18 Januari 2014

opini musri nauli : MEMPERSOALKAN COVER DARIPADA ISI (Ketika Petinggi Negeri Marah-marah)


Saat hendak pulang penulis dari peluncuran buku “PELANTA – organisasi penulis di Harian Jambi Ekspress”, penulis mendapatkan short message servise (SMS) dari teman penulis di Pelanta. Isinya cukup mengganggu. “Kando. Buku Pelanta dapat protes keras dari Petinggi di Propinsi Jambi”.
Protes keras disampaikan karena adanya kata-kata "Pepatah lama sudah berubah jika dahulu dikatakan ‘manusia mati meninggalkan nama’ sudah tidak cocok lagi dengan zaman, maka berganti menjadi “manusia mati meninggalkan karya”. Jika manusia mati meninggalkan nama, cukup ditemukan di batu nisan, itupun jika tulisan itu tidak terhapus. Tapi jika manusia mati meninggalkan karya tulisannya akan abadi di perpustakaan dan media maya/internet.

Kata-kata itu ditemukan dari kata Pengantar Ketua Pelanta sebelum tulisan para penulis di Jambi Ekspress dalam buku Pelanta.

Ada beberapa substansi yang perlu disampaikan. Pertama. Mengapa para petinggi Propinsi Jambi keberatan dengan istilah yang dipergunakan ? Apakah kata-kata pepatah lama “manusia mati meninggalkan nama” merupakan kata-kata sakti ? Sebuah mantra yang tidak boleh ditafsirkan dalam konteks sekarang ? Apakah tidak ditemukan “makna tersirat” dari Ketua Pelanta untuk menyampaikan perumpamaannya ? Mengapa kita “terjebak dengan kata-kata tanpa melihat makna itu sendiri ?

Dengan melihat peristiwa “keberatan” petinggi Propinsi Jambi dengan kata-kata itu, maka sudah dipastikan, para petinggi Propinsi Jambi tidak melihat pemikiran yang dituliskan para penulis di Jambi Ekpress. Kita kemudian terjebak dengan cover daripada isi.

Padahal apabila melihat banyaknya penulis yang disuarakan di kolom opini Jambi Ekpress, merupakan pandangan dari anak negeri yang tetap “gelisah” melihat berbagai ketimpangan di sekitarnya. Dengan menulis mereka menyuarakan berbagai kegelisahan yang ditangkap dari pengamatannya.

Kedua. Penulis berusaha melihat berbagai dokumen untuk menangkap dari kata-kata “‘manusia mati meninggalkan nama’ sudah tidak cocok lagi dengan zaman, maka berganti menjadi “manusia mati meninggalkan karya.

Melihat kalimat diatas, maka “sebenarnya harus juga dilihat dari berbagai pernyataan tokoh-tokoh Indonesia yang terus menulis.

Pramudya Ananta Noer menulis “Orang boleh pandai setinggi langit. Tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat. Dan dari sejarah, menulis adalah bekerja untuk keabadian.

HAMKA juga pernah mengingatkan “Kecantikan yang abadi terletak pada keelokan adab dan ketinggian ilmu seseorang. Bukan terletak pada wajah dan pakaiannya.

Sedangkan Goenawan Muhammad menyampaikan “Di hari-hari penuh fitnah ini, membela yang benar tidak cukup hanya disimpan di dalam hati”.

Ya. Dengan menulis, catatan harian dapat diketahui. Dengan menulis maka berbagai catatan perjalanan sejarah dapat diketahui. Dengan menulis, kita bisa menggambarkan setiap peristiwa penting dan menggambarkan suasana sebuah peristiwa. Dengan menulis, perdebatan sebuah peristiwa dapat dipertanggungjawabkan.

Ya. Karena kita tidak menulis, maka polemik Candi Muara Jambi masih dalam perdebatan. Polemik apakah itu merupakan kerajaan Sriwijaya, apakah itu kerajaan Melayu Jambi atau kerajaan besar yang belum juga selesai polemiknya.

Kita kehilangan catatan sejarah Jambi.

Masih ingat dengan polemik Pulau Berhala. MK kemudian menyatakan Pulau Berhala masuk kedalam Kabupaten Lingga dalam Propinsi Kepri.

Padahal bukti surat yang disampaikan Kabupaten Lingga yaitu bukti surat yaitu peta Residentie Riouw en onderhoorigheden tersebut tahun 1922, overzi chskaart van Sumatera blad 17 dan peta Singkep (first edition) Tahun 1743, sejak masa Kesultanan Lingga Riouw tahun 1957, Pulau Berhala merupakan wilayah taklukan Sultan Lingga, dan pada masa penjajahan Belanda tahun 1922- 1944 Pulau Berhala masuk wilayah Resident ie Riouw.

Kita kehilangan berbagai catatan sejarah yang pernah menerangkan Pulau Berhala masuk kedalam Resintie Jambi.

Bukti surat ini harus dibantah berdasarkan peta Schetskaart Residenntie Djambi. Peta-peta ini justru menunjukkan nyata-nyata Residentie Riouw tidak memasukkan Pulau berhala masuk kedalam wilayah administrasi Riau. Didalam peta dengan jelas menggambarkan Straat Berhala masuk kedalam wilayah residentie Jambi.

Belum lagi Peta Belanda seperti Schetkaart Resintie Djambi Adatgemeenschappen (Marga’s), Tahun 1910, Skala 1:750.000, Schetskaart Van de Residentie Djambi, Tahun 1906, Skala 1 : 500.000, Schetskaart Van de Residentie Djambi, Bewerkt door het Encyclopaedisch Bureau 1922 – 1923, Skala 1 : 750.000, Automobielkaart van Zuid Sumatra Samengesteld en Uitgegeven door Koniklijke , Vereenging Java Motor Club, Tahun 1929, Skala 1 : 1.500.000, Economical MAP of The island Of Sumatra, Gold and silver, Tahun 1923, Skala 1 : 1.650.000, Verkeers en Overzichtskaart van het eiland Sumatra, Tahun 1929, Skala 1.650.000, dan Kaart van het eiland Sumatra, Tahun 1909, Skala 1 : 2.000.000, Aangevende de ligging Der Erfachtsperceelen en Landbrouwconcessies Of Sumatra, Tahun 1914, Skala 1 : 2.000.000 telah jelas menerangkan posisi Pulau Berhala termasuk kedalam Residentie.

Kita hanya bisa mengetahui berbagai catatan lainnya seperti Sejarah Sriwijaya dalam disertasi O.W. Wolters, seorang Doktor Filsafat di Universitas London. Dan catatan Sumatera dalam “History of Sumatera” catatan harian William Marsden seorang penjelajah dunia. Belum lagi berbagai dokumen hukum Indonesia yang masih tercecer di dalam catatan para penjelajah dunia dan dokumen masih tersimpan di berbagai universitas luar negeri.

Ya. Karena sedikit sekali catatan mengenai Jambi, Sumatera dan Indonesia membuat kita kehilangan arah akan kebesaran dan peradaban masa lalu. Kita kemudian menjadi bangsa yang sentimentil dan tidak mau mencatat berbagai perkembangan sejarah.

Mengapa menulis itu penting. Dengan menulis maka berbagai perdebatan sebuah sejarah dapat kita lihat dari dokumentasi. Berbagai polemik sebuah peristiwa dapat kita pertanggungjawaban.

Lalu. Mengapa ketika sebagian kita hendak menulis sebuah peristiwa dan mencatatnya dengna baik kemudian menyampaikan kepada publik melalui kolom opini di Jambi Ekspress dianggap buku itu harus direvisi ?

Apakah seorang penulis akan tunduk kepada sebuah “pesanan” dari petinggi untuk menentukan “boleh menulis dan tidak boleh menulis ”. Penulis rasa, seorang penulis tidak akan tunduk kepada pesanan dari petinggi negeri untuk ““boleh menulis dan tidak boleh menulis.

Ketiga. Dunia tulis menulis adalah dunia ekspresi “kebebasan menyampaikan pendapat (freedom of expresion)”. Kebebasan itu merupakan hak asasi yang dijamin oleh konstitusi. Kebebasan menulis tentu saja telah memenuhi kaidah-kaidah penulis, tunduk kepada berbagai norma dan etika penulisan dan tentu saja dapat dipertanggungjawabkan.

Kebebasan menulis merupakan “kemerdekaan” yang luar biasa. Kemerdekaan sebagai negara yang demokratis dan modern. Sebuah kebebasan yang tentu tidak akan putar kembali ke belakang. Ke orde baru yang melarang sebuah tulisan, buku ataupun bentuk karya-karya tulisan.

Diluar daripada kaidah-kaidah penulisan, bertabrakan dengan norma dan etika penulisan, maka sebenarnya tidak tepat dikategorikan sebagai karya tulisan. Lebih tepat sebagai sampah (yellow paper), propaganda dan selebaran. Tulisan ini tidak akan bertahan selain hanya “memuaskan” sang penulis saja tanpa pesan yang bisa ditangkap.

Terhadap keberatan sebuah tulisan, kita bisa menyampaikan dalam media yang sama. Justru polemik dari sebuah peristiwa membuat catatan kita menjadi kaya. Kita akan melihat sebuah peristiwa dari berbagai sudut dan beragam.