Setiap KPK mulai melakukan penangkapan dan penahanan
terhadap sebuah kasus, tudingan miring mulai disuarakan. KPK dituduh melakukan
“tebang pilih”, KPK mempolitisasi kasus, ada permainan politik di KPK dan
berbagai tuduhan yang cukup serius ditujukan kepada KPK.
Tuduhan KPK “mempolitisasi” kasus sering dilontarkan
para politisi yang melihat kinerja KPK yang terus “memburu” para penguasa
negeri yang melakukan korupsi. Tuduhan itu dilontarkan ketika KPK satu demi
satu mengeluarkan bukti-bukti keterlibatan dan para politisi “sulit mengelak”
terhadap tuduhan KPK.
Entah memang pers yang kemudian hanyut mengikuti
langgam tuduhan dari politisi atau memang KPK “mengeluarkan sedikit demi
sedikit” kartu-kartunya, maka tuduhan itu sering disuarakan.
Sebagai lembaga penegak hokum dan menjadi pioneer
dalam “pemberantasan korupsi”, KPK tidak terjebak dalam pertarungan politik.
KPK harus “memastikan” semua tuduhan harus didukung dengan berbagai
bukti-bukti.
Menggunakan berbagai teori untuk memotret bagaimana
KPK membongkar berbagai scenario “korupsi” maka kita mendapatkan pelajaran
penting. Bagaimana KPK membongkar dengan teori-teori sederhana dibangun, tetap
konsisten dengan bukti-bukti dan menghantarkan ke muka persidangan sehingga
terdakwa tidak bisa mengelak.
Dari berbagai sumber disebutkan, Kriminologi
merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan. Nama kriminologi
yang ditemukan oleh P. Tonipard (1830-1911) seorang ahli antropologi Perancis,
secara harfiah berasal dari kata “crimen”
yang berarti kejahatan atau penjahat dan “logos”
yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang
kejahatan atau penjahat.
Kriminologi
lahir dan kemudian berkembang menduduki posisi yang penting sebagai salah satu
ilmu pengetahuan yang interdisiplin dan semakin menarik, bergerak dalam dua
“roda besar” yang terus berputar dalam perubahan pola-pola kriminalitas sebagai
fenomena sosial yang senantiasa dipengaruhi oleh kecepatan perubahan sosial dan
teknologi. Roda-roda yang bergerak itu adalah penelitian kriminologi dan
teori-teori kriminologi.
Nah dengan pendekatan kriminologi, maka kita bisa
melihat bagaimana teori ini dipergunakan KPK untuk membongkar rangkaian
korupsi.
Teori “bubur panas”
Teori ini diumpamakan memakan “bubur panas”. Untuk
menghabiskan bubur yang panas, maka dimulai dengna memakan pinggiran bubur
sedikit demi sedikit hingga ke tengah dan menghabiskan bubur tersebut.
Teori ini sering dipergunakan KPK untuk mengungkapkan
berbagai mega skandal korupsi.
Kasus Hambalang dimulai ditangkapnya Mindo Rossa
Manullang dengan Sekjen Menpora dalam operasi tangkap tangan (OTT). Namun siapa
yang mengira ternyata ketika penangkapan Mindo Rossa ternyata “mampu
membongkar” scenario desain dalam proyek Sea Games dan kemudian “merembet” ke
kasus Hambalang.
Nyanyian Nazaruddin “mempercepat” pemeriksaan
sehingga kasus Hambalang kemudian memakan korban “petinggi” Partai Demokrat.
Mulai dari Angelia Sondakh, Andi Alfian Mallaranggeng dan Anas Urbaningrum.
Teori “setiap kejahatan meninggalkan jejak”
Teori klasik ini paling sering menjadi semangat dan
motivasi kepada penyidik untuk mengungkapkan berbagai kasus yang rumit. Dengan
teori inilah, hampir praktis setiap kejahatan selalu meninggalkan jejak.
Kalaupun masih banyak kasus yang belum terungkap,
semata-mata bukti-bukti yang ditemukan belum mampu menguraikan rangkaian
kejahatan yang telah dilakukan.
Tertangkapnya beberapa pelarian dimulai dari jejak
yang ditinggalkan. Baik karena bbm, sms, telephone yang disadap maupun bukti-bukti
lain.
Masih ingat kasus “alih fungsi” kawasan hutan yang
dilakukan di berbagai tempat. Dokumen membongkarnya justru ditemukan dari
catatan-catatan hasil penyitaan yang kemudian mampu membongkar kasus ini lebih
besar.
Teori “bukti
bukan asumsi”
Teori ini masih sering dipergunakan KPK untuk
membongkar berbagai kasus korupsi. Teori ini tetap mengedepankan “bukti” untuk
membongkar kejahatan. KPK tidak terjebak dengan berbagai asumsi ataupun
perkiraan sebuah peristiwa dalam sebuah tindak pidana apabila belum didukung
bukti-bukti yang meyakinkan.
Dalam pengungkapan sebuah kasus, KPK selalu hati-hati
untuk menentukan status tersangka kepada seseorang pelaku.
Kita masih ingat bagaimana penetapan tersangka
terhadap Anas Urbaningrum yang begitu lama. Tentu saja KPK tidak terjebak
dengan berbagai desakan kepada KPK agar “memprosesnya”. Namun ketika KPK sudah
menemukan bukti-bukti maka sudah bisa dipastikan KPK tidak ragu untuk
melanjutkan perkaranya.
Pilihan ini selain diatur didalam UU KPK yang tidak
boleh untuk menghentikan sebuah perkara pada tingkat penyidikan (SP3),
bukti-bukti yang dihadirkan akan membantu hakim didalam memutuskan perkara.
Sehingga bisa dipastikan pada perkara yang diusung KPK, belum ada pelaku yang
dibebaskan.
Teori “kepala Ikan”
Teori ini diperumpamakan “ikan yang busuk” disebabkan
“kepalanya yang sudah membusuk. Maka untuk “menjaga” daging tetap segar”, maka
kepalanya yang harus dipotong.
Teori ‘kepala
ikan’ dari Ling juga relevan untuk menjelaskan korupsi di Indonesia. Masyarakat
Indonesia juga punya hukum teori ‘kepala ikan’: jika ingin membeli ikan segar,
maka periksalah dahulu bagian kepalanya. Kalau kepala ikan itu rusak, maka
senyawa kimiawi badan ikan itu sudah turut busuk.
Perkataan ini pernah disampaikan oleh Ling Liong
Sik, Presiden Asosiasi China Malaysia (MCA) barangkali adalah orang yang
pertama berucap teori “kepala ikan”.
Perkataan ini pernah disuarakan ketika KPK
memprioritaskan berbagai kasus yang langsung dengan pusat kekuasaan. Kita masih
ingat ketika KPK membongkar “upaya penyuapan” dalam kasus di Mahkamah Agung,
Kakorlantas, Pajak, Bea cukai, anggota DPR, Kepala Daerah bahkan ketua MK.
Dengan menggunakan teori ini, maka setelah dilakukan “pemotongan”
kepala ikan (pusat kekuasaan) diharapkan dapat “membersihkan’ dan menyelamatkan
“daging”nya sehingga ikan tidak menjadi busuk.
Tentu saja masih banyak teori-teori yang digunakan
KPK untuk membongkar berbagai kasus-kasus korupsi.