Seloko "Datuk belang" dalam masyarakat Melayu Jambi bukan sekadar nama panggilan, melainkan cerminan kompleks dari pandangan dunia masyarakatnya yang menghargai alam, memahami hierarki, dan mengedepankan etika dalam setiap tutur kata dan perilaku.
Makna seloko "Datuk belang" dalam konteks masyarakat Melayu Jambi dapat dilihat didalam berbagai aspek linguistik, budaya, dan peran sosial.
Dilihat Makna Linguistik dan Simbolis. Datuk" sebagai Penanda Hormat dan Kedudukan: Secara leksikal, kata "datuk" merujuk pada kakek atau orang yang dituakan dalam keluarga atau masyarakat pada umumnya. Namun, ketika digunakan
dengan huruf kapital ("Datuk"), ia kemudian menjadi gelar kehormatan yang diberikan kepada individu dengan kedudukan tinggi atau yang dihormati.
Sekaligus menunjukkan penyebutan "Datuk" bukan sekadar penanda usia. Tapi pengakuan terhadap otoritas, kebijaksanaan atau peran penting seseorang dalam struktur sosial.
"Belang" sebagai Atribut dan identitas. "Belang" secara harfiah mengacu pada pola garis atau corak pada kulit harimau. Penggunaan atribut fisik ini untuk mengidentifikasi harimau ("Datuk belang") adalah bentuk metafora atau eufemisme yang lazim dalam kebudayaan yang menghormati. Penyebutan langsung nama binatang buas tersebut dianggap mengundang hal buruk atau tidak sopan.
Datuk belang juga dapat dilihat Eufemisme dan Tabu Bahasa. Penggunaan "Datuk belang" sebagai pengganti "harimau" adalah contoh kuat dari tabu bahasa dan eufemisme. Di banyak budaya, hewan buas atau entitas yang dihormati/ditakuti sering kali tidak disebut namanya secara langsung untuk menjaga keseimbangan spiritual, menghindari kemarahan, atau menunjukkan rasa hormat.
Ini menunjukkan adanya kepercayaan bahwa kata memiliki kekuatan, dan penyebutan langsung dapat memiliki konsekuensi.
Penyebutan datuk belang juga Penghormatan terhadap Alam. Penamaan harimau sebagai "Datuk belang" mencerminkan pandangan kosmologi
masyarakat Melayu Jambi yang menempatkan manusia dalam hubungan harmonis dengan alam.
Harimau sebagai predator puncak diakui kekuatannya dan dihormati sebagai bagian integral dari ekosistem hutan.
Dengan menyebutnya "Datuk," masyarakat memberikan posisi terhormat, seolah-olah harimau adalah pemimpin atau penguasa di wilayahnya, mirip dengan bagaimana pemimpin manusia dihormati.
Selain itu juga Datuk belang menunjukkan derajat Hierarki Sosial dan Alam.
Hubungan erat antara "Datuk" untuk pemimpin manusia dan "Datuk belang" untuk harimau membuktikan adanya pemahaman hierarki dalam alam dan
masyarakat.
Sebagaimana manusia memiliki pemimpin yang disegani, alampun juga memiliki "pemimpin" atau "penjaga" yang patut dihormati.
Lalu apa yang dapat dilihat pengunaan Datuk Belang ?. Penggunaan seloko ini secara tidak langsung juga dapat mengandung pesan moral atau etika. Menghormati harimau (melalui sebutan "Datuk belang") dapat diartikan sebagai ajakan untuk menghormati alam dan segala isinya, serta untuk tidak sembarangan melanggar batas-batas alam yang dapat mengundang bahaya.
Pengunaan Datuk Belang juga sebagai peran dan identitas tutur sehari-hari.
Penggunaan seloko seperti "Datuk belang" adalah bagian dari "tutur" yang merupakan identitas khas masyarakat Melayu Jambi.
Cara bertutur mencerminkan pribadi penutur dan kekayaan budaya yang diwariskan dari nenek moyang. Ini menunjukkan bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga cerminan peradaban dan nilai-nilai luhur.
Selain itu Pemahaman akan seloko ini memerlukan pengetahuan mendalam, karena maknanya tidak selalu harfiah. Mencakup makna tersirat yang hanya bisa ditangkap oleh mereka yang memahami
konteks budaya dan kosmologi masyarakat Melayu Jambi. Sekaligus
pentingnya "pengetahuan kolektif" yang diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi.
Dengan demikian maka "Datuk belang" didalam masyarakat Melayu Jambi digunakan untuk menyebut harimau.