Penulis kaget ketika
disodori pertanyaan. Apakah dibenarkan seorang intelektual kemudian
“merapat” kepada kekuasaan ?
Wah. Pertanyaan ini lebih
tepat dikategorikan sebagai “gugatan” terhadap praktek
para intelektual yang kemudian “sudah merapat kepada kekuasaan”.
Ya. Pertanyaan itu sering
disampaikan dalam setiap periode peristiwa dalam cerita-cerita
sejarah.
Dalam cerita pewayangan,
sering disebutkan para punakawan seperti Petruk, Gareng, Semar,
Bagong, sering menampilkan Ia gemar bersenda gurau, baik dengan
ucapan maupun tingkah laku dan senang berkelahi.
Padahal kesemuanya bukan
keturunan rakyat jelata. Petruk adalah pendeta raksasa di pertapaan
dan bertempat di dalam laut bernama Begawan Salantara. Sebelumnya ia
bernama Bambang Pecruk Panyukilan. Semar merupakan penjelmaan Batara
Ismaya, kakak dari Batara Guru, raja para dewa.
Sedangkan Gareng
sebenarnya adalah Nala Garengyang pernah menjadi raja di
Paranggumiwayang dengan gelar Pandu Pragola. Sedangkan Bagong sering
disebutkan sebagai Anak Semar.
Walaupun gemar bersenda
gurau, namun kalimat yang disampaikan cerita-cerita kepedihan rakyat
yang sering diperlakukan tidak adil. Cerita tentang “kekuasaan'
yang sering disalahgunakan. Merampok tanah rakyat. Ataupun “kelakuan
para adipati” yang doyan perempuan. Semuanya diceritakan dengan
cerita-cerita lucu dalam pewayangan.
Lihatlah peran yang
dimainkan Petruk. Petruk sering mengumpankan banyolan yang ditangkap
oleh Gareng.
Atau dimainkan Bagong.
Sebagai seorang panakawan yang sifatnya menghibur penonton wayang,
tokoh Bagong pun dilukiskan dengan ciri-ciri fisik yang mengundang
kelucuan. Tubuhnya bulat, matanya lebar, bibirnya tebal dan terkesan
memble. Dalam figur wayang kulit, Bagong membawa senjata kudi.
Gaya bicara Bagong
terkesan semaunya sendiri. Dibandingkan dengan ketiga panakawan
lainnya, yaitu Semar, Gareng, dan Petruk, maka Bagong adalah sosok
yang paling lugu dan kurang mengerti tata krama. Meskipun demikian
majikannya tetap bisa memaklumi.
Sedangkan Semar
dikisahkan sebagai abdi atau hamba tokoh utama cerita tersebut, yaitu
Sahadewa dari keluarga Pandawa. Tentu saja peran Semar tidak hanya
sebagai pengikut saja, melainkan juga sebagai pelontar humor untuk
mencairkan suasana yang tegang.
Keempat Punakawan sering
ditunggu penonton ketika “goro-goro” pewayangan diputar tengah
malam. Banyolan mereka “mampu mencairkan” suasana namun
sarat makna. Punakawan menceritakan dengan baik tanpa “mengadili”,
menghakimi apalagi menggurui. Pesannya selalu diingatkan penonton
hingga pulang ke rumah.
Di tangan dalang,
punakawan menjadi “protes” terhadap kekuasaan kerajaan
Mahabrata. Mereka terus “membanyol” hingga kuping penguasa
menjadi panas.
Namun kemudian para
punakawan pergi ketika sang penguasa sedang “merenung”
perkataan dari punakawan.
Atau dalam sejarah
pemikiran Yunani kita mengenal pemikiran rasional Aristoteles dan
pemikiran mistis Plato serta Plotinus.
Dalam sejarah modern,
kita mengenal Copernicus sebagai ilmuwan ketika teori didalam bukunya
"De Revolutionibus Orbium Coelestium" atau "On
the Revolution of the Celestial Sphere". Teori ini
menjungkir-balikkan konsep tata surya. Padahal kaum agamawan telah
“mematok” argumen didalam memandang tata surya dimana,
bumi sebagai poros tatasurya. Bumi adalah pusat dari tatasurya.
Sehingga matahari yang mengelilingi bumi. Bukan bumi mengelilingi
matahari.
Untuk mendukung dalilnya,
kaum agamawan mendasarkan kepada kitab-kitab suci. Ajaran kitab suci
telah menegaskan, kemuliaan manusia. Sehingga alam seharusnya
dikendalikan oleh manusia. Maka, bumi sebagai pusat tata surya
sebagai poros edar, dan semua tata surya mengelilingi bumi. Sehingga
tidak mungkin bumi mengelilingi matahari.
Copernicus kemudian
dengan teorinya berhasil membuktikan. Bumi yang mengelilingi
matahari. Teori ini kemudian “mengguncang” kaum agamawan.
Sehingga tidak pantas kaum ilmuwan “menentang” kaum
agamawan. Kaum agamawan “seakan-akan” dipermalukan.
Kekuasaan terancam. Wibawa agama menjadi turun. Sehingga ada
“kesepakatan” untuk “membungkam” Copernicus.
Namun sebagai ilmu
pengetahuan, Copernicus tetap konsisten untuk menyampaikan kebenaran
ilmu pengetahuan. Dan sejarah mencatat, teori Copernicus menjadi
pengetahuan yang tidak terbantahkan.
Atau kita mengenal
“Pengadilan Sesat” terhadap Socrates. Dari berbagai sumber
disebutkan Dia didakwa di pengadilan Athena. Cuma,
tuduhannya menimbulkan tanda tanya. Karena dia dijerat dengan
tudingan yang setengah mengada-ada. Socrates dianggap melakukan
pelanggaran pidana karena pikirannya. Cara berpikir Socrates itu yang
membuat dia jadi pesakitan. Socrates dinilai menyebarkan misi dan
praktek pengajaran menyesatkan. Socrates pun diadili. Hampir seluruh
warga Athena hadir di Majelis Ekklesia (Majelis Pengadilan Rakyat
Athena). Tak ada pretor atau pedarius yang membelanya. Dia jadi
terdakwa sendiri. Dia dituntut oleh tiga orang prosekutor utama.
Mereka juga pemikir tangguh di era itu. Anytus yang pertama. Seorang
politisi demokratik kota itu. Meletus, penyair yang rajin mengungkap
tragedi. Lykon, retorisi, orator yang ulung. Mereka inilah yang
mendakwa Socrates. Posisinya persis seperti penuntut umum.
Socrates tak terima diadili. Tapi dia tak lari atau deportasi. Protesnya itu justru diajukan dipersidangan. Dia sengaja menyiapkan pidato pembelaan diri, demi sebuah reputasi. Bukan bertujuan untuk bisa lepas dari jerat hukuman. Di depan majelis, Socrates pun berfilsafat, yang membuat semua orang terkesima. Dia berdebat dengan tiga prosekutor tadi. Tapi, Socrates tak menyerah. Saat itu, Socrates berkata panjang. Ini senjata yang dipakainya untuk melumat tiga prosekutor tadi. Tapi sampai kini, statment Socrates ini sangat dikenang dan diilhami.
Punakawan, Aristoteles,
Plato serta Plotinus, Copernicus dan Socrates adalah intelektual.
Mereka berjarak dengan kekuasaan. Mereka tetap merdeka untuk
berfikir.
Ketika membicarakan
tentang Intelektual, maka saya teringat kepada konsep Antonio Gramsci
dalam bukunya “Negara dan Hegemoni”. Bagi Gramsci, setiap
orang memiliki bakat dan potensi intelektual. Gramsci membagi
pengertian intelektual dalam dua kategori, yakni intelektual
tradisional dan intelektual organic.
Yang dimaksud dengan
intelektual tradidional adalah intelektual yang belum meluas dan
digerakan oleh produksi. Sedangkan intelektual organic yakni
intelektual yang memiliki kemampuan untuk sebagai organisator politik
yang menyadari identitas yang mewakili dan diwakili.
Jenis intelektual yang
mampu melakukan pekerjaan transformatif bagi kemajuan disebut Antonio
Gramsci sebagai intelektual organik, yang berbeda dengan intelektual
tradisional, yang hanya terikat pada pakem akademis, jauh dari
sentuhan kebutuhan masyarakat.
Dengan melihat penjelasan
yang telah penulis sampaikan, tinggal kita bisa menentukan apakah
seorang intelektual telah bisa diperankan. Atau dia hanya “tukang'
yang mewujudkan mimpi sang penguasa.