi. Itu dimensi yang terpisah. Dukungan kepada disertasi bukan berarti
saya juga setuju dengan hasil disertasi.
Hasil
disertasi haruslah dilawan dalam forum-forum ilmiah. Karya Disertasi haruslah
juga dilawan dengan karya Disertasi. Sehingga menjadi equal. Tidak boleh kalah
dengan “Suara teriakkan” supporter. Yang paling “kencang” sehingga justru
menjadi manusia “kuper” dan ortodok. Yang menolak tanpa menguraikan dalil yang
seimbang.
Kita
mungkin terjebak dunia gelap ketika Copernicus, Galileo, Socrates yang gigih
berlawanan dengan kelompok agamawan untuk mendukung kemerdekaan berfikir.
Melawan kejumudan yang terjebak didalam kubangan malam. Kita mungkin tidak akan
menerima kemajuan apabila para “visioner” Copernicus, Galileo dan Socrates yang
kemudian menyerah dari tekanan. Kita bersyukur terhadap menikmati kemajuan.
Lalu
apakah kita mau mundur ke zaman gelap 2000-an sebelum masehi. Ketika Socrates
kemudian disidangkan ?
Ah.
Hanya manusia pander yang mau masuk kelubang kedua kali.
Dimuat di www.jamberita.com, 9 September 2019
https://jamberita.com/read/2019/09/09/5952917/menara-gading-dan-supporter/?fbclid=IwAR11b4HD-KTOmakyBn0iqCrDqUOWO9HK3ds8dnG5dxDT2uGiskS_hmBkuNI