09 September 2019

opini musri nauli : Menara gading dan Supporter




Ketika hasil karya ilmiah akademik setingkat Disertasi (Kitab dalam maqom tertinggi dalam ilmu Pengetahuan) kemudian dipersoalkan, nurani saya terganggu. Karya ilmiah yang telah melewati proses yang panjang, ujian terbuka dan pertanggungjawaban akademis dapat dipertanggungjawabkan kemudian harus dikalahkan oleh factor-faktor non ilmiah. Dan factor ilmiah justru dari gemuruh supporter yang teriak paling kencang.

Kisah-kisah ini mirip dengan “pengadilan pikiran “ Socrates, teori pusat tatasurya yang disampaikan oleh Copernicus (heliocentric) yang berhadapan dengan ajaran agama yang menempatkan bumi sebagai pusat tata surya (geosentris), perdebatan antara Al Gazali-Ibnu Rusyd, pertengkaran dengan Syech Siti Jenar, pertentangan dengan Hamzah Fansuri. Kesemuanya kemudian mengalamni nasib naas. Ada yang kemudian dihukum. Disidangkan bahkan dihina ditengah masyarakat.

Bukankah sejarah kemudian membuktikan teori Copernicus terbukti benar. Bukankah ajaran Syech Siti Jenar masih hidup dikalangan Jawa. Bukankah Hamzah Fansuri tetap menjadi kajian lengkap tentang Islam. Bukankah pemikiran Ibnu Rusyd tetap menjadi kajian yang menarik. Kesemuanya kemudian mengambil pilihan yang berhadapan dengan masyarakat. Yang cenderung dogmatic dan konservatif.

Mereka kemudian memilih jalan sunyi. Mengajarkan konsistensi pemikiran yang berangkat dari puncak peradaban. Mengagungkan “logika” berfikir. Meletakkan pengetahuan sebagai sumber akal. Dan kemudian tetap memperjuangkan gagasan tanpa harus terhenti berhadapan dengan negara, masyarakat dan agama. Mereka tetap konsisten walaupun ajal kemudian menjemput.

Kembali ke karya disertasi yang kemudian “dipersoalkan” para supporter. Sebagai karya ilmiah, saya belum cukup maqom untuk menolak ataupun menerimanya. Dengan maqom yang tinggi, saya kemudian meminta bantuan dari pemikiran yang selevel.

Dalam hal ini saya kemudian mengutip dari Dr. M. Zainal Majdi (mantan Gubernur NTB. Biasa dikenal Tuan Guru Bajang/TGB) “Saat ini, seluruh dunia sudah meratifikasi penghapusan perbudakan secara total termasuk kedalam peperangan. Sehingga pintu perbudakan sudah tertutup. Seluruh perempuan (manusia) dimuka bumi berstatus merdeka”.

Secara limitative, TGB ingin menegaskan. Keadaan dunia yang sudah menempatkan “perempuan (manusia)” sebagai manusia merdeka tidak dapat menjadi persyaratan terjadinya “hubungan tanpa nikah”. Maqom ini jelas memberikan penegasan. Perumpamaan (Qisas) yang disampaikan didalam disertasi tidak mempunyai persyaratan lagi. Sehingga “perumpamaan” menjadi tidak tepat (gugur).

Polemik ini sudah berakhir dengan dalil yang disampaikan oleh TGB. Seorang pakar Fiqh yang menyelesaikan Disertasinya di Universitas Al Azhar dengan karya monumental “Studi dan Analisis terhadap Manuskrip KItab Tafsir Ibnu Kamal Basya (dari awal Surat An-Nahl sampai akhir Surat Ash-Shoffat). Disertasi yang meraih “summa cum laude (Martabah El-Syaraf El Ula Ma’a Haqqutha””. Sehingga “meminjam” pemikiran TGB saya menolak substansi dari karya Disertasi.

Namun “standing” saya juga mendukung sebagai karya Disertasi. Sebagai karya akademik tertinggi, saya memberikan apresiasi terhadap karya Disertasi. Dengan pemikiran yang disampaikan didalam forum ilmiah tentu saja mengalami proses yang ketat, literature yang mumpuni dan dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga saya harus menjaga “standing” kepada sang Doktor agar tetap bersuara untuk menyampaikan hasil disertasinya.

Dukungan kepada karya Disertasi tidaklah kemudian ditafsirkan “mengamini” substansi Disertasi. Itu dimensi yang terpisah. Dukungan kepada disertasi bukan berarti saya juga setuju dengan hasil disertasi.

Hasil disertasi haruslah dilawan dalam forum-forum ilmiah. Karya Disertasi haruslah juga dilawan dengan karya Disertasi. Sehingga menjadi equal. Tidak boleh kalah dengan “Suara teriakkan” supporter. Yang paling “kencang” sehingga justru menjadi manusia “kuper” dan ortodok. Yang menolak tanpa menguraikan dalil yang seimbang.

Kita mungkin terjebak dunia gelap ketika Copernicus, Galileo, Socrates yang gigih berlawanan dengan kelompok agamawan untuk mendukung kemerdekaan berfikir. Melawan kejumudan yang terjebak didalam kubangan malam. Kita mungkin tidak akan menerima kemajuan apabila para “visioner” Copernicus, Galileo dan Socrates yang kemudian menyerah dari tekanan. Kita bersyukur terhadap menikmati kemajuan.

Lalu apakah kita mau mundur ke zaman gelap 2000-an sebelum masehi. Ketika Socrates kemudian disidangkan ?

Ah. Hanya manusia pander yang mau masuk kelubang kedua kali. 

Dimuat di www.jamberita.com, 9 September 2019

https://jamberita.com/read/2019/09/09/5952917/menara-gading-dan-supporter/?fbclid=IwAR11b4HD-KTOmakyBn0iqCrDqUOWO9HK3ds8dnG5dxDT2uGiskS_hmBkuNI