Saat hendak pulang
penulis dari peluncuran buku “PELANTA – organisasi penulis di
Harian Jambi Ekspress”, penulis mendapatkan short message
servise (SMS) dari teman penulis di Pelanta. Isinya cukup
mengganggu. “Kando. Buku Pelanta dapat protes keras dari
Petinggi di Propinsi Jambi”.
Protes keras disampaikan
karena adanya kata-kata "Pepatah lama sudah berubah jika
dahulu dikatakan ‘manusia mati meninggalkan nama’ sudah tidak
cocok lagi dengan zaman, maka berganti menjadi “manusia mati
meninggalkan karya”. Jika manusia mati meninggalkan nama, cukup
ditemukan di batu nisan, itupun jika tulisan itu tidak terhapus. Tapi
jika manusia mati meninggalkan karya tulisannya akan abadi di
perpustakaan dan media maya/internet.
Kata-kata itu ditemukan
dari kata Pengantar Ketua Pelanta sebelum tulisan para penulis di
Jambi Ekspress dalam buku Pelanta.
Ada beberapa substansi
yang perlu disampaikan. Pertama. Mengapa para petinggi Propinsi
Jambi keberatan dengan istilah yang dipergunakan ? Apakah kata-kata
pepatah lama “manusia mati meninggalkan nama” merupakan kata-kata
sakti ? Sebuah mantra yang tidak boleh ditafsirkan dalam konteks
sekarang ? Apakah tidak ditemukan “makna tersirat” dari Ketua
Pelanta untuk menyampaikan perumpamaannya ? Mengapa kita “terjebak
dengan kata-kata tanpa melihat makna itu sendiri ?
Dengan melihat peristiwa
“keberatan” petinggi Propinsi Jambi dengan kata-kata itu,
maka sudah dipastikan, para petinggi Propinsi Jambi tidak melihat
pemikiran yang dituliskan para penulis di Jambi Ekpress. Kita
kemudian terjebak dengan cover daripada isi.
Padahal apabila melihat
banyaknya penulis yang disuarakan di kolom opini Jambi Ekpress,
merupakan pandangan dari anak negeri yang tetap “gelisah” melihat
berbagai ketimpangan di sekitarnya. Dengan menulis mereka menyuarakan
berbagai kegelisahan yang ditangkap dari pengamatannya.
Kedua. Penulis berusaha
melihat berbagai dokumen untuk menangkap dari kata-kata “‘manusia
mati meninggalkan nama’ sudah tidak cocok lagi dengan zaman, maka
berganti menjadi “manusia mati meninggalkan karya.
Melihat
kalimat diatas, maka “sebenarnya
harus juga dilihat dari berbagai pernyataan tokoh-tokoh Indonesia
yang terus menulis.
Pramudya
Ananta Noer menulis “Orang boleh pandai setinggi langit.
Tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang dalam masyarakat. Dan
dari sejarah, menulis adalah bekerja untuk keabadian.
HAMKA
juga pernah mengingatkan “Kecantikan yang abadi terletak pada
keelokan adab dan ketinggian ilmu seseorang. Bukan terletak pada
wajah dan pakaiannya.
Sedangkan
Goenawan Muhammad menyampaikan “Di hari-hari penuh fitnah ini,
membela yang benar tidak cukup hanya disimpan di dalam hati”.
Ya.
Dengan menulis, catatan harian dapat diketahui. Dengan menulis maka
berbagai catatan perjalanan sejarah dapat diketahui. Dengan menulis,
kita bisa menggambarkan setiap peristiwa penting dan menggambarkan
suasana sebuah peristiwa. Dengan menulis, perdebatan sebuah peristiwa
dapat dipertanggungjawabkan.
Ya.
Karena kita tidak menulis, maka polemik Candi Muara Jambi masih dalam
perdebatan. Polemik apakah itu merupakan kerajaan Sriwijaya, apakah
itu kerajaan Melayu Jambi atau kerajaan besar yang belum juga selesai
polemiknya.
Kita
kehilangan catatan sejarah Jambi.
Masih
ingat dengan polemik Pulau Berhala. MK kemudian menyatakan Pulau
Berhala masuk kedalam Kabupaten Lingga dalam Propinsi Kepri.
Padahal
bukti surat yang disampaikan Kabupaten Lingga yaitu bukti surat yaitu
peta Residentie Riouw en onderhoorigheden tersebut tahun 1922, overzi
chskaart van Sumatera blad 17 dan peta Singkep (first edition) Tahun
1743, sejak masa Kesultanan Lingga Riouw tahun 1957, Pulau Berhala
merupakan wilayah taklukan Sultan Lingga, dan pada masa penjajahan
Belanda tahun 1922- 1944 Pulau Berhala masuk wilayah Resident ie
Riouw.
Kita
kehilangan berbagai catatan sejarah yang pernah menerangkan Pulau
Berhala masuk kedalam Resintie Jambi.
Bukti surat ini harus
dibantah berdasarkan peta Schetskaart Residenntie Djambi. Peta-peta
ini justru menunjukkan nyata-nyata Residentie Riouw tidak memasukkan
Pulau berhala masuk kedalam wilayah administrasi Riau. Didalam peta
dengan jelas menggambarkan Straat Berhala masuk kedalam wilayah
residentie Jambi.
Belum lagi Peta Belanda
seperti Schetkaart Resintie Djambi Adatgemeenschappen (Marga’s),
Tahun 1910, Skala 1:750.000, Schetskaart Van de Residentie Djambi,
Tahun 1906, Skala 1 : 500.000, Schetskaart Van de Residentie Djambi,
Bewerkt door het Encyclopaedisch Bureau 1922 – 1923, Skala 1 :
750.000, Automobielkaart van Zuid Sumatra Samengesteld en Uitgegeven
door Koniklijke , Vereenging Java Motor Club, Tahun 1929, Skala 1 :
1.500.000, Economical MAP of The island Of Sumatra, Gold and silver,
Tahun 1923, Skala 1 : 1.650.000, Verkeers en Overzichtskaart van het
eiland Sumatra, Tahun 1929, Skala 1.650.000, dan Kaart van het eiland
Sumatra, Tahun 1909, Skala 1 : 2.000.000, Aangevende de ligging Der
Erfachtsperceelen en Landbrouwconcessies Of Sumatra, Tahun 1914,
Skala 1 : 2.000.000 telah jelas menerangkan posisi Pulau Berhala
termasuk kedalam Residentie.
Kita hanya bisa
mengetahui berbagai catatan lainnya seperti Sejarah Sriwijaya dalam
disertasi O.W. Wolters, seorang Doktor Filsafat di Universitas
London. Dan catatan Sumatera dalam “History of Sumatera”
catatan harian William Marsden seorang penjelajah dunia. Belum lagi
berbagai dokumen hukum Indonesia yang masih tercecer di dalam catatan
para penjelajah dunia dan dokumen masih tersimpan di berbagai
universitas luar negeri.
Ya. Karena sedikit sekali
catatan mengenai Jambi, Sumatera dan Indonesia membuat kita
kehilangan arah akan kebesaran dan peradaban masa lalu. Kita kemudian
menjadi bangsa yang sentimentil dan tidak mau mencatat berbagai
perkembangan sejarah.
Mengapa menulis itu
penting. Dengan menulis maka berbagai perdebatan sebuah sejarah dapat
kita lihat dari dokumentasi. Berbagai polemik sebuah peristiwa dapat
kita pertanggungjawaban.
Lalu. Mengapa ketika
sebagian kita hendak menulis sebuah peristiwa dan mencatatnya dengna
baik kemudian menyampaikan kepada publik melalui kolom opini di Jambi
Ekspress dianggap buku itu harus direvisi ?
Apakah seorang penulis
akan tunduk kepada sebuah “pesanan” dari petinggi untuk
menentukan “boleh menulis dan tidak boleh menulis ”.
Penulis rasa, seorang penulis tidak akan tunduk kepada pesanan dari
petinggi negeri untuk ““boleh menulis dan tidak boleh menulis.
Ketiga. Dunia tulis
menulis adalah dunia ekspresi “kebebasan menyampaikan pendapat
(freedom of expresion)”. Kebebasan itu merupakan hak asasi yang
dijamin oleh konstitusi. Kebebasan menulis tentu saja telah memenuhi
kaidah-kaidah penulis, tunduk kepada berbagai norma dan etika
penulisan dan tentu saja dapat dipertanggungjawabkan.
Kebebasan menulis
merupakan “kemerdekaan” yang luar biasa. Kemerdekaan sebagai
negara yang demokratis dan modern. Sebuah kebebasan yang tentu tidak
akan putar kembali ke belakang. Ke orde baru yang melarang sebuah
tulisan, buku ataupun bentuk karya-karya tulisan.
Diluar daripada
kaidah-kaidah penulisan, bertabrakan dengan norma dan etika
penulisan, maka sebenarnya tidak tepat dikategorikan sebagai karya
tulisan. Lebih tepat sebagai sampah (yellow paper), propaganda
dan selebaran. Tulisan ini tidak akan bertahan selain hanya
“memuaskan” sang penulis saja tanpa pesan yang bisa
ditangkap.
Terhadap keberatan sebuah
tulisan, kita bisa menyampaikan dalam media yang sama. Justru polemik
dari sebuah peristiwa membuat catatan kita menjadi kaya. Kita akan
melihat sebuah peristiwa dari berbagai sudut dan beragam.