24 Juni 2025

opini musri nauli : Masa depan Hijau Indonesia

 


  1. I.Pendahuluan


Paska menandatangani Perjanjian Paris melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Ratifikasi Kesepakatan Paris, Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen yang sangat serius untuk berkontribusi secara signifikan dalam upaya menahan laju pemanasan global. Komitmen tersebut ditunjukkan dalam berbagai kebijakan nasional yang diantaranya adalah dengan menempatkan isu perubahan iklim kedalam RPJMN dalam visi Nawacita 2019 – 2024 dan Visi Astacita dalam RPJMN 2024-2029. Dimana melalui visi Nawacita dan Astacita pemerintah Indonesia secara ambisus menargetkan pengurangan emisi GRK pada 2030 sebesar 31% dengan Upaya sendiri dan 43% dengan bantuan luar negeri atau yang dikenal dengan Indonesia National Determined Contribution (NDC 2030). Salah satu sektor yang diharapkan dapat berkontribusi besar terhadap pencapaian target NDC 2030 tersebut adalah sektor kehutanan (sektor pengemisi ke-2 terbesar Indonesia). Melalui Kementerian KLHK, Indonesia kemudian menetapkan program Follu Net Sink dengan target pengurangan emisi GRK sebesar 140 Juta Co2e pada tahun 2030.


Provinsi Jambi telah memiliki berbagai regulasi untuk mendukung pencapaian target Folu Net Sink 2030, termasuk Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 6 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Provinsi Jambi Tahun 2005-2025, Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 7 Tahun 2023 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jambi Tahun 2023 - 2043, dan Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 11 Tahun 2021 tentang Rencana 25 tahun Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jambi Tahun 2021-2026. Selain itu, terdapat juga Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pertumbuhan Ekonomi Hijau (Peta Jalan Pertumbuhan Ekonomi Hijau) yang menjelaskan strategi untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi hijau melalui penatagunaan, pemulihan, peningkatan produktivitas lahan berkelanjutan, kapasitas SDM dan kelembagaan, serta konektivitas dan rantai nilai berkelanjutan.


Salah satu strategi implementasi Peta Jalan Pertumbuhan Ekonomi Hijau Provinsi Jambi adalah mengoptimalkan pelaksanaan program Bio-Carbon Fund – Initiative for Sustainable Forest Landscape (BioCF-ISFL) 2021-2025.  Diharapkan dengan adanya program yang menargetkan penurunan emisi GRK sebesar  19 Juta Ton CO2e pada periode waktu tahun 2020-2025, akan membantu pencapian target penurunan emisi GRK Provinsi Jambi yang telah ditetapkan dalam RPJMP Provinsi Jambi 2021-2026 sebesar 14 Juta Ton CO2e. Selain itu, Program BioCF-ISFL juga diharapkan dapat mendorong sinergi antar pihak dan mencapai tujuan pembangunan rendah emisi di Provinsi Jambi.


Pencapaian target penurunan emisi GRK Provinsi Jambi tersebut sepenuhnya akan dikontribusikan kepada target pencapian program Follu Net Sink dan NDC 2030 Indonesia.  Peran berbagai pemangku kepentingan dalam pencapaian target Folu Net Sink 2030 di Provinsi Jambi sangat krusial. Dalam hal ini, Pemerintah, Swasta, dan Mitra Lainnya (seperti NGO dan Perguruan Tinggi) memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing.




Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Jambi ditunjuk untuk bertindak sebagai badan koordinasi seluruh kegiatan Bio Carbon Fund (BioCF) dan Folu Net Sink Provinsi Jambi. Dinas Kehutanan Provinsi Jambi adalah "leading sector" yang bertanggung jawab langsung terhadap program ini, mencakup pemulihan hutan, pemulihan gambut, penguatan perhutanan sosial, hingga penghitungan capaian karbon. Berbagai Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) juga terlibat, seperti KPH Sarolangun Hilir, KPH Tanjung Jabung Barat, KPH Bungo, dan KPH Merangin.


Pemerintah Provinsi Jambi juga telah menyelaraskan rencana penurunan emisi GRK ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Jambi tahun 2021-2026. Hal ini penting karena target capaian Folu Net Sink tidak boleh bertentangan dengan RPJMD dan target Green Growth Plan (GGP) provinsi. Target GGP meliputi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, pertumbuhan yang inklusif dan adil, ketahanan sosial-ekonomi dan daya dukung lingkungan, ekosistem yang sehat dan produktif sebagai penyedia jasa lingkungan, dan penurunan efek gas rumah kaca.


Meskipun telah memiliki komitmen yang kuat untuk turut berkontribusi dalam pencapaian target pengurangan emisi GRK nasional melalui beberapa perangkat kebijakan dalam kerangka pertumbuhan ekonomi hijau yang diimplementasikan melalui program BioCF-ISFL, Namun masih terdapat beberapa tantangan yang harus dijawab oleh Pemerintah Provinsi Jambi. Rotasi pejabat daerah yang tinggi menyebabkan internalisasi kebijakan pertumbuhan ekonomi hijau dan berbagai program yang dirancang untuk mendukung pencapaian targetnya seperti BioCF-ISFL, Program Green Climate Fund (GCF) Output 2 dan sosialisasi program BRGM menjadi berulang dari waktu-kewaktu. Selain itu, pemerintah kabupaten cenderung menyerahkan penanganan dan pencegahan Karhutla kepada pemerintah pusat dan memiliki alokasi anggaran yang minim untuk perlindungan ekosistem lahan gambut. Belum adanya regulasi penggunaan dana desa yang mengatur perlindungan dan penyelamatan lahan gambut juga menjadi kekhawatiran bagi pemerintah desa dalam mengalokasikan anggaran.


Perangkat Peraturan Perundang-undangan Indoneisa Yang Berhubungan Dengan Pembangunan Rendah Emisi GRK 


Undang-Undang


  1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya.
  2. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja).
  3. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja).
  4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
  5. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
  6. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja).
  7. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja).
  8. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja).
  9. Undang-Undang No. 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention on Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim).
  10. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
  11. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2022 tentang Provinsi Jambi.

Peraturan Pemerintah

  1. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2015).
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2016).
  3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 tentang INSTRUMEN EKONOMI LINGKUNGAN HIDUP.
  4. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2020 tentang Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan.
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
  6. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
  7. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan.
  8. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif Dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berasal Dari Denda Administratif Di Bidang Kehutanan.

Peraturan Presiden

  1. Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2019 tentang Organisasi Kementerian Negara (sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 324 Tahun 2021).
  2. Peraturan Presiden Nomor 92 Tahun 2020 tentang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
  3. Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional.

Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan

  1. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 16 Tahun 2017 tentang Pedoman Teknis Pemulihan Fungsi Ekosistem Gambut.
  2. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.18/Menlhk/Setjen/Kum.1/5/2018 tentang Pelayanan Informasi Publik di lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
  3. 3.Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perencanaan Kehutanan, Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Perubahan Fungsi Kawasan Hutan, serta Penggunaan Kawasan Hutan.
  4. 4.Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi.
  5. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial.
  6. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 15 Tahun 2021 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
  7. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 24 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Informasi Geospasial Tematik Lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
  8. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon.
  9. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan.

Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan

  1. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK.129/MENLHK/SETJEN/PKL.0/2/2017 tentang Penetapan Peta Kesatuan Hidrologis Gambut Nasional.
  2. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK.246/Menlhk/Setjen/KUM.1/6/2020 tentang Rencana Perlindungan Dan Pengelolaan Ekosistem Gambut Nasional.
  3. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor SK.168/MENLHK/PKTL/PLA.1/2/2022 tentang Indonesia’s Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030 untuk Pengendalian Perubahan Iklim.

Peraturan Daerah Provinsi Jambi

  1. Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 6 Tahun 2009 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Provinsi Jambi Tahun 2005-2025.
  2. Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 10 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jambi Tahun 2013 – 2033.
  3. Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 8 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah Provinsi Jambi (sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 1 Tahun 2021).
  4. Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 11 Tahun 2021 tentang Rencana 25 tahun Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jambi Tahun 2021-2026.
  5. Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pertumbuhan Ekonomi Hijau (peta Jalan Pertumbuhan Ekonomi Hijau).
  6. Peraturan Daerah Provinsi Jambi Nomor 7 Tahun 2023 tentang Perubahan Tata Ruang Provinsi Jambi.

Peraturan Gubernur Jambi


Peraturan Gubernur Jambi Nomor 36 Tahun 2012 tentang Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca.

Surat Keputusan Gubernur Jambi:

  • Surat Keputusan Gubernur Jambi Nomor: 817/KEP.GUB/DISHUT-2.1/2022 tentang Pembentukan Tim Penyusunan Rencana Kerja Indonesia’s Forestry and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030 Wilayah (Sub-Nasional) Provinsi Jambi Tahun 2022.

Dengan demikian maka titik focus peraturan yang menjadi obyek pengamatan adalah 11 UU, 8 PP, 3 Perpres, 9 Peraturan Menteri KLH, 3 Keputusan KLHK. 6 Peraturan Daerah Provinsi Jambi, 1 Peraturan Gubernur Jambi dan 1 Keputusan Gubernur Jambi. Konsentrasi difokuskan kepada ketentuan umum dan ruang lingkup yang berkaitan dengan Mekanisme Pembagian manfaat. 


Analisis 


Statemen Yuridis


Setelah ditelusuri dari setiap regulasi maka dapat menghasilkan konsep besar. 

  1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim): Undang-undang ini merupakan pengesahan dokumen Paris Agreement ke dalam Undang-Undang. Tujuan Persetujuan Paris adalah membatasi kenaikan suhu global di bawah 2°C dari tingkat pra-industrialisasi dan berupaya membatasinya hingga di bawah 1,5°C. Dalam rangka mencapai tujuan ini, semua Negara pihak melaksanakan dan mengomunikasikan upaya ambisiusnya dan menunjukkan kemajuan dari waktu ke waktu, yang terkait dengan Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (mitigasi), adaptasi, dan dukungan pendanaan, teknologi, dan pengembangan kapasitas bagi negara berkembang oleh negara maju. Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional (NDC) Indonesia mencakup aspek mitigasi dan adaptasi, dengan target mengurangi emisi sebesar 29% dengan upaya sendiri dan menjadi 41% jika ada kerja sama internasional dari kondisi business as usual pada tahun 2030, yang akan dicapai antara lain melalui sektor kehutanan, energi termasuk transportasi, limbah, proses industri dan penggunaan produk, serta pertanian. Komitmen NDC Indonesia untuk periode selanjutnya ditetapkan berdasarkan kajian kinerja dan harus menunjukkan peningkatan.
  2. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 tentang INSTRUMEN EKONOMI LINGKUNGAN HIDUP. Meskipun tidak secara langsung menyebut "pembagian manfaat", peraturan ini mengatur instrumen ekonomi lingkungan hidup yang dapat digunakan untuk mendorong upaya pelestarian lingkungan, dan secara tidak langsung akan berkaitan dengan bagaimana insentif atau manfaat dialokasikan.
  3. Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Untuk Pencapaian target kontribusi yang ditetapkan secara nasional dan pengendalian emisi gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional. Perpres ini menyebutkan bahwa pembayaran berbasis kinerja (result-based payments) adalah salah satu mekanisme yang digunakan.
    1. Dalam konteks regulasi bio karbon di Indonesia, mekanisme pembagian manfaat diatur untuk memastikan tercapainya target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan memberikan insentif bagi pihak-pihak yang berkontribusi. Beberapa poin penting terkait mekanisme pembagian manfaat adalah sebagai berikut:
      1. Pengaturan Umum: Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021. Ini mencakup pelaksanaan aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim melalui NEK untuk mencapai target NDC dan pengendalian emisi dalam pembangunan nasional.
      2. Pelaksana NEK: Penyelenggaraan NEK dapat dilakukan oleh kementerian/lembaga, pemerintah daerah, pelaku usaha, dan masyarakat.
      3. Mekanisme NEK: Mekanisme penyelenggaraan NEK meliputi:
        1. 1.Perdagangan Karbon
        2. 2.Pembayaran Berbasis Kinerja
        3. 3.Pungutan atas Karbon
        4. 4.Mekanisme lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
      4. Tujuan NEK: Adanya NEK diharapkan dapat menjadi insentif untuk pencapaian NDC, mendukung upaya pengendalian kebakaran hutan, pencegahan deforestasi dan degradasi hutan, serta transisi teknologi untuk energi baru terbarukan.
      5. Penerima Manfaat: Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 70 Tahun 2017 tentang Tata Cara Pelaksanaan REDD+, penerima manfaat dapat terdiri atas kementerian/lembaga, pemerintah daerah, pelaku usaha, serta masyarakat.
      6. Aspek Pembagian Manfaat: Mekanisme pembagian manfaat dilakukan dengan mengedepankan aspek kewenangan, kinerja pengurangan emisi GRK, dan upaya atau aksi untuk tidak mengeluarkan emisi GRK.
      7. Contoh Implementasi:
        1. Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH): BPDLH dapat memfasilitasi perdagangan karbon dan menerima pembiayaan dari program REDD+ di Indonesia, yang dananya akan didistribusikan kepada penerima manfaat.
        2. Forest Carbon Partnership Facility (FCPF): Mekanisme pembagian manfaat dalam ER-PD FCPF harus mampu memastikan terpenuhinya hak seluruh pemangku kepentingan, terutama masyarakat, atas manfaat Program FCPF Carbon Fund. Pembagian manfaat REDD+ diarahkan kepada pelaku tertentu sebagai kompensasi dan insentif bagi kegiatan yang paling berkontribusi terhadap tujuan REDD+.
        3. Provinsi Jambi (Bio Carbon Fund): Pemerintah Provinsi Jambi melalui Sub Nasional Manajemen Unit (SNPMU) sedang melaksanakan sosialisasi mengenai pola penetapan dan pengukuran emisi, penetapan dan skema pembagian manfaat, serta tata cara penyaluran manfaat. Manfaat dari karbon dari menjaga hutan dan mencegah emisi di Jambi telah didistribusikan kepada masyarakat, contohnya untuk sunatan massal, distribusi sembako, pembangunan sarana dan prasarana desa, dan untuk pengelola hutan desa.
        4. Perlindungan Hak Masyarakat: Penting untuk memastikan hak masyarakat, termasuk masyarakat adat dan lokal, dalam pembagian manfaat. Mekanisme pembagian manfaat formal juga merupakan salah satu kriteria yang penting dalam konteks REDD+ di Indonesia.

Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon Untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca dalam Pembangunan Nasional (Perpres No. 98 Tahun 2021): Perpres ini menegaskan posisi Indonesia yang berkewajiban mengendalikan perubahan iklim dan meratifikasi Paris Agreement. Ini juga menegaskan karbon sebagai indikator universal dalam mengukur kinerja upaya pengendalian perubahan iklim, yang direfleksikan dalam kontribusi yang ditetapkan secara nasional. Perpres ini menjadi dasar penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dan pedoman pengurangan Emisi GRK melalui kebijakan, langkah, serta kegiatan untuk pencapaian target NDC dan mengendalikan Emisi GRK dalam pembangunan nasional. Mekanisme yang diatur dalam Perpres ini adalah perdagangan karbon, pembayaran berbasis kinerja (result-based payments), dan pungutan atas karbon (carbon-tax).


1. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2023 tentang Tata Cara Perdagangan Karbon Sektor Kehutanan (Permen LHK Perdagangan Karbon).


2. Peraturan ini secara spesifik mengatur perdagangan karbon di sektor kehutanan, yang merupakan salah satu mekanisme NEK. Pembagian manfaat dari perdagangan karbon ini akan diatur dalam peraturan ini.


3. Permen LHK Nomor 7 Tahun 2023 ini berfungsi sebagai penjabaran lebih lanjut dari Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon, secara spesifik untuk sektor kehutanan. Dokumen ini menetapkan dasar bagi perdagangan karbon di sektor kehutanan untuk mengendalikan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) dan bertujuan untuk mencapai target Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (NDC) sektor Kehutanan.



Kata kunci diantaranya


Perdagangan Karbon: Mekanisme berbasis pasar untuk mengurangi Emisi GRK melalui kegiatan jual beli unit karbon.


Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (NDC): Komitmen nasional bagi penanganan Perubahan Iklim global dalam rangka mencapai tujuan Persetujuan Paris.


Emisi GRK: Lepasnya GRK ke atmosfer pada suatu area tertentu dalam jangka waktu tertentu.


Perdagangan Emisi: Mekanisme transaksi antara Pelaku Usaha yang memiliki emisi melebihi Batas Atas Emisi GRK yang ditentukan.


Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi (MRV): Kegiatan untuk memastikan bahwa data dan/atau informasi Aksi Mitigasi Perubahan Iklim dan aksi adaptasi perubahan iklim telah dilaksanakan sesuai dengan tata cara dan/atau standar yang telah ditetapkan serta dijamin kebenarannya.


Pengimbangan Emisi GRK (Offset Emisi GRK): Pengurangan Emisi GRK yang dilakukan oleh usaha dan/atau kegiatan untuk mengkompensasi emisi yang dibuat di tempat lain.


Baseline Business as Usual Emisi GRK (Baseline Emisi GRK): Perkiraan tingkat emisi dan proyeksi GRK pada sektor atau kegiatan yang telah diidentifikasi dalam jangka waktu yang telah ditetapkan tanpa intervensi kebijakan dan/atau teknologi mitigasi.


Validasi: Proses sistematis dan terdokumentasi oleh pihak yang tidak terlibat dalam kegiatan untuk memastikan bahwa rancangan pelaksanaan kegiatan memenuhi persyaratan yang ditetapkan.


Verifikasi: Kegiatan untuk memastikan kebenaran dan penjaminan kualitas data aksi dan sumber daya yang disampaikan oleh penanggung jawab aksi ke dalam Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim.


istem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI): Sistem pengelolaan, penyediaan data, dan informasi berbasis web tentang aksi dan sumber daya untuk mitigasi perubahan iklim, adaptasi perubahan iklim, dan nilai ekonomi karbon di Indonesia


Sertifikat Pengurangan Emisi GRK (SPE-GRK): Surat bukti pengurangan emisi oleh Pelaku Usaha dan/atau pelaku kegiatan yang telah melalui MRV, serta tercatat dalam SRN PPI dalam bentuk nomor dan/atau kode registrasi.


Pelaku Usaha: Orang perseorangan atau badan usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pada bidang tertentu


Ruang Lingkup mengatur pelaksanaan perdagangan karbon di sektor kehutanan untuk mendukung pencapaian target NDC sektor kehutanan.


Empat peraturan yang kita bahas — PP Nomor 46 Tahun 2017, Perpres Nomor 98 Tahun 2021, Permen LHK Nomor 21 Tahun 2022, dan Permen LHK Nomor 7 Tahun 2023 — membentuk sebuah kerangka hukum yang progresif dan terstruktur dalam upaya Indonesia untuk mencapai target iklimnya melalui pendekatan ekonomi


PP Nomor 46 Tahun 2017: Pondasi Intrument Ekonomi Lingkungan Hidu


Esensi dan Signifikansi: PP ini adalah fondasi filosofis dan kerangka umum bagi instrumen ekonomi lingkungan hidup di Indonesia. Ia memperkenalkan gagasan bahwa masalah lingkungan dapat diatasi tidak hanya melalui regulasi "perintah dan kontrol" (command and control) tetapi juga dengan memanfaatkan mekanisme pasar dan insentif ekonomi. Ini adalah pergeseran paradigma yang krusial, mengakui bahwa perilaku ekonomi dapat dibentuk untuk tujuan lingkungan.


Keterkaitan dengan NEK: Meskipun diterbitkan sebelum Perpres 98/2021 dan tidak secara spesifik menyebut "karbon", PP ini menyediakan legitimasi dasar bagi mekanisme seperti "Perdagangan Izin Pembuangan Limbah dan/atau Emisi", yang merupakan prekursor atau kerabat dekat dari konsep Perdagangan Emisi dalam konteks karbon. Demikian pula, konsep "Jasa Lingkungan Hidup" dan "Pembayaran Jasa Lingkungan Hidup" dalam PP ini sangat relevan dengan aspek nilai non-karbon atau manfaat bersama dari aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, yang juga diakui dalam kerangka NEK.


Implikasi Kebijakan: PP ini mendorong internalisasi biaya lingkungan ke dalam perhitungan ekonomi, memastikan bahwa dampak lingkungan diperhitungkan dalam biaya produksi. Ini bertujuan untuk mengatasi masalah "barang publik" di mana sumber daya alam seringkali undervalue karena tidak memiliki pasar formal.


Perpres Nomor 98 Tahun 2021: Pilar Utama Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon


Esensi dan Signifikansi: Perpres ini adalah tonggak utama dalam kebijakan iklim Indonesia, secara eksplisit dan komprehensif mengatur "Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon" (NEK) untuk mencapai target NDC. Ini adalah respons langsung terhadap ratifikasi Persetujuan Paris dan komitmen NDC Indonesia. Perpres ini mengukuhkan karbon sebagai indikator universal kinerja pengendalian perubahan iklim yang memiliki nilai ekonomi penting


Mekanisme Utama NEK: Perpres ini secara jelas mengidentifikasi tiga mekanisme utama NEK: Perdagangan Karbon: Meliputi Perdagangan Emisi dan Offset Emisi GRK, baik dalam maupun luar negeri. Penekanan diberikan pada mekanisme pasar karbon melalui bursa karbon dan perdagangan langsung.


Pembayaran Berbasis Kinerja (Result-Based Payment): Berfokus pada insentif dari capaian pengurangan Emisi GRK yang telah diverifikasi tanpa menyebabkan perpindahan kepemilikan karbon


Pungutan Atas Karbon: Bentuk pungutan negara berdasarkan kandungan, potensi, atau jumlah emisi karbon, serta kinerja aksi mitigasi.


Transparansi dan Akuntabilitas: Perpres ini sangat menekankan kerangka transparansi melalui Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi (MRV) yang terintegrasi dan Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN PPI). Kewajiban pencatatan di SRN PPI dikenakan sanksi administratif jika tidak dipatuhi.


Tujuan Ambisius: Menetapkan target ambisius pengurangan emisi GRK (29% tanpa syarat, 41% dengan dukungan internasional) pada tahun 2030 , dengan visi pembangunan rendah emisi dan berketahanan iklim pada tahun 2050.


Permen LHK Nomor 21 Tahun 2022: Tata Laksana Operasional NEK Lintas Sektor


Esensi dan Signifikansi: Sebagai peraturan pelaksana langsung dari Perpres 98/2021, Permen LHK ini merinci tata laksana operasional penerapan NEK. Ini menjembatani kebijakan tingkat tinggi dengan implementasi di lapangan.


Detail Mekanisme NEK: Permen ini memberikan detail lebih lanjut tentang bagaimana Perdagangan Karbon (Perdagangan Emisi dan Offset Emisi GRK), Pembayaran Berbasis Kinerja, dan Pungutan atas Karbon akan dilaksanakan. Misalnya, untuk Perdagangan Karbon, diatur mengenai peta jalan, cadangan pengurangan emisi (buffer), dan persyaratan perdagangan luar negeri.


Peran SRN PPI: Mengukuhkan SRN PPI sebagai sistem sentral untuk pencatatan dan pelaporan seluruh kegiatan NEK, termasuk penerbitan Sertifikat Pengurangan Emisi GRK (SPE-GRK). 


Harmonisasi dan Pencegahan Penghitungan Ganda: Mengandung ketentuan untuk harmonisasi dengan mekanisme NEK lainnya agar tidak terjadi penghitungan ganda dan pembayaran ganda.


Secara umum, peraturan-peraturan ini membentuk kerangka hukum bagi pengelolaan dan pemanfaatan nilai ekonomi karbon di Indonesia, dengan menekankan pada mekanisme perdagangan emisi dan offset emisi GRK, serta menetapkan tarif pajak karbon untuk emisi yang melebihi batas yang ditetapkan. Tujuannya adalah untuk mencapai target NDC Indonesia dalam pengurangan emisi gas rumah kaca.