15 Agustus 2014

opini musri nauli : MAKNA DEMOKRASI INDONESIA





Sidang di MK dalam perselisihan pilpres 2014 meninggalkan pertanyaan penting. Bagaimana pelaksanaan Pilpres 2014 di sebagian besar di Papua dan Papua Barat dengan sistem noken ?

Dari mediaonline detik.com disebutkan “Noken sejenis kantong atau tas dari pintalan anggrek atau kayu atau benang yang digunakan masyarakat Papua antara lain untuk tempat hasil pertanian atau perkebunan, tempat ayunan balita pada sebagian etnis, tempat surat-surat penting dan tempat keperluan lain sesuai kebiasaan anggota masyarakat di pedalaman yang jadi tali asih kenangan-kenangan lambang kekerabatan

Sistem noken ini bervariasi di berbagai pedalaman. Secara umum pemilihan atas dasar kesepakatan bersama sekelompok orang dengan kepala suku. Ada juga yang mengumpulkan masyarakat pemilih di area TPS dan minta pendapat masyarakat dalam permusyawaratan kampung.

Penggunaan noken sejak pemilu pertama di Irian Jaya tahun 1971 sampai pemilu tahun 2014, bahwa sejak pemilu tahun 1971 tidak pernah dipersoalkan penggunaan noken baik di kabupaten maupun di provinsi Papua.

Noken baru dipersoalkan tahun 2009 terkait PHPU Kabupaten Yahukimo. Saat itu MK dalam pertimbangannya tidak membatalkan atau menolak pelaksanaan pemilu dengan menggunakan noken di daerah pedalaman Papua.

Menurut ukuran demokrasi Pilpres, cara ini dianggap tidak memenuhi kaidah demokrasi dalam asas “Luber'. Langsung, umum bebas dan rahasia'. MK sendiri sudah menegaskan. Namun MK ternyata mengakui “sebagai budaya lokal tidak dinafikan oleh penyelenggara pemilu, sepanjang masyarakat masih mau menggunakan”

Demokrasi “gaya lokal” seperti noken di Papua mengingatkan saya “makna” demokrasi di berbagai daerah di Jambi. Terutama pemilihan Kepala Desa.

Sebuah Desa di hulu Sungai Batang Sumay (Tebo), seorang anak muda yang masih “lugu” kemudian didesak sebagai oleh warga untuk menjadi Kepala Desa. Dia merupakan keturunan dari Depati. Sistem pemerintahan setingkat Desa. Dia kemudian terpilih dengan dukungan mayoritas warga desa.

Saya penasaran. Apa alasan warga Desa mendesak menjadi Kepala Desa. Dari warga kemudian dijawab, sebagai seorang keturunan Depati, tentu saja sejak kecil dia memang dipersiapkan menjadi pemimpin di desa.

Saya kemudian menelusuri “apa yang telah dipersiapkan” terhadap “sang anak muda”.

Saya kemudian menemukan jawabannya. Mempersiapkan anak muda oleh kakeknya sebagai pemimpin di Desa dengan mengajarkan berbagai ajaran bijaksana, kata-kata yang bisa menyelesaikan berbagai persoalan, seloko, kata bijaksana yang mampu melihat persoalan di desa.

Ajaran bijaksana, seloko itulah yang dari kecil “memang” diajarkan oleh sang kakek.

Di daerah yang lain dalam kecamatan Muara Siau (Bangko), seorang kepala desa melaksanakan tugas desanya dengan baik. Dia cekatan, mempunyai visi ke depan dan mampu menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di desanya. Bahkan dia terbukti mampu menjaga hutan dan menghalau orang yang berusaha “menghancurkan” hutan di desanya.

Setelah menjabat selama 6 tahun, seluruh warga Desa meminta menjabat kedua kalinya.

Ketika menjelang Pilkades, tidak ada satupun yang mencalonkan menjadi calon Kepala Desa. Selain memang seluruh warga Desa memintanya kembali menjadi Kepala Desa.

Nah. Masalah mulai timbul. Tidak ada satupun yang mau sehingga bisa mengakibatkan pilkades bisa ditunda. Akhirnya “dibujuk” salah satu warga untuk mencalonkan diri cuma “sekedar” adanya calon dalam pilkades.

Ketika mengurusi bahan-bahan persyaratan menjadi calon Kepala Desa, Kepala Desa “malah” membantu sang calon lain untuk mempersiapkannya.

Keduanya “hilir mudik” mengurusi berbagai persyaratan termasuk ke Ibukota Kabupaten.

Hasilnya bisa ditebak. Pilkades “cuma” formalitas”. Sang Kades kembali terpilih.

Sementara itu ada sebuah desa dalam kecamatan Lembah Masurai (Merangin) seorang kepala Desa setelah dilantik maka dilanjutkan dengan prosesi acara pengukuhan gelar adat. Pengukuhan gelar adat dimaksudkan agar “kepala Desa” yang dipilih kemudian dapat menjadi pemangku adat.

Didalam prosesi acara adat, diberikan gelar “adat” yang melambangkan Kepala Desa dapat menyelesaikan berbagai persoalan di desa dengan hukum adat.

Apabila acara ini tidak dilaksanakan maka “walaupun” dia terpilih menjadi Kepala Desa, namun sangat sulit dapat menyelesaikan persoalan di desa.

Sementara itu di desa lain, ada seorang Kepala Desa yang telah terpilih melalui Pilkades yang dilaksanakan secara demokratis.

Namun selama 2 tahun, sering terjadi bencana. Dalam istilahnya “padi tidak menjadi, sungai keruh, kerbau dak gepuk, ikan dak ada”.

Dengan tanda-tanda itu kemudian malah warga desa meminta pergantian kepala Desa. Masyarakat menganggap kepala Desa yang telah dipilih tidak membawa kemakmuran di desanya.

Maka diadakan pilkades dan memilih kepala Desa baru. Alampun kemudian memberikan kabar. “Padi menjadi. Sungai jernih. Kerbau gepuk, Ikan jinak. Ke sungai cemeti keno. Ke darat durian gugur”.

Dengan melihat berbagai contoh pilkades di Jambi, maka masyarakat menganggap begitu pentingnya seorang Kepala Desa.

Posisi Kepala Desa dapat dilihat 'Yang berhak untuk memutih menghitamkan Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri jangan menginjek.

Seorang Kepala Desa dapat menjadi “muara” dari semua persoalan. Muara dari jawaban dari pertanyaan rakyat yang dipimpinnya. Tempat orang bertanya terhadap berbagai sengketa dan perselisihan yang terjadi di tengah masyarakat. Tempat mengadu berbagai persoalan dan muara dari jawaban persoalan itu sendiri.

Kepala Desa harus didepan menghadapi persoalan. Kepala Desa harus bersedia mengambil alih tanggung jawab dari berbagai persoalan.

Seorang Kepala Desa “didahulukan selangkah”. Dilebihkan sekato

Dia dihormati masyarakat dan dapat menjadi pengayom. Tempat berlindung masyarakat dari berbagai persoalan. Tempat “bercerita” bertukar pikiran terhadap persoalan sehari-hari. Tempat “bercengkrama” dan bersenda gurau. Tempat “bersuka ria” melewati persoalan. “Tempat orang bertanyo. Tempat orang bercerito”.

Begitu tinggi penghormatan kepada Kepala Desa sering diujarkan “Alam sekato Rajo. Negeri sekato batin”.

Begitu agung dan dihormatinya, masyarakat akan mengikuti setiap perintah, setiap perkataan dari pemimpin. Setiap perkataan dan perintah dari pemimpin sebagai bentuk pemimpin yang dihormati. Mereka “menyerahkan” hidupnya. Menyerahkan masa depannya kepada pemimpin.

Dengan melihat begitu hormatnya masyarakat kepada kepala Desa atau Kepala Suku, sehingga kita bisa mengerti mengapa setiap keputusan yang dilakukan oleh Kepala Desa selalu dituruti oleh warganya.

Sehingga tidak salah kemudian contoh-contoh yang telah disampaikan kita bisa memahami bagaimana sistem noken kemudian bisa diterima ditengah masyarakat.

Dimuat di Harian Jambi Ekspres, 16 Agustus 2014