15 September 2019

opini musri nauli : Upaya Pemulihan Gambut


Kebakaran tahun 2019 menyisakan pertanyaan. Mengapa kebakaran tahun 2015 kemudian berulang lagi. Apakah dititik api (hotspot) yang sama ? Apakah pemulihan gambut (restorasi gambut) tidak berhasil ? Siapa yang bertanggungjawab ?

Pertanyaan silih berganti. Ditengah ketidakkemengertian public ?
Paska kebakaran tahun  2015, Jokowi kemudian menerbitkan Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2016 (Perpres No. 1 Tahun 2016). Diperintahkan Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk memulihkan gambut yang terbakar 2015. Seluas 2 juta hektar (Pasal 4 Perpres No. 1 Tahun 2016). Dengan perincian untuk Tahun 2016 sebesar 30%, Tahun 2017 sebesar 20%. Tahun 2018 sebesar 20%. Tahun 2019 sebesar 20% dan Tahun 2020 sebesar 10% (Pasal 4 ayat (2) Perpres No. 1 Tahun 2016).

Namun didalam Jambore Masyarakat Gambut di Jambi tahun 2016, target lahan gambut mencapai 2,4 juta ha. Berada di 1.2015 desa di tujuh provinsi, yaitu Jambi, Sumatra Selatan, Riau, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Papua.

Berdasarkan Pasal 2 dan pasal 3 Perpres No 1 Tahun 2016, maka wewenang diberikan kepada BRG, adalah koordinasi terhadap restorasi gambut (Pasal 2 Perpres No. 1 Tahun 2016), pelaksanaan pelaksanaan supervisi dalam konstruksi, operasi dan pemeliharaan infrastruktur di lahan konsesi (Pasal 3 huruf h Perpres No. 1 Tahun 2019.

Makna “pelaksanaan pelaksanaan supervisi dalam konstruksi, operasi dan pemeliharaan infrastruktur di lahan konsesi” sebagaimana diatur didalam Pasal 3 huruf h Perpres No. 1 Tahun 2019 kemudian diterjemahkan didalam pasal 10 huruf c Perpres No. 1 Tahun 2016  pelaksanaan supervisi dalam konstruksi, operasi, dan pemeliharaan infrastruktur di lahan konsesi.

Secara tersirat, pasal 3 huruf h dan pasal 10 huruf c Perpres No. 1 Tahun 2016 adalah tetap memberikan tanggungjawab kepada pemegang izin untuk melakukan pemulihan.

Tanggung jawab melakukan pemulihan gambut diareal konsesi telah ditegaskan “Pasal 30 ayat 1 PP No. 57 Tahun 2016 yang secara limitatif menyebutkan Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pemanfaatan Ekosistem Gambut yang menyebabkan kerusakan Ekosistem Gambut di dalam atau di luar areal usaha dan/atau kegiatan wajib melakukan pemulihan sesuai kewajiban yang tercantum dalam izin lingkungan.

Sedangkan berkaitan dengan “Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut” kemudian telah diatur didalam Peraturan Dirjen PPKL No P.3/PPKL/PKG/PKL.0/3/2018 (Perdirjen). Pedoman ini kemudian menegaskan bagaimana pedoman teknis pemulihan gambut. (Pasal 2 Perdirjen).

Apabila pemegang izin “membandel” tidak mau melakukan restorasi gambut dan kemudian terbakar, maka berdasarkan pasal 31 A PP No.57 Tahun 2016 ditegaskan “Dalam hal pemulihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 merupakan akibat kebakaran dan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melakukan pemulihan fungsi Ekosistem Gambut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diketahuinya terjadi kebakaran, Menteri, gubernur, dan bupati/wali kota berkoordinasi dalam pemulihan fungsi Ekosistem Gambut atas beban biaya penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk pelaksanaan lapangan.

Dengan demikian jelaslah. Negara tidak dibenarkan untuk melakukan pemulihan dilahan konsesi. Tanggungjawab terhadap pemulihan gambut akibat kebakaran menjadi tanggungjawab mutlak dari pemegang izin.

Menteri/Gubernur/Bupati/Walikota dapat memberikan sanksi administrasi (Pasal 44 ayat 2), pencabutan izin lingkungan (Pasal 44 ayat 3) dan paksaan untuk melakukan pemulihan gambut dengan biaya yang dibebankan kepada pemegang izin (Pasal 30 dan Pasal 31 A PP No. 57 Tahun 2016). Sedangkan BRG hanya diberi wewenang fungsi “supervisi” untuk pemulihan gambut diareal konsesi (pasal 3 huruf h dan pasal 10 huruf c Perpres No. 1 Tahun 2016).

Sehingga terhadap kebakaran diareal konsesi yang marak terjadi tidak dapat dibebankan kepada BRG. Selain akan berdampak kepada persoalan hukum (penggunaan anggaran yang tidak pada tempatnya), wewenangnya semata-mata dilekatkan kepada Menteri/Gubernur/Walikota/Bupati berdasarkan PP No. 57 Tahun 2016.

Menteri/Gubernur/Walikota/Bupati dapat memaksa baik administrasi, paksaan untuk melakukan pemulihan gambut dengan biaya kepada pemegang izin.

Fungsi “supervisi, koordinasi” dari BRG (berdasarkan Perpres No. 1 Tahun 2016) tidak memungkinkan mengambilalih wewenang yang telah diberikan oleh kepada Menteri/Gubernur/Walikota/Bupati sebagaimana telah diamanatkan oleh PP No. 57 Tahun 2016.  

Lalu mengapa kebakaran yang massif masih terjadi ditempat-tempat yang sama atau tidak jauh dari titik api dilahan konsesi tahun 2015.

Pertanyaan ini menggelitik dan mengganggu nurani publik.

Pertama. Terjadinya kebakaran dilahan gambut 2019 membuktikan, upaya pemulihan paska kebakaran 2015 belum berhasil. Bahkan apabila masih terjadi sangat massif maka meyakini, tidak ada ataupun tidak berhasil pulihnya gambut.

Sehingga negara dapat memaksa kepada pemegang izin untuk melakukan pemulihan gambut. Cara ini harus tegas setelah paska kebakaran 2015, upaya pemulihan gambut belum memberikan sumbangan terhadap pulihnya gambut.

Kedua. Upaya pemulihan gambut ternyata belum banyak memberikan dampak yang signifikan. Tanpa harus mengurangi apresiasi terhadap tempat-tempat yang tidak terbakar, tempat-tempat yang terbakar adalah bukti dari kegagalan fungsi infrastruktur pembasahan gambut. Infrastruktur ternyata gagal melakukan pemulihan gambut. Sehingga menjadi mudah terbakar.

Dari kebakaran tahun 2019 dan tahun 2015 maka negara dapat menunjuk pihak ketiga untuk melakukan pemulihan gambut. Dan biaya yang timbul dari infrastruktur pembasahan maka dapat dipaksa kepada pemegang izin (Pasal 31 A PP No. 57 Tahun 2016).

Segeralah memaksa pemegang izin untuk melakukan pemulhan. Segeralah tunjuk pihak ketiga untuk melakukan pemulihan gambut. Paksa pemegang izin untuk menyelesaikannya.

Apakah kita mau mengulangi sejarah kelam tahun 2013, tahun 2015 dan sekarang. Apakah kita mau mengulangi sejarah ini untuk masa yang akan datang ?

Baca juga : Baca juga : Gambut dari pendekatan etnografi