Sidang
di MK dalam perselisihan pilpres 2014 meninggalkan pertanyaan
penting. Bagaimana pelaksanaan Pilpres 2014 di sebagian besar di
Papua dan Papua Barat dengan sistem noken ?
Dari
mediaonline detik.com disebutkan “Noken sejenis kantong atau tas
dari pintalan anggrek atau kayu atau benang yang digunakan masyarakat
Papua antara lain untuk tempat hasil pertanian atau perkebunan,
tempat ayunan balita pada sebagian etnis, tempat surat-surat penting
dan tempat keperluan lain sesuai kebiasaan anggota masyarakat di
pedalaman yang jadi tali asih kenangan-kenangan lambang kekerabatan”
Sistem
noken ini bervariasi di berbagai pedalaman. Secara umum pemilihan
atas dasar kesepakatan bersama sekelompok orang dengan kepala suku.
Ada juga yang mengumpulkan masyarakat pemilih di area TPS dan minta
pendapat masyarakat dalam permusyawaratan kampung.
Penggunaan
noken sejak pemilu pertama di Irian Jaya tahun 1971 sampai pemilu
tahun 2014, bahwa sejak pemilu tahun 1971 tidak pernah dipersoalkan
penggunaan noken baik di kabupaten maupun di provinsi Papua.
Noken
baru dipersoalkan tahun 2009 terkait PHPU Kabupaten Yahukimo. Saat
itu MK dalam pertimbangannya tidak membatalkan atau menolak
pelaksanaan pemilu dengan menggunakan noken di daerah pedalaman
Papua.
Menurut
ukuran demokrasi Pilpres, cara ini dianggap tidak memenuhi kaidah
demokrasi dalam asas “Luber'. Langsung, umum bebas dan rahasia'. MK
sendiri sudah menegaskan. Namun MK ternyata mengakui “sebagai
budaya lokal tidak dinafikan oleh penyelenggara pemilu, sepanjang
masyarakat masih mau menggunakan”
Demokrasi
“gaya lokal” seperti noken di Papua mengingatkan saya
“makna” demokrasi di berbagai daerah di Jambi. Terutama
pemilihan Kepala Desa.
Sebuah
Desa di hulu Sungai Batang Sumay (Tebo), seorang anak muda yang masih
“lugu” kemudian didesak sebagai oleh warga untuk menjadi
Kepala Desa. Dia merupakan keturunan dari Depati. Sistem pemerintahan
setingkat Desa. Dia kemudian terpilih dengan dukungan mayoritas warga
desa.
Saya
penasaran. Apa alasan warga Desa mendesak menjadi Kepala Desa. Dari
warga kemudian dijawab, sebagai seorang keturunan Depati, tentu saja
sejak kecil dia memang dipersiapkan menjadi pemimpin di desa.
Saya
kemudian menelusuri “apa yang telah dipersiapkan” terhadap
“sang anak muda”.
Saya
kemudian menemukan jawabannya. Mempersiapkan anak muda oleh kakeknya
sebagai pemimpin di Desa dengan mengajarkan berbagai ajaran
bijaksana, kata-kata yang bisa menyelesaikan berbagai persoalan,
seloko, kata bijaksana yang mampu melihat persoalan di desa.
Ajaran
bijaksana, seloko itulah yang dari kecil “memang”
diajarkan oleh sang kakek.
Di
daerah yang lain dalam kecamatan Muara Siau (Bangko), seorang
kepala desa melaksanakan tugas desanya dengan baik. Dia cekatan,
mempunyai visi ke depan dan mampu menyelesaikan berbagai persoalan
yang ada di desanya. Bahkan dia terbukti mampu menjaga hutan dan
menghalau orang yang berusaha “menghancurkan” hutan di
desanya.
Setelah
menjabat selama 6 tahun, seluruh warga Desa meminta menjabat kedua
kalinya.
Ketika
menjelang Pilkades, tidak ada satupun yang mencalonkan menjadi calon
Kepala Desa. Selain memang seluruh warga Desa memintanya kembali
menjadi Kepala Desa.
Nah.
Masalah mulai timbul. Tidak ada satupun yang mau sehingga bisa
mengakibatkan pilkades bisa ditunda. Akhirnya “dibujuk”
salah satu warga untuk mencalonkan diri cuma “sekedar”
adanya calon dalam pilkades.
Ketika
mengurusi bahan-bahan persyaratan menjadi calon Kepala Desa, Kepala
Desa “malah” membantu sang calon lain untuk
mempersiapkannya.
Keduanya
“hilir mudik” mengurusi berbagai persyaratan termasuk ke
Ibukota Kabupaten.
Hasilnya
bisa ditebak. Pilkades “cuma” formalitas”. Sang Kades
kembali terpilih.
Sementara
itu ada sebuah desa dalam kecamatan Lembah Masurai (Merangin)
seorang kepala Desa setelah dilantik maka dilanjutkan dengan prosesi
acara pengukuhan gelar adat. Pengukuhan gelar adat dimaksudkan agar
“kepala Desa” yang dipilih kemudian dapat menjadi pemangku
adat.
Didalam
prosesi acara adat, diberikan gelar “adat” yang
melambangkan Kepala Desa dapat menyelesaikan berbagai persoalan di
desa dengan hukum adat.
Apabila
acara ini tidak dilaksanakan maka “walaupun” dia terpilih
menjadi Kepala Desa, namun sangat sulit dapat menyelesaikan persoalan
di desa.
Sementara
itu di desa lain, ada seorang Kepala Desa yang telah terpilih melalui
Pilkades yang dilaksanakan secara demokratis.
Namun
selama 2 tahun, sering terjadi bencana. Dalam istilahnya “padi
tidak menjadi, sungai keruh, kerbau dak gepuk, ikan dak ada”.
Dengan
tanda-tanda itu kemudian malah warga desa meminta pergantian kepala
Desa. Masyarakat menganggap kepala Desa yang telah dipilih tidak
membawa kemakmuran di desanya.
Maka
diadakan pilkades dan memilih kepala Desa baru. Alampun kemudian
memberikan kabar. “Padi menjadi. Sungai jernih. Kerbau gepuk,
Ikan jinak. Ke sungai cemeti keno. Ke darat durian gugur”.
Dengan
melihat berbagai contoh pilkades di Jambi, maka masyarakat menganggap
begitu pentingnya seorang Kepala Desa.
Posisi
Kepala Desa dapat dilihat 'Yang berhak untuk memutih menghitamkan
Yang memakan habis, memancung putus, dipapan jangan berentak, diduri
jangan menginjek.
Seorang Kepala Desa dapat menjadi “muara” dari semua persoalan. Muara dari jawaban dari pertanyaan rakyat yang dipimpinnya. Tempat orang bertanya terhadap berbagai sengketa dan perselisihan yang terjadi di tengah masyarakat. Tempat mengadu berbagai persoalan dan muara dari jawaban persoalan itu sendiri.
Kepala
Desa harus didepan menghadapi persoalan. Kepala Desa harus bersedia
mengambil alih tanggung jawab dari berbagai persoalan.
Seorang
Kepala Desa “didahulukan selangkah”. Dilebihkan sekato’
Dia
dihormati masyarakat dan dapat menjadi pengayom. Tempat berlindung
masyarakat dari berbagai persoalan. Tempat “bercerita” bertukar
pikiran terhadap persoalan sehari-hari. Tempat “bercengkrama” dan
bersenda gurau. Tempat “bersuka ria” melewati persoalan. “Tempat
orang bertanyo. Tempat orang bercerito”.
Begitu
tinggi penghormatan kepada Kepala Desa sering diujarkan “Alam
sekato Rajo. Negeri sekato batin”.
Begitu
agung dan dihormatinya, masyarakat akan mengikuti setiap perintah,
setiap perkataan dari pemimpin. Setiap perkataan dan perintah dari
pemimpin sebagai bentuk pemimpin yang dihormati. Mereka “menyerahkan”
hidupnya. Menyerahkan masa depannya kepada pemimpin.
Dengan
melihat begitu hormatnya masyarakat kepada kepala Desa atau Kepala
Suku, sehingga kita bisa mengerti mengapa setiap keputusan yang
dilakukan oleh Kepala Desa selalu dituruti oleh warganya.
Sehingga
tidak salah kemudian contoh-contoh yang telah disampaikan kita bisa
memahami bagaimana sistem noken kemudian bisa diterima ditengah
masyarakat.
Dimuat di Harian Jambi Ekspres, 16 Agustus 2014
Dimuat di Harian Jambi Ekspres, 16 Agustus 2014