I.
WILAYAH
Wilayah Jambi telah
dikenal ditengah masyarakat. Masyarakat mengenal kewilayahan dengan istilah
Tambo[1].
Membicarakan Tambo ditengah masyarakat Melayu Jambi berdiam di hulu sungai
Batanghari[2].
Di daerah hilir lebih dikenal sebagai batas.
Istilah tambo selain
membicarakan tentang keberadaan masyarakat, kedatangan asal mula (Puyang atau
nenek moyang), juga menceritakan tentang wilayah dan pengaturan tentang
wllayah.
Tanda-tanda berdasarkan
kepada tambo masih mudah diidentifikasikan dan masih terlihat sampai sekarang.
Biasanya merujuk kepada tanda-tanda alam seperti sungai, aur, tebing, pohon,
pematang.
Sedangkan penamaan
Dusun selalu merujuk tanda-tanda khas. Baik tanda-tanda alam Sungai, Pulau, Lubuk,
Renah, Muara, Teluk, Rantau, Danau, Tanjung, Bukit, Ujung dan Lembah maupun
penamaan lainnya seperti pohon, nama tumbuhan maupun tanda khas lain.
Dengan Tambo, maka bisa ditentukan wilayah daerah tertentu yang
biasanya ditandai dengan tanda-tanda alam seperti sungai, bukit, napal,
renah, lubuk, muaro, bukit, pematang, telun adalah bentuk alam yang tidak
hilang. Sedangkan istilah seperti “Dari” artinya dimulai, “ke”
artinya menuju,”pelarung” artinya menyeberang sungai atau melewati
titian, “naik” artinya mendaki bukit, “turun” artinya menuruni
bukit, “balik” artinya kembali. Tanda-tanda berdasarkan kepada
Tambo masih mudah diidentifikasi dan masih terlihat sampai sekarang.
Dengan
Tambo inilah, suatu wilayah adat dapat diketahui, baik batas wilayah suatu
Margo, antara desa satu dengna yang lain dalam satu margo dan tentu saja
menghubungkan antara Margo Satu dengna margo yang lain. “Klaim adat” berupa
wilayah dan cara kelola yang berdasarkan Seloko dan ujaran adat sampai sekarang
menjadi ingatan dan pengetahuan kolektif masyarakat. Dengan Tembo dan Seloko
yang diwariskan turun temurun dari generasi.
Tambo yang disampaikan
turun temurun pada waktu tertentu[3]
selain mengingatkan akan pentingnya tentang keberadaan masyarakat[4],
wilayah juga pengaturan terhadap wilayah.
Kadangkala
antara satu tempat dengan tempat yang lain menggunakan nama yang berbeda dengan
menunjuk satu nama. Atau dengan kata lain, satu tempat dengan istilah penamaan
yang berbeda.
Belum
lagi ditambah perkembangan wilayah yang kemudian diberi nama yang tidak dikenal
dalam khazanah kosakata Bahasa Jambi. Kata-kata seperti “Jaya”, “makmur”,
“Maju” adalah penamaan yang tidak dikenal didalam Bahasa Jambi. Kata-kata ini
merupakan serapan dari Bahasa Indonesia yang kemudian dilekatkan kedalam nama
Desa. Sehingga diperlukan “penyortiran” untuk mencari Dusun semula (dusun asal,
dusun tuo atau dusun induk) agar puzzle tidak menjadi terpisah. Seperti didalam
Seloko “Mencari bungkul dari pangkal.
Mencari usul dari pangkal”.
Diibaratkan
puzzle, antara satu cerita dengan cerita yang lain memerlukan bahan pendukung.
Entah peta, sketsa peta, catatan perjalanan.
Di Desa Simpang Narso (Marga
Batin Pengambang)[5]
dikenal batas Marga Batin Pengambang dengan Marga Sungai Tenang dengan Tembo ““Bukit Gambut / Batu Lentik Elang Menari[6]. Nama ini dikenal di Desa Beringin
Tinggi yang termasuk kedalam Marga Sungai Tenang. Bahkan Dusun “Beringin
Tinggi” merupakan tanah pemberian dari Marga Sungai Tenang yang dikenal sebagai
tanah “ujung batin’. Yang ditandai dengan seloko “Belalang
dari Batin Pengambang, Tanah Koto 10”[7].
Sedangkan
Marga Simpang Tiga Pauh dengan Marga Air Hitam dikenal nama “Lubuk Kepayang” [8].
Nama yang kemudian dibenarkan didalam Marga Air Hitam[9].
Begitu
juga batas Marga Air Hitam dengan Marga Batin IX Ilir ditandai dengan “Ulu
Mentawak”. Marga Air Hitam dengan Marga Maro Sebo Ulu di Sungai Ruan yang
ditandai dengan daerah Kejasung”. Sungai Ruan termasuk kedalam Marga Maro Sebo
Ulu[10].
Sehingga
tidak salah kemudian Perbatasan Marga Air Hitam dengan Marga Maro Sebo Ulu,
Marga Simpang Tiga Pauh dan Marga IX Ilir telah disesuaikan dengan penggalian
Marga di Marga di Maro Sebo Ulu, Marga Simpang Tiga Pauh dan Marga IX Ilir.
Batas
antara Datuk Nan Tigo dengan Marga Pelawan yang ditandai dengan Sungai Merah
sebelah Sungai Keruh[11].
Marga Pelawan mengenal Sungai Keruh dan menyebutkan batas dengan Marga Datuk
Nan Tigo dengan tembo “ Lubuk Sayak atau Muara Limun di
Bukit Batu[12],
Batas antara Marga IX Koto dengan Marga Sumay
dikenal “Rimbo Bulian”[13].
Nama
yang juga dikenal sebagai Batas Marga Sumay dengan Marga IX Koto di Marga Sumay[14].
Sedangkan
Marga VII berbatasan dengan Marga IX Koto yang ditandai dengan seloko “Durian takuk Rajo, Keramat tanah tumbuh,
Muara Sako, Ke Tonggak Perabun Bulian, Menyeberang Sungai Mengkawas, mendaki
Batu belarik, Danau terumbai, Menurun ke ujung pematang kulin, tanah ditumbuhi
salak” [15].
Di Marga IX Koto dikenal batas dengan Marga VII adalah “Sungai Rami/Cermin
alam, Pulau Tedung[16].
Begitu
juga Marga VII Koto dengan Marga Jujuhan yang ditandai dengan seloko “Payung nan tiga kaki, tiwang tiga kabung”.
Nama yang dikenal di Marga Jujuhan[17].
Batas
antara Marga Senggrahan dengan Marga Pangkalan Jambi merupakan keunikan. Marga
Senggrahan menyebutkan Bukit Kapung
Sungai Tinggi Bane Belalang Bukit Gagah berani”. Sedangkan Marga Peratin
Tuo menyebutkan “Bukit berani.
Sedangkan Marga Pangkalan Jambu menyebutkan “Bukit lipai besibak. Lubuk Birah juga menyebutkan “Bukit Lipai
besibak”[18].
Padahal nama “Bukit Gagah berani” atau “Bukit lipai besibak” adalah penamaan
satu tempat. Sehingga walaupun dengan nama yang berbeda namun menunjukkan
tempat yang sama.
Begitu
juga Marga Berbak dengan Marga Dendang/Sabak dan Marga Jebus. Kedua nama tempat
disebutkan didalam Marga Berbak sebagai Simpang[19].
Hanya dipisahkan Sungai. Simpang yang dimaksudkan adalah persimpangan Sungai
Batanghari yang mengilir ke Timur Jambi dan membelah. Aliran Sungai Batanghari
satu menuju langsung ke Muara di Pulau Berhala. Sedangkan satunya berbelok kiri
menuju Muara Sabak dan menuju lautan Pantai Timur Sumatera. Sedangkan Marga
Jebus menyebutkan batas dengan Marga Berbak adalah “Perbuseno”[20].
Marga Dendang/Sabak menyebutkan batas dengan Marga Berbak dengan tandai “Rambai Belubang dan pangkal bulian[21].
Dengan
demikian maka menurut Marga Berbak batas dengan Marga Dendang/Sabak dengan
menyebutkan “Simpang” adalah Rampai Belubang dan pangkal bulian”. Sedangkan
Marga Berbak yang menyebutkan “Simpang” dengan Marga Jebus dikenal sebagai
“Perbuseno” oleh Marga Jebus.
Yang
membuat saya kagum, bagaimana para pewaris penutur mampu merawat ingatan,
menurunkan ke generasi selanjutnya. Sehingga ketika puzzle dihubungkan menjadi
rangkaian wilayah yang sekarang kita kenal sebagai wilayah Provinsi Jambi.
Dengan Tambo masyarakat bisa bertutur sehingga mereka dengan
mudah menjelaskan dan menerangkan wilayah adat mereka.
Di
daerah hilir dikenal Penamaan tempat yang ditandai dengan tanda-tanda alam
seperti “Payo” atau “payo dalam”, Suak, Lopak, Lubuk,
Danau, rongkat, pematang atau penamaan lain yang diketahui masyarakat dan menjadi
pengetahuan bersama masyarakat.
II.
ARAH MATA
ANGIN
Didalam
alam kosmopolitan Jawa dikenal “kiblat
papat lima pancer’ sebagai nilai falsafat Jawa. Kiblat papat lima
pancer sebagai falsafah Jawa
merupakan salah satu perwujudan konsep mandala. Suwardi Endraswara menyebutkan
“Sedulur papat lima pancer”[22].
Pandangan
ini disebut juga “dunia waktu”, artinya penggolongan empat dimensi ruang yang
berpola empat penjuru mata angin dengan satu pusat. Hal ini berkaitan dengan
kesadaran manusia akan hubungan yang tidak terpisahkan antara dirinya dengan
alam semesta. Konsep ini menyatakan bahwa pada dasarnya manusia terlahir dengan
membawa hawa nafsu yang bersumber dari dirinya sendiri.
Berdasarkan
pandangan kiblat papat lima pancer,
nafsu yang menjadi dasar karakter manusia dapat dibagi menjadi empat sesuai
dengan arah mata angin, yaitu lauwamah, supiyah, amarah dan mutmainah[23].
Marah kemudian
disimbolkan dengan warna merah dan dletakkan sebagai selatan. Sedangkan Birahi
disimbolkan warna kuning dan diletakkan sebagai Barat. Nafsu makan kemudian
disimbolkan sebagai hitam dan diletakkan sebagai utara. Dan nafsu minum
dilekatkan sebagai warnah putih dan diletakkan sebagai Timur.
Di Masyarakat Melayu
Jambi dikenal mata angina ditandai dengan pengungkapan “matahari hidup”, dan
“matahari mati’. Matahari hidup merupakan pengungkapan arah matahari terbit.
Kemudian dikenal Timur. Sedangkan Matahari mati dikenal sebagai arah matahari
tenggelam. Dikenal sebagai Barat.
Muara air Sungai ke “arah matahari hidup” ditandai dengan
ikan seperti “ikan lais, ikan baung, ikan
toman[24].
Sedangkan Muara air sungai ke “arah
matahari mati” ditandai dengan ikan semah, ikan batok dan ikan gabus[25]
Dalam catatan Endjat Djaenuderadjat dkk didalam bukunya
“Atlas pelabuhan-pelabuhan bersejarah di Indonesia” menyebutkan “angin mati” dan “angin hidup”. Angin hidup adalah
angin dari timur sehingga membawa pelayaran dari Indonesia ke Tiongkok, India,
Persia maupun Ottaman Turki. Sedangkan “angin
mati” adalah angin dari barat ke
arah timur. Putaran masing-masingnya dikenal 6 bulan. Membawa hasil
rempah-rempah kemudian datang membawa sutera, tekstil, mesiu, emas dan keramik[26].
Catatan lain juga menyebutkan “negeri diatas matahari” dengan merujuk
kepada negeri-negeri di Timur. Sedangkan “negeri
dibawah matahari” kemudian merujuk kepada negeri-negeri seperti Tiongkok,
India, Persia dan Ottaman Turki.
Negeri diatas matahari kemudian
dikenal sebagai arah timur. Sedangkan “negeri
dibawah matahari” sebagai arah barat.
Sedangkan punggawa
penjaga negeri juga ditandai dengan arah angin. Di Marga Batin Pengambang dikenal Rio Cekdi
Pemangku Rajo yang bertugas menjaga pintu dari Timur. Dengan wilayahnya Bathin
Pengambang, Batu berugo, Narso. Debalang Sutan yang bertugas menjaga pintu di
sebelah selatan. Dengan wilayah Sekeladi, Guguk tinggi, Tangkui, Padang Baru.
Menti Kusumo yang bertugas menjaga pintu dari Utara. Dengan wilayah Rantau
Jungkai, Renah Kemang, Sungai keradak. Debalang Rajo yang menjaga pintu
dari barat. Dengan wilayah Muara Simpang, narso kecil[27].
Marga Maro Sebo Ulu merupakan
Debalang Raja Jambi. Sebagai Debalang Raja Jambi maka senang disebut sebagai
“Orang Raja. Yang memerintah di Dusun Kembang Seri, Dusun Sungai Rengas dan
Dusun Sungai Ruan[28].
Sebagai Debalang Raja, maka
Dubalang di Teluk Leban bertugas untuk menyambut tamu Raja. Debalang di Rengas
9 bertugas untuk penjaga kebun raja. Sedangkan Dubalang di Peninjauan sebagai
peninjau terhadap kedatangan yang datang ke Marga Maro Sebo Ulu[29].
Sebagai Dubalang Raja juga dikenal
di Marga Pemayung Ulu. Selain menjaga keselamatan Raja, maka Dubalang Raja juga
bertindak untuk “memayung Raja’. Sehingga keselamatan Raja ditentukan sebagai
“orang kepercayaan” untuk menjaga secara fisik[30].
Di Marga Pemayung Ilir dikenal
Debalang Rajo. Berkedudukan di Dusun Kuap. Selain itu juga dikenal “kermit” untuk mengabarkan kampong sebelumnya.
Kermit selain bertugas mengayuh perahu (ngayuh mencalang), kermit juga
“pemayung Rajo”. Kermit bertugas “disuruh pergi. Dipanggil datang’. Melihat
tugasnya maka “Kermit” juga dikenal sebagai “kepak rambai hululang”. “Menjemput
yang tinggal. Mengangkat yang berat[31].
Punggawa
penghubung kerajaan juga dikenal di Marga IX Koto. Didalam
pelarian dengan ditemani “orang kepercayaan” Sultan Thaha Saifuddin, Sultan
Thaha Saifuddin begitu dihormati. Setiap jalur pelarian, Sultan Thaha Saifuddin
diterima dan dikawal dengan disiapkan “julat”. Julat adalah seorang kepercayaan
dari pemimpin dusun di setiap jalur pelarian. Julat kemudian mengawal selama
perjalanan hingga ke tempat berikutnya[32],.
Didalam asal usul keturunan Kalbu
atau kerajaan Yang dua Belas Bangsa Kerajaan Tanah Pilih dikenal nama perisai (Kerajaan
atau kalbu). Dengan tugas, gelar, jabatan dan lokasinya[33].
Dikenal Tumenggung bergelar Paku
Negoro di Tujuh koto Sembilan Koto. Tugasnya Menunggu Rumah Pusaka Sunan Pulau
Johor dan pengawal Kerajaan. Kemudian Pasirah Setio Guno di Betung Bedarah (Petajin).
Tugasnya membuat dan merawat Rumah Raja. Kemudian Sunan Kembang Seri bergelar
Wira Sandika di Kademangan. Tugasnya Penjaga keamanan.
Tumenggung bergelar Puspo
Wijoyo/Pangeran Keromo Yudo di Kampung Gedang dan Tanjung Pasir. Tugasnya
Pengadaan kerbau seekor, kelapa seratus buah, beras seratus gantang serta asam
garamnya jika ada sedekahan atau penobatan Raja. Kemudian Temenggung Suto
Dilago dio Kampung Baru Tanjung Pedalaman Jebus. Tugasnya sebagai panitia
penobatan Raja dan menyediakan keperluan penobatan. Jadi sebelum Raja
dinobatkan, dialah yang dahulu Raja. Sebab dialah yang mengatur semua keperluan
Raja. Maka kemudian digelar juga Rajo. Tugas lain merawat Rumah Raja.
Di Marga Air Hitam dikenal Pasirah
Setio Guno di Lubuk Kepayang. Tugasnya mengambil kayu api an Air. Di Marga Awin
dikenal Penghulu/Pemangku yang bergelar Ngebi Raso Dano. Berpusat di Pulau Kayu
Aro. Tugasnya sebagai pengawal Raja.
Di Muara Pijoan dikenal
Penghulu/Pemangku yang bergelar Ngebi Singo Keti di Kuap. Tugasnya mengawal
Raja. Selain itu juga dikenal Penghulu/pemangku yang bergelar Ngebi Kerti
Diguno di Sekernan. Tugasnya merawat Raja dan membuat kayang untuk Raja. Selain
itu di Sungai Duren dikenal Penghulu/pemangku bergelar Ngebi Suka Dirajo.
Tugasnya menyediakan pengangkutan. Sedangkan di Sarang Burung dikenal
Penghulu/Pemangku yang bergelar Ngebi Singo pati Tambi Yudo. Tugasnya
Memelihara persenjataan.
Dan di Terusan dikenal
Pemangku/penghulu bergelar Jaga Patih Temin Yudo yang bertugas sebagai pengawal
Raja.
III.
PANTANG
LARANG
Masyarakat mengenal
daerah-daerah yang dilindung yang dikenal dengan istilah pantang larang. Daerah
pantang larang kemudian dikenal sebagai daerah lindung atau daerah konservasi
tinggi.
Pantang larang terdiri
atas dua kata “ pantang dan larang”. Pantang berarti tabu, larangan, terlarang,
sedangkan larang adalah mencegah agar sesuatu tidak dilaksanakan, memerintah
untuk meninggalkan. Didalamnya terkandung ungkapan yang diturunkan secara lisan
secara turun-temurun
Sebagai sebuah warisan
dari puyang masyarakat Melayu Jambi, pantang larang menimbulkan hukuman yang
ketat untuk menghormati daerah-daerah tertentu yang disimbolkan dengan pantang
larang.
Pantang larang digunakan oleh Suku Melayu sejak zaman nenek moyang,
karena pantangan dan larangan mampu mengobati penasaran masyarakat. Pantang
larang tersebut sudah menjadi adat bagi suku melayu. Adat adalah kebiasaan.
Adat merupakan warisan leluhur yang diturunkan kepada generasi ke generasi
selanjutnya. Konsep adat yang terdapat dari suku melayu berkaitan dengan,
diantaranya; a) adat sebagai kebiasaan untuk menghormati yang lebih tua., b)
adat yang dikhususkan pada melaksanakan upacara, misalnya perkahwinan., c) adat
yang berkaitan dengan lingkungan yang perlu dihormati dan dilaksanakan dengan ritual-ritual
yang sudah melembaga., d) adat sebagai hukuman kepada masyarakat., e) adat
sebagai adat istiadat dengan berbagai macam perilaku ritual yang ditampilkan
yang dianggap mempunyai nilai magi., f) adat sebagai sistem kelembagaan,
misalnya lembaga keluarga, agama, politik, budaya dan lain-lain[34].
Pantang larang dalam masyarakat memiliki makna yang
sangat dalam. Walaupun pantang larang yang dimiliki oleh masyarakat tetapi
sebagai produk manusia pantang larang dianggap mitos yang diyakini kebenarannya
tetapi tidak dapat dibuktikan. Pantang larang menjadi sebuat adat di masyarakat
yang merupakan khazanah budaya yang mengandung nilai tradisi di masyarakat[35].
Di Marga Batin Pengambang dikenal Seloko seperti “Teluk sakti. Rantau
betuah, Gunung Bedewo adalah daerah-daerah yang memang tidak boleh
dbuka.
Di Desa Batu Empang dikenal[36],
Hulu Air/Kepala Sauk, Rimbo Puyang/RImbo Keramat, Bukit Seruling/Bukit Tandus.
Di Marga Bukit Bulan terdapat PERDES
NAPAL MELINTANG NO. 3 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN ADAT yang mengatur
Hutan Adat di Desa Napal Melintang. Seluas 210 Ha yang terdiri dari Hutan Adat Imbo Pseko terletak di Dusun Napal
Melitang dengan luas 140 Ha dan Hutan Adat Imbo Lembago terletak di Dusun Napal
Melintang dengan luas 70 Ha.
Selain itu juga dikenal
SK BUPATI Sarolangun Nomor 206 Tahun 2010Tentang Pengukuhan Kawasan Hutan Adat
Bukit Bulan “Batin Jo Penghulu, Hutan Adat Bukit Bulan Batin Jo Panghuku seluas
1.368 ha meliputi 5 DesaLubuk Bedorong (441 ha), ang terdiri dari Hutan Adat
Rio Peniti di Dusun Lubuk Bedorong seluas 313 ha, Hutan adat Pengulu Lareh di
Dusun Temalang 128 ha.
Desa
Meribung 461 ha terdiri dari Hutan adat Pangulu Batuah di Dusun Meribung 295
ha, Hutan adat Datu Monti di dusun tinggi 48 ha, Hutan Adat Pangulu sakti Dusun
Sungai Beduri 100 ha dan Rimbo Larangan di Dusun Meribung 18 ha.
Desa
Napal Melintang (210 di Hutan adat Imbo Pseko di Dusun napal melintang 140 ha
dan Hutan Adat Imbo Tembago di Dusun Napal Melintang 70 ha.
Desa
Mersip 158 ha di Hutan adat Datuk Rajo Intan terletak di Dusun Mersip Ulu 80 ha
dan Hutan Adat Datuk Menteri Sati di Dusun Mersip Tengah/Ulu Pangi 78 ha.
Desa Berkum di Bukit
Raya 98 ha. .
Di Marga Batang Asai
tengah dikenal Tempat yang tidak boleh dibuka. Kepala Sauk, bukit gundul, bukit
larangan, dan setiap
hulu sungai[37].
Yang ditandai dengan Seloko “Teluk sakti,
Rantau Betuah. Gunung Bedewo”.
Di Marga Pemayung Ulu dikenal “rimbo
bulian” atau terdapatnya hutan yang memang banyak pohon bulian[38].
Bulian adalah tanaman khas Jambi yang terkenal “kekokohannya”, kebal dari rayap
dan kuat. Sebagian orang juga menyebutkan “kayu besi”. Ada juga menyebutkan
Muara Bulian dengan “Pangkal Bulian.
Di Marga Batin III Ulu dikenal Bukit Bujang Dusun Senamat
ulu Sebagai Hutan Adat dan telah dikukuhkan berdasarkan SK Bupati Kabupaten Bungo nomor 48/HUTBUN Tahun
2009 seluas 223 ha.
Begitu juga di Lubuk
Beringin yang menjaga Ndendang
Hulu Sako – Batang Buat dan Telah
dikukuhkan berdasarkan PERATURAN DUSUN LUBUK Nomor 01 Tahun 2009.
Berbagai Hutan di berbagai
tempat dikenal di Jambi. Di Kabupaten Bungo telah lahir Perda Kab. Bungo No. 3
Tahun 2006 tentang masyarakat hukum Adat Datuk Sinaro Putih. Dan SK Bupati
Bungo No. 1249 tahun 2002 tentang pengukuhan Hutan adat Desa batu kerbau Kec.
Pelepat[39].
Di
Kabupaten Sarolangun Bangko[40]
telah lahir Surat Keputusan (SK) Bupati Kepala Daerah Tingkat II Sarolangun
Bangko No. 225 Tahun 1993 tentang Penetapan Lokasi Hutan Adat Desa Pangkalan
Jambu. Kabupaten Merangin kemudian juga
telah menghasilkan SK Bupati Merangin No. 95 Tahun 2002 tentang pengukuhan
Hutan Adat Rimbo penghulu Depati, SK Bupayi Merangin No. 287 Tahun 2003 tentang
Pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang sebagai hutan adat Desa Guguk kec. Sungai
Manau, SK Bupati Merangin No. 95 Tahun 2002 Tentang Pengukuhan hutan adat Rimbo
Penghulu Depati Gento Rajo Desa Pulau tengah Kec. Jangkat.
Di
samping itu terdapat kebijakan yang mengatur kepentingan masyarakat hukum adat
di Jambi seperti Perda Kab. Merangin No. 22 tahun 2002 tentang pengurusan hutan
dan retribusi hasil hutan yang dalam beberapa pasalnya mengatur mengenai hutan
adat, Perda Kab. Bungo No. 9 Tahun 2007 tentang Penyebutan kepala Desa menjadi
Rio, Desa menjadi Dusun dan Dusun menjadi kampung yang memberlakukan sistem
pemerintahan lokal berdasarkan budaya setempat. Perda Kabupaten Bungo No 30
tahun 2000.
Sementara
itu Sarolangun sendiri sudah menetapkan, kawasan tersebut tercatat ada
sebelas
hutan adat yang sudah diakui pemerintah, yakni hutan adat
Pengulu Laleh (128
ha), hutan adat Rio Peniti (313 ha), hutan adat
Pengulu Patwa (295 ha), hutan
adat Pengulu Sati (100 ha), hutan adat
Rimbo Larangan (18 ha), hutan adat
Bhatin Batuah (98 ha), hutan adat
Paduka
Rajo (80 ha), hutan adat Datuk Menti Sati (78 ha), hutan adat
Datuk Menti (48
ha), hutan adat Imbo Pseko (140 ha), dan hutan adat
Imbo Lembago (70 ha).
Di
Kerinci terdapat Hutan Adat sesuai SK Bupati Kerinci No. 226 Tahun 1993 Tentang
Nenek Limo Hiang Tinggi Nenek Empat Betung Kuning Muara Air Dua, Hutan Adat sesuai SK Bupati Kerinci No. 176
Tahun 1992 Tentang Hutan Temedak, Desa Keluru, Kecamatan Keliling Danau,
Kabupaten Kerinci dan Hutan Adat sesuai SK Bupati Kerinci No. 96 Tahun 1994
Desa Lempur Mudik, Desa Lempur Hilir, Desa Dusun Baru Kelurahan Tengah, Gunung
Raya, Kabupaten Kerinci. Belum lagi hutan adat yang berada di 24 Desa sekitar
TNKS[41].
Di Marga Pelepat
dikenal “Rimbo batuah[42]”.
Rimbo batuah juga dikenal di Marga
Sungai Tenang dengan seloko “rimbo sunyi”, Rimbo keramat di Marga Sumay atau di
Marga Batin Pengambang “teluk sakti
rantau betuah gunung bedewo”.
Di Batu Kerbau dikenal
Hutan lindung batu Kerbau 776 ha, Hutan lindung Belukar Panjang 361 ha, Hutan
Adat Batu Kerbau 330 ha, Hutan Adat Belukar Panjang 472 ha, Hutan Adat Lubuk
Tebat 360 ha sebagai kawasan yang dilindungi[43].
Di Marga Senggrahan
dikenal aturan pengelolaan terhadap hutan adat[44].
Di Desa Lubuk Beringin ditandai dengan “Muaro sungai jambun, Sengak, Bukit
Kemulau tinggi, Bukit Kemulau Rendah, kerenah Rotam Udang, Sungai Keladi dan[45]. Di Desa Lubuk Birah dikenal Aur Cino, Muaro Sei
Meling, Bukit Sulah, Muro Lumpang, Sekeladi, Lubuk Peluncuran Nago, Sungai
Telau, Sungai Paku Aji, Napal Takuk Rajo dan sungai Jambun[46]. Di Desa Durian Rambun dikenal seberang nilo arah sungai gelumpang laju ke dumpen
terus ke sengak[47]..
Di Marga Pangkalan
Jambu desa Biru dikenal “Hulu Sungai Birun Gedang, Sungai Birun Kecik, Hulu Sungai ,
Langeh, dan Seberang Sungai Merangin[48]
Di Marga Sungai Tenang
dikenal berbagai daerah pantang larang. Di Desa Tanjung Mudo dikenal Ulu
Sungai/Rimbo Ganuh, Gunung, lereng sungai Tidak boleh boleh dibuka dan dijaga
untuk anak cucu[49]. Di
Desa Renah Pelaan dikenal hulu sungai batu berdiri, bukit padang dan bukit luncung[50].
Di Desa Muara Madras dikenal “hulu mentung hingga ke muaro sako I sungai madras.
Daerah ini dikenal sebagai Hutan Adat. Dan didaerah Hulu sungai belula, sungai
batudiri, muaro sungai buluh, sungai Batang Asai Gedang, Sungai Tangkui, Bukit
Batu Sembahyang, hulu sako II, mentenang
sungai belula. Dikenal sebagai Hutan Desa[51].
Di Desa Tanjung Dalam dikenal bukit tongkat, sungai maras besar, sungai sebagai
hutan Desa[52]. Di
Koto Tapus (jangkat) dikenal di daerah sungai lirik, sungai mentenang, sungai
tembesi, sungai lintang, peradun batang bukit ranjang, sungai gebu, sungai duo,
sungai tembesi di lubuk cabe[53].
Di Desa Beringin Tinggi dikenal nama tempat “Muara Lubuk Temenyung,
lubuk banyak ikan, Sungai Lasi, Bukit Rejak Buluh Nipih Batang Asai, Lang
Lentik Menari, bukit gambut ke Lubuk Pekak[54].
Di Desa Pematang Pauh dikenal “sungai mayek, sungai lirik, sungai seluang dan
sungai batang asai. Selain itu juga dikenal “hulu sungai mampayang, hulu sungai
mampiul, hulu sungai lirik, hulu sungai mayah dan daerah bukit rungkuk[55].
Di Desa Gedang dikenal
“Rimbo sunyi, Rimbo Berpenghulu, Ulu Sungai/Rimbo Ganuh, Gunung, lereng sungai[56].
Begitu juga di Desa Kotobaru[57],
Desa Tanjung Benuang[58].
Di Desa Tanjung Alam dikenal “Rimbo sunyi, Ulu Sungai/Rimbo Ganuh, Gunung,
lereng sungai, Pinggiran Sungai Lembatang[59].
Di Desa Tanjung Mudo dikenal “hulu Sungai Lembatang yang merupakan daerah
“pantang larang” dari Piagam Depati Duo Menggalo[60].
Di
Marga Peratin Tuo di Desa Tanjung Berugo dikenal “Hutan daerah bukit
sedingin dan gunung masurai. [61].
Selain itu juga dikenal “daerah nilo sensing, sungai sengak, sungai ladi dan
sungai lolo. Di Desa Sungai Pinang dikenal Gua sengayau, pematang bukit, dan
sungai batang sengayau[62].
Di
Marga Renah Pembarap Desa Guguk dikenal Hutan Adat Bukit Tepanggang[63]
Di Marga Senggrahan di Desa Lubuk Beringin
dikenal daerah Batang Nilo, Nilo Dingin, Sungai Sengak dan Renah Rotan Udang[64].
Di Desa Lubuk Birah dikenal juga Batang Nilo, Nilo Dingin, Sungai Buang, muaro
Lumpang, Renah Rotan Udang, pematang pila, hulu sekeladi, hulu Sungai Sumpen
kecik, batang Sengak Muaro Sungai Duo, sungai lumping, Muaro Sungai Lubuk Tubo, Sungai Buang Muaro
Sungai Pandak” [65]. Di Desa Durian
Rambun dikenal Hutan adat sungai gelumpang,
sungai sengak, sungai dempen, renah tembesu, sungai maruk renah rotan udang[66].
Di
Marga Sumay di Desa Pemayungan dikenal hutan keramat yang terletak di Tanah Penggal, Bulian Bedarah, Bukit Selasih, Pasir Embun”[67].
Di Desa Muara Sekalo, pantang larang dikenal di hutan larangan, sialang
pendulangan, lupak pendanauan, beduangan dan tunggul pemarasan[68]
dan Desa Semambu[69]. Di
Desa Suo-suo dikenal “Pantang padan, Bukit Siguntang, Gulun, Tepi Sungai, Sialang Pendulangan, Lupak Pendanauan dan beduangan[70].
Di dusun Semerantihan (dikenal sebagai Talang Mamak) dikenal “Daerah Sungai Menggatal, Kedemitan yang
terletak didalam bukit 30, Sungai Sako, Talang Betung, Sungai Semerantihan,
Sungai Kupang yang terletak di Pemandian gajah, Lubuk Laweh, Sungai Beringin,
Pengian Hilir, Sungai Pauh, Pangian Ulu, Kemumu, Bukit Tambun Tulang, Hutan
Keramat, Lupak Pendanauan, Pinang Belaian, Mendelang, Rimbo Siaga, Rimbo
Lampau-lampau. Nama tempat Sungai Kupang di Pemandian Gajah adalah nama tempat
seluruh satwa di Bukit Tigapuluh sebagai tempat peminuman air. Sehingga tempat
itu harus dilindungi sebagai wilayah konservasi untuk satwa. Bukit Tambun
Tulang terletak di anak Sungai Manggatal atau di Ulu Bukit Tambun Tulang[71].
Nama-nama
tempat yang dihormati dan dilarang untuk dibuka termasuk kedalam kawasan
penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Sehingga terbukti masyarakat
mempunyai cara dan handal menjaga kawasan hutan sehingga tetap menjadi tutupan
hutan yang baik (forest cover).
Di Marga Maro Sebo
Ulu[72]
dan Marga Petajin Ilir di Desa Lubuk Mandarsyah dikenal “Bukit Bakar”[73].
Orang
Rimba Bukit Dua Belas mengenal tempat-tempat yang dihormati. Dikenal sebagai
tempat keramat, untuk menyebut contoh berikut ini, yaitu Tano Peranakon (Tempat orang Rimba
melahirkan putra-putrinya), Tano
Pasoron (Tempat orang rimba menyimpan jenazah anggota keluarga), Tano Terban (Tanah yang terdapat di
sisi-sisi jurang. Dengan sendirinya tanah itu mudah sekali mengalami longsor), Sentubung Budak (Tempat orang Rimba menanam
bali (plasenta), Balo Balai
(Tempat orang Rimba melangsungkan pernikahan), Balo Gajah (Tempat yang dipercaya oleh Orang Rimba
didiami oleh Dewa penguasa hutan (gajah), Inum-inuman
(Mata air yang terdapat dalam hutan), dan Tempelanai
(Tanah yang berbentuk seperti tonjolan-tonjolan).
Selain
itu, dipercaya oleh Orang Rimba sebagai kuburan penguasa hutan, yaitu tempat
tumbuh Sialang (Kawasan
tempat tumbuhnya jenis-jenis pohon yang dijadikan sarang oleh lebah madu),
tempat tumbuh Jernang
(Kawasan tempat tumbuhnya sejenis rotan yang sangat berharga bagi orang rimba,
dan diambil buahnya bukan batangnya), tempat tumbuh buah-buahan (Kawasan tempat
tumbuhnya pohon buah-buahan yang bernilai ekonomi tinggi, tempat tumbuh Tenggiris (Kawasan tempat tumbuhnya
sejenis pohon yang berhasiat sebagai obat-obatan tradisional (berfungsi
mengeraskan ubun-ubun bayi), Jemban Budak (Tempat untuk pertama kalinya bayi
dimandikan), Bendungan atau Tebat (Tempat yang dipercaya oleh Orang Rimba
sering didatangi Dewa-dewa untuk mandi), Tanah Bersejarah (Kawasan yang
dipercaya oleh Orang Rimba memiliki kaitan sejarah dengan kehidupan leluhur
mereka), Payo lebor (Tanah
basah yang banyak ditumbuhi tumbuhan-tumbuhan air. Bisa juga disebut rawa
hutan) [74].
Orang
Rimba menyebut hutan sebagai rumah, dengan mengatakan; “ghimba iyoya ghumah
kamia” (rimba adalah rumah kami)[75].
Di daerah hilir dikenal
Hutan hantu pirau. Terletak di “Payo” atau “payo
dalam”, Suak[76],
Lopak, Lubuk, Danau, rongkat, pematang atau penamaan lain yang diketahui
masyarakat dan menjadi pengetahuan bersama masyarakat. Yang ditandai dengan
“pakis, sak sangkut dan jelutung[77]”. Atau “duo-tigo mata
cangkul”[78]
Istilah “duo – tigo
mato Cangkul” adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan apabila diayunkan
cangkul dua atau tiga kali ayunan ditemukan air maka dikategorikan sebagai
daerah yang tidak boleh dikonversi untuk tanaman selain padi.
Di
Marga Kumpeh daerah Pematang Kapas seperti di Desa Sponjen, Dusun Pulau Tigo[79]
Desa Sponjen dan Kelurahan Tanjung. Di Dusun Pulau Tigo dikenal “Sungai Buayo[80].
Pematang
kapas, pematang Semeleng, Sungai Buayo, Batang Cengal adalah Tempat ikan. Pematang Cengal juga sering
disebut “kasang kering’. Di Kelurahan Tanjung “pematang Semeleng dan Sungai
Buayo adalah daerah Lahan adat[81].
Desa
Sponjen dikenal Daerah yang khusus tempat mencari ikan
seperti Lubuk maratemo, Lubuk Manggis, Lubuk Belanti,
Lubuk
cengal. Daerah untuk pengambilan rumbai seperti Danau gerogol, Sungai Katung,
Sungai bungur kecil, Sungai rengas, Sungai makuang,
Buluran
bugis, Tali gawe, Sungai lais, Matang marajele.
Selain itu dikenal tanah peumoan yang khusus
tanaman padi. Di Sponjen ditandai didaerah Peumoan buluran bugis, Peumoan rimbo, Peumoan rimbo piatu,
Peumoan
buluran labu kayu, Peumoan buluran
lanjang.
Selain itu dikenal petanang. Daerah untuk
tanaman tahunan. Seperti Pematang lebar, Pematang kapas,
Penguloan
panjang, Pematang marajel, Pematang pune[82]
Di Desa Sogo Daerah yang tidak boleh dibuka seperti Lubuk Ikan yaitu
Lubuk Sunge Pening, Lubuk Jama’at, Lubuk Sunge Sogo, Lubuk Sunge Biak, Lubuk Cengal, Lubuk Bebeko, Lubuk Sunge Bemban, Selat Sogo,Sunge
Talang, Pematang Rotan. Tanah peumoan”, yaitu daerah yang dikhususkan untuk penanaman padi tidak
boleh ditanami tanaman lain selain padi, tanah peumoan tersebut seperti Peumoan
Sunge Biak, Peumoan Sunge Sogo, Peumoan Pantai, Peumoan Talang, Peumoan Awa Simpang Medang, Peumoan Selat, Peumoan Dano. Daerah sepanjang
Sogo seperti Sepanjang Sogo Pematang Talang Belubang, Pematang Talang Tanjung, Pematang Talang Bebeko, Pematang Talang Buluran Jeruk
Tipis, Pematang Talang Sunge Bemban, Pematang Talang Parit Putus, Pematang Darat Sogo, Talang Pematang Kapas.
Selain itu daerah
lokasi pandan seperti Darat Sogo, Sunge Sogo, Sunge Biak , Batang Mengkuang, Seberang Olak, Pedak Ampo[83].
Di Desa Sungai Bungur di daerah peumoan seperti
Peumoan Sungai Kerupuk , Peumoan Sungai Nawar, Peumoan Sungai Tejo, Peumoan
Sungai Bungur, Peumoan Sungai Batu, Peumoan Teluk Sungai Duo, Peumoan Lebung
Ipuk-Ipuk, Peumoan Pematang Tepulo, Peumoan Pematang Sirih, Peumoan Pematang
Tepus. Selain itu juga di Sepanjang Sungai Bungur Pematang Tepus, Pematang
Tapulo, Pematang Sirih, Pematang Petar, Pematang Lebar. Daerah Lokasi Pandan
Tapulo, Sungai Kerupuk, Sungai Gunting, Parit. Daerah Lubuk Ikan Lubuk Serapil,
Lubuk Medang, Lubuk Belanti, Lubuk Ujung Tanjung[84].
Di Desa Rukam dikenal Buluran Muning darat, Buluran Muning laut, Lubuk Tapa, Danau Cepedak aek, Danau Gerang, Danau Empang Panjang,
Buluran
Bungin[85]
Di
Marga Tungkal Ulu dikenal di Parit Banol (Sungai Rambai)[86],
Londang (Lumahan)[87],
Kuala Belaga, Simpang Jadam, Air Tenang 4. Bidawang, Lintas Panjang (Daerah
Senyerang ) dan Lintas Senyerang (Daerah Senyerang )(Suak Samin) [88]. Sedangkan di Desa Serdang Jaya yang
dilindungi adalah Hutan Lindung Gambut Bramitam yang terletak di Dusun Sri
Menanti[89].
Di
daerah Tanjung Jabung Timur di Desa Sungai Beras dikenal daerah seperti Ujung Parit Ujung
Sungai Buluh , Ujung Sungai Budaya, Ujung Parit Senang, Ujung Parit Teluk
Pagar, Ujung Parit Lapis Teluk Pagar,
Ujung Sungai Beringin, Ujung Sungai Apok[90]
Selain
mengenal pantang larang terhadap daerah yang dilindungi, masyarakat Melayu
Jambi juga mengenal pantang larang terhadap hewan dan tumbuhan. Di Desa Sunga
Keradak (Sarolangun) mengenal Kepala Sauk, bukit gundul, bukit larangan,
dan setiap hulu sungai yang tidak boleh dibuka. Selain itu juga tanaman yang
tidak boleh ditebang seperti durian, petai, cempedak hutan, kayu sengkawang,
kabau, enau, landor rambai, tampui, mampaung, tayas, manggis, jering (jengkol),
dan baungan. Dan hewan yang tidak boleh diburu seperti Harimau, macan, beruang,
anjing hutan, tapir (tenok), kucing hutan, ungko, siamang, burung gading
(termasuk seluruh burung-burung yang dilarang)[91].
Di
Marga Batang Asai Tengah dikenal Tanaman Yang tidak boleh ditebang. Yaitu
durian, petai, cempedak hutan, kayu
sengkawang, kabau, enau, landor rambai, tampui,
mampaung, tayas, manggis, jering (jengkol), dan baungan.
Hewan yang tidak
boleh dibunuh, diburu. Harimau, macan, beruang, anjing hutan, tapir
(tenok), kucing hutan,
ungko, siamang, burung gading (termasuk seluruh burung-burung yang dilarang) [92].
Tanaman yang menghasilkan seperti
Pohon Durian, pohon embacang, pohon rambutan tidak boleh dipanjat[93].
Begitu juga di Desa Kotobaru “Harimau, gajah dan badak dilarang diburu dan dibunuh. Tanaman yang menghasilkan
seperti Pohon Durian, Pohon petai, pohon jengkol tidak boleh[94], Desa Tanjung Benuang[95].
Di Desa Tanjung Alam dikenal “Pohon Durian, pohon embacang tidak boleh
dipanjat. Ikan tidak boleh diracun. Burung gagak tidak boleh diambil[96].
Di
Marga Jujuhan dilkenal pantang larang yang disebut kesalahan “memanjat langsat larangan”. Langsat
adalah istilah lain dari tanaman duku. Tanaman duku dan durian sama sekali
tidak boleh dipanjat. Namun duku boleh “dijuluk”,
diambil dengan menggunakan kayu yang panjang[97].
Sedangkan Di Desa Baru Pelepat,
Desa Batu Kerbau dan Dusun Lubuk Telau pengambilan ikan disungai hanya boleh dilakukan
dengan cara menjala, memancing, pukat, menauh, nyukam, nembak, najur, nagang,
lukah[98]
Di
Marga Sungai Tenang dikenal Hukum Patanahan dan Hukum Rimbo. Hukum Rimbo
mengatur tentang (1) Keayek samo diperikan,
kedarat sama di perotan. Setiap penduduk dusun memiliki hak atas tanah adat
untuk dimanfaatkan. (2) Beladang jauh.
Penduduk luar dusun yang berumo beladang
dianggap Beladang Jauh, yang hanya memilki hak
pakai terhadap tanah adat. (3) Wenang pilih artinya prioritas hak
kepemilihan. (4) Hutan atau Rimbo
yang dilarang dibuka dalam wilayah dusun.
(5) Nutuh Kepayang Nubo Tepian artinya dilarang melakukan sumberdaya alam yang merupakan sumberdaya
alam yang bermanfaat bagi orang banyak. (6) Dendang kayu batakuk baris, dendang hutan
besawa sulo[99].
Nutuh
Kepayang Nubo Tepian artinya
dilarang menebang kayu dihutan yang bermanfaat bagi orang banyak dan mahkluk
lain seperti : Kayu yang berbuah (embacang, pauh, petai, kepayang) dan kayu
yang berbuah yang buahnya dimakan oleh burung-burung. Dilarang menebang kayu
tempat bersarangya swowalang (lebah hutan yang mengahasilkan madu). Petai
dak boleh ditutuh, durian dak boleh dipanjat artinya mengambil buah petai dilarang memotong
dahannya, mengambil buah durian dilarang memanjatnya dan menggugurkan buah yang
belum masak.
Dilarang menubo (meracun) dan menyentrum ikan di sungai.
Di
Marga Senggrahan dikenal aturan pengelolaan terhadap hutan adat[100], adanya larangan untuk mengambil buah-buahan dengan menebang dan merusak pohonnya dikenai sanksi 1
ekor kambing, 20 gantang beras, 20 buah kelapa dan selemak semanisnya.
Di
Marga Sumay di Desa Pemayungan, pohon sialang tidak boleh ditebang. Dikenal
dengan istilah “Membuka pebalaian”. Sanksinya cukup keras
dengan hukuman “Kain putih 100 kayu,
kerbau sekok, beras 100 gantang, kelapa 100 butir, selemak semanis seasam
segaram dan ditambah denda Rp. 30 juta, kayu diserahkan kepada Desa[101].
Selain pohon sialang yang dilarang untuk ditebang, pohon durian, duku, bedaro
dan manggis juga tidak boleh ditebang. Sanksinya adalah kerbau sekok, beras 100
gantang, kelapo 100 butir dan selemak
semanis. Begitu juga di Desa Muara Sekalo[102]
dan Di Desa Suo-suo “Pohon yang tidak boleh ditebang Pohon Sialang, Pohon Durian, Pohon Duku,
Pohon Petai[103]. Di Dusun Simarantihan mereka menghormati
Harimau yang dianggap sebagai saudara yang melindungi Desa. Beruang sebagai
hewan peliharaan. Selain itu juga mereka menghormati pohon-pohon yang tidak
boleh ditebang. Seperti pohon bulian, pohon durian, pohon duku, pohon macang
dan pohon manggis, pohon sirih dan pohon gambir dan pohon rambutan.
Sebagai masyarakat yang
menjunjung dan menghormati hutan, masyarakat juga mengenal tatacara didalam
mengelola sumber daya alam. Di Talang Mamak Istilah seperti Langsat-durandan, Manggis-Manggupo,
Durian-Kepayang, Sialang-Pendulangan, Sesap-Belukar, Suak-Sungai, Lupai
Pendanauan[104].
Lupak merupakan danau
yang tercipta dengan sendirinya dari proses alam. Sedangkan pendanauan adalah genangan air
berupa danau. Sesap adalah belukar yang baru ditinggalkan. Sedangkan belukar adalah semak yang sudah lama
ditinggalkan namun masih terdapat tanaman tua seperti durian, macang, jengkol.
Peninggalan dari “puyang’.
Sialang adalah pohon
yang terdapat lebah untuk menghasilkan madu. Sedangkan pendulangan, pohon yang
terdapat lebah namun pohonnya terdapat di hutan.
Manggis adalah tanaman
yang ditanami. Sedangkan Manggupo adalah tanaman manggis yang tumbuh sendiri di
hutan.
Selain itu dikenal
istilah Titak Tikal Embang. Titak adalah pohon yang sekali ditebang langsung
putus. Tikal adalah pohon yang direbahkan. Sedangkan Embang adalah bekas
belukar. Belukar adalah tanah yang sudah dibuka namun kemudian ditinggalkan.
Begitu
juga SAD “Dilarang menebang pohon-pohon tertentu yang dianggap keramat seperti
sentubung atau tenggeris serta pohon warisan seperti durian atau sialang,
termasuk juga larangan memakan buah-buahan atau hewan tertentu bagi laki-laki
saja, atau perempuan saja.
Di
Marga Kumpeh Ulu dikenal Pudak. Pudak adalah sebangsa tumbuh-tumbuhan yaitu
sebangsa Pandan yang berduri tapam pada pinggir kiri dan kanan daunnya. Pandan
berduri kemudian disebutkan Pudak. Pudak dibutuhkan masyarakat untuk membuat
barang ke humo. Daunnya berguna. Duri daun untuk penangkal berang-berang dan
tikus di sawah[105].
Di
Marga Kumpeh ilir “Pohon yang tidak boleh ditebang yaitu pohon sialang (pohon
yang lebahnya),
Pohon kemang, pohon durian, pohon duku, pohon jengkol, pohol manggis dan pohon
rambutan[106].
Seperti di Desa Sponjen[107],
Desa Sogo[108] dan Desa Sungai
Bungur[109].
Di
Desa Sungai Beras tanaman yang dilindungi adalah Punak, Meranti, Simpur, Balam, Medang, Rengas, Jelutung, Pulai, Parak, Ramin,
Geronggang, Kelat, Kempas, Malas. Sedangkan Hewan Yang Dilindungi Beruang,
Harimau, Tempalo, Landak, Teringgiling, Burung Rangkok, Monyet, uwak-uwak ,
Ular, Burung cicak hijau, Ayam hutan.[110]
IV.
PENAMAAN
DESA
a.
SUNGAI
Membicarakan Jambi tidak dapat
dilepaskan dari Sungai Batanghari. Sungai
Batang Hari merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari, yang
terdiri atas beberapa sub DAS seperti Sub DAS Batang Tembesi, Sub DAS Jujuhan,
Sub DAS Batang Tebo , Sub DAS Batang Tabir, Sub
DAS Tungkal dan Mendahara, Sub DAS Air Hitam, Sub DAS Airdikit, Sub DAS Banyulincir. Namun ada juga
menyebutkan Batang Asai, Batang Tembesi,
Batang Merangin, Batang Tabir, Batang Tebo, Batang Sumay, Batang Bungo, dan
Batang Suliti.
Aliran
Sungai Batanghari dan anak-anak sungainya dapat dilayari sepanjang 3.224 km
dengan lebar 50-65 meter. Kedalaman alur pelayaran antara 1-10 meter. Sekitar
95 % ekspor Jambi setiap tahunnya diangkut melalui Sungai Batanghari. Disamping
itu, bahan bakar minyak. Disamping itu, bahan bakar minyak, bahan kebutuhan dan
muatan umum lainnya diangkut dan didatangkan ke Jambi melalui Sungai
Batanghari.
Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang
Hari merupakan DAS terbesar kedua di Indonesia, mencakup luas areal tangkapan (catchment area) ± 4.9 juta Ha.
Sekitar 76 % DAS Batang Hari berada pada provinsi Jambi, sisanya berada pada
provinsi Sumatera Barat.
DAS Batang Hari juga berasal dari
berada di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT). Di Landscape
TNBT terdapat Margo Sumay, Marga IX Koto, Marga VII Koto dan Marga Tungkal Ulu.
Hulu Sungai Batanghari juga berasal
dari TNKS. Bermuara ke Batang Tembesi, ke Batang Merangin, ke Batang Bungo
bahkan juga mengairi batang tebo.
Muara Sungai dari TNKS terdapat
Margo Batin Pengambang, Marga Batang Asai, Datuk Nan Tigo, Marga Bukit Bulan
(Sarolangun) dan Seluruh Marga di Bangko. Termasuk juga mengairi sungai di
Marga Batin III Ulu, Marga Pelepat (Bungo).
Hulu Sungai Batanghari juga berasal
dari di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Marga Air Hitam dan Kawasan Orang
Rimba di Makekal merupakan kehidupan masyarakat yang hulu sungai berasal dari
Taman Nasional Bukit 12.
Sungai Batanghari merupakan muara
dari sembilan hulu anak sungai (Sungai-sungai
besar yang merupakan anak Sungai Batanghari adalah Batang Asai, Batang Tembesi,
Batang Merangin, Batang Tabir, Batang Tebo, Batang Sumay, Batang Bungo, dan
Batang Suliti.
Ada juga
menyebutkan 9 hulu anak Sungai Batanghari yaitu Batang Asai, Batang
Tembesi, Batang Merangin, Batang Tebo, Batang Bungo, Batang Jujuhan, Batang
Sumay, Batang Tabir, Batang Pelepat.
Sungai kemudian dikenal dengna
dialek “batang’. Sehingga Sungai Batanghari kemudian dikenal dengan 9 hulu anak
Sungai Batanghari yaitu Batang Asai, Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang
Tebo, Batang Bungo, Batang Jujuhan, Batang Sumay, Batang Tabir, Batang Pelepat.
Dan itu terpatri di “terpahat di tiang panjang yang terlukis di bendul jati” yang bernamakan
”Sepucuk Jambi sembilan lurah”.
Keberadaan masyarakat dengan sungai
baik dilihat dari pendekatan ekonomi, politik, hukum dan social budaya.
Sungai adalah penanda, batas dan
identitas sebagai keberadaan masyarakat di Jambi. Dengan sungai kemudian
menghubungkan antara kampong, dusun bahkan antara satu dusun dengna dusun yang
lain.
Sebagai identitas, Sungai Batanghari
telah dicatat oleh F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar[111],
didalam bukunya De Jambi, menulis “Masyarakat
hukum yang bermukim di Jambi Hulu, yaitu Onderafdeeling Muarabungo, Bungo,
Sarolangun dan sebagian dari Muara Tebo dan Muara Tembesi. Belum lagi berbagai
laporan Pemerintahan Belanda.
Berdasarkan peta Pemerintah Belanda
tahun 1923 “Schetskaart Residentie Djambi Adatgemeenschappen (Marga's)
schaal 1 : 750.000, Wilayah Jambi kemudian dibagi menjadi Marga[112],
Batin dan Mendapo.
Di Jambi sendiri, penetapan Marga
berdasarkan Inlandshce Gemeente Ordonatie vor Buitengewestten (I.G.O.B) tahun
1937[113].
Ada juga menyebutkan berdasarkan Ordonasi Desa 1906.
Didalam dokumen-dokumen
Belanda wilayah Jambi sebagai bagian dari kekuasaan Belanda dapat dilihat pada
Peta Belanda seperti Schetkaart Residentie Djambi Adatgemeenschappen (Marga’s),
Tahun 1910, Skala 1:750.000, Schetskaart Van de Residentie Djambi, Tahun 1906,
Skala 1 : 500.000, Schetskaart Van de Residentie Djambi, Bewerkt door het
Encyclopaedisch Bureau 1922 – 1923, Skala 1 : 750.000, Automobielkaart van Zuid
Sumatra Samengesteld en Uitgegeven door Koniklijke , Vereenging Java Motor
Club, Tahun 1929, Skala 1 : 1.500.000, Economical MAP of The island Of Sumatra,
Gold and silver, Tahun 1923, Skala 1 : 1.650.000, Verkeers en Overzichtskaart
van het eiland Sumatra, Tahun 1929, Skala 1.650.000, dan Kaart van het eiland
Sumatra, Tahun 1909, Skala 1 : 2.000.000, Aangevende de ligging Der
Erfachtsperceelen en Landbrouwconcessies Of Sumatra, Tahun 1914, Skala 1 :
2.000.000 telah jelas menerangkan posisi Residentie Jambi.
Berdasarkan peta
Schetkaart Resindentie Djambi Adatgemeenschappen (Marga’s), Tahun 1910, maka
daerah-daerah di Jambi telah dibagi berdasarkan Margo.
Marga terletak di hulu
Sungai Batanghari. F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar dalam karya klasiknya “De
Djambi” menuliskannya ““di daerah hulu
Sungai Batanghari, masyarakat mengenal dusun sebagai pemerintahan terendah
(village government). Dusun terdiri dari beberapa kampung, Mengepalai Kepala
Dusun adalah Depati. Dibawah Depati adalah Mangku. Dusun-dusun kemudian menjadi
Margo. Pembagian kekuasaan dalam negeri atau dusun di daerah hulu adalah bathin
dengan gelar Rio, Rio Depati atau Depati, di daerah hilir penguasanya adalah
Penghulu atau Mangku dibantu oleh seorang Menti (penyiar, tukang memberi
pengumuman).
Seperti Margo Batin Pengambang, Margo Batang
Asai, Cerminan Nan Gedang, Datoek Nan Tigo. Sedangkan di Merangin dikenal Luak
XVI yang terdiri dari Margo Serampas, Margo Sungai Tenang, Margo Peratin Tuo,
Margo Tiang Pumpung, Margo Renah Pembarap dan Margo Sanggrahan. Sedangkan Di
Tebo dikenal dengan Margo Sumay. Batanghari Margo Petajin Ulu, Margo Petajin
Ilir, Margo Marosebo, Kembang Paseban. Sedangkan di Muara Jambi dikenal Margo
Koempeh Ilir dan Koempeh Ulu, Jambi Kecil. Di Tanjabbar dikenal dengan Margo
Toengkal ilir, Toengkar Ulu. Dan di Tanjabtim dikenal Margo Berbak, Margo
Dendang Sabak.
Marga (margo) menjadi identitas yang
khas sebagai perwujudan persekutuan masyarakat adat (rechtsgemeenshap). Namun berbeda dengan
Marga seperti di Batak dan Minang yang berasal dari factor geneologis. Marga di
wilayah Jambi berasal dari factor pertumbuhan persekutuan hukum territorial[114].
Selain Margo juga dikenal Batin[115], Seperti Batin II Ulu,
III Hoeloe (Hulu), Batin IV, Batin V, Batin VII, Batin IX Hilir, Batin VIII dan
Batin XIV.
Batin kemudian terletak di daerah
perlindatasan jalur perdagangan. Sehingga tidak salah kemudian, batin merupakan
suku penghulu atau pendatang.
Selain Marga dan Batin, di Kerinci
dikenal Mendapo. Ulu Rozok “Kitab Tanjung Tanah” menyebutkan “Konfederasi kampong yang disebut mendapo
yang pada umumnya terdiri atas sejumlah kampung yang berasal dari satu kampung
induk masih tetap menjadi kesatuan pemerintahan yang terbesar di Kerinci.
Setelah kita mengenal sedikit
mengenai Marga, Batin dan Mendapo, maka terhadap masing-masing persekutuan
masyarakat adat (rechtsgemeenshap) maka kemudian mengenal
nama-nama sungai.
Di
Marga Batin Pengambang dikenal Sungai Narso, Sungai Keradak dan Sungai
Tangkui dikenal masyarakat. Sedangkan penghubung antara Marga Batin Pengambang
dikenal Sungai Keradak dan Sungai Tangkui. Baik Sungai Tangkui kecil dan Sungai
Tangkui[116].
Di Marga Sungai Tenang dikenal “anak
Batang Tembesi” seperti Sungai Kandis, Sungai Lembatang, Sungai Matang Duo[117].
Keduanya kemudian bertemu di Batang
Tembesi yang kemudian bermuara di Muara Tembesi dan menjadi Batang Hari.
Di Marga Sumay dikenal “anak Batang
Sumay” seperti Sungai Rambutan, Sungai Karang[118]
atau Sungai Menggatal di Simarantihan Talang Mamak[119]
Di Marga Pelepat selain dikenal
Batang Pelepat juga dikenal Batang Senamat[120]
Sedangkan Batang Jujuhan dikenal di
Marga Jujuhan.[121]
Di Marga Jujuhan dikenal nama tempat di Sungai Sarot yang merupakan akar yang berjalin-jalin.
Sungai Sarot kemudian dikenal sebagai “anak sungai yang menyongsong induk”.
Makna “anak sungai menyongsong induk” adalah pertemuan anak Sungai dengan alur
hulu Sungai Batanghari dari Damasraya. Sehingga “anak sungai menyongsong induk”
kemudian diartikan sebagai pertemuan anak sungai dengan “membelah” Sungai
Batanghari dan kemudian “mengilir” ke Sungai Batanghari (mengikuti alur sungai
Batanghari).
Pertemuan
antara anak Sungai Sarot dengan Sungai Batanghari dari Hulu Damasraya kemudian
dikenal “Jumpa”. Namun dialek kemudian menjadi “Jumbak”. Tempat ini kemudian
dapat dilihat di Dusun Jumbak[122].
Di Marga V Bangko dikenal Dusun Muara Jernih terletak di dekat Sungai
Jernih[123].
Marga
Sungai Tenang[124]
terletak didataran tinggi Merangin[125].
Kata “sungai Tenang” menunjukkan nama
Sungai didalam Marga Sungai Tenang. Kata “tenang”
berasal dari kata “mentenang” yaitu
menunjuk sifat Sungai yang airnya tenang. Begitu juga kata “menderas” menunjukkan sifat sungai yang
airnya “deras”. Menderas kemudian
menjadi nama desa “Muara Madras”. Marga
Sungai Tenang berpusat di Jangkat. Jangkat sering juga disebutkan “Koto Tapus”.
Jangkat berarti “akar yang besar”.
Dalam
catatan berbagai literature kemudian menyebutkan “Sungai Tenang” dengan kata “Soengei
Tenang”. Sebuah penulisan berdasarkan dialek local penyebutan “Sungai
Tenang”. Lihat Proceedings of the Royal
Geographical Society and Monthly Record of Geography, Volume 1”[126],
“Gazetteer Of the World, Dictionary of Geographical Knowledge, Dublin, 1856”[127],
Didalam laporan Pieter Anthonie Lith “Nederlandsch Oost-Indië: beschreven en
afgebeeld voor het Nederlandsche volk, Volume 3 , Nederlansch Oost-Indie :
Beschreven en Afgebeeld voor het Nederlansche volk[128],
Hollander didalam bukunya “Aardrijksbeschrijkving
van Nederlandsch Oost-Indie menyebutkan Serampei “Kerinci dapat dilihat dari Sungai Tenang, Serampas, Batang Asai dan
Limun. Dari Barat dan Selatan dari Jambi, terletak wilayah Serampei. Wilayah
Serampei merupakan wilayah yang otonom[129] , P. J. Veth didalam bukunya “Aardijkskundig
en statitsch, woordenboek van Nederlandsch Indie, Bewerkt naar de Jongste en
Beste Berigten,[130], Didalam bukunya De Gids, Dertiende Jaargang, Niewune serie,
Tweede Jaargang[131],
De M. Malte-Brun didalam bukunya
Diccionario – Geografico Universal[132]
Begitu juga di Suku anak Dalam
menyebutkan “Dari Sungai Bulian bernama Lubuk Talang, Belukar Pinang, ke Rimbo
Bulian, Penantian Sago, Sungai Rengas, Payo rotan duduk, Pulau Selaman, meniti
pematang Bayas, Pematang Salak, Sungai Kuro Betino, Pematang Gambir, Ulu Sungai
Rengas, Sungai Pematung Bedarah, Bukit Tembesu, Jebak dan Sungai Rengas Ii,
Muara Pelajo Bujang, Hutan Sago, Tanggeris Jangga, Sungai Pandan, Bakal Ruyung,
Ibul Genting, Tayas Bungkuk, Serdan, Patal, Mengala, Sei Badak, Sei Lalan Lubuk
Udang, Lubuk Tadau, Merkandang, Bayas Gantung, Kendi, Danau Masuli, Mendak,
Penukal, Sei Hantu dan Lubuk Belang, Kesemuanya ini di sebut tanah watas Suku
Anak Dalam dari cucu Raden Nagasari.
Sehingga bertempat tinggal di Sungai
Bahar, Sungai Jebak, Sungai Jangga, Sungai Bulian / Semak, Sungai Sekisak (Si
Lisak), Sungai Sekamis, Sungai Burung Hantu (Sungai Pemayung), Sungai Penerokan
dan Sungai Merkanding.
Begitu juga dengan Kelompok
Pengendum yang tidak dapat dilepaskan dari Sungai Kejasung (baik Kejasung Besar
maupun Kejasung Kecil), Sungai Makekal (Makekal Ulu dan Makelal Hilir)[133]
Pengendum tidak dapat dilepaskan
dari kisah heroic dan kemudian difilmkan dengan judul “Butet”. Film yang
mengisahkan guru pendamping SAD di Bukit 12. Butet juga meraih Penghargaan
Roman Magsaysay Award 2014
Penghormatan terhadap sungai
ditandai dengan menjaga yang ditandai dengan istilah “Kepala sauk”. “Kepala
sauk” tidak boleh dibuka yang dikenal sebagai “pantang larang”. Sehingga yang
dilanggar mendapatkan sanksi “sanksi Guling Batang berupa Kambing sekok, beras 20
gantang, kelapa, selemak semanis[134]
Bahkan Sultan Thaha Saifuddin
berhasil menyerbu markas Belanda di Muaro Kumpeh.
Pasukan Belanda dan dibawah pimpinan Mayor Van Langen kemudian dikalahkan.
Walaupun Belanda didukung oleh 30 buah kapal perang dan 800 personil serdadu
Belanda pada 25 September 1858[135]
Sungai
Kumpeh juga merupakan Sungai yang menghubungkan antara Marga Kumpeh Hilir,
Marga Kumpeh Ulu dan Marga Jebus[136]
Belanda
juga menggunakan Sungai Batanghari kemudian mengejar Sultan Thaha dan kemudian
mengepung sehingga Sultan Thaha Saifuddin
tertembak tahun 1904[137].
Sungai
adalah identitas dan penanda. Didalam penyebutan nama-nama tempat dan
kewilayahan (tata ruang) yang biasa disebut “Tembo”[138]
sering diungkapkan seperti “dari ulu
sungai..”. Atau “Melayang sungai.. “.
Kata-kata “dari” sungai..” adalah
penanda batas wilayah. Sedangkan “melayang”
diartikan sebagai “menyeberang”
sungai. Sehingga nama sungai disebutkan maka sungai yang disebutkan termasuk
kedalam wilayah dusun yang disebutkan didalam tembo.
Sungai
sebagai identitas dan penunjuk arah, Arah matahari hidup ditandai dengan
istilah “matahari hidup” dan “matahari mati”. Muara air Sungai ke “arah matahari hidup” ditandai dengan
ikan seperti “ikan lais, ikan baung, ikan
toman”[139].
Sedangkan Muara air sungai ke “arah matahari mati” ditandai dengan ikan
semah, ikan batok dan ikan gabus[140]
Sebagai
identitas, jalur sungai merupakan jalur migrasi masyarakat yang kemudian
melintasi berbagai lintasan Propinsi. Misalnya Orang Sungai Ipuh mengaku
sebagai “keturunan Serampas”. Puyang mereka berasal dari Serampas dan kemudian
mengilir Sungai Ipuh dan kemudian berdiam di Sungai Ipuh. Sedangkan Serampas
sendiri menyebutknya sebagai “Orang Lembak[141].
Dalam hubungan kekerabatan, Orang
Sungai ipuh termasuk kedalam struktur Pemerintahan dalam Marga 5 Koto. Marga 5
Koto terdiri dari Dusun Pondok Siding, Lubuk Cabau sebagai pusat Margo, Tras
Terunjang, Sungai Jerinjing dan Sungai Cambu yang kemudian dikenal menjadi
tempat dan bernama Penarik.
Sebagai pendatang, Orang Sungai Ipuh
menghadap Tuanku Rajo di Muko-muko[142]
Raja di Muko-muko kemudian
memberikan “kekuasaan otonom” dengan menempatkan Sungai Ipuh didalam Marga 5
Koto namun dengan kekuasaan yang otonom. Didalam Sungai Ipuh kemudian 3 kaum
yaitu 3 Luak yang terdiri Depati Empat, Depati Enam Dan Suka Rajo.
Cerita rakyat (Tembo) yang terdapat
di Marga Sumay yang mengaku berasal dari keturunan “Datuk Perpatih Penyiang
Rantau”. Berakit kulim bertimbo lokar[143]
menuju
batang sumay, dan selama satu bulan mengarungi sungai bulan hingga ke lubuk
sungai bulan,dan dinamakanlah daerah lubuk yang disinggahi tersebut dengan
dusun muaro bulan dan sungai tersebut dengan sungai bulan karena datuk patih
menyusuri sungai tersebut selama 1 bulan untuk menuju ke desa
pemayungan(sekarang)[144]
Sebagai
identitas, Penamaan Sungai juga ditandai dengan nama tempat Desa. Seperti
Sungai Pinang, SUngai Arang, Sungai Kerjan, Sungai Mengkuang, Sungai Binjai
(Bungo), Sungai Keruh, Sungai Rambai, Sungai Jernih (Tebo), Sungai Rengas,
Sungai Terap, Sungai Aur, Sungai Bungur,
Sungai Bahar, Sungai Gelam, Sungai Bertam (Muara Jambi), Sungai Manau,
Sungai Lisai[145],
Sungai Putih (Bangko).
Margo
Sumay adalah penduduk yang bermukim di sepanjang Sungai Sumay[146].
Kelompok
Batin Sembilan yang mendiami 9 daerah aliran sungai (Sungai Jebak, Jangga,
Bahar, Bulian / Semak), Sekisak, Sekamis, Burung Hantu / sungai Pemayung,
Pemusiran dan sungai Singoan). Wilayah penyebaran 9 daerah aliran sungai ini
termasuk wilayah dengan topografi dataran rendah. Dan karena mereka hidup
menyebar di 9 daerah aliran sungai seperti tersebut di atas maka mereka juga
sering menyebut dirinya sebagai kelompok Orang Dalam yang termasuk Batin
Sembilan.
Wilayah
kekuasaan Suku Anak Dalam yang dikenal dengan nama “Sembilan Batin”[147],
dengan mengikuti penamaan sungai; Batin Singoan di Sungai Singoan, Batin Bulian
di Sungai Bulian, Batin Bahar di Sungai Bahar, Batin Jebak di Sungai Jebak,
Batin Jangga di Sungai Jangga, Batin Pemusiran di Sungai Pemusiran, Batin
Burung Antu di Sungai Burung Antu, Batin Selisak di Sungai Selisak dan Bathin
Sekamis di Sungai Sekamis[148].
Di
Marga batin III Ilir dikenal Sungai Pinang, Kelurahan Sungai
Kerjan, Dusun Sungai Arang,
Sungai merupakan “urat nadi”
perekonomian. Merupakan jalur perdagangan yang digunakan hingga akhir tahun
1990-an sebelum illegal logging marak dengan kemudian menyebabkan pendangkalan
Sungai Batanghari.
Selain itu pergeseran kebijakan orde
baru yang memindahkan jalur sungai ke jalan raya dalam distribusi ekonomi
menyebabkan pergeseran pola perpindahan penduduk dari Sungai menjadi bermukim
di pinggir Jalan.
“Jejak” Sungai masih dilihat dengan
menyusuri perjalanan sungai Batanghari. Setiap desa yang berada di pinggir
sungai terdapat dusun-dusun tua yang ditandai dengan rumah-rumah panggung.
Melihat rangkaian yang telah
diuraikan maka terbukti sungai merupakan “identitas” dan “jalur ekonomi” dan
menghubungkan antara desa satu dengan desa lain maupun antara satu marga dengan
marga yang lain.
Sungai yang membentang dari hulu sampai hilir Jambi adalah sungai
Batanghari. Sungai ini merupakan jalur penting bagi pelayaran perdagangan dan
bukti mengetahui peradaban yang ada di pedalaman Jambi. Lain daripada itu,
sungai Batanghari merupakan jalur pelayaran dan perdagangan terpenting bagi
masyarakat Jambi. Ia memiliki peranan penting dalam budaya, ekonomi, dan
politik Jambi dengan banyaknya pendatang yang menggunakannya sebagai jalur
untuk bisa keluar-masuk ke pedalaman Jambi.
Dengan memiliki sungai yang panjangnya dari hulu (Sijunjung) langsung
bermuara ke laut timur Sumatera (Tanjung Jabung) dan langsung bertemu dengan
selat-selat penting di pantai timur Sumatera[149].
Sungai Batanghari bermuara di Tanjung Jabung Timur dan langsung bertemu
dengan Selat Berhala, Selat Karimata, laut Natuna, dan Selat Malaka[150].
Selat dan laut ini merupakan jalur pelayaran yang penting karena menghubungkan
pelayaran dan perdagangan Asia. Selat Malaka yang menjadi jalur pusat lalu
lintas pelayaran perdagangan internasional karena posisinya yang menghubungkan
dengan perairan Asia TImur – Asia Tenggara – Asia Barat atau sebaliknya[151].
Sedangkan Prof. Slamet Muljana dan beberapa ilmuan lainnya lebih
cenderung berkesimpulan bahwa Jambi adalah pusat Kerajaan Sriwijaya
dibandingkan Palembang yang ‘diakui’ secara resmi hingga saat ini. Oleh karena
itu, beragam kekuatan yang membentuk kerajaan muncul di wilayah Jambi, dimana
catatan sejarah memulainya dengan adanya Koying, Tupo dan Kantoli dalam periode
Melayu Kuno di abad ke-3 sampai abad ke-5 Masehi[152].
b.
PULAU
Selain sungai sebagai
penanda dan penamaan berbagai Dusun-dusun di Jambi, dikenal juga Pulau.
Di Marga Batin III Ilir
dikenal Dusun Pulau Pandan. Di Marga Marga Jujuhan terdapat Dusun Pulau Batu
dan Pulau Jelmu. Marga Batin V terdapat Dusun Pulau Aro[153].
Marga
IX Ulu terdapat Dusun Pulau Rengas ,
Pulau Kuamang, Pulau Senarat (Darat), Pulau Tigo dan Dusun Pulau Piul. Marga IX Ilir Terdapat
Pulau Lancak.
Di Marga Sungai Tenang dikenal Pulau Tengah. Di Marga Datuk
Nan Tigo dikenal Dusun Pulau Pandan.
Selain itu juga dikenal kampong Pulau Pandan. Di Marga Batin Pengambang dikenal
Pulau
Langsat. Di Marga Pelawan dikenal Dusun
Pulau Aro. DI Marga Kumpeh dikenal Pulau Tigo. Di Marga IX Koto dikenal Pulau Tedung, Pulau Puro dan Pulau Temiang. Di Marga VII Koto juga dikenal Pulau
Indah. Di Marga Tungkal ulu dikenal
Dusun Pulau Pauh. Di Marga Jujuhan dikenal Lubuk Tenam. Di Marga batin III Ilir
dikenal Pulau Pekan.
c.
LUBUK
Penamaan Lubuk juga
dikenal dengan penamaan Dusun. Di Marga Senggrahan dikenal Lubuk Beringin dan
Lubuk Birah. Penamaan Lubuk Beringin dikenal didalam Marga Batin III Ulu. Di
Marga Batin III Ilir dikenal Lubuk Rasam. Batin II Babeko di Lubuk Kulim di
Danau di daerah Tanjung Menanti dan
Lubuk Benteng.
Di Marga Pelepat
dikenal Lubuk Tebat dan Dusun Lubuk Telau. Di Marga Batin IX Ulu dan Marga batin IX Ilir dikenal
Lubuk
Genok sebagai penanda batas marga[154]
Bahkan penamaan Lubuk terdapat Marga Lubuk Gaung. Di Marga
pangkalan Jambu dikenal Lubuk
tanjung di Sungai Jerinjing. Di Marga Serampas dikenal Lubuk Mentilin[155].
Di Pungguk 9 (Marga
Sungai Tenang) Dusun Lubuk Pungguk. Sedangkan di Desa Tanjung Benuang (Koto X
Marga Sungai Tenang) dikenal tembo “lubuk merah dan lubuk panjang bawah betung
sungai tembesi [156]
Begitu juga Tembo Durian Rambun (Marga Senggrahan) yang
menyebutkan “lubuk tubo dan lubuk peluncuran nago[157]
Di Sponjen dikenal Lubuk
maratemo,
Lubuk Manggis, Lubuk Belanti, Lubuk cengal, Lubuk Sunge Pening, Lubuk Jama’at, Lubuk Sunge Sogo, Lubuk Sunge Biak, Lubuk Cengal, Lubuk Bebeko, Lubuk Sunge Bemban[158].
Di Sogo dikenal Lubuk Sunge Pening, Lubuk Jama’at, Lubuk Sunge Sogo, Lubuk Sunge Biak, Lubuk Cengal, Lubuk Bebek, Lubuk Sunge
Bemban.
Di Desa Sungai Bungur
terdapa Lubuk
Serapil, Lubuk Medang, Lubuk Belanti, Lubuk Ujung Tanjung[159].
Desa Sponjen, Desa Sungai Bungur,
Desa Sogo Kesemuanya termasuk kedalam Marga Kumpeh. Di Desa Rukam dikenal Lubuk tapa
Di Marga Bukit Bulan
dikenal Lubuk Bedorong[160].
Di Marga VI Mandiangin dikenal Lubuk Napal. Marga Air Hitam dikenal Lubuk
Kepayang dan Lubuk Jering.
Marga
Batang Asai Tengah, dikenal Lubuk Bangka[161].
Marga Kasang melintang terdapat Lubuk Bangkar. Di Marga Simpang III Pauh dikenal Lubuk Butak. Di Marga Pelawan dikenal Lubuk
Sepuh dan
Lubuk
Sayak atau biasa dikenal Lubuk Tempurung. Di Marga Batin Pengambang dikenal
Lubuk Pauh.
Di Marga Petajin Ilir dikenal Lubuk
Mandarsyah. Di Marga Tungkal ulu dikenal Lubuk Kambing, Dusun Lubuk Bernai, dan Dusun Lubuk Terap. Di Marga Sumay dikenal Lubuk Laweh.
d.
RENAH
Penamaan Renah dikenal
sebagai Marga Renah Pembarap. Di Marga Sungai Tenang dikenal Desa Renah Pelaan
dan Desa Koto Renah. Di Desa Tanjung Benuang dikenal tembo renah bukit
serik(batu panjang), renah sungai
kandis muaro sungai langkon ke renah tabu gelanggang ke renah sawah bekisah.
Di Desa Lubuk Beringin
(Marga Senggrahan) dikenal tembo “renah utan udang”.
Di Marga Serampas dikenal Renah Alai dan Renah Kemumu. Di Marga batin Datuk Nan
Tigo dikenal Kampung Renah. Di Marga Batin Pengambang dikenal Renah Kemang
dan Dusun Renah Pisang kembali.
e.
MUARA
Penamaan Muara banyak
ditemukan diberbagai tempat di Jambi. Baik penamaan Kabupaten, tempat maupun
nama-nama Desa. Seperti Muara Jambi, Muara Bungo, Muara Sabak dan Muara Tebo.
Begitu juga Muara Siau.
Di Marga Batin V Bangko
dikenal Muara Semayo, Muara Jernih. Selain itu juga dikenal Muara Semayo. Di
Marga Sungai Tenang dikenal Muara Madras dan Muara Pangi.
Di Marga Batin VI
Mandiangin dikenal Muara Ketalo. Di Marga Pelawan dikenal Muara Danau. Di Marga
Datuk Nan Tigo terdapat Dusun Muara Mansao. Di Marga Batin Pengambang dikenal Muara
Talang Kecil dan Desa Muara Air Dua.
Di Marga VII Koto
dikenal Muara
Niro, Desa Muara Tabun. Di Marga IX Koto di Desa Pulau Temiang terdapat Dusun
Muara Danau. Sedangkan Batas Marga VII Koto dengan Marga IX Koto terdapat di
Muara Sako.
Di Marga Sumay dikenal
Desa Muara Sekalo. Desa Sekalo sendiri mengenal Muara Dusun Setelak” dan Muara Kundangan.
Di Marga Tungkal ulu
dikenal Muara Dasal. Di Kumpeh dikenal Muara Kumpeh.
f.
TELUK
Teluk juga dilekatkan
ke berbagai nama tempat. Seperti Teluk Kuali, (Marga IX Koto), Teluk
Singkawang, Teluk Langkap (Marga Sumay), Teluk Ketapang (Marga Tungkal Ilir),
Teluk Panjang (Marga Batin III Ilir), Teluk Kembang, Teluk Kayu Putih (Marga
VII Koto) dan Teluk Ketapang, Teluk Nilau (Marga Tungkal Ilir). Di Desa Makmur
Jaya dikenal Teluk Sialang.
DI Desa Sponjen (Marga
Kumpeh) dikenal Teluk sungai duo. Di Marga Kumpeh Ulu dikenal Desa Teluk Raya. Di Desa
Rukam dikenal “teluk menpuh rumbe tebal lapok mengkung. DI Desa Karang Mendapo (Marga Simpang III Pauh)
terdapat Dusun Teluk
Gedang. Di Batang hari dikenal Desa Teluk Rendah (Marga Kembang Paseban).
Di Marga Batin
Pengambang dikenal “teluk sakti rantau betuah gunung bedewo”. Tembo Renah Pembarap
mengenal “teluk ske sungai semantung.
g.
RANTAU
Penamaan rantau
ditemukan di Rantau Duku (Marga Batin III Ilir), Rantau Panjang, Rantau ikil
(marga Jujuhan), Rantau Keloyang (Marga Pelepat). Penamaan Rantau Panjang juga
ditemukan Marga V Bangko. Sebelumnya dikenal nama Semayo. Selain itu terdapat
Rantau Limau Manis.
Di Marga Serampas
dikenal Rantau Kermas. Di Marga Sungai Tenang dikenal Rantau Suli, Rantau
Jering dan Rantau Bidaro. Di Marga Kembang Paseban dikenal Rantau Gedang.
Istilah Rantau dapat
ditemukan didalam seloko “Alam berajo, rantau
bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak.
h.
DANAU
Penamaan danau
ditemukan di Dusun Danau (Marga Pelepat). Marga Sungai Tenang terdapat Dusun
Sungai Danau Pauh.
Di Sponjen dikenal Danau gerogol. DI
Desa Rukam dikenal “danau teluk
menpuh rumbe tebal lapok mengkung, danau sirih, danau alahan, danau cempak,
danau lenban condong danau menncangur, danau sarang burung, Danau Gerang dan Danau empang palang. Di Muara
Jambi dikenal Desa Danau Lamo.
Di Marga Batin V
Sarolangun dikenal Danau Bulen. Di Marga Pelawan dikenal Muara Danau. Begitu
juga di Desa Karang Mendapo dikenal juga Dusun Muara Danau.
Sedangkan Danau terumbai” merupakan batas (Tembo)
antara Marga VII Koto dan Marga IX Koto[162].
i.
TANJUNG
Sedangkan Tanjung dapat
ditemukan sebagai nama Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur.
Di Marga Sungai Tenang
dikenal Tanjung Alam dan Tanjung Mudo. Di Marga Batin III Ilir dikenal Tanjung
Gedang. Di Marga Batin II Babeko dikenal Tanjung Menanti. Selain itu juga
dikenal Tanjung Agung (Batin VII) di Kabupaten Bungo.
j.
BUKIT
Istilah Bukit dapat
ditemukan Dusun Bukit Sari, Pulau Batu (Marga Jujuhan), Bukit Telago (Marga
Pelepat), Bukit Gajah Berani, Bukit Gedang, Bukit Mujo, Bukit Tepanggang (Marga
Renah Pembarap), Bukit Tiung (Marga IX Ulu). Sebelumnya Bukit Tiung bernama Pulau
Piul.
Di Marga Pangkalan Jambu dikenal Bukit Perentak.
Sedangkan “Bukit Tungku” merupakan batas Marga Pangkalan
Jambu dengan Kerinci.
Di Tanjung Mudo dikenal
“Bukit Sedingin”. Di Desa Lubuk Beringin (Marga Senggrahan) dikenal Bukit
Kemulau Tinggi dan Bukit Kemulau Rendah. Di Desa Durian rambun dikenal “Bukit
Gambut’
Di Marga Batin VI
Mandiangin dikenal “Desa Bukit Peranginan. Di Marga Bukit Bulan dikenal Bukit
Raya[163].
Di
Marga Pelawan dikenal Bukit Padang Sungkai, Bukit Batu. DI Marga Batin Pengambang
dikenal Bukit Seruling/Bukit Tandus. Bukit Seruling/Bukit Tandus dijaga sebagai
“benteng’ air dan kepentingan untuk masa depan. Di Marga Petajin, Lubuk Mandarsyah
mengenal “Bukit Rinting”. Sedangkan Bukit bakar dikenal di Kembang Seri (Marga
Maro Sebo ulu).
Di
Marga Sumay dikenal “Bukit Tiga Jurai”. Bukit Tiga Jurai kemudian dikenal
sebagai Bukit Tigapuluh yang ditetapkan menjadi Taman Nasional Bukit Tiga
Puluh. Di daerah Air Hitam dikenal Taman Nasional Bukit Duabelas.
Diantaranya bukit
Daun Salo[164]
di Bukit Seling, Bukit selasih, Bukit
Siguntang. Selain itu juga dikenal Bukit
Tambun Tulang[165].
Ada juga menyebutkan Bukit Alur babi, bukit Ulu tandikat, bukit ulu benglu,
bukit ulu sungai rambutan, bukit ngayau, bukit badak teguling, bukit bakar,
bukit ulu senanam, bukit mendelang, bukit temiang, bukit merbau, bukit tunggul
berempat[166].
Tembo
“Kerbau bekuak terus ke Dataran bukit
Daun Salo di Bukit Seling, Bukit Tambun Tulang” adalah batas Jambi dengan
Provinsi Riau. Sedangkan “Bukit selasih, Bukit Siguntang adalah “rimbo
simpanan atau rimbo larangan”.
Nama Bukit Selasih adalah nama dusun asal Desa
Semambu[167].
Sedangkan
penamaan bukit merupakan batas-batas marga Senggrahan dengan Marga yang lain.
Seperti “bukit Majo” dengan Marga Peratin Tuo, “Bukit punggung Parang” dengan
Marga Tiang Pumpung, Bukit Sengak, Bukit Kapung, Bukit Gagah Berani” dengan
Marga Pangkalan Jambu, “Bukit Kemilau Rendah, Bukit Kemilau Tinggi, bukit
tepanggang. Dengan Marga Renah Pembarap[168].
Batas
antara Marga Senggrahan dengan Marga Pangkalan Jambi merupakan keunikan. Marga
Senggrahan menyebutkan Bukit Kapung Sungai Tinggi Bane Belalang Bukit Gagah
berani”. Sedangkan Marga Peratin Tuo menyebutkan “Bukit berani. Sedangkan Marga
Pangkalan Jambu menyebutkan “Bukit lipai besibak. Lubuk Birah juga menyebutkan
“Bukit Lipai besibak”[169].
Bukit
Kapung Sungai Tinggi Bane Belalang Bukit Gagah berani” atau “Bukit berani” atau
“Bukit lipai besibak menunjukkan tempat yang sama. Atau dengan kata lain,
penamaan yang berbeda namun menunjuk tempat yang sama.
Didalam
Marga Sungai Tenang terdapat pembagian wilayah. Dengan menggunakan punggung
(bukit) maka bisa ditentukan dusun asal dari Punggung Bukit Maka dikenal
istilah “Pungguk 6”, “pungguk 9” dan Koto
10”.
Di
Marga Batin Datuk Nan Tigo dikenal Dusun Bukit Tanggo Batu. Di MARGA BATANG ASAI TENGAH dikenal Bukit Lanca[170].
Penamaan
Bukit dapat dilihat sebagai Nama Marga Bukit Bulan.
Di Kerinci dikenal Hutan
Adat Bukit
Sembahyang dan Padun Gelanggang,
Hutan Adat Bukit Tinggai. Di Marga Batin II Ulu dikenal Bukit Bujang Dusun Senamat ulu Sebagai Hutan Adat dan telah dikukuhkan berdasarkan SK Bupati Kabupaten Bungo nomor 48/HUTBUN Tahun 2009 seluas 223 ha.
Hutan Adat Bukit Tinggai. Di Marga Batin II Ulu dikenal Bukit Bujang Dusun Senamat ulu Sebagai Hutan Adat dan telah dikukuhkan berdasarkan SK Bupati Kabupaten Bungo nomor 48/HUTBUN Tahun 2009 seluas 223 ha.
Istilah bukit dapat
ditemukan didalam seloko seperti “Kebukit samo
mendaki, kelurah samo menurun”
k.
UJUNG
Penamaan Ujung dikenal
di Marga Jujuhan sebagai kampong Ujung Tanjung. DI Marga Renah Pembarap
mengenal Desa Parit Ujung Tanjung. Di Marga Pelawan dikenal Dusun
Ujung Tanjung. Begitu juga di Marga Batin Pengambang.
Di Desa Sponjen dikenal
Ujung Pematang Sirih dan Ujung sungai katung. Di Desa Sungai Bungur mengenal “Ujung Sungai Bungur”,
“Ujung Pematang Tepulo”, “Ujung Pematang Sirih”, “Ujung Pematang Tepus”.
Di Desa Sungai Beras (Tanjabtim) mengenal “Ujung Sungai Buluh , Ujung
Sungai Budaya, Ujung Parit Senang, Ujung Parit Teluk Pagar, Ujung Parit Lapis Teluk Pagar, Ujung Sungai
Beringin, Ujung Sungai Apok.
Di Marga Batin Datuk Nan Tigo mengenal “ujung Muara Limun”.
Seloko bak napuh diujung tanjung, ilang sikuk baganti
sikuk, lapuk ali baganti ali[171], di Desa Baru Pelepat dan Desa Batu Kerbau serta Dusun
Lubuk Telau (marga Pelepat).
Di Marga Sungai Tenang mengenal istilah
“tanah ujung Batin” sebagai nama tempat
Desa Beringin Tinggi. Penduduknya berasal dari Marga Batangasai dan Marga
Batin Pengambang namun wilayah kemudian diberikan dari Marga Sungai Tenang.
Sebagaimana seloko “Belalang Batin Pengambang, Tanah Koto Sepuluh. Koto Sepuluh
termasuk kedalam Marga Sungai Tenang.
l.
Lembah
Hubungan kekeratan antara Marga Serampas dengan marga yang
termasuk kedalam Luak XVI ditandai dengan pernyataan “serampas tinggi” dan
“serampas rendah’. Marga Serampas mengikrarkan diri sebagai “Serampas tinggi”.
Sedangkan Marga lain seperti Marga Sungai Tenang, Marga Peratin Tuo, Marga
Renah Pembarap, Tiang Pumpung dan Senggrahan mengikrarkan diri sebagai
“serampas rendah”.
Penempatan “serampas tinggi” dan “serampas rendah” adalah
bentuk wilayah yang terletak dibawah. Sedangkan di Serampas sendiri menyebutkan
sebagai “orang lembak”.
Di Marga Sungai Tenang dikenal istilah “4
Tanah lembak”. Yaitu Dusun dibawah dalam Marga Sungai Tenang. Yaitu Dusun
Tanjung Dalam, Dusun Muara Pangi, Dusun Muara Langayo Dan dusun Rantau Jering.
“Ikrar”
sebagai “keturunan” Serampas juga
ditemukan di Sungai Ipuh, Muko-muko, Bengkulu. Puyang mereka berasal dari
Serampas dan kemudian mengilir Sungai Ipuh dan kemudian berdiam di Sungai Ipuh.
Sedangkan Serampas sendiri menyebutknya sebagai “Orang Lembak’.
Dalam
hubungan kekerabatan, Orang Sungai ipuh termasuk kedalam struktur Pemerintahan
dalam Marga 5 Koto[172].
Marga 5 Koto terdiri dari Dusun Pondok Siding, Lubuk Cabau sebagai pusat Margo,
Tras Terunjang, Sungai Jerinjing dan Sungai Cambu yang kemudian dikenal menjadi
tempat dan bernama Penarik.
Sebagai
pendatang, Orang Sungai Ipuh menghadap Tuanku Rajo di Muko-muko[173].
Raja di Muko-muko kemudian memberikan “kekuasaan otonom” dengan menempatkan
Sungai Ipuh didalam Marga 5 Koto namun dengan kekuasaan yang otonom. Didalam
Sungai Ipuh kemudian 3 kaum yaitu 3 Luak yang terdiri Depati Empat, Depati Enam
Dan Suka Rajo.
Air
dikit, Sungai Ipuh, Bukit tigo, merupakan nama-nama tempat yang
berbatasan langsung Jambi dengan Bengkulu[174].
Kata “Lembak”
menunjukkan dusun yang terletak di lembah. Atau orang yang berada di lembah.
Atau orang yang tinggal di daerah bawah.
V.
TANDA ALAM
Di Marga Tungkal ulu
Penamaan Dusun berdasarkan tipologi khas wilayah[175].
Seperti Dusun Rantau Badak yang terdapat banyaknya badak di Rantau, banyaknya
jenis kayu yang bernama Terap yang kemudian bernama Dusun Lubuk Terap.
Banyaknya Kambing di Lubuk Kambing, banyaknya Rotan di dusun Sungai Rotan,
banyaknya bernai. Bernai adalah nama buah-buahan. Hanya Ditempat ini ada bernai
sehingga dinamakan Dusun Lubuk Bernai. Banyak pohon yang bernama pauh (sejenis
palm) di Pematang Pauh, banyakya Tayas (buah-buahan sejenis mangga) di Dusun
Tanjung Tayas atau banyaknya Bojo (sejenis kacang-kacangan) di Tanjung yang
kemudian disebut Dusun Tanjung Bojo. Banyaknya Kebun yang kemudian disebut
Dusun Kebun. Kebun kemudian dimaksudkan banyak kebun yang menghasilkan
buah-buahan setiap musim. Dan banyaknya rusa dalam satu tempat. Kemudian
bernama Dusun Suban.
Atau
berdasarkan sifat tipologi nama tempat seperti Rantau yang lurus (lurus
kemudian disebutkan benar) sehingga dinamakan Dusun Rantau Benar, Anak negeri
yang berdagang yang kemudian dinamakan Dusun Pelabuhan Dagang, tempat
bermainnya Raja kemudian bernama Dusun Taman Raja, Tebing yang tinggi kemudian
bernama Dusun Tebing Tinggi, Dusun baru yang kemudian disebut Dusun Mudo atau
kampong yang baru yang kemudian disebut Kampung Baru.
Selain
penamaan dusun berdasarkan sifat dan khas tipologi, penamaan dusun juga
berdasarkan tempat digunakan. Maka dikenal tempat penyabungan atau tempat
bertemunya para pendekar yang kemudian disebut “Penyabungan”, nama sungai
seperti Muara Dasal yang kemudian Kuala Dasal.
Namun
yang unik adalah Dusun Dadang. Sebenarnya nama dusun disebut Dusun Padang.
Namun dialek kemudian menyebutkan “dadang” (pengaruh pengucapan secara cepat)
sehingga kemudian dusun bernama Dusun Dadang.
Disebut dengan Tebing
tinggi[176],
karena Desa ini sebelumnya sering kebanjiran. Lokasi pemukiman penduduk
dialihkan ke seberang sungai Batang hari yaitu di sebelah Timur Desa. Yang lokasinya antra
sungai Peneradan dan Muara Sungai
Muruh.Sebelumnya Daerah ini berlokasi
sebelah Timur Baluran Rimbo, dekat sungai Batanghari yang pada masa itu disebut KUBURAN RANGKILING. Nama Tebing Tinggi diambil berdasarkan
letak geograpis alamnya yang
memiliki dataran cukup tinggi disbanding daerah lain di sekitarnya.
Di Marga Jujuhan dikenal “Pulau
Batu” disebabkan di pulau adanya batu. Daerah ini kemudian dikenal sebagai
tempat “Depati Sumarangen”[177].
Pulau Batu terdiri dari kampong Lubuk Tenam, Bukit Sari, Sari Mulya.
Di
Marga Renah Pembarap berasal kata Renah Pembarap berasal dari kata Renah dan
Pembarap. Renah adalah tanah yang rendah. Sedangkan “Pembarap” berasal dari
kata “membarap’ yang berarti “keputusan”[178].
Versi
yang lain[179]
menyebutkan “pembarap” artinya tua dimana tempat Marga Renah Pembarap merupakan
tanah kepemimpinan yang tua didalam Luak XVI. Dengan demikian maka Renah Pembarap adalah Tempat untuk
mengambil keputusan-keputusan penting di Luak XVI.
Penghormatan
terhadap Renah Pembarap dapat dijumpai di Marga Senggarahan.
Tembo
Marga Renah Pembarap kemudian ditetapkan oleh Raja Jambi yaitu Sultan Anom Seri
Mogoro yang disebut tanah Depati atau
Tanah Batin[180]
Yang ditandai dengan Piagam Lantak Sepadan yang menyatakan wilayah Marga Renah
Pembarap[181].
Menurut Datuk H Abubakar didalam tulisannya “Masyarakat Adat Guguk Jambi”,
Piagam Lantak Sepadan bertarikh 1170
h/1749 Masehi. Dalam silsilah Raja Jambi, periode 1740-1770 dipimpin oleh
Sultan Astra Ingologo[182].
Di Marga V Bangko dikenal Dusun Kapuk adalah dusun yang terletak di tengah
dari kelima dusun Marga V.
Dusun
Pulau Aro ialah dusun yang namanya diambil dari alam lingkungannnya. Sewaktu
hendak mendirikan dusun ini banyak terdapat pulau yangditumbuhi batang aro[183].
Di Marga Pangkalan Jambu dikenal Perentak
dikenal sebagai “Tiga Alur” yang terdiri dari Bukit Perentak, Tanjung Alur dan
Bunga Tanjung[184].
Didalam
Marga Senggrahan kata Lubuk Beringin dikenal sebagai “Beringin” yang lebat. Beringin yang lebat merupakan Tempat orang
banyak berkumpul[185].
Durian
Rambun dikenal didalam cerita rakyat sebagai durian yang bertakuk rambutan.
Menurut kepercayaan masyarakat, pohon durian tidak boleh ditebang (ditutu).
Salah seorang kemudian menebang pohon rambutan. Namun akibat pohon rambutan
ditebang dan mengenai pohon durian, maka kemudian sang penebang pohon dijatuhi
sanksi. Namun sang penebang protes karena tidak pernah menebang pohon durian.
Padahal yang ditebang cuma pohon durian.
Untuk
mengenang cerita rakyat, maka dusun kemudian disebut Durian rambun. Cerita yang
sama juga diceritakan oleh Ketua Lembaga Adat Desa Durian Rambun[186].
Did daerah hilir di marga Kumpeh. Arti “kumpeh” adalah rumput. Rumput yang tersedia di sepanjang Sungai
Kumpeh bermula dari Muara Kumpeh hingga ke Suakkandis. Rumput ini biasa
digunakan untuk makanan ternak seperti kerbau dan kambing[187].
Di Marga Simpang Tigo Pauh, Desa Kasang Melintang berasal dari kata “Kasang dan
Melintang. Kasang berarti “kasai”, nama jenis pohon yang cuma terdapat di
Kasang Melintang. Sedangkan disebutkan “melintang” disebabkan adanya pohon
“kasai yang melintang di Sungai (menyuruk/menutupi sungai). Secara sekilas,
akibat penutupan pohon kasai yang melintang menyebabkan sungai tidak terlihat.
Sungai ini kemudian dikenal Batang Tembesi yang mengairi dusun-dusun di Marga
Simpang Tiga.
Disebut
“Pangkal Bulian’ karena banyaknya pohon bulian yang terdapat di pangkal (ujung)
desa. Sedangkan Samaran yang merupakan bagian dari Pauh dimana terdapat
tumbuhan yang dikenal “belami”. “Belami” kemudian menyamar dari Pauh sehingga
kemudian disebut “samaran”.
Lubuk
Napal dikenal sebagai nama tempat dimana di daerah lubuknya terdapat napal.
Napal adalah batu yang licin yang biasanya terdapat daerah yang lembab[188].
Disebut sebagai Marga Air hitam adalah sungai
yang berwarna air hitam[189]. Sungai air hitam
mengelilingi Marga dan mengitari Dusun-dusun yang termasuk kedalam Marga Air
Hitam. Pusat Marga terletak di Lubuk Kepayang.
Lubuk Kepayang berasal dari tempat Lubuk yang
terdapat buah kepayang. Buah kepayang berupa sejenis asam belimbing yang
dicampurkan dengan gulai dan ditambah daging. Apabila tidak tepat penyajiannya,
maka akan menimbulkan seperti mabuk. Pusing-pusing kepala.
Istilah Kepayang sering didalam perumpamaan.
“Mabuk kepayang” adalah orang yang sedang jatuh cinta. Sehingga tempat
pemukiman yang terdapat buah kepayang kemudian dikenal dengan nama Lubuk
Kepayang.
Kepayang
adalah jenis pohon yang tumbuh di hutan. Dulu “puyang” masyarakat menanam di
hutan. Tumbuhnya cepat. Kayu dapat digunakan untuk dinding rumah. Minyaknya
dapat digunakan sebagai minyak goreng
Sedangkan disebut Dusun Jernih Tuo dimana
dusun terdapat sungai yang jernih. Penamaan Tuo adalah Dusunnya adalah termasuk
dusun Tuo. Sehingga penamaan kemudian disebut Dusun Jernih Tuo.
Sedangkan Dusun Lubuk Jering adalah tempat
(lubuk) yang terdapat pohon jering. Jering adalah istilah yang digunakan
masyarakat di Jambi untuk penamaan jengkol. Sehingga Lubuk Jering adalah Lubuk
yang terdapat pohon jengkol (jering).
Disebut
Dusun Ladang Panjang disebabkan “biar beladang yang panjang”. Ladang adalah
persawahan kering, musiman dan ditanami tanaman seperti padi.
Maksudnya
adalah ladang disusun berbaris yang memanjang.
Disebut
Dusun Pakuan Baru karena terdapat penyebarangan di Sungai Tembesi yang sekarang
terletak di Kota Sarolangun.
Sedangkan
disebut dengan Tanjung Putus karena terdapat tanjung yang emudian tidak ada
lagi muara sehingga bertemu dengan Sungai Tembesi yang memanjang kemudian
bertemu dengan Sungai Batanghari di Muara Tembesi. Sehingga Tanjung kemudian
“memutus”. Memutus diartikan sebagai Tanjung yang telah putus.
Senaning
adalah adalah nama tumbuhan Perdu. Di dusun Senaning banyak terdapat tumbuhan
perdu. Sehingga Dusun ini kemudian disebut sebagai Dusun Senaning.
Disebut
dengan Dusun Alai karena di dusun ini terdapat tumbuhan Kedaung. Sehingga
kampong ini kemudian disebut “Dusun alai”.
Di
Marga Batin V Sarolangun dikenal Rio
Depati Jayaningrat Singodilago kemudian menetapkan wilayah Marga Batin V yang
ditandai dengan “Kayu Sialang Belantak Besi”.
Sialang
adalah nama pohon yang terdapat lebah. Sedangkan Belantak Besi adalah batas
wilayah Jambi dengan Sumsel yang selalu disebutkan didalam Tembo wilayah Jambi.
Di
Marga Pelawan dikenal Pulau Aro. Pulau Aro adalah berasal dari kata
“aro”. Aro merupakan batang Aro. Sedangkan Padang Sungkai adalah tempat
perladangan[190].
Marga
Simpang Tiga yang berpusat di Pauh kurang dikenal didalam document maupun
literature. Nama Marga Simpang Tiga kemudian tenggelam dan lebih dikenal
sebagai Pauh.
Simpang
Tiga dengan artinya sama juga dikenal di Marga Pangkalan Jambu. Marga Pangkalan
Jambu mengenal Simpang tiga dengan istilah “Tiga jalur’. Menunjukkan 3 orang
Rio yang menguasai Marga Pangkalan Jambu. Yaitu Rio Niti, Rio Gumalo dan Rio
Menang[191].
Disebut
sebagai Simpang tiga disebabkan adanya Simpang tiga yang menuju ke Marga Air
Hitam, menuju ke Jambi dan Menuju ke Sarolangun.
Di Marga Batin
Pengambang dikenal Dusun Tambak Ratu. Tambak Ratu berasal dari Kata “Tambak” yaitu tepian mandi Ratu yang
bernama Ratu Minang Jawa[192].
Sedangkan Ratu adalah nenek moyang dengan nama Nenek Semula Jadi. Nama
Sebenarnya Raden Muhardi. Adiknya bernama Ratu Minang Jawa. Tempatnya ada
di Pohon banyas Ujung Tanjung.
Dusun
Pulau Puro dikenal sebagai Dusun Kecil. Sedangkan Dusun Tanjung Aur berasal
dari istilah “Aur”. Aur artinya “bamboo”. Memang Dusun ini memiliki banyak
bamboo. Bambu yang banyak terletak di Tanjung.
Sehingga dikenal sebagai “Dusun Tanjung Aur.
Sedangkan
Sungai Rambai dikenal “Muko-muko”. Muko-muko berarti “pangkal Dusun” Marga IX
Koto. Sebagai daerah terdepan, maka Dusun ini memang dusun yang pertama kali
ditemukan di Marga IX Koto dari arah Padang. Masyarakat sering menyebutkan
sebagai “jalan Padang Lamo”.
Sebagai
daerah “Muko-muko” maka di Dusun Rambai kemudian ditetapkan sebagai Pamuncak.
Penamaan Koto dapat
dilihat di Koto Teguh, Koto Baru, Koto Tapus, Koto Renah di Marga Sungai
Tenang. Masyarakat Desa Renah Pelaan mengaku berasal dari Koto Mutut[193].Koto Mutun adalah
dusun tua yang sekarang sudah ditinggalkan, terletak di dekat desa Rantau Suli.
Diperkirakan orang pertama yang menempati desa Renah Pelaan adalah Aning Darajo
(Nenek Moyang Masyarakat desa Renah Pelaan). Aning Darajo diperkirakan berasal
dari Minang Kabau[194].
Didalam
Marga Sungai Tenang terdapat pembagian wilayah. Dengan menggunakan punggung
(bukit) maka bisa ditentukan dusun asal dari Punggung Bukit Maka dikenal
istilah “Pungguk 6”, “pungguk 9” dan Koto
10”.
Pungguk
6 kemudian mengenal Dusun Kotojayo, Dusun Koto Sawah, Dusun Koto Tinggi.
Sebagian menyebutkan “Pungguk enam terdiri dari dusun asal yaitu Kotojayo, Koto
Renah dan[195].
Di Marga V Bangko
dikenal Koto Rayo. Di Marga Pratin Tuo dikenal Kotorami. Di Marga Sumay dikenal
Koto Tinggi. Selain itu dikenal Marga VII Koto dan Marga IX Koto. Dengan
tuturan ini maka setiap proses adat dapat dilihat dari tutur dan pendekatan
kekeluargaan. Hubungan ini kemudian dilanjutkan dengan Marga Sumay sebagai anak
dari kedua Marga. Sehingga Marga VII kemudian disebut “Berbenteng dado. Berkutu
berpagar di batu”.
Makna
“Koto” adalah Kota. Kota dimaksudkan bukanlah makna kota. Tapi dusun atau
kampong yang dihuni oleh penduduk. Untuk
menjaga keamanan didusun, sebagaimana tutur di Teluk Kuali, maka dibuatkan
parit yang mengelilingi Dusun. Parit yang dibangun selain lebar juga cukup
lebar. Dengan dibangunnya parit yang mengelilingi dusun, sehingga binatang buas
tidak dapat memasuki dusun. “Maklumlah. Negeri harus aman”. Istilahnya “harus
aman dari musuh alam”[196].
Koto adalah simbol penghormatan
terhadap leluhur sekaligus sebagai benteng pertahanan.
Koto diartikan sebagai benteng
tempat berlindung. Koto terdiri dari 3 suku asal dan sudah bersawah, berladang
dan beternak peliharaan. Dengan demikian maka Koto adalah tempat benteng
perlindungan yang didalamnya terdapat persawahan, peladangan dan tempat gembala
ternak.
Untuk menjaga keamanan didusun,
sebagaimana tutur di Teluk Kuali, maka dibuatkan parit yang mengelilingi Dusun.
Parit yang dibangun selain lebar juga cukup lebar. Dengan dibangunnya parit
yang mengelilingi dusun, sehingga binatang buas tidak dapat memasuki dusun.
“Maklumlah. Negeri harus aman”. Istilahnya “harus aman dari musuh alam”.
Di Marga Batin Pengambang disebutkan
disebutkan adanya Rio Cekdi Pemangku Rajo. Yang bertugas menjaga pintu dari
Timur. Dengan wilayahnya Bathin Pengambang, Batu berugo, Narso. Debalang Sutan
yang bertugas menjaga pintu di sebelah selatan. Dengan wilayah Sekeladi, Guguk
tinggi, Tangkui, Padang Baru. Menti Kusumo yang bertugas menjaga pintu dari
Utara. Dengan wilayah Rantau Jungkai, Renah Kemang, Sungai keradak. Debalang
Rajo yang menjaga pintu dari barat. Dengan wilayah Muara Simpang, narso
kecil.
Penetapan ruang dengan kiblat
penjuru mata angin ditempatkan sebagai Koto adalah bentuk perlindungan.
Konsepsi ini lahir dari peradaban Hindu Upanishad dari India berkembang di
kalangan filsuf India seperti kaum Jaina, Nyaya dan Vaiseshika sekitar 500
tahun sebelum masehi. Di Masyarakat bersawah dan peladangan Anton Bakker
kemudian menyebutkan Realisme ekstrem.
Penempatan “penjagaan” yang bertugas
empat penjuru mata angin seperti di Marga Batin Pengambang seperti Rio Cekdi
Pemangku Rajo (Timur), Debalang Sutan (Selatan), Menti Kusumo (Utara) Debalang
Rajo (barat) adalah “punggawa” menjaga pemukiman Marga Batin Pengambang.
Kekokohan “Koto” juga ditemukan di
Koto Rayo, pemukiman kuno Sungai Tabir. Koto Rayo adalah pemukiman kuno atau
Kerajaan kecil yang menguasai wilayah.
Pada Kerajaan Koying dikalahkan oleh
dominasi Kerajaan Tupo di abad ke-3 Masehi dan berhasil menguasai Jambi selama
sekitar dua ratus tahun sampai kemudian dikalahkan oleh kekuatan baru di
wilayah tersebut, Kerajaan Kantoli. Ternyata Kantoli juga tidak lama berkuasa
di Jambi karena kemudian muncul kekuatan lainnya yang juga ingin menguasai
wilayah ini, yaitu Kerajaan Melayu Jambi pada abad ke-6 Masehi. Seperti halnya
Kantoli yang harus menyerah pada lawannya, Melayu Jambi juga harus mengakui
kekuatan berikutnya yang tak kalah dahsyatnya, Kerajaan Sriwijaya di abad yang
sama dalam kisaran 70 tahun saja.
Beragam persaingan yang berakibat
pada peperangan dan berujung pada pergantian kekuasaan tentu tidak menumpas
habis kekuatan yang ada sebelumnya. Ada sisa kekuatan dalam skala kecil yang
lebih memilih menyingkir atau melarikan diri atau menjauh dan mencoba membangun
kekuatan di wilayah-wilayah terpencil yang biasanya di pedalaman yang sulit
dijangkau musuh. Hal seperti inilah yang mungkin terjadi dengan Koto Rayo,
yaitu sisa-sisa kekuatan yang dikalahkan oleh musuhnya dan melarikan diri serta
membangun kekuatan di pedalaman Jambi.
Menurut Pahrudin adanya
terdapat persamaan antara batu bata merah Koto Rayo dengan batu merah untuk
membangun Candi Muaro Jambi. Berarti, berdasarkan hal ini maka dapat
disimpulkan bahwa ada kedekatan sejarah antara Koto Rayo dengan Candi Muaro
Jambi. Jika demikian, maka dapat dikatakan situs Koto Rayo hampir satu masa
dengan Candi Muaro Jambi dan orang-orang Koto Rayo mungkin adalah para pelarian
atau sisa-sisa kekuatan dari Kerajaan Melayu Jambi yang ditaklukkan Kerajaan
Sriwijaya pada abad ke-6 Masehi.
Dari aspek pertahanan militer yang
mungkin ada saat itu, posisi Koto Rayo sangat menguntungkan untuk memantau
keadaan sekitarnya dari kemungkinan serangan musuh. Terletak di atas sebuah bukit
yang agak bertingkat, berada persis di tikungan dari aliran Sungai Tabir yang
membentuk huruf L (letter L) dan dari posisinya ini orang-orang Koto Rayo dapat
memandang lurus ke arah timur sepanjang aliran sungai sejauh sekitar satu
kilometer. Jika ada armada militer musuh yang menggunakan kapal dan perahu dari
arah timur (Jambi) maka akan segera dapat diketahui oleh orang-orang yang ada
di Koto Rayo.
Dengan mengetahui keberadaan musuh
sedini mungkin, maka persiapan-persiapan menghadapi serbuan akan dapat
dilakukan seefektif mungkin. Bandingkan misalnya jika lokasi Koto Rayo berada
di balik tikungan sungai, meskipun keberadaannya terlindung dari pandangan
tetapi tidak dapat segera mengetahui posisi musuh.
[1] Tambo berasal dari bahasa
sanskerta, tambay yang artinya bermula. (wikipedia). Dalam tradisi masyarakat
Minangkabau, tambo merupakan suatu warisan turun-temurun yang disampaikan
secara lisan. Kata tambo atau tarambo dapat juga bermaksud sejarah, hikayat
atau riwayat. Lihat Sangguno Diradjo, Dt. Tambo Alam Minangkabau, Balai
Pustaka, Jakarta, 1954. Mengenai istilah “Tambo”, penulis mendefinisikan
tentang cara penetapan suatu wilayah berdasarkan batas-batas alam. Maka didalam
melihat sebuah wilayah klaim adat baik Margo maupun dusun dilakukan dengan bertutur
adat. Tambo ini menerangkan berdasarkan kepada tanda-tanda alam seperti nama
gunung, bukit, sungai, lembah, dan sebagainya. Tanda-tanda berdasarkan kepada
Tambo masih mudah diidentifikasi dan masih terlihat sampai sekarang. Bandingkan
definisi yang diberikan oleh Erman Rajagukguk didalam tulisannya “PEMAHAMAN
RAKYAT TENTANG HAK ATAS TANAH, Prisma, 9 September 1979, mendefinisikan Tambo
“Proses pembukaan daerah baru semacam ini diperoleh dari cerita Tambo lama
Sumatera. Versi yang sama juga terjadi pada pembukaan tanah di Kalimantan
sebagaimana riwayat Sultan Adam yang dituangkan oleh Abdurrahman SH dan Drs.
Syamsiar Seman mengenai Undang undang Sultan Adam, dalam majalah Orientasi,
nomor 2, Januari 1977. Begitu juga ketika Sri Susuhunan Paku Buwono IV ingin
memperluas wilayahnya ke utara (Lihat G.A. Basit Adnan, “Tandus tanahnya, Subur
Islamnya dalam Panji Masyarakat, nomor 233, 15 Oktober 1977). Kisah kisah
tersebut diangkat oleh Sayuti Thalib SH dalam “Telah Tercipta Hak Ulayat Baru”,
majalah Hukum dan Pembangunan, nomor 1, Tahun VIII, Januari 1978.
[2] Masyarakat hukum yang bermukim
di Jambi Hulu, yaitu Onderafdeeling Muarabungo, Bungo, Sarolangun dan
sebagian dari Muara Tebo dan Muara Tembesi. F. J. Tideman dan P. L. F.
Sigar, Djambi, Kolonial Institutut,
Amsterdam,
1938.
[3] Biasa dikenal dengan istilah
“kenduri sko”, turun pusako yang ditentukan pada hari ketiga lebaran besar
(Hari ketiga Idul Fitri)
[4] Asal usul Nenek moyang
[8] Yazin, Pauh, 6 Agustus 2016
[10] Desa Kembang Seri, Batanghari,
23 Februari 2015
[11] Bustami, Dusun Pulau Pandan, 5
Agustus 2016
[12] Zaini, tokoh adat Kecamatan
Pelawan, Muara Danau, 7 Agustus 2016
[13] Pertemuan di Teluk Singkawang,
16 Maret 2013. Teluk Singkawang adalah pusat Marga Sumay.
[14] Pertemuan di Teluk Singkawang,
16 Maret 2013. Teluk Singkawang adalah pusat Marga Sumay.
[15] Abdulah TH, Mantan Depati Suko
Rame. Dusun Suka Rame, Desa Cermin, 26 Agustus 2016
[18] Pertemuan di Muara Siau, Muara
Siau, Mei 2011
[24] Pertemuan
di Desa Teluk Raya, Kumpeh, Muara Jambi, 9 Mei 2015
[25] Sungai
Ipuh, Selagan Raya, Muko-muko, Bengkulu, 15 Juli 2016
[26]
Endjat Djaenuderadjat dkk, “Atlas pelabuhan-pelabuhan bersejarah di Indonesia”, Direktorat Sejarah
dan Nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Republik Indonesia, Jakarta, 2013, Hal 336
[28] Desa Kembang Seri, Batanghari,
23 Februari 2015
[29] Peninjauan bisa diartikan
sebagai “peninjau”. Dapat dimaknai sama dengan penyampai kabar kepada Raja.
[32] Sarlis Jani, Desa Teluk Kuali,
16 Agustus 2016
[34] Dewan Bahasa Dan Pustaka,
Ensklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Dewan Bahasa dan Pustaka,
Kementerian Pendidikan, 1994, Hal. 723
[35] Suhartini.” Kajian
Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan,” Prosiding
Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA. Yogyakarta:
Fakultas MIPA Universitas Negeri Yogyakarta, 2009..
[39] Catatan lengkap dapat dilihat
didalam tulisan “PENGAKUAN HUKUM TERHADAP HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN
HAMBATAN IMPLEMENTASINYA, Hj. ROSMIDAH, S.H., M.H.
[40] Sebelum dimekarkan menjadi
Kabupaten Sarolangan dan kabupaten Merangin
[63]
SK MERANGIN NO. 287 TAHUN 20013 TENTANG PENGUKUHAN KAWASAN BUKIT TAPANGGANGG
SEBAGAI HUTAN ADAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DESA GUGUK KECAMATAN SUNGAI MANAU
KABUPATEN MERANGIN
Hutan Adat Bukit Tapanggang seluas 690 ha
[76] Suak dikenal sebagai “Sungai
Mati”. Menunjukkan sungai yang tidak mengalir . Desa Sungai Beras, 10 Februari
2018.
[77] Hasil Riset Walhi, 2016
[83] Desa Sogo, 4 Februari 2016
[95] PERATURAN DESA TANJUNG BENUANG
No. 09 Tahun 2011 Tentang Keputusan
Depati Suko Menggalo.
[105] Kearifan Tradisional Masyarakat
Pedesaan dalam Pemeliharan Lingkungan Hidup daerah Propinsi jambi, Hal. 19
[110] Desa Sungai Beras, 09
Desember 2017
[112]
Istilah Marga telah dikemukakan oleh J.W.Royen, seorang
pegawai Pemerintahan Kolonial yang sedang cuti dalam disertasinya (1927). Studi
ini mengenai hak-hak atas tanah dan air dari Marga, yakni suatu unit komunitas
yang murni bersifat teritorial di Palembang, satu dari empat bagian di wilayah
hukum Sumatera Selatan. Selain Palembang, bagian hukum adat lain juga terjadi
di distrik Jambi, Bengkulu dan Lampung. Van Vollenhoven meneyebutkan
beschikkingrecht sebagai sebuah konsep yang seragam, pembentuk identitas
Indonesia yang kepulauan. Lihat ADAT DALAM POLITIK INDONESIA, (editor Jamie S.
Davidson dkk), KITLV, Jakarta, 2010, hal. 89.
[114]
Sebagai factor pertumbuhan
persekutuan hukum (rechtsgemeenshap) sebagai faktor
territorial, maka masyarakat Melayu Jambi terbuka dengan kedatangan penduduk.
Ujaran sepertinya Tanjung
Paku batang belimbing. Tempurung dipalenggangkan. Anak dipangku, kemenakan
dibimbing, orang lain dipatenggangkan,
melambangkan mereka tidak terikat dalam ikatan geneologis. Mereka terbuka
dengan pendatang. Ter Haar menyebutkan sebagai “Persekutuan Desa”
[115]
Didalam “Koninklijk Nederlands Aardrijkskundig
Genootschap” disebutkan in
het batin gebied staan de woningen in de doesoen. Dengan
demikian, maka Batin terdiri dari beberapa Dusun. Sedangkan Cerita di masyarakat, arti kata
“batin” berasal dari kata “asal”. Makna ini kemudian menjadi dasar untuk
pembagian Dusun. Misalnya Batin 12 Marga Sumay. Dengan menggunakan kata
“Batin”, maka ada 12 dusun asal (dusun Tua) sebagai bagian dari Marga Sumay.
Sehingga Dusun didalam Marga Sumay terdiri dari Pemayungan, Semambu, Muara
Sekalo, Suo-suo, Semerantihan, Tua Sumay, Teluk Singkawang, Teliti, Punti Kalo,
Teluk Langkap, Tambon Arang dan Bedaro Rampak. Begitu juga Batin III Ulu yang
terdiri dari Batang Buat, Muara Buat dan Batang Bungo. Muara Buat terdiri dari kampung Dusun Senamat
Ulu, Lubuk Beringin dan Aur Chino.
[124] Didalam jurnal sering
dituliskan “soengei Tenang”
[125] Ada beberapa versi mengenai
arti “Merangin’. Merangin disebutkan dari kisah dari perjalanan pertemuan
Batang Tembesi dengan Batang Merangin. Untuk mengukur berat air antara Batang
Tembesi dan batang Merangin, maka diambil air dan dilakukan penimbangan. Dari
hasil pengukuran, ternyat beratnya hanya sedikit (seperanginan). Maka pertemuan
dua sungai kemudian disebutkan sebagai Merangin. Sementara dari versi lain
disebutkan, adanya tradisi mengangkat padi dan membersihkan menjadi beras
dengan cara mengangkat ke udara sehingga, bulir padi tetap jatuh dan sisanya
dibawa angin.
[126] Jambi comprises the inland districts of pankalan-jambu, batang-asei,
limun, korinchi, serampei and sungei-tenang. some of these district have
excites curiosity by fam of their natural beauty, their mineral wealth, and the
number and industru of their inhabitants. Lihat Proceedings of the Royal
Geographical Society and Monthly Record of Geography, Volume 1
[127] . Gazetteer of The World, Dictionary of Geographical Knowledge,
Vol, VI, A. Fullarton @ Co, Dublin, 1856
[128] Nederlandsch Oost-Indië:
beschreven en afgebeeld voor het Nederlandsche volk, Volume 3 , Nederlansch
Oost-Indie : Beschreven en Afgebeeld voor het Nederlansche volk, Pengarang
Pieter Anthonie Lith, Penerbit Van Schenk Brill, 1875, Hal. 95
[129] Palembang is toegevoegd ; 4. worden er toe gerekend de landschappen
Korintji, Soengei Tenang, Serampas, Batang Asei en Limoen, ten westen en
zuid-westen van djambi gelegen, welken echter nog geheel onafhankelijk zijn.
zij grenst dus ten noorden aan de rijken indragiri en kwantan, waar eene
denkbeeldige lijn, die van den mond van het kustriviertje tongka op. Aardrijksbeschrijkving
van Nederlandsch Oost-Indie, J.J. DE Hollander, Amsterdam Seyffardt’s
Boekhandel, Amsterdam, 1868
[130] De betrekkelijk ligging der dalem van Serampei en Soengei Tenang is
niet duidelijk, daar onze kaarten hier uiterst gebrekking zijn. Serampei
schijnt een lengtedal in dezelfde rigting als dat van Korintji ; Soengei Tenang
schijnt zich om het zuiden en zuidoosten daarvan heen te slingeren. Dit lastste
bevat het schoone meer danau pau, dat van alle zijden omgeven is door hooge en
steile, met digt bosch begroide bergen, die een ontzaggelijk amphitheater
vormen. niet ver vandaar ontsprint de s. tambesi, de tweede hoofdtak van de
djambi-rivier. Aardijkskundig en statitsch, woordenboek van Nederlandsch
Indie, Bewerkt naar de Jongste en Beste Berigten, P. J. Veth, PN. Van Kampen,
Amsterdam, 1869
[131] De
Gids, Dertiende Jaargang, Niewune serie, Tweede Jaargang, PN. Van kampen,
Amstedam, 1849.
[132] Diccionario – Geografico Universal, De
M. Malte-Brun, Calle Gueneguad, Paris, 1828
[138]
Tambo berasal dari bahasa sanskerta, tambay yang artinya bermula. (wikipedia). Dalam tradisi masyarakat Minangkabau, tambo merupakan suatu
warisan turun-temurun yang disampaikan secara lisan. Kata tambo atau tarambo
dapat juga bermaksud sejarah, hikayat atau riwayat. Lihat Sangguno Diradjo,
Dt. Tambo Alam Minangkabau, Balai Pustaka, Jakarta, 1954. Mengenai
istilah “Tambo”, penulis
mendefinisikan tentang cara penetapan suatu wilayah berdasarkan batas-batas
alam. Maka didalam melihat sebuah wilayah klaim adat baik Margo maupun dusun
dilakukan dengan bertutur adat. Tambo ini menerangkan berdasarkan kepada
tanda-tanda alam seperti nama gunung, bukit, sungai, lembah, dan sebagainya.
Tanda-tanda berdasarkan kepada Tambo masih mudah diidentifikasi dan masih
terlihat sampai sekarang.
[146] Sungai Sumay adalah salah satu
anak sungai yang bermuara ke Sungai Batanghari.
[149] Adrianus Chatib, dkk,
Kesultanan Jambi dalam Konteks Sejarah Nusantara, Puslitbang Luktur dan Khazanah,
Jakarta, 2011, Hal. 7
[150] Uka Tjandrasasmita, Beberapa
Catatan Tentang Perdagangan di DAS Batanghari Hubungannya Dengan Jalur
Perdagangan Internasional Pada Abad-abad Pertama sampai Abad XVI”, Makalah
Seminar Melayu Jambi, Pemerintah Provinsi Jambi, Jambi, 1992, Hal. 310
[151] Saifullah, Seminar dan
Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, Hal. 6-7
[152] Slamet Muljana, Sriwijaya, LKiS, Yogyakarta, 2008, hal.
107-119.
[153] Dusun Kapuk adalah dusun yang
terletak di tengah-tengah dari kelima dusun Marga Batin V. Dusun Kapuk
merupakan tempat pertemuan para Rio Depati mengenal masalah-masalah Marga. Arsitektur Tradisional Daerah Jambi,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1986, Hal. 15
[162]
Pertemuan di Rumah Pak Saiful. Dihadiri Ismail (mantan Kades Cermin Alam),
Syargawi (mantan Sekdes Sungai Abang), Anwar (Ketua Lembaga Adat Kecamatan VII
Koto dan Cucu Pesirah), dan Saiful.
[164] Istilah Salo bisa ditemukan
dalam Tambo Dusun Pemayungan dan Dusun Semambu yaitu Salo Belarik
[166]
Data dikumpulkan dari berbagai sumber. Kepala Dusun Fahmi dan Patih Serunai,
Dusun Semerantihan, 24 September 2016, Kepala Dusun Semambu, Desa
Semambu, Kecamatan Sumay, 18 Maret 2013. Ahmad Intan, 21 Maret 2013
[168] Samsuddin, Guguk, 16 Maret
2016. Guguk termasuk kedalam Marga Renah Pembarap.
[169] Pertemuan di Muara Siau, Muara
Siau, Mei 2011
[172] Sejarah Margo
ditetapkan oleh Pemerintah Belanda. Dari berbagai
sumber disebutkan, marga yang mulanya bersifat geneologis-territorial. Menurut
Regeering Reglement (RR) 1854, Nederlandse Indie diperintah oleh Gubernur
Jenderal atas nama Raja/Ratu Nederland secara sentralistis. Daerah Nederlandse
Indie dibagi dalam
dua kategori besar yaitu daerah Indirect Gebied dan Direct Gebied. Daerah
Indirect Gebied adalah daerah yang diperintah secara tidak langsung oleh penguasa Batavia.
[173] “MenghadapTuanku Rajo” adalah
perumpamaan penghormatan terhadap Raja di Muko-muko. Mengenai kerajaan di
Muko-muko saya akan paparkan pada tulisan yang terpisah.
[174] Peta Bakosutanal, 2003
[180] Lindayanti, “Konflik dan
Integrasi dalam Masyarakat Plural, Jambi 1970-2012
[181] Guguk, 16 Maret 2016
[182] Barbara Watson Andaya, Hidup
Bersaudara – Sumatra Tenggara Pada Abad XVII – XVIII, Penerbit Ombak,
Yogyakarta, 2016, Hal. 290
[186] Lembaga Adat Desa Durian
Rambun, Desa Durian Rambun, 28 Maret 2016
[191] Zulkifli yang diberi gelar
“Rajo Nan Putih, Desan Birun, 7 Agustus
2016
[192] Desa Tambak Ratu, 28 Juli 2013
[195]
Sabawi, Pulau Tengah, 14 Maret 2016.