Betapa
tersentaknya penulis ketika petinggi negeri menyatakan “rakyat membakar lahan dan menyebabkan asap”. Atau tuduhan ngaco “masyarakat menjadi penyebab kebakaran”.
Tuduhan
serius yang disampaikan terus menerus. Baik narasi sejak 2013 berulang 2015 dan
masih terdengar hingga kini.
Dengan
memberikan perumpamaan pasal 69 ayat (2) UU No. 32 tahun 2009 (UU Lingkungan
Hidup), yang meletakkan “kearifan lokal”
membatasi 2 hektar, maka sang penuduh menyebutkan “apabila 2 hektar” maka
terjadi kebakaran yang massif.
Tanpa
melihat data dimana areal terjadi (hotspot),
tuduhan serius ini haruslah disikapi dengan baik.
Pertama.
Istilah “Gambut” adalah terjemahan
resmi dari Konvensi Lahan Basah. Regulasi kemudian membuat kategori Rawa dan
gambut. Rawa yang diatur didalam PP No. 73 Tahun 2013 dan Gambut yang diatur
didalam PP No. 71 Tahun 2014 yang kemudian diperbaiki PP No. 57 Tahun 2016. Sehingga konvensi Lahan Basah kemudian
dimaknai sebagai Rawa dan Gambut.
Istilah
“gambut” ditengah masyarakat sulit ditemukan.
Justru masyarakat mengenal nama-nama tempat seperti “Tanah redang” (Riau), Soak, danau, lopak, Payo, Payo dalam, Bento, hutan
hantu pirau (Jambi), Rawang Hidup, lebak Lebung, Lebak Berayun (Sumsel), Tanah
Sapo, Gente (Kalbar), Pakung pahewa, Tanah Petak, Petak Sahep (Kalteng), Tanah
Ireng, Tanah Item (Kalsel), Tanah Begoyang (Papua)”.
Tempat-tempat
yang disebutkan malah tidak dibenarkan untuk dibuka (konversi). Baik untuk
pertanian. Apalagi untuk perkebunan. Daerah ini hanya digunakan untuk mengambil
ikan dan air bersih (akses). Sehingga dipastikan dari dulu memang daerah itu
adalah dilarang untuk dikelola. Daerah ini kemudian dikenal sebagai “gambut
dalam”. Secara scientific ditempatkan sebagai kawasan lindung.
Namun
yang unik. Apabila didalam regulasi seperti PP No. 71 Tahun 2014 junto PP No.
57 Tahun 2016, kawasan lindung gambut diatur diatas kedalaman 3 meter lebih,
justru ditengah masyarakat mengenal kawasan lindung gambut ditandai dengan
tanaman tertentu. Di Jambi dikenal dengan “akar
bekait, jelutung dan pakis”. Di Kalteng ditandai dengan “kumpai berbulu”.
Istilah
Kumpai berbulu mirip dengan istilah “Kumpeh”.
Tanaman khas yang tumbuh digambut. Kumpeh kemudian dikenal sebagai nama Marga
Kumpeh Ulu dan Marga Kumpeh Ilir. Termasuk kedalam Kabupaten Muara Jambi,
Jambi.
Bahkan
berbagai masyarakat di Kalteng malah ditandai dengan menancapkan “Mandau” untuk menentukan kedalaman
gambut. Apabila diujung Mandau tidak terdapat tanah, maka daerah tersebut tidak
boleh dibuka.
“Akar bekait, jelutung dan pakis”, “Kumpai berbulu”, “kumpeh” atau menggunakan Mandau justru malah diatas kedalaman 0,5
meter.
Dengan
demikian maka justru lebih arif masyarakat di gambut. Mereka malah menempatkan
diatas kedalam 0,5 meter justru sebagai kategori gambut dalam.
Kedua.
Sedangkan pertanian justru terletak di dibawah 0,5 meter. Biasa juga disebut
sebagai “gambut tipis (Kalbar).
Tempat
ini dikenal sebagai dengan istilah “peumoan”,
Humo genah (Jambi), tanah liat (Riau), Lebak Tengah (Sumsel), Paburungan, Payak
atau bancah (Kalbar), Sahepan (Kalteng), Raden, Baruh (kalsel)
Ketiga.
Diluar dari itu daerah untuk perkebunan. Biasa dikenal “petanang (Jambi), Lebak Dangkal, daratan (Sumsel), Kaleka, Petak
Pematang, Patok Kau Ulin (Kalteng).
Menilik
kategori “gambut dalam” antara
pengetahuan masyarakat gambut yang membatasi 0,5 meter dan kategori negara
diatas 3 meter yang menjadi problema.
Atau
dengan kata lain, bagaimana kategori antara 0,5 meter dengan 3 meter ?.
Keempat.
Nah. Disinilah titik pangkal keruwetan. Kategori ketat dari masyarakat gambut
yang menempatkan hanya 0,5 meter sebagai kategori sebagai kawasan lindung
gambut dengan regulasi negara yang membuka ruang hingga kedalaman 3 meter
sebagai kawasan budidaya (PP No. 71 Tahun 2014 junto PP No. 57 Tahun 2016) justru
bersilewaran izin-izin. Baik sawit (di kawasan APL) maupun HTI/HPH (di kawasan
hutan).
Problema
semakin rumit. Ketika dikawasan antara 0,5 meter hingga 3 meter, penerima izin
kemudian “melukai” gambut dengan cara
membangun kanal. Mengeringkan air hingga dapat ditanami. Gambut menjadi kering
. Gambut mulai kehilangan daya adaptasi terhadap alam.
Industri
kemudian “memainkan” perannya.
Rekayasa alam mulai diciptakan. Dibangunlah argumentasi untuk menjaga gambut
dengan sistem “titik muka air tanah” (TMAT) 40 cm. Dibangunlah sistem lain
seperti “water management (manajemen air).
Kesemuanya gagal. Gambut kehilangan daya serap. Gambut menjadi kering. Dan
terbakar.
Produksi
pengetahuan modern yang mengusung “rekayasa
alam” kemudian mengalami antithesis. Gagal.
Titik
api (hotspot) tahun 2013, Tahun 2015 dan berulang tahun 2019 membuktikan. Titik
api (hotspot) justru terletak dikawasan 0,5 meter – 3 meter.
Atau
dengan kata lain, kebakaran tidak terjadi di kawasan “peumoman” humo genah, atau di kawasan petanang. Karena memang
daerah itu tidak ditempatkan sebagai “gambut
dalam” berdasarkan pengetahuan masyarakat gambut.
Sehingga
pengetahuan masyarakat Gambut yang ketat menempatkan 0,5 meter sebagai kategori
gambut dalam mampu menghindarkan masyarakat dari kebakaran massif. Pengetahuan
yang dturunkan secara turun temurun.
Bukankah
sebelum tahun 1997 ketika izin-izin sawit dan HTI/HPH tidak diberikan dikawasan
dikawasan gambut, tidak pernah mendengarkan kebakaran hebat di gambut.
Kelima.
Sudah saatnya daerah yang terjadi kebakaran diareal atau kawasan yang terletak
di 0,5 meter – 3 meter yang sering terjadi kebakaran dikembalikan fungsinya. Dibasahi
gambutnya (restorasi gambut). Mengembalikan gambut sebagai daerah lahan basah.
Bukankah
regulasi memerintahkan kepada pemegang izin agar membasahi gambut yang telah
terbakar. Regulasi yang tegas telah diatur didalam Pasal 30 dan pasal 31 A PP No.
57 Tahun 2016. Negara dapat memaksa agar pemegang izin dapat membasahi gambut
dan mengembalikan fungsi gambut (restorasi gambut).
Bukankah
pepatah Minangkabau telah menyebutkan “alam takambang jadi Guru’. Alamlah guru
terbaik.
Belajarlah
dari alam. Karena alam tidak pernah berbohong.
Sekali
saja berkhianat kepada alam. Maka alam selalu mengabarkan dengan murka.
Baca : Gambut dari pendekatan Etnografi
Dimuat di www.metrojambi.com, 19 September 2019.
https://metrojambi.com/read/2019/09/19/47279/rakyat-membakar-gambut
Dimuat di www.metrojambi.com, 19 September 2019.
https://metrojambi.com/read/2019/09/19/47279/rakyat-membakar-gambut