18 Januari 2014

opini musri nauli : INTELEKTUAL DAN KEKUASAAN


Penulis kaget ketika disodori pertanyaan. Apakah dibenarkan seorang intelektual kemudian “merapat” kepada kekuasaan ?

Wah. Pertanyaan ini lebih tepat dikategorikan sebagai “gugatan” terhadap praktek para intelektual yang kemudian “sudah merapat kepada kekuasaan”.

Ya. Pertanyaan itu sering disampaikan dalam setiap periode peristiwa dalam cerita-cerita sejarah.

Dalam cerita pewayangan, sering disebutkan para punakawan seperti Petruk, Gareng, Semar, Bagong, sering menampilkan Ia gemar bersenda gurau, baik dengan ucapan maupun tingkah laku dan senang berkelahi.

Padahal kesemuanya bukan keturunan rakyat jelata. Petruk adalah pendeta raksasa di pertapaan dan bertempat di dalam laut bernama Begawan Salantara. Sebelumnya ia bernama Bambang Pecruk Panyukilan. Semar merupakan penjelmaan Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa.

Sedangkan Gareng sebenarnya adalah Nala Garengyang pernah menjadi raja di Paranggumiwayang dengan gelar Pandu Pragola. Sedangkan Bagong sering disebutkan sebagai Anak Semar.

Walaupun gemar bersenda gurau, namun kalimat yang disampaikan cerita-cerita kepedihan rakyat yang sering diperlakukan tidak adil. Cerita tentang “kekuasaan' yang sering disalahgunakan. Merampok tanah rakyat. Ataupun “kelakuan para adipati” yang doyan perempuan. Semuanya diceritakan dengan cerita-cerita lucu dalam pewayangan.

Lihatlah peran yang dimainkan Petruk. Petruk sering mengumpankan banyolan yang ditangkap oleh Gareng.

Atau dimainkan Bagong. Sebagai seorang panakawan yang sifatnya menghibur penonton wayang, tokoh Bagong pun dilukiskan dengan ciri-ciri fisik yang mengundang kelucuan. Tubuhnya bulat, matanya lebar, bibirnya tebal dan terkesan memble. Dalam figur wayang kulit, Bagong membawa senjata kudi.

Gaya bicara Bagong terkesan semaunya sendiri. Dibandingkan dengan ketiga panakawan lainnya, yaitu Semar, Gareng, dan Petruk, maka Bagong adalah sosok yang paling lugu dan kurang mengerti tata krama. Meskipun demikian majikannya tetap bisa memaklumi.

Sedangkan Semar dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk mencairkan suasana yang tegang.

Keempat Punakawan sering ditunggu penonton ketika “goro-goro” pewayangan diputar tengah malam. Banyolan mereka “mampu mencairkan” suasana namun sarat makna. Punakawan menceritakan dengan baik tanpa “mengadili”, menghakimi apalagi menggurui. Pesannya selalu diingatkan penonton hingga pulang ke rumah.
Di tangan dalang, punakawan menjadi “protes” terhadap kekuasaan kerajaan Mahabrata. Mereka terus “membanyol” hingga kuping penguasa menjadi panas.

Namun kemudian para punakawan pergi ketika sang penguasa sedang “merenung” perkataan dari punakawan.

Atau dalam sejarah pemikiran Yunani kita mengenal pemikiran rasional Aristoteles dan pemikiran mistis Plato serta Plotinus.

Dalam sejarah modern, kita mengenal Copernicus sebagai ilmuwan ketika teori didalam bukunya "De Revolutionibus Orbium Coelestium" atau "On the Revolution of the Celestial Sphere". Teori ini menjungkir-balikkan konsep tata surya. Padahal kaum agamawan telah “mematok” argumen didalam memandang tata surya dimana, bumi sebagai poros tatasurya. Bumi adalah pusat dari tatasurya. Sehingga matahari yang mengelilingi bumi. Bukan bumi mengelilingi matahari.

Untuk mendukung dalilnya, kaum agamawan mendasarkan kepada kitab-kitab suci. Ajaran kitab suci telah menegaskan, kemuliaan manusia. Sehingga alam seharusnya dikendalikan oleh manusia. Maka, bumi sebagai pusat tata surya sebagai poros edar, dan semua tata surya mengelilingi bumi. Sehingga tidak mungkin bumi mengelilingi matahari.

Copernicus kemudian dengan teorinya berhasil membuktikan. Bumi yang mengelilingi matahari. Teori ini kemudian “mengguncang” kaum agamawan. Sehingga tidak pantas kaum ilmuwan “menentang” kaum agamawan. Kaum agamawan “seakan-akan” dipermalukan. Kekuasaan terancam. Wibawa agama menjadi turun. Sehingga ada “kesepakatan” untuk “membungkam” Copernicus.

Namun sebagai ilmu pengetahuan, Copernicus tetap konsisten untuk menyampaikan kebenaran ilmu pengetahuan. Dan sejarah mencatat, teori Copernicus menjadi pengetahuan yang tidak terbantahkan.

Atau kita mengenal “Pengadilan Sesat” terhadap Socrates. Dari berbagai sumber disebutkan Dia didakwa di pengadilan Athena. Cuma, tuduhannya menimbulkan tanda tanya. Karena dia dijerat dengan tudingan yang setengah mengada-ada. Socrates dianggap melakukan pelanggaran pidana karena pikirannya. Cara berpikir Socrates itu yang membuat dia jadi pesakitan. Socrates dinilai menyebarkan misi dan praktek pengajaran menyesatkan. Socrates pun diadili. Hampir seluruh warga Athena hadir di Majelis Ekklesia (Majelis Pengadilan Rakyat Athena). Tak ada pretor atau pedarius yang membelanya. Dia jadi terdakwa sendiri. Dia dituntut oleh tiga orang prosekutor utama. Mereka juga pemikir tangguh di era itu. Anytus yang pertama. Seorang politisi demokratik kota itu. Meletus, penyair yang rajin mengungkap tragedi. Lykon, retorisi, orator yang ulung. Mereka inilah yang mendakwa Socrates. Posisinya persis seperti penuntut umum.

Socrates tak terima diadili. Tapi dia tak lari atau deportasi. Protesnya itu justru diajukan dipersidangan. Dia sengaja menyiapkan pidato pembelaan diri, demi sebuah reputasi. Bukan bertujuan untuk bisa lepas dari jerat hukuman. Di depan majelis, Socrates pun berfilsafat, yang membuat semua orang terkesima. Dia berdebat dengan tiga prosekutor tadi. Tapi, Socrates tak menyerah. Saat itu, Socrates berkata panjang. Ini senjata yang dipakainya untuk melumat tiga prosekutor tadi. Tapi sampai kini, statment Socrates ini sangat dikenang dan diilhami.

Punakawan, Aristoteles, Plato serta Plotinus, Copernicus dan Socrates adalah intelektual. Mereka berjarak dengan kekuasaan. Mereka tetap merdeka untuk berfikir.

Ketika membicarakan tentang Intelektual, maka saya teringat kepada konsep Antonio Gramsci dalam bukunya “Negara dan Hegemoni”. Bagi Gramsci, setiap orang memiliki bakat dan potensi intelektual. Gramsci membagi pengertian intelektual dalam dua kategori, yakni intelektual tradisional dan intelektual organic.

Yang dimaksud dengan intelektual tradidional adalah intelektual yang belum meluas dan digerakan oleh produksi. Sedangkan intelektual organic yakni intelektual yang memiliki kemampuan untuk sebagai organisator politik yang menyadari identitas yang mewakili dan diwakili.

Jenis intelektual yang mampu melakukan pekerjaan transformatif bagi kemajuan disebut Antonio Gramsci sebagai intelektual organik, yang berbeda dengan intelektual tradisional, yang hanya terikat pada pakem akademis, jauh dari sentuhan kebutuhan masyarakat.


Dengan melihat penjelasan yang telah penulis sampaikan, tinggal kita bisa menentukan apakah seorang intelektual telah bisa diperankan. Atau dia hanya “tukang' yang mewujudkan mimpi sang penguasa.