Kebakaran
tahun 2019 menyisakan pertanyaan. Mengapa kebakaran tahun 2015 kemudian
berulang lagi. Apakah dititik api (hotspot) yang sama ? Apakah pemulihan gambut
(restorasi gambut) tidak berhasil ? Siapa yang bertanggungjawab ?
Pertanyaan
silih berganti. Ditengah ketidakkemengertian public ?
Paska
kebakaran tahun 2015, Jokowi kemudian
menerbitkan Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2016 (Perpres No. 1 Tahun 2016).
Diperintahkan Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk memulihkan gambut yang
terbakar 2015. Seluas 2 juta hektar (Pasal 4 Perpres No. 1 Tahun 2016). Dengan
perincian untuk Tahun 2016 sebesar 30%, Tahun 2017 sebesar 20%. Tahun 2018
sebesar 20%. Tahun 2019 sebesar 20% dan Tahun 2020 sebesar 10% (Pasal 4 ayat
(2) Perpres No. 1 Tahun 2016).
Namun
didalam Jambore Masyarakat Gambut di Jambi tahun 2016, target lahan gambut
mencapai 2,4 juta ha. Berada di 1.2015 desa di tujuh provinsi, yaitu
Jambi, Sumatra Selatan, Riau, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan
Barat, Papua.
Berdasarkan Pasal 2 dan pasal 3
Perpres No 1 Tahun 2016, maka wewenang diberikan kepada BRG, adalah koordinasi
terhadap restorasi gambut (Pasal 2 Perpres No. 1 Tahun 2016), pelaksanaan pelaksanaan supervisi dalam konstruksi, operasi dan
pemeliharaan infrastruktur di lahan konsesi (Pasal 3 huruf h Perpres No. 1
Tahun 2019.
Makna
“pelaksanaan pelaksanaan
supervisi dalam konstruksi, operasi dan pemeliharaan infrastruktur di lahan
konsesi” sebagaimana diatur didalam
Pasal 3 huruf h Perpres No. 1 Tahun 2019 kemudian diterjemahkan didalam pasal
10 huruf c Perpres No. 1 Tahun 2016 “pelaksanaan supervisi dalam konstruksi, operasi,
dan pemeliharaan infrastruktur di lahan konsesi.
Secara
tersirat, pasal 3 huruf h dan pasal 10 huruf c Perpres No. 1 Tahun 2016 adalah
tetap memberikan tanggungjawab kepada pemegang izin untuk melakukan pemulihan.
Tanggung
jawab melakukan pemulihan gambut diareal konsesi telah ditegaskan “Pasal 30 ayat
1 PP No. 57 Tahun 2016 yang secara limitatif menyebutkan “Penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan yang melakukan pemanfaatan Ekosistem Gambut yang menyebabkan
kerusakan Ekosistem Gambut di dalam atau di luar areal usaha dan/atau kegiatan
wajib melakukan pemulihan sesuai kewajiban yang tercantum dalam izin lingkungan.
Sedangkan
berkaitan dengan “Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut” kemudian
telah diatur didalam Peraturan Dirjen PPKL No P.3/PPKL/PKG/PKL.0/3/2018
(Perdirjen). Pedoman ini kemudian menegaskan bagaimana pedoman teknis pemulihan
gambut. (Pasal 2 Perdirjen).
Apabila pemegang
izin “membandel” tidak mau melakukan
restorasi gambut dan kemudian terbakar, maka berdasarkan pasal 31 A PP No.57
Tahun 2016 ditegaskan “Dalam hal pemulihan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 merupakan akibat kebakaran dan penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melakukan pemulihan fungsi Ekosistem Gambut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak diketahuinya terjadi kebakaran, Menteri, gubernur, dan
bupati/wali kota berkoordinasi dalam pemulihan fungsi Ekosistem Gambut atas
beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk pelaksanaan lapangan.
Dengan
demikian jelaslah. Negara tidak dibenarkan untuk melakukan pemulihan dilahan
konsesi. Tanggungjawab terhadap pemulihan gambut akibat kebakaran menjadi
tanggungjawab mutlak dari pemegang izin.
Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota
dapat memberikan sanksi administrasi (Pasal 44 ayat 2), pencabutan izin lingkungan
(Pasal 44 ayat 3) dan paksaan untuk melakukan pemulihan gambut dengan biaya
yang dibebankan kepada pemegang izin (Pasal 30 dan Pasal 31 A PP No. 57 Tahun
2016). Sedangkan BRG hanya diberi wewenang fungsi “supervisi” untuk pemulihan
gambut diareal konsesi (pasal 3 huruf h dan pasal 10 huruf c Perpres No. 1
Tahun 2016).
Sehingga
terhadap kebakaran diareal konsesi yang marak terjadi tidak dapat dibebankan
kepada BRG. Selain akan berdampak kepada persoalan hukum (penggunaan anggaran
yang tidak pada tempatnya), wewenangnya semata-mata dilekatkan kepada
Menteri/Gubernur/Walikota/Bupati berdasarkan PP No. 57 Tahun 2016.
Menteri/Gubernur/Walikota/Bupati
dapat memaksa baik administrasi, paksaan untuk melakukan pemulihan gambut
dengan biaya kepada pemegang izin.
Fungsi
“supervisi, koordinasi” dari BRG (berdasarkan Perpres No. 1 Tahun 2016) tidak
memungkinkan mengambilalih wewenang yang telah diberikan oleh kepada Menteri/Gubernur/Walikota/Bupati
sebagaimana telah diamanatkan oleh PP No. 57 Tahun 2016.
Lalu
mengapa kebakaran yang massif masih terjadi ditempat-tempat yang sama atau
tidak jauh dari titik api dilahan konsesi tahun 2015.
Pertanyaan
ini menggelitik dan mengganggu nurani publik.
Pertama.
Terjadinya kebakaran dilahan gambut 2019 membuktikan, upaya pemulihan paska
kebakaran 2015 belum berhasil. Bahkan apabila masih terjadi sangat massif maka
meyakini, tidak ada ataupun tidak berhasil pulihnya gambut.
Sehingga
negara dapat memaksa kepada pemegang izin untuk melakukan pemulihan gambut. Cara
ini harus tegas setelah paska kebakaran 2015, upaya pemulihan gambut belum
memberikan sumbangan terhadap pulihnya gambut.
Kedua.
Upaya pemulihan gambut ternyata belum banyak memberikan dampak yang signifikan.
Tanpa harus mengurangi apresiasi terhadap tempat-tempat yang tidak terbakar,
tempat-tempat yang terbakar adalah bukti dari kegagalan fungsi infrastruktur
pembasahan gambut. Infrastruktur ternyata gagal melakukan pemulihan gambut.
Sehingga menjadi mudah terbakar.
Dari
kebakaran tahun 2019 dan tahun 2015 maka negara dapat menunjuk pihak ketiga untuk
melakukan pemulihan gambut. Dan biaya yang timbul dari infrastruktur pembasahan
maka dapat dipaksa kepada pemegang izin (Pasal 31 A PP No. 57 Tahun 2016).
Segeralah
memaksa pemegang izin untuk melakukan pemulhan. Segeralah tunjuk pihak ketiga
untuk melakukan pemulihan gambut. Paksa pemegang izin untuk menyelesaikannya.
Apakah
kita mau mengulangi sejarah kelam tahun 2013, tahun 2015 dan sekarang. Apakah
kita mau mengulangi sejarah ini untuk masa yang akan datang ?
Baca juga : Baca juga : Gambut dari pendekatan etnografi