31 Oktober 2018

opini musri nauli : BAB IV - KEWILAYAHAN





I.               WILAYAH

Wilayah Jambi telah dikenal ditengah masyarakat. Masyarakat mengenal kewilayahan dengan istilah Tambo[1]. Membicarakan Tambo ditengah masyarakat Melayu Jambi berdiam di hulu sungai Batanghari[2]. Di daerah hilir lebih dikenal sebagai batas.

Istilah tambo selain membicarakan tentang keberadaan masyarakat, kedatangan asal mula (Puyang atau nenek moyang), juga menceritakan tentang wilayah dan pengaturan tentang wllayah.

Tanda-tanda berdasarkan kepada tambo masih mudah diidentifikasikan dan masih terlihat sampai sekarang. Biasanya merujuk kepada tanda-tanda alam seperti sungai, aur, tebing, pohon, pematang.

Sedangkan penamaan Dusun selalu merujuk tanda-tanda khas. Baik tanda-tanda alam Sungai, Pulau, Lubuk, Renah, Muara, Teluk, Rantau, Danau, Tanjung, Bukit, Ujung dan Lembah maupun penamaan lainnya seperti pohon, nama tumbuhan maupun tanda khas lain.  

Dengan Tambo, maka bisa ditentukan wilayah daerah tertentu yang biasanya ditandai dengan tanda-tanda alam seperti sungai, bukit, napal, renah, lubuk, muaro, bukit, pematang, telun adalah bentuk alam yang tidak hilang. Sedangkan istilah seperti “Dari” artinya dimulai, “ke” artinya menuju,”pelarung” artinya menyeberang sungai atau melewati titian, “naik” artinya mendaki bukit, “turun” artinya menuruni bukit, “balik” artinya kembali. Tanda-tanda berdasarkan kepada Tambo masih mudah diidentifikasi dan masih terlihat sampai sekarang.

Dengan Tambo inilah, suatu wilayah adat dapat diketahui, baik batas wilayah suatu Margo, antara desa satu dengna yang lain dalam satu margo dan tentu saja menghubungkan antara Margo Satu dengna margo yang lain. “Klaim adat” berupa wilayah dan cara kelola yang berdasarkan Seloko dan ujaran adat sampai sekarang menjadi ingatan dan pengetahuan kolektif masyarakat. Dengan Tembo dan Seloko yang diwariskan turun temurun dari generasi.


Tambo yang disampaikan turun temurun pada waktu tertentu[3] selain mengingatkan akan pentingnya tentang keberadaan masyarakat[4], wilayah juga pengaturan terhadap wilayah.

Kadangkala antara satu tempat dengan tempat yang lain menggunakan nama yang berbeda dengan menunjuk satu nama. Atau dengan kata lain, satu tempat dengan istilah penamaan yang berbeda.

Belum lagi ditambah perkembangan wilayah yang kemudian diberi nama yang tidak dikenal dalam khazanah kosakata Bahasa Jambi. Kata-kata seperti “Jaya”, “makmur”, “Maju” adalah penamaan yang tidak dikenal didalam Bahasa Jambi. Kata-kata ini merupakan serapan dari Bahasa Indonesia yang kemudian dilekatkan kedalam nama Desa. Sehingga diperlukan “penyortiran” untuk mencari Dusun semula (dusun asal, dusun tuo atau dusun induk) agar puzzle tidak menjadi terpisah. Seperti didalam Seloko “Mencari bungkul dari pangkal. Mencari usul dari pangkal”.

Diibaratkan puzzle, antara satu cerita dengan cerita yang lain memerlukan bahan pendukung. Entah peta, sketsa peta, catatan perjalanan.

Di Desa Simpang Narso (Marga Batin Pengambang)[5] dikenal batas Marga Batin Pengambang dengan Marga Sungai Tenang dengan Tembo “Bukit Gambut / Batu Lentik Elang Menari[6]. Nama ini dikenal di Desa Beringin Tinggi yang termasuk kedalam Marga Sungai Tenang. Bahkan Dusun “Beringin Tinggi” merupakan tanah pemberian dari Marga Sungai Tenang yang dikenal sebagai tanah “ujung batin’. Yang ditandai dengan seloko “Belalang dari Batin Pengambang, Tanah Koto 10”[7].

Sedangkan Marga Simpang Tiga Pauh dengan Marga Air Hitam dikenal nama “Lubuk Kepayang” [8]. Nama yang kemudian dibenarkan didalam Marga Air Hitam[9].

Begitu juga batas Marga Air Hitam dengan Marga Batin IX Ilir ditandai dengan “Ulu Mentawak”. Marga Air Hitam dengan Marga Maro Sebo Ulu di Sungai Ruan yang ditandai dengan daerah Kejasung”. Sungai Ruan termasuk kedalam Marga Maro Sebo Ulu[10].

Sehingga tidak salah kemudian Perbatasan Marga Air Hitam dengan Marga Maro Sebo Ulu, Marga Simpang Tiga Pauh dan Marga IX Ilir telah disesuaikan dengan penggalian Marga di Marga di Maro Sebo Ulu, Marga Simpang Tiga Pauh dan Marga IX Ilir.

Batas antara Datuk Nan Tigo dengan Marga Pelawan yang ditandai dengan Sungai Merah sebelah Sungai Keruh[11]. Marga Pelawan mengenal Sungai Keruh dan menyebutkan batas dengan Marga Datuk Nan Tigo dengan tembo Lubuk Sayak atau Muara Limun di Bukit Batu[12],

Batas antara Marga IX Koto dengan Marga Sumay dikenal “Rimbo Bulian”[13]. Nama yang juga dikenal sebagai Batas Marga Sumay dengan Marga IX Koto di Marga Sumay[14].

Sedangkan Marga VII berbatasan dengan Marga IX Koto yang ditandai dengan seloko “Durian takuk Rajo, Keramat tanah tumbuh, Muara Sako, Ke Tonggak Perabun Bulian, Menyeberang Sungai Mengkawas, mendaki Batu belarik, Danau terumbai, Menurun ke ujung pematang kulin, tanah ditumbuhi salak [15]. Di Marga IX Koto dikenal batas dengan Marga VII adalah “Sungai Rami/Cermin alam, Pulau Tedung[16].

Begitu juga Marga VII Koto dengan Marga Jujuhan yang ditandai dengan seloko “Payung nan tiga kaki, tiwang tiga kabung”. Nama yang dikenal di Marga Jujuhan[17].

Batas antara Marga Senggrahan dengan Marga Pangkalan Jambi merupakan keunikan. Marga Senggrahan menyebutkan Bukit Kapung Sungai Tinggi Bane Belalang Bukit Gagah berani”. Sedangkan Marga Peratin Tuo menyebutkan “Bukit berani. Sedangkan Marga Pangkalan Jambu menyebutkan “Bukit lipai besibak. Lubuk Birah juga menyebutkan “Bukit Lipai besibak”[18]. Padahal nama “Bukit Gagah berani” atau “Bukit lipai besibak” adalah penamaan satu tempat. Sehingga walaupun dengan nama yang berbeda namun menunjukkan tempat yang sama.

Begitu juga Marga Berbak dengan Marga Dendang/Sabak dan Marga Jebus. Kedua nama tempat disebutkan didalam Marga Berbak sebagai Simpang[19]. Hanya dipisahkan Sungai. Simpang yang dimaksudkan adalah persimpangan Sungai Batanghari yang mengilir ke Timur Jambi dan membelah. Aliran Sungai Batanghari satu menuju langsung ke Muara di Pulau Berhala. Sedangkan satunya berbelok kiri menuju Muara Sabak dan menuju lautan Pantai Timur Sumatera. Sedangkan Marga Jebus menyebutkan batas dengan Marga Berbak adalah “Perbuseno”[20]. Marga Dendang/Sabak menyebutkan batas dengan Marga Berbak dengan tandai “Rambai Belubang dan pangkal bulian[21].

Dengan demikian maka menurut Marga Berbak batas dengan Marga Dendang/Sabak dengan menyebutkan “Simpang” adalah Rampai Belubang dan pangkal bulian”. Sedangkan Marga Berbak yang menyebutkan “Simpang” dengan Marga Jebus dikenal sebagai “Perbuseno” oleh Marga Jebus.

Yang membuat saya kagum, bagaimana para pewaris penutur mampu merawat ingatan, menurunkan ke generasi selanjutnya. Sehingga ketika puzzle dihubungkan menjadi rangkaian wilayah yang sekarang kita kenal sebagai wilayah Provinsi Jambi.


Dengan Tambo masyarakat bisa bertutur sehingga mereka dengan mudah menjelaskan dan menerangkan wilayah adat mereka.

Di daerah hilir dikenal Penamaan tempat yang ditandai dengan tanda-tanda alam seperti “Payo” atau “payo dalam”, Suak, Lopak, Lubuk, Danau, rongkat, pematang atau penamaan lain yang diketahui masyarakat dan menjadi pengetahuan bersama masyarakat.


II.              ARAH MATA ANGIN

Didalam alam kosmopolitan Jawa dikenal “kiblat papat lima pancer’ sebagai nilai falsafat Jawa. Kiblat papat lima pancer sebagai falsafah Jawa merupakan salah satu perwujudan konsep mandala. Suwardi Endraswara menyebutkan “Sedulur papat lima pancer”[22].

Pandangan ini disebut juga “dunia waktu”, artinya penggolongan empat dimensi ruang yang berpola empat penjuru mata angin dengan satu pusat. Hal ini berkaitan dengan kesadaran manusia akan hubungan yang tidak terpisahkan antara dirinya dengan alam semesta. Konsep ini menyatakan bahwa pada dasarnya manusia terlahir dengan membawa hawa nafsu yang bersumber dari dirinya sendiri.

Berdasarkan pandangan kiblat papat lima pancer, nafsu yang menjadi dasar karakter manusia dapat dibagi menjadi empat sesuai dengan arah mata angin, yaitu lauwamah, supiyah, amarah dan mutmainah[23].

Marah kemudian disimbolkan dengan warna merah dan dletakkan sebagai selatan. Sedangkan Birahi disimbolkan warna kuning dan diletakkan sebagai Barat. Nafsu makan kemudian disimbolkan sebagai hitam dan diletakkan sebagai utara. Dan nafsu minum dilekatkan sebagai warnah putih dan diletakkan sebagai Timur. 

Di Masyarakat Melayu Jambi dikenal mata angina ditandai dengan pengungkapan “matahari hidup”, dan “matahari mati’. Matahari hidup merupakan pengungkapan arah matahari terbit. Kemudian dikenal Timur. Sedangkan Matahari mati dikenal sebagai arah matahari tenggelam. Dikenal sebagai Barat.

Muara air Sungai ke “arah matahari hidup” ditandai dengan ikan seperti “ikan lais, ikan baung, ikan toman[24]. Sedangkan Muara air sungai ke “arah matahari mati” ditandai dengan ikan semah, ikan batok dan ikan gabus[25]

Dalam catatan Endjat Djaenuderadjat dkk didalam bukunya “Atlas pelabuhan-pelabuhan bersejarah di Indonesia” menyebutkan angin mati” dan “angin hidup”. Angin hidup adalah angin dari timur sehingga membawa pelayaran dari Indonesia ke Tiongkok, India, Persia maupun Ottaman Turki. Sedangkan “angin mati  adalah angin dari barat ke arah timur. Putaran masing-masingnya dikenal 6 bulan. Membawa hasil rempah-rempah kemudian datang membawa sutera, tekstil, mesiu, emas dan keramik[26].

Catatan lain juga menyebutkan “negeri diatas matahari” dengan merujuk kepada negeri-negeri di Timur. Sedangkan “negeri dibawah matahari” kemudian merujuk kepada negeri-negeri seperti Tiongkok, India, Persia dan Ottaman Turki.

Negeri diatas matahari kemudian dikenal sebagai arah timur. Sedangkan “negeri dibawah matahari” sebagai arah barat.

Sedangkan punggawa penjaga negeri juga ditandai dengan arah angin.  Di Marga Batin Pengambang dikenal Rio Cekdi Pemangku Rajo yang bertugas menjaga pintu dari Timur. Dengan wilayahnya Bathin Pengambang, Batu berugo, Narso. Debalang Sutan yang bertugas menjaga pintu di sebelah selatan. Dengan wilayah Sekeladi, Guguk tinggi, Tangkui, Padang Baru. Menti Kusumo yang bertugas menjaga pintu dari Utara. Dengan wilayah Rantau Jungkai, Renah Kemang, Sungai keradak. Debalang Rajo yang  menjaga pintu dari barat. Dengan wilayah Muara Simpang, narso kecil[27].

Marga Maro Sebo Ulu merupakan Debalang Raja Jambi. Sebagai Debalang Raja Jambi maka senang disebut sebagai “Orang Raja. Yang memerintah di Dusun Kembang Seri, Dusun Sungai Rengas dan Dusun Sungai Ruan[28].

Sebagai Debalang Raja, maka Dubalang di Teluk Leban bertugas untuk menyambut tamu Raja. Debalang di Rengas 9 bertugas untuk penjaga kebun raja. Sedangkan Dubalang di Peninjauan sebagai peninjau terhadap kedatangan yang datang ke Marga Maro Sebo Ulu[29].

Sebagai Dubalang Raja juga dikenal di Marga Pemayung Ulu. Selain menjaga keselamatan Raja, maka Dubalang Raja juga bertindak untuk “memayung Raja’. Sehingga keselamatan Raja ditentukan sebagai “orang kepercayaan” untuk menjaga secara fisik[30].

Di Marga Pemayung Ilir dikenal Debalang Rajo. Berkedudukan di Dusun Kuap. Selain itu juga dikenal “kermit” untuk mengabarkan kampong sebelumnya. Kermit selain bertugas mengayuh perahu (ngayuh mencalang), kermit juga “pemayung Rajo”. Kermit bertugas “disuruh pergi. Dipanggil datang’. Melihat tugasnya maka “Kermit” juga dikenal sebagai “kepak rambai hululang”. “Menjemput yang tinggal. Mengangkat yang berat[31].

Punggawa penghubung kerajaan juga dikenal di Marga IX Koto. Didalam pelarian dengan ditemani “orang kepercayaan” Sultan Thaha Saifuddin, Sultan Thaha Saifuddin begitu dihormati. Setiap jalur pelarian, Sultan Thaha Saifuddin diterima dan dikawal dengan disiapkan “julat”. Julat adalah seorang kepercayaan dari pemimpin dusun di setiap jalur pelarian. Julat kemudian mengawal selama perjalanan hingga ke tempat berikutnya[32],.

Didalam asal usul keturunan Kalbu atau kerajaan Yang dua Belas Bangsa Kerajaan Tanah Pilih dikenal nama perisai (Kerajaan atau kalbu). Dengan tugas, gelar, jabatan dan lokasinya[33].

Dikenal Tumenggung bergelar Paku Negoro di Tujuh koto Sembilan Koto. Tugasnya Menunggu Rumah Pusaka Sunan Pulau Johor dan pengawal Kerajaan. Kemudian Pasirah Setio Guno di Betung Bedarah (Petajin). Tugasnya membuat dan merawat Rumah Raja. Kemudian Sunan Kembang Seri bergelar Wira Sandika di Kademangan. Tugasnya Penjaga keamanan.

Tumenggung bergelar Puspo Wijoyo/Pangeran Keromo Yudo di Kampung Gedang dan Tanjung Pasir. Tugasnya Pengadaan kerbau seekor, kelapa seratus buah, beras seratus gantang serta asam garamnya jika ada sedekahan atau penobatan Raja. Kemudian Temenggung Suto Dilago dio Kampung Baru Tanjung Pedalaman Jebus. Tugasnya sebagai panitia penobatan Raja dan menyediakan keperluan penobatan. Jadi sebelum Raja dinobatkan, dialah yang dahulu Raja. Sebab dialah yang mengatur semua keperluan Raja. Maka kemudian digelar juga Rajo. Tugas lain merawat Rumah Raja.

Di Marga Air Hitam dikenal Pasirah Setio Guno di Lubuk Kepayang. Tugasnya mengambil kayu api an Air. Di Marga Awin dikenal Penghulu/Pemangku yang bergelar Ngebi Raso Dano. Berpusat di Pulau Kayu Aro. Tugasnya sebagai pengawal Raja.

Di Muara Pijoan dikenal Penghulu/Pemangku yang bergelar Ngebi Singo Keti di Kuap. Tugasnya mengawal Raja. Selain itu juga dikenal Penghulu/pemangku yang bergelar Ngebi Kerti Diguno di Sekernan. Tugasnya merawat Raja dan membuat kayang untuk Raja. Selain itu di Sungai Duren dikenal Penghulu/pemangku bergelar Ngebi Suka Dirajo. Tugasnya menyediakan pengangkutan. Sedangkan di Sarang Burung dikenal Penghulu/Pemangku yang bergelar Ngebi Singo pati Tambi Yudo. Tugasnya Memelihara persenjataan.

Dan di Terusan dikenal Pemangku/penghulu bergelar Jaga Patih Temin Yudo yang bertugas sebagai pengawal Raja.

III.            PANTANG LARANG

Masyarakat mengenal daerah-daerah yang dilindung yang dikenal dengan istilah pantang larang. Daerah pantang larang kemudian dikenal sebagai daerah lindung atau daerah konservasi tinggi.

Pantang larang terdiri atas dua kata “ pantang dan larang”. Pantang berarti tabu, larangan, terlarang, sedangkan larang adalah mencegah agar sesuatu tidak dilaksanakan, memerintah untuk meninggalkan. Didalamnya terkandung ungkapan yang diturunkan secara lisan secara turun-temurun

Sebagai sebuah warisan dari puyang masyarakat Melayu Jambi, pantang larang menimbulkan hukuman yang ketat untuk menghormati daerah-daerah tertentu yang disimbolkan dengan pantang larang.

Pantang larang digunakan oleh Suku Melayu sejak zaman nenek moyang, karena pantangan dan larangan mampu mengobati penasaran masyarakat. Pantang larang tersebut sudah menjadi adat bagi suku melayu. Adat adalah kebiasaan. Adat merupakan warisan leluhur yang diturunkan kepada generasi ke generasi selanjutnya. Konsep adat yang terdapat dari suku melayu berkaitan dengan, diantaranya; a) adat sebagai kebiasaan untuk menghormati yang lebih tua., b) adat yang dikhususkan pada melaksanakan upacara, misalnya perkahwinan., c) adat yang berkaitan dengan lingkungan yang perlu dihormati dan dilaksanakan dengan ritual-ritual yang sudah melembaga., d) adat sebagai hukuman kepada masyarakat., e) adat sebagai adat istiadat dengan berbagai macam perilaku ritual yang ditampilkan yang dianggap mempunyai nilai magi., f) adat sebagai sistem kelembagaan, misalnya lembaga keluarga, agama, politik, budaya dan lain-lain[34].

Pantang larang dalam masyarakat memiliki makna yang sangat dalam. Walaupun pantang larang yang dimiliki oleh masyarakat tetapi sebagai produk manusia pantang larang dianggap mitos yang diyakini kebenarannya tetapi tidak dapat dibuktikan. Pantang larang menjadi sebuat adat di masyarakat yang merupakan khazanah budaya yang mengandung nilai tradisi di masyarakat[35].

Di Marga Batin Pengambang dikenal Seloko seperti “Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo adalah daerah-daerah yang memang tidak boleh dbuka. 
Di Desa Batu Empang dikenal[36], Hulu Air/Kepala Sauk, Rimbo Puyang/RImbo Keramat, Bukit Seruling/Bukit Tandus.

Di Marga Bukit Bulan terdapat PERDES NAPAL MELINTANG NO. 3 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN ADAT yang mengatur Hutan Adat di Desa Napal Melintang. Seluas 210 Ha yang terdiri dari  Hutan Adat Imbo Pseko terletak di Dusun Napal Melitang dengan luas 140 Ha dan Hutan Adat Imbo Lembago terletak di Dusun Napal Melintang dengan luas 70 Ha.

Selain itu juga dikenal SK BUPATI Sarolangun Nomor 206 Tahun 2010Tentang Pengukuhan Kawasan Hutan Adat Bukit Bulan “Batin Jo Penghulu, Hutan Adat Bukit Bulan Batin Jo Panghuku seluas 1.368 ha meliputi 5 DesaLubuk Bedorong (441 ha), ang terdiri dari Hutan Adat Rio Peniti di Dusun Lubuk Bedorong seluas 313 ha, Hutan adat Pengulu Lareh di Dusun Temalang 128 ha.

Desa Meribung 461 ha terdiri dari Hutan adat Pangulu Batuah di Dusun Meribung 295 ha, Hutan adat Datu Monti di dusun tinggi 48 ha, Hutan Adat Pangulu sakti Dusun Sungai Beduri 100 ha dan Rimbo Larangan di Dusun Meribung 18 ha.

Desa Napal Melintang (210 di Hutan adat Imbo Pseko di Dusun napal melintang 140 ha dan Hutan Adat Imbo Tembago di Dusun Napal Melintang 70 ha.

Desa Mersip 158 ha di Hutan adat Datuk Rajo Intan terletak di Dusun Mersip Ulu 80 ha dan Hutan Adat Datuk Menteri Sati di Dusun Mersip Tengah/Ulu Pangi 78 ha.

Desa Berkum di Bukit Raya 98 ha. .

Di Marga Batang Asai tengah dikenal Tempat yang tidak boleh dibuka. Kepala Sauk, bukit gundul, bukit larangan, dan setiap hulu sungai[37]. 
Yang ditandai dengan Seloko “Teluk sakti, Rantau Betuah. Gunung Bedewo”.

Di Marga Pemayung Ulu dikenal “rimbo bulian” atau terdapatnya hutan yang memang banyak pohon bulian[38]. Bulian adalah tanaman khas Jambi yang terkenal “kekokohannya”, kebal dari rayap dan kuat. Sebagian orang juga menyebutkan “kayu besi”. Ada juga menyebutkan Muara Bulian dengan “Pangkal Bulian.

Di Marga Batin III Ulu dikenal Bukit Bujang Dusun Senamat ulu Sebagai Hutan Adat dan telah dikukuhkan berdasarkan SK Bupati Kabupaten Bungo nomor 48/HUTBUN Tahun 2009 seluas 223 ha.

Begitu juga di Lubuk Beringin yang menjaga Ndendang Hulu Sako – Batang Buat dan Telah dikukuhkan berdasarkan PERATURAN DUSUN LUBUK Nomor 01 Tahun 2009.

Berbagai Hutan di berbagai tempat dikenal di Jambi. Di Kabupaten Bungo telah lahir Perda Kab. Bungo No. 3 Tahun 2006 tentang masyarakat hukum Adat Datuk Sinaro Putih. Dan SK Bupati Bungo No. 1249 tahun 2002 tentang pengukuhan Hutan adat Desa batu kerbau Kec. Pelepat[39].

Di Kabupaten Sarolangun Bangko[40] telah lahir Surat Keputusan (SK) Bupati Kepala Daerah Tingkat II Sarolangun Bangko No. 225 Tahun 1993 tentang Penetapan Lokasi Hutan Adat Desa Pangkalan Jambu.  Kabupaten Merangin kemudian juga telah menghasilkan SK Bupati Merangin No. 95 Tahun 2002 tentang pengukuhan Hutan Adat Rimbo penghulu Depati, SK Bupayi Merangin No. 287 Tahun 2003 tentang Pengukuhan Kawasan Bukit Tapanggang sebagai hutan adat Desa Guguk kec. Sungai Manau, SK Bupati Merangin No. 95 Tahun 2002 Tentang Pengukuhan hutan adat Rimbo Penghulu Depati Gento Rajo Desa Pulau tengah Kec. Jangkat.

Di samping itu terdapat kebijakan yang mengatur kepentingan masyarakat hukum adat di Jambi seperti Perda Kab. Merangin No. 22 tahun 2002 tentang pengurusan hutan dan retribusi hasil hutan yang dalam beberapa pasalnya mengatur mengenai hutan adat, Perda Kab. Bungo No. 9 Tahun 2007 tentang Penyebutan kepala Desa menjadi Rio, Desa menjadi Dusun dan Dusun menjadi kampung yang memberlakukan sistem pemerintahan lokal berdasarkan budaya setempat. Perda Kabupaten Bungo No 30 tahun 2000.

Sementara itu Sarolangun sendiri sudah menetapkan, kawasan tersebut tercatat ada
sebelas hutan adat yang sudah diakui pemerintah, yakni hutan adat
Pengulu Laleh (128 ha), hutan adat Rio Peniti (313 ha), hutan adat
Pengulu Patwa (295 ha), hutan adat Pengulu Sati (100 ha), hutan adat
Rimbo Larangan (18 ha), hutan adat Bhatin Batuah (98 ha),  hutan adat
Paduka Rajo (80 ha), hutan adat Datuk Menti Sati (78 ha), hutan adat
Datuk Menti (48 ha), hutan adat Imbo Pseko (140 ha), dan hutan adat 
Imbo Lembago (70 ha).

Di Kerinci terdapat Hutan Adat sesuai SK Bupati Kerinci No. 226 Tahun 1993 Tentang Nenek Limo Hiang Tinggi Nenek Empat Betung Kuning Muara Air Dua,  Hutan Adat sesuai SK Bupati Kerinci No. 176 Tahun 1992 Tentang Hutan Temedak, Desa Keluru, Kecamatan Keliling Danau, Kabupaten Kerinci dan Hutan Adat sesuai SK Bupati Kerinci No. 96 Tahun 1994 Desa Lempur Mudik, Desa Lempur Hilir, Desa Dusun Baru Kelurahan Tengah, Gunung Raya, Kabupaten Kerinci. Belum lagi hutan adat yang berada di 24 Desa sekitar TNKS[41].

Di Marga Pelepat dikenal “Rimbo batuah[42]”. Rimbo batuah juga dikenal di Marga Sungai Tenang dengan seloko “rimbo sunyi”, Rimbo keramat di Marga Sumay atau di Marga Batin Pengambang “teluk sakti rantau betuah gunung bedewo”.

Di Batu Kerbau dikenal Hutan lindung batu Kerbau 776 ha, Hutan lindung Belukar Panjang 361 ha, Hutan Adat Batu Kerbau 330 ha, Hutan Adat Belukar Panjang 472 ha, Hutan Adat Lubuk Tebat 360 ha sebagai kawasan yang dilindungi[43].

Di Marga Senggrahan dikenal aturan pengelolaan terhadap hutan adat[44]. Di Desa Lubuk Beringin ditandai dengan “Muaro sungai jambun, Sengak, Bukit Kemulau tinggi, Bukit Kemulau Rendah, kerenah Rotam Udang, Sungai Keladi dan[45]. Di Desa Lubuk Birah dikenal Aur Cino, Muaro Sei Meling, Bukit Sulah, Muro Lumpang, Sekeladi, Lubuk Peluncuran Nago, Sungai Telau, Sungai Paku Aji, Napal Takuk Rajo dan sungai Jambun[46]. Di Desa Durian Rambun dikenal seberang nilo arah sungai gelumpang laju ke dumpen terus ke sengak[47]..

Di Marga Pangkalan Jambu desa Biru dikenal “Hulu Sungai Birun Gedang, Sungai Birun Kecik, Hulu Sungai , Langeh, dan Seberang Sungai Merangin[48]

Di Marga Sungai Tenang dikenal berbagai daerah pantang larang. Di Desa Tanjung Mudo dikenal Ulu Sungai/Rimbo Ganuh, Gunung, lereng sungai Tidak boleh boleh dibuka dan dijaga untuk anak cucu[49]. Di Desa Renah Pelaan dikenal hulu sungai batu berdiri, bukit padang dan bukit luncung[50]. Di Desa Muara Madras dikenal “hulu mentung hingga ke muaro sako I sungai madras. Daerah ini dikenal sebagai Hutan Adat. Dan didaerah Hulu sungai belula, sungai batudiri, muaro sungai buluh, sungai Batang Asai Gedang, Sungai Tangkui, Bukit Batu Sembahyang, hulu sako II,  mentenang sungai belula. Dikenal sebagai Hutan Desa[51]. Di Desa Tanjung Dalam dikenal bukit tongkat, sungai maras besar, sungai sebagai hutan Desa[52]. Di Koto Tapus (jangkat) dikenal di daerah sungai lirik, sungai mentenang, sungai tembesi, sungai lintang, peradun batang bukit ranjang, sungai gebu, sungai duo, sungai tembesi di lubuk cabe[53].

Di Desa Beringin Tinggi dikenal nama tempat “Muara Lubuk Temenyung, lubuk banyak ikan, Sungai Lasi, Bukit Rejak Buluh Nipih Batang Asai, Lang Lentik Menari, bukit gambut ke Lubuk Pekak[54]. Di Desa Pematang Pauh dikenal “sungai mayek, sungai lirik, sungai seluang dan sungai batang asai. Selain itu juga dikenal “hulu sungai mampayang, hulu sungai mampiul, hulu sungai lirik, hulu sungai mayah dan daerah bukit rungkuk[55].

Di Desa Gedang dikenal “Rimbo sunyi, Rimbo Berpenghulu, Ulu Sungai/Rimbo Ganuh, Gunung, lereng sungai[56]. Begitu juga di Desa Kotobaru[57], Desa Tanjung Benuang[58]. Di Desa Tanjung Alam dikenal “Rimbo sunyi, Ulu Sungai/Rimbo Ganuh, Gunung, lereng sungai, Pinggiran Sungai Lembatang[59]. Di Desa Tanjung Mudo dikenal “hulu Sungai Lembatang yang merupakan daerah “pantang larang” dari Piagam Depati Duo Menggalo[60].

Di Marga Peratin Tuo di Desa Tanjung Berugo dikenal “Hutan daerah bukit sedingin dan gunung masurai. [61]. Selain itu juga dikenal “daerah nilo sensing, sungai sengak, sungai ladi dan sungai lolo. Di Desa Sungai Pinang dikenal Gua sengayau, pematang bukit, dan sungai batang sengayau[62].

Di Marga Renah Pembarap Desa Guguk dikenal Hutan Adat Bukit Tepanggang[63]

Di Marga Senggrahan di Desa Lubuk Beringin dikenal daerah Batang Nilo, Nilo Dingin, Sungai Sengak dan Renah Rotan Udang[64]. Di Desa Lubuk Birah dikenal juga Batang Nilo, Nilo Dingin, Sungai Buang, muaro Lumpang, Renah Rotan Udang, pematang pila, hulu sekeladi, hulu Sungai Sumpen kecik, batang Sengak Muaro Sungai Duo, sungai lumping,  Muaro Sungai Lubuk Tubo, Sungai Buang Muaro Sungai Pandak” [65]. Di Desa Durian Rambun dikenal Hutan adat sungai gelumpang, sungai sengak, sungai dempen, renah tembesu, sungai maruk renah rotan udang[66].

Di Marga Sumay di Desa Pemayungan dikenal hutan keramat yang terletak di Tanah Penggal, Bulian Bedarah, Bukit Selasih, Pasir Embun”[67]. Di Desa Muara Sekalo, pantang larang dikenal di hutan larangan, sialang pendulangan, lupak pendanauan, beduangan dan tunggul pemarasan[68] dan Desa Semambu[69]. Di Desa Suo-suo dikenal “Pantang padan, Bukit Siguntang, Gulun, Tepi Sungai, Sialang Pendulangan, Lupak Pendanauan dan beduangan[70]. Di dusun Semerantihan (dikenal sebagai Talang Mamak) dikenal “Daerah Sungai Menggatal, Kedemitan yang terletak didalam bukit 30, Sungai Sako, Talang Betung, Sungai Semerantihan, Sungai Kupang yang terletak di Pemandian gajah, Lubuk Laweh, Sungai Beringin, Pengian Hilir, Sungai Pauh, Pangian Ulu, Kemumu, Bukit Tambun Tulang, Hutan Keramat, Lupak Pendanauan, Pinang Belaian, Mendelang, Rimbo Siaga, Rimbo Lampau-lampau. Nama tempat Sungai Kupang di Pemandian Gajah adalah nama tempat seluruh satwa di Bukit Tigapuluh sebagai tempat peminuman air. Sehingga tempat itu harus dilindungi sebagai wilayah konservasi untuk satwa. Bukit Tambun Tulang terletak di anak Sungai Manggatal atau di Ulu Bukit Tambun Tulang[71].

Nama-nama tempat yang dihormati dan dilarang untuk dibuka termasuk kedalam kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Sehingga terbukti masyarakat mempunyai cara dan handal menjaga kawasan hutan sehingga tetap menjadi tutupan hutan yang baik (forest cover).

Di Marga Maro Sebo Ulu[72] dan Marga Petajin Ilir di Desa Lubuk Mandarsyah dikenal “Bukit Bakar”[73].

Orang Rimba Bukit Dua Belas mengenal tempat-tempat yang dihormati. Dikenal sebagai tempat keramat, untuk menyebut contoh berikut ini, yaitu Tano Peranakon (Tempat orang Rimba melahirkan putra-putrinya), Tano Pasoron (Tempat orang rimba menyimpan jenazah anggota keluarga), Tano Terban (Tanah yang terdapat di sisi-sisi jurang. Dengan sendirinya tanah itu mudah sekali mengalami longsor), Sentubung Budak (Tempat orang Rimba menanam bali (plasenta), Balo Balai (Tempat orang Rimba melangsungkan pernikahan), Balo Gajah (Tempat yang dipercaya oleh Orang Rimba didiami oleh Dewa penguasa hutan (gajah), Inum-inuman (Mata air yang terdapat dalam hutan), dan Tempelanai (Tanah yang berbentuk seperti tonjolan-tonjolan).

Selain itu, dipercaya oleh Orang Rimba sebagai kuburan penguasa hutan, yaitu tempat tumbuh Sialang (Kawasan tempat tumbuhnya jenis-jenis pohon yang dijadikan sarang oleh lebah madu), tempat tumbuh Jernang (Kawasan tempat tumbuhnya sejenis rotan yang sangat berharga bagi orang rimba, dan diambil buahnya bukan batangnya), tempat tumbuh buah-buahan (Kawasan tempat tumbuhnya pohon buah-buahan yang bernilai ekonomi tinggi, tempat tumbuh Tenggiris (Kawasan tempat tumbuhnya sejenis pohon yang berhasiat sebagai obat-obatan tradisional (berfungsi mengeraskan ubun-ubun bayi), Jemban Budak (Tempat untuk pertama kalinya bayi dimandikan), Bendungan atau Tebat (Tempat  yang dipercaya oleh Orang Rimba sering didatangi Dewa-dewa untuk mandi), Tanah Bersejarah (Kawasan yang dipercaya oleh Orang Rimba memiliki kaitan sejarah dengan kehidupan leluhur mereka), Payo lebor (Tanah basah yang banyak ditumbuhi tumbuhan-tumbuhan air. Bisa juga disebut rawa hutan) [74].

Orang Rimba menyebut hutan sebagai rumah, dengan mengatakan; “ghimba iyoya ghumah kamia(rimba adalah rumah kami)[75].

Di daerah hilir dikenal Hutan hantu pirau. Terletak di “Payo” atau “payo dalam”, Suak[76], Lopak, Lubuk, Danau, rongkat, pematang atau penamaan lain yang diketahui masyarakat dan menjadi pengetahuan bersama masyarakat. Yang ditandai dengan “pakis, sak sangkut dan jelutung[77]”. Atau “duo-tigo mata cangkul”[78]

Istilah “duo – tigo mato Cangkul” adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan apabila diayunkan cangkul dua atau tiga kali ayunan ditemukan air maka dikategorikan sebagai daerah yang tidak boleh dikonversi untuk tanaman selain padi.

Di Marga Kumpeh daerah Pematang Kapas seperti di Desa Sponjen, Dusun Pulau Tigo[79] Desa Sponjen dan Kelurahan Tanjung. Di Dusun Pulau Tigo dikenal “Sungai Buayo[80]. Pematang kapas, pematang Semeleng, Sungai Buayo, Batang Cengal adalah Tempat ikan. Pematang Cengal juga sering disebut “kasang kering’. Di Kelurahan Tanjung “pematang Semeleng dan Sungai Buayo adalah daerah Lahan adat[81].

Desa Sponjen dikenal Daerah yang khusus tempat mencari ikan seperti Lubuk maratemo, Lubuk Manggis, Lubuk Belanti, Lubuk cengal. Daerah untuk pengambilan rumbai seperti Danau gerogol, Sungai Katung, Sungai bungur kecil, Sungai rengas, Sungai makuang, Buluran bugis, Tali gawe, Sungai lais, Matang marajele.

Selain itu dikenal tanah peumoan yang khusus tanaman padi. Di Sponjen ditandai didaerah Peumoan buluran bugis, Peumoan rimbo, Peumoan rimbo piatu, Peumoan buluran labu kayu, Peumoan buluran lanjang.

Selain itu dikenal petanang. Daerah untuk tanaman tahunan. Seperti Pematang lebar, Pematang kapas, Penguloan panjang, Pematang marajel, Pematang pune[82]

Di Desa Sogo  Daerah yang tidak boleh dibuka seperti Lubuk Ikan yaitu Lubuk Sunge Pening, Lubuk Jama’at, Lubuk Sunge Sogo, Lubuk Sunge Biak, Lubuk Cengal, Lubuk Bebeko, Lubuk Sunge Bemban, Selat Sogo,Sunge Talang, Pematang Rotan. Tanah peumoan”, yaitu daerah yang dikhususkan untuk penanaman padi tidak boleh ditanami tanaman lain selain padi, tanah peumoan tersebut seperti Peumoan Sunge Biak,  Peumoan Sunge Sogo, Peumoan Pantai, Peumoan Talang, Peumoan Awa Simpang Medang, Peumoan Selat, Peumoan Dano. Daerah sepanjang Sogo seperti Sepanjang Sogo Pematang Talang Belubang, Pematang Talang Tanjung, Pematang Talang Bebeko, Pematang Talang Buluran Jeruk Tipis, Pematang Talang Sunge Bemban, Pematang Talang Parit Putus, Pematang Darat Sogo, Talang Pematang Kapas.

Selain itu daerah lokasi pandan seperti Darat Sogo, Sunge Sogo, Sunge Biak , Batang Mengkuang, Seberang Olak, Pedak Ampo[83].

Di Desa Sungai Bungur di daerah peumoan seperti Peumoan Sungai Kerupuk , Peumoan Sungai Nawar, Peumoan Sungai Tejo, Peumoan Sungai Bungur, Peumoan Sungai Batu, Peumoan Teluk Sungai Duo, Peumoan Lebung Ipuk-Ipuk, Peumoan Pematang Tepulo, Peumoan Pematang Sirih, Peumoan Pematang Tepus. Selain itu juga di Sepanjang Sungai Bungur Pematang Tepus, Pematang Tapulo, Pematang Sirih, Pematang Petar, Pematang Lebar. Daerah Lokasi Pandan Tapulo, Sungai Kerupuk, Sungai Gunting, Parit. Daerah Lubuk Ikan Lubuk Serapil, Lubuk Medang, Lubuk Belanti, Lubuk Ujung Tanjung[84].

Di Desa Rukam dikenal Buluran Muning darat, Buluran Muning laut, Lubuk Tapa, Danau Cepedak aek, Danau Gerang, Danau Empang Panjang, Buluran Bungin[85]

Di Marga Tungkal Ulu dikenal di Parit Banol (Sungai Rambai)[86], Londang (Lumahan)[87], Kuala Belaga, Simpang Jadam, Air Tenang 4. Bidawang, Lintas Panjang (Daerah Senyerang ) dan Lintas Senyerang (Daerah Senyerang )(Suak Samin) [88].  Sedangkan di Desa Serdang Jaya yang dilindungi adalah Hutan Lindung Gambut Bramitam yang terletak di Dusun Sri Menanti[89].

Di daerah Tanjung Jabung Timur di Desa Sungai Beras dikenal daerah seperti Ujung Parit Ujung Sungai Buluh , Ujung Sungai Budaya, Ujung Parit Senang, Ujung Parit Teluk Pagar, Ujung  Parit Lapis Teluk Pagar, Ujung Sungai Beringin, Ujung Sungai Apok[90]


Selain mengenal pantang larang terhadap daerah yang dilindungi, masyarakat Melayu Jambi juga mengenal pantang larang terhadap hewan dan tumbuhan. Di Desa Sunga Keradak (Sarolangun) mengenal  Kepala Sauk, bukit gundul, bukit larangan, dan setiap hulu sungai yang tidak boleh dibuka. Selain itu juga tanaman yang tidak boleh ditebang seperti durian, petai, cempedak hutan, kayu sengkawang, kabau, enau, landor rambai, tampui, mampaung, tayas, manggis, jering (jengkol), dan baungan. Dan hewan yang tidak boleh diburu seperti Harimau, macan, beruang, anjing hutan, tapir (tenok), kucing hutan, ungko, siamang, burung gading (termasuk seluruh burung-burung yang dilarang)[91].

Di Marga Batang Asai Tengah dikenal Tanaman Yang tidak boleh ditebang. Yaitu durian, petai, cempedak hutan, kayu sengkawang, kabau, enau, landor rambai, tampui, mampaung, tayas, manggis, jering (jengkol), dan baungan. Hewan yang tidak boleh dibunuh, diburu. Harimau, macan, beruang, anjing hutan, tapir (tenok), kucing hutan, ungko, siamang, burung gading (termasuk seluruh burung-burung yang dilarang) [92].

Tanaman yang menghasilkan seperti Pohon Durian, pohon embacang, pohon rambutan tidak boleh dipanjat[93]. Begitu juga di Desa Kotobaru “Harimau, gajah dan badak dilarang  diburu dan dibunuh. Tanaman yang menghasilkan seperti Pohon Durian, Pohon petai, pohon jengkol tidak boleh[94], Desa Tanjung Benuang[95]. Di Desa Tanjung Alam dikenal “Pohon Durian, pohon embacang tidak boleh dipanjat. Ikan tidak boleh diracun. Burung gagak tidak boleh diambil[96].

Di Marga Jujuhan dilkenal pantang larang yang disebut kesalahan “memanjat langsat larangan”. Langsat adalah istilah lain dari tanaman duku. Tanaman duku dan durian sama sekali tidak boleh dipanjat. Namun duku boleh “dijuluk”, diambil dengan menggunakan kayu yang panjang[97].

Sedangkan Di Desa Baru Pelepat, Desa Batu Kerbau dan Dusun Lubuk Telau pengambilan ikan disungai hanya boleh dilakukan dengan cara menjala, memancing, pukat, menauh, nyukam, nembak, najur, nagang, lukah[98]


Di Marga Sungai Tenang dikenal Hukum Patanahan dan Hukum Rimbo. Hukum Rimbo mengatur tentang (1) Keayek samo diperikan, kedarat sama di perotan. Setiap penduduk dusun memiliki hak atas tanah adat untuk dimanfaatkan. (2) Beladang jauh. Penduduk luar dusun yang berumo beladang dianggap Beladang Jauh, yang hanya memilki hak pakai terhadap tanah adat. (3) Wenang pilih artinya prioritas hak kepemilihan. (4) Hutan atau Rimbo yang dilarang dibuka dalam wilayah dusun. 
(5) Nutuh Kepayang Nubo Tepian artinya dilarang melakukan sumberdaya alam yang merupakan sumberdaya alam yang bermanfaat bagi orang banyak. (6) Dendang kayu batakuk baris, dendang hutan besawa sulo[99].

Nutuh Kepayang Nubo Tepian artinya dilarang menebang kayu dihutan yang bermanfaat bagi orang banyak dan mahkluk lain seperti : Kayu yang berbuah (embacang, pauh, petai, kepayang) dan kayu yang berbuah yang buahnya dimakan oleh burung-burung. Dilarang menebang kayu tempat bersarangya swowalang (lebah hutan yang mengahasilkan madu). Petai dak boleh ditutuh, durian dak boleh dipanjat artinya mengambil buah petai dilarang memotong dahannya, mengambil buah durian dilarang memanjatnya dan menggugurkan buah yang belum masak. Dilarang menubo (meracun) dan menyentrum ikan di sungai.

Di Marga Senggrahan dikenal aturan pengelolaan terhadap hutan adat[100], adanya larangan untuk mengambil buah-buahan dengan menebang dan merusak pohonnya dikenai sanksi 1 ekor kambing, 20 gantang beras, 20 buah kelapa dan selemak semanisnya.

Di Marga Sumay di Desa Pemayungan, pohon sialang tidak boleh ditebang. Dikenal dengan istilah “Membuka pebalaian”. Sanksinya cukup keras dengan hukuman “Kain putih 100 kayu, kerbau sekok, beras 100 gantang, kelapa 100 butir, selemak semanis seasam segaram dan ditambah denda Rp. 30 juta, kayu diserahkan kepada Desa[101]. Selain pohon sialang yang dilarang untuk ditebang, pohon durian, duku, bedaro dan manggis juga tidak boleh ditebang. Sanksinya adalah kerbau sekok, beras 100 gantang, kelapo 100 butir  dan selemak semanis. Begitu juga di Desa Muara Sekalo[102] dan Di Desa Suo-suo “Pohon yang tidak boleh ditebang Pohon Sialang, Pohon Durian, Pohon Duku, Pohon  Petai[103]. Di Dusun Simarantihan mereka menghormati Harimau yang dianggap sebagai saudara yang melindungi Desa. Beruang sebagai hewan peliharaan. Selain itu juga mereka menghormati pohon-pohon yang tidak boleh ditebang. Seperti pohon bulian, pohon durian, pohon duku, pohon macang dan pohon manggis, pohon sirih dan pohon gambir dan pohon rambutan.

Sebagai masyarakat yang menjunjung dan menghormati hutan, masyarakat juga mengenal tatacara didalam mengelola sumber daya alam. Di Talang Mamak Istilah seperti Langsat-durandan, Manggis-Manggupo, Durian-Kepayang, Sialang-Pendulangan, Sesap-Belukar, Suak-Sungai, Lupai Pendanauan[104].

Lupak merupakan danau yang tercipta dengan sendirinya dari proses alam.  Sedangkan pendanauan adalah genangan air berupa danau. Sesap adalah belukar yang baru ditinggalkan. Sedangkan  belukar adalah semak yang sudah lama ditinggalkan namun masih terdapat tanaman tua seperti durian, macang, jengkol. Peninggalan dari “puyang’.

Sialang adalah pohon yang terdapat lebah untuk menghasilkan madu. Sedangkan pendulangan, pohon yang terdapat lebah namun pohonnya terdapat di hutan.

Manggis adalah tanaman yang ditanami. Sedangkan Manggupo adalah tanaman manggis yang tumbuh sendiri di hutan.

Selain itu dikenal istilah Titak Tikal Embang. Titak adalah pohon yang sekali ditebang langsung putus. Tikal adalah pohon yang direbahkan. Sedangkan Embang adalah bekas belukar. Belukar adalah tanah yang sudah dibuka namun kemudian ditinggalkan.

Begitu juga SAD “Dilarang menebang pohon-pohon tertentu yang dianggap keramat seperti sentubung atau tenggeris serta pohon warisan seperti durian atau sialang, termasuk juga larangan memakan buah-buahan atau hewan tertentu bagi laki-laki saja, atau perempuan saja.

Di Marga Kumpeh Ulu dikenal Pudak. Pudak adalah sebangsa tumbuh-tumbuhan yaitu sebangsa Pandan yang berduri tapam pada pinggir kiri dan kanan daunnya. Pandan berduri kemudian disebutkan Pudak. Pudak dibutuhkan masyarakat untuk membuat barang ke humo. Daunnya berguna. Duri daun untuk penangkal berang-berang dan tikus di sawah[105].

Di Marga Kumpeh ilir “Pohon yang tidak boleh ditebang yaitu pohon sialang (pohon yang    lebahnya), Pohon kemang, pohon durian, pohon duku, pohon jengkol, pohol manggis dan pohon rambutan[106]. Seperti di Desa Sponjen[107], Desa Sogo[108] dan Desa Sungai Bungur[109].

Di Desa Sungai Beras tanaman yang dilindungi adalah Punak, Meranti, Simpur, Balam, Medang, Rengas, Jelutung, Pulai, Parak, Ramin, Geronggang, Kelat, Kempas, Malas. Sedangkan Hewan Yang Dilindungi Beruang, Harimau, Tempalo, Landak, Teringgiling, Burung Rangkok, Monyet, uwak-uwak , Ular, Burung cicak hijau, Ayam hutan.[110]


IV.           PENAMAAN DESA
a.    SUNGAI

Membicarakan Jambi tidak dapat dilepaskan dari Sungai Batanghari. Sungai Batang Hari merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari, yang terdiri atas beberapa sub DAS seperti Sub DAS Batang Tembesi, Sub DAS Jujuhan, Sub DAS Batang Tebo , Sub DAS Batang Tabir, Sub DAS Tungkal dan Mendahara, Sub DAS Air Hitam, Sub DAS Airdikit, Sub DAS Banyulincir. Namun ada juga menyebutkan Batang Asai, Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang Tabir, Batang Tebo, Batang Sumay, Batang Bungo, dan Batang Suliti.

Aliran Sungai Batanghari dan anak-anak sungainya dapat dilayari sepanjang 3.224 km dengan lebar 50-65 meter. Kedalaman alur pelayaran antara 1-10 meter. Sekitar 95 % ekspor Jambi setiap tahunnya diangkut melalui Sungai Batanghari. Disamping itu, bahan bakar minyak. Disamping itu, bahan bakar minyak, bahan kebutuhan dan muatan umum lainnya diangkut dan didatangkan ke Jambi melalui Sungai Batanghari.

Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Hari merupakan DAS terbesar kedua di Indonesia, mencakup luas areal tangkapan (catchment area) ± 4.9 juta Ha. Sekitar 76 % DAS Batang Hari berada pada provinsi Jambi, sisanya berada pada provinsi Sumatera Barat.

DAS Batang Hari juga berasal dari berada di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT). Di Landscape TNBT terdapat Margo Sumay, Marga IX Koto, Marga VII Koto dan Marga Tungkal Ulu.

Hulu Sungai Batanghari juga berasal dari TNKS. Bermuara ke Batang Tembesi, ke Batang Merangin, ke Batang Bungo bahkan juga mengairi batang tebo.

Muara Sungai dari TNKS terdapat Margo Batin Pengambang, Marga Batang Asai, Datuk Nan Tigo, Marga Bukit Bulan (Sarolangun) dan Seluruh Marga di Bangko. Termasuk juga mengairi sungai di Marga Batin III Ulu, Marga Pelepat (Bungo). 

Hulu Sungai Batanghari juga berasal dari di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Marga Air Hitam dan Kawasan Orang Rimba di Makekal merupakan kehidupan masyarakat yang hulu sungai berasal dari Taman Nasional Bukit 12.

Sungai Batanghari merupakan muara dari sembilan hulu anak sungai (Sungai-sungai besar yang merupakan anak Sungai Batanghari adalah Batang Asai, Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang Tabir, Batang Tebo, Batang Sumay, Batang Bungo, dan Batang Suliti.

Ada juga menyebutkan 9 hulu anak Sungai Batanghari yaitu Batang Asai, Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang Tebo, Batang Bungo, Batang Jujuhan, Batang Sumay, Batang Tabir, Batang Pelepat.

Sungai kemudian dikenal dengna dialek “batang’. Sehingga Sungai Batanghari kemudian dikenal dengan 9 hulu anak Sungai Batanghari yaitu Batang Asai, Batang Tembesi, Batang Merangin, Batang Tebo, Batang Bungo, Batang Jujuhan, Batang Sumay, Batang Tabir, Batang Pelepat. Dan itu terpatri di “terpahat di tiang panjang yang terlukis di bendul jatiyang bernamakan ”Sepucuk Jambi sembilan lurah”.

Keberadaan masyarakat dengan sungai baik dilihat dari pendekatan ekonomi, politik, hukum dan social budaya.

Sungai adalah penanda, batas dan identitas sebagai keberadaan masyarakat di Jambi. Dengan sungai kemudian menghubungkan antara kampong, dusun bahkan antara satu dusun dengna dusun yang lain.

Sebagai identitas, Sungai Batanghari telah dicatat oleh F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar[111], didalam bukunya De Jambi, menulis “Masyarakat hukum yang bermukim di Jambi Hulu, yaitu Onderafdeeling Muarabungo, Bungo, Sarolangun dan sebagian dari Muara Tebo dan Muara Tembesi. Belum lagi berbagai laporan Pemerintahan Belanda.

Berdasarkan peta Pemerintah Belanda tahun 1923 “Schetskaart Residentie Djambi Adatgemeenschappen (Marga's) schaal 1 : 750.000, Wilayah Jambi kemudian dibagi menjadi Marga[112], Batin dan Mendapo.

Di Jambi sendiri, penetapan Marga berdasarkan Inlandshce Gemeente Ordonatie vor Buitengewestten (I.G.O.B) tahun 1937[113]. Ada juga menyebutkan berdasarkan Ordonasi Desa 1906.

Didalam dokumen-dokumen Belanda wilayah Jambi sebagai bagian dari kekuasaan Belanda dapat dilihat pada Peta Belanda seperti Schetkaart Residentie Djambi Adatgemeenschappen (Marga’s), Tahun 1910, Skala 1:750.000, Schetskaart Van de Residentie Djambi, Tahun 1906, Skala 1 : 500.000, Schetskaart Van de Residentie Djambi, Bewerkt door het Encyclopaedisch Bureau 1922 – 1923, Skala 1 : 750.000, Automobielkaart van Zuid Sumatra Samengesteld en Uitgegeven door Koniklijke , Vereenging Java Motor Club, Tahun 1929, Skala 1 : 1.500.000, Economical MAP of The island Of Sumatra, Gold and silver, Tahun 1923, Skala 1 : 1.650.000, Verkeers en Overzichtskaart van het eiland Sumatra, Tahun 1929, Skala 1.650.000, dan Kaart van het eiland Sumatra, Tahun 1909, Skala 1 : 2.000.000, Aangevende de ligging Der Erfachtsperceelen en Landbrouwconcessies Of Sumatra, Tahun 1914, Skala 1 : 2.000.000 telah jelas menerangkan posisi Residentie Jambi.

Berdasarkan peta Schetkaart Resindentie Djambi Adatgemeenschappen (Marga’s), Tahun 1910, maka daerah-daerah di Jambi telah dibagi berdasarkan Margo.

Marga terletak di hulu Sungai Batanghari. F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar dalam karya klasiknya “De Djambi” menuliskannya ““di daerah hulu Sungai Batanghari, masyarakat mengenal dusun sebagai pemerintahan terendah (village government). Dusun terdiri dari beberapa kampung, Mengepalai Kepala Dusun adalah Depati. Dibawah Depati adalah Mangku. Dusun-dusun kemudian menjadi Margo. Pembagian kekuasaan dalam negeri atau dusun di daerah hulu adalah bathin dengan gelar Rio, Rio Depati atau Depati, di daerah hilir penguasanya adalah Penghulu atau Mangku dibantu oleh seorang Menti (penyiar, tukang memberi pengumuman).

Seperti Margo Batin Pengambang, Margo Batang Asai, Cerminan Nan Gedang, Datoek Nan Tigo. Sedangkan di Merangin dikenal Luak XVI yang terdiri dari Margo Serampas, Margo Sungai Tenang, Margo Peratin Tuo, Margo Tiang Pumpung, Margo Renah Pembarap dan Margo Sanggrahan. Sedangkan Di Tebo dikenal dengan Margo Sumay. Batanghari Margo Petajin Ulu, Margo Petajin Ilir, Margo Marosebo, Kembang Paseban. Sedangkan di Muara Jambi dikenal Margo Koempeh Ilir dan Koempeh Ulu, Jambi Kecil. Di Tanjabbar dikenal dengan Margo Toengkal ilir, Toengkar Ulu. Dan di Tanjabtim dikenal Margo Berbak, Margo Dendang Sabak.

Marga (margo) menjadi identitas yang khas sebagai perwujudan persekutuan masyarakat adat (rechtsgemeenshap). Namun berbeda dengan Marga seperti di Batak dan Minang yang berasal dari factor geneologis. Marga di wilayah Jambi berasal dari factor pertumbuhan persekutuan hukum territorial[114].

Selain Margo juga dikenal Batin[115], Seperti Batin II Ulu, III Hoeloe (Hulu), Batin IV, Batin V, Batin VII, Batin IX Hilir, Batin VIII dan Batin XIV.
Batin kemudian terletak di daerah perlindatasan jalur perdagangan. Sehingga tidak salah kemudian, batin merupakan suku penghulu atau pendatang.

Selain Marga dan Batin, di Kerinci dikenal Mendapo. Ulu Rozok “Kitab Tanjung Tanah” menyebutkan “Konfederasi kampong yang disebut mendapo yang pada umumnya terdiri atas sejumlah kampung yang berasal dari satu kampung induk masih tetap menjadi kesatuan pemerintahan yang terbesar di Kerinci.

Setelah kita mengenal sedikit mengenai Marga, Batin dan Mendapo, maka terhadap masing-masing persekutuan masyarakat adat (rechtsgemeenshap) maka kemudian mengenal nama-nama sungai.

Di  Marga Batin Pengambang dikenal Sungai Narso, Sungai Keradak dan Sungai Tangkui dikenal masyarakat. Sedangkan penghubung antara Marga Batin Pengambang dikenal Sungai Keradak dan Sungai Tangkui. Baik Sungai Tangkui kecil dan Sungai Tangkui[116].

Di Marga Sungai Tenang dikenal “anak Batang Tembesi” seperti Sungai Kandis, Sungai Lembatang, Sungai Matang Duo[117].

Keduanya kemudian bertemu di Batang Tembesi yang kemudian bermuara di Muara Tembesi dan menjadi Batang Hari.

Di Marga Sumay dikenal “anak Batang Sumay” seperti Sungai Rambutan, Sungai Karang[118] atau Sungai Menggatal di Simarantihan Talang Mamak[119]

Di Marga Pelepat selain dikenal Batang Pelepat juga dikenal Batang Senamat[120] Sedangkan  Batang Jujuhan dikenal di Marga Jujuhan.[121]

Di Marga Jujuhan dikenal nama tempat di Sungai Sarot  yang merupakan akar yang berjalin-jalin. Sungai Sarot kemudian dikenal sebagai “anak sungai yang menyongsong induk”. Makna “anak sungai menyongsong induk” adalah pertemuan anak Sungai dengan alur hulu Sungai Batanghari dari Damasraya. Sehingga “anak sungai menyongsong induk” kemudian diartikan sebagai pertemuan anak sungai dengan “membelah” Sungai Batanghari dan kemudian “mengilir” ke Sungai Batanghari (mengikuti alur sungai Batanghari). 

Pertemuan antara anak Sungai Sarot dengan Sungai Batanghari dari Hulu Damasraya kemudian dikenal “Jumpa”. Namun dialek kemudian menjadi “Jumbak”. Tempat ini kemudian dapat dilihat di Dusun Jumbak[122].

Di Marga V Bangko dikenal Dusun Muara Jernih terletak di dekat Sungai Jernih[123].

Marga Sungai Tenang[124] terletak didataran tinggi Merangin[125]. Kata “sungai Tenang” menunjukkan nama Sungai didalam Marga Sungai Tenang. Kata “tenang” berasal dari kata “mentenang” yaitu menunjuk sifat Sungai yang airnya tenang. Begitu juga kata “menderas” menunjukkan sifat sungai yang airnya “deras”. Menderas kemudian menjadi nama desa “Muara Madras”. Marga Sungai Tenang berpusat di Jangkat. Jangkat sering juga disebutkan “Koto Tapus”. Jangkat berarti “akar yang besar”.

Dalam catatan berbagai literature kemudian menyebutkan “Sungai Tenang” dengan kata “Soengei Tenang”. Sebuah penulisan berdasarkan dialek local penyebutan “Sungai Tenang”. Lihat Proceedings of the Royal Geographical Society and Monthly Record of Geography, Volume 1[126], “Gazetteer Of the World, Dictionary of Geographical Knowledge, Dublin, 1856”[127], Didalam laporan Pieter Anthonie Lith “Nederlandsch Oost-Indië: beschreven en afgebeeld voor het Nederlandsche volk, Volume 3 , Nederlansch Oost-Indie : Beschreven en Afgebeeld voor het Nederlansche volk[128], Hollander didalam bukunya “Aardrijksbeschrijkving van Nederlandsch Oost-Indie menyebutkan Serampei “Kerinci dapat dilihat dari Sungai Tenang, Serampas, Batang Asai dan Limun. Dari Barat dan Selatan dari Jambi, terletak wilayah Serampei. Wilayah Serampei merupakan wilayah yang otonom[129] , P. J. Veth didalam bukunya “Aardijkskundig en statitsch, woordenboek van Nederlandsch Indie, Bewerkt naar de Jongste en Beste Berigten,[130], Didalam bukunya De Gids, Dertiende Jaargang, Niewune serie, Tweede Jaargang[131], De M. Malte-Brun didalam bukunya Diccionario – Geografico Universal[132]



Begitu juga di Suku anak Dalam menyebutkan “Dari Sungai Bulian bernama Lubuk Talang, Belukar Pinang, ke Rimbo Bulian, Penantian Sago, Sungai Rengas, Payo rotan duduk, Pulau Selaman, meniti pematang Bayas, Pematang Salak, Sungai Kuro Betino, Pematang Gambir, Ulu Sungai Rengas, Sungai Pematung Bedarah, Bukit Tembesu, Jebak dan Sungai Rengas Ii, Muara Pelajo Bujang, Hutan Sago, Tanggeris Jangga, Sungai Pandan, Bakal Ruyung, Ibul Genting, Tayas Bungkuk, Serdan, Patal, Mengala, Sei Badak, Sei Lalan Lubuk Udang, Lubuk Tadau, Merkandang, Bayas Gantung, Kendi, Danau Masuli, Mendak, Penukal, Sei Hantu dan Lubuk Belang, Kesemuanya ini di sebut tanah watas Suku Anak Dalam dari cucu Raden Nagasari.

Sehingga bertempat tinggal di Sungai Bahar, Sungai Jebak, Sungai Jangga, Sungai Bulian / Semak, Sungai Sekisak (Si Lisak), Sungai Sekamis, Sungai Burung Hantu (Sungai Pemayung), Sungai Penerokan dan Sungai Merkanding.

Begitu juga dengan Kelompok Pengendum yang tidak dapat dilepaskan dari Sungai Kejasung (baik Kejasung Besar maupun Kejasung Kecil), Sungai Makekal (Makekal Ulu dan Makelal Hilir)[133]

Pengendum tidak dapat dilepaskan dari kisah heroic dan kemudian difilmkan dengan judul “Butet”. Film yang mengisahkan guru pendamping SAD di Bukit 12. Butet juga meraih Penghargaan Roman Magsaysay Award 2014

Penghormatan terhadap sungai ditandai dengan menjaga yang ditandai dengan istilah “Kepala sauk”. “Kepala sauk” tidak boleh dibuka yang dikenal sebagai “pantang larang”. Sehingga yang dilanggar mendapatkan sanksi “sanksi Guling Batang berupa Kambing sekok, beras 20 gantang, kelapa, selemak semanis[134]

Bahkan Sultan Thaha Saifuddin berhasil menyerbu markas Belanda di Muaro Kumpeh. Pasukan Belanda dan dibawah pimpinan Mayor Van Langen kemudian dikalahkan. Walaupun Belanda didukung oleh 30 buah kapal perang dan 800 personil serdadu Belanda pada 25 September 1858[135]

Sungai Kumpeh juga merupakan Sungai yang menghubungkan antara Marga Kumpeh Hilir, Marga Kumpeh Ulu dan Marga Jebus[136]

Belanda juga menggunakan Sungai Batanghari kemudian mengejar Sultan Thaha dan kemudian mengepung sehingga Sultan Thaha Saifuddin  tertembak tahun 1904[137].

Sungai adalah identitas dan penanda. Didalam penyebutan nama-nama tempat dan kewilayahan (tata ruang) yang biasa disebut “Tembo”[138] sering diungkapkan seperti “dari ulu sungai..”. Atau “Melayang sungai.. “. Kata-kata “dari” sungai..” adalah penanda batas wilayah. Sedangkan “melayang” diartikan sebagai “menyeberang” sungai. Sehingga nama sungai disebutkan maka sungai yang disebutkan termasuk kedalam wilayah dusun yang disebutkan didalam tembo.

Sungai sebagai identitas dan penunjuk arah, Arah matahari hidup ditandai dengan istilah “matahari hidup” dan “matahari mati”. Muara air Sungai ke “arah matahari hidup” ditandai dengan ikan seperti “ikan lais, ikan baung, ikan toman[139].
 Sedangkan Muara air sungai ke “arah matahari mati” ditandai dengan ikan semah, ikan batok dan ikan gabus[140]

Sebagai identitas, jalur sungai merupakan jalur migrasi masyarakat yang kemudian melintasi berbagai lintasan Propinsi. Misalnya Orang Sungai Ipuh mengaku sebagai “keturunan Serampas”. Puyang mereka berasal dari Serampas dan kemudian mengilir Sungai Ipuh dan kemudian berdiam di Sungai Ipuh. Sedangkan Serampas sendiri menyebutknya sebagai “Orang Lembak[141].

Dalam hubungan kekerabatan, Orang Sungai ipuh termasuk kedalam struktur Pemerintahan dalam Marga 5 Koto. Marga 5 Koto terdiri dari Dusun Pondok Siding, Lubuk Cabau sebagai pusat Margo, Tras Terunjang, Sungai Jerinjing dan Sungai Cambu yang kemudian dikenal menjadi tempat dan bernama Penarik.

Sebagai pendatang, Orang Sungai Ipuh menghadap Tuanku Rajo di Muko-muko[142]
Raja di Muko-muko kemudian memberikan “kekuasaan otonom” dengan menempatkan Sungai Ipuh didalam Marga 5 Koto namun dengan kekuasaan yang otonom. Didalam Sungai Ipuh kemudian 3 kaum yaitu 3 Luak yang terdiri Depati Empat, Depati Enam Dan Suka Rajo.

Cerita rakyat (Tembo) yang terdapat di Marga Sumay yang mengaku berasal dari keturunan “Datuk Perpatih Penyiang Rantau”. Berakit kulim bertimbo lokar[143]
menuju batang sumay, dan selama satu bulan mengarungi sungai bulan hingga ke lubuk sungai bulan,dan dinamakanlah daerah lubuk yang disinggahi tersebut dengan dusun muaro bulan dan sungai tersebut dengan sungai bulan karena datuk patih menyusuri sungai tersebut selama 1 bulan untuk menuju ke desa pemayungan(sekarang)[144]

Sebagai identitas, Penamaan Sungai juga ditandai dengan nama tempat Desa. Seperti Sungai Pinang, SUngai Arang, Sungai Kerjan, Sungai Mengkuang, Sungai Binjai (Bungo), Sungai Keruh, Sungai Rambai, Sungai Jernih (Tebo), Sungai Rengas, Sungai Terap, Sungai Aur, Sungai Bungur,  Sungai Bahar, Sungai Gelam, Sungai Bertam (Muara Jambi), Sungai Manau, Sungai Lisai[145], Sungai Putih (Bangko).

Margo Sumay adalah penduduk yang bermukim di sepanjang Sungai Sumay[146].


Kelompok Batin Sembilan yang mendiami 9 daerah aliran sungai (Sungai Jebak, Jangga, Bahar, Bulian / Semak), Sekisak, Sekamis, Burung Hantu / sungai Pemayung, Pemusiran dan sungai Singoan). Wilayah penyebaran 9 daerah aliran sungai ini termasuk wilayah dengan topografi dataran rendah. Dan karena mereka hidup menyebar di 9 daerah aliran sungai seperti tersebut di atas maka mereka juga sering menyebut dirinya sebagai kelompok Orang Dalam yang termasuk Batin Sembilan.

Wilayah kekuasaan Suku Anak Dalam yang dikenal dengan  nama “Sembilan Batin”[147], dengan mengikuti penamaan sungai; Batin Singoan di Sungai Singoan, Batin Bulian di Sungai Bulian, Batin Bahar di Sungai Bahar, Batin Jebak di Sungai Jebak, Batin Jangga di Sungai Jangga, Batin Pemusiran di Sungai Pemusiran, Batin Burung Antu di Sungai Burung Antu, Batin Selisak di Sungai Selisak dan Bathin Sekamis di Sungai Sekamis[148].

Di Marga batin III Ilir dikenal Sungai Pinang, Kelurahan Sungai Kerjan, Dusun Sungai Arang,

Sungai merupakan “urat nadi” perekonomian. Merupakan jalur perdagangan yang digunakan hingga akhir tahun 1990-an sebelum illegal logging marak dengan kemudian menyebabkan pendangkalan Sungai Batanghari.

Selain itu pergeseran kebijakan orde baru yang memindahkan jalur sungai ke jalan raya dalam distribusi ekonomi menyebabkan pergeseran pola perpindahan penduduk dari Sungai menjadi bermukim di pinggir Jalan.

“Jejak” Sungai masih dilihat dengan menyusuri perjalanan sungai Batanghari. Setiap desa yang berada di pinggir sungai terdapat dusun-dusun tua yang ditandai dengan rumah-rumah panggung.

Melihat rangkaian yang telah diuraikan maka terbukti sungai merupakan “identitas” dan “jalur ekonomi” dan menghubungkan antara desa satu dengan desa lain maupun antara satu marga dengan marga yang lain. 


Sungai yang membentang dari hulu sampai hilir Jambi adalah sungai Batanghari. Sungai ini merupakan jalur penting bagi pelayaran perdagangan dan bukti mengetahui peradaban yang ada di pedalaman Jambi. Lain daripada itu, sungai Batanghari merupakan jalur pelayaran dan perdagangan terpenting bagi masyarakat Jambi. Ia memiliki peranan penting dalam budaya, ekonomi, dan politik Jambi dengan banyaknya pendatang yang menggunakannya sebagai jalur untuk bisa keluar-masuk ke pedalaman Jambi.

Dengan memiliki sungai yang panjangnya dari hulu (Sijunjung) langsung bermuara ke laut timur Sumatera (Tanjung Jabung) dan langsung bertemu dengan selat-selat penting di pantai timur Sumatera[149].

Sungai Batanghari bermuara di Tanjung Jabung Timur dan langsung bertemu dengan Selat Berhala, Selat Karimata, laut Natuna, dan Selat Malaka[150]. Selat dan laut ini merupakan jalur pelayaran yang penting karena menghubungkan pelayaran dan perdagangan Asia. Selat Malaka yang menjadi jalur pusat lalu lintas pelayaran perdagangan internasional karena posisinya yang menghubungkan dengan perairan Asia TImur – Asia Tenggara – Asia Barat atau sebaliknya[151].

Sedangkan Prof. Slamet Muljana dan beberapa ilmuan lainnya lebih cenderung berkesimpulan bahwa Jambi adalah pusat Kerajaan Sriwijaya dibandingkan Palembang yang ‘diakui’ secara resmi hingga saat ini. Oleh karena itu, beragam kekuatan yang membentuk kerajaan muncul di wilayah Jambi, dimana catatan sejarah memulainya dengan adanya Koying, Tupo dan Kantoli dalam periode Melayu Kuno di abad ke-3 sampai abad ke-5 Masehi[152].


b.    PULAU

Selain sungai sebagai penanda dan penamaan berbagai Dusun-dusun di Jambi, dikenal juga Pulau.

Di Marga Batin III Ilir dikenal Dusun Pulau Pandan. Di Marga Marga Jujuhan terdapat Dusun Pulau Batu dan Pulau Jelmu. Marga Batin V terdapat Dusun Pulau Aro[153]. Marga IX Ulu terdapat  Dusun Pulau Rengas , Pulau Kuamang, Pulau Senarat (Darat), Pulau Tigo  dan Dusun Pulau Piul. Marga IX Ilir Terdapat Pulau Lancak. 

Di Marga Sungai Tenang dikenal Pulau Tengah. Di Marga Datuk Nan Tigo dikenal Dusun Pulau Pandan. Selain itu juga dikenal kampong Pulau Pandan. Di Marga Batin Pengambang dikenal Pulau Langsat. Di Marga Pelawan dikenal Dusun Pulau Aro. DI Marga Kumpeh dikenal Pulau Tigo. Di Marga IX Koto dikenal Pulau Tedung, Pulau Puro dan Pulau Temiang.  Di Marga VII Koto juga dikenal Pulau Indah. Di Marga Tungkal ulu dikenal Dusun Pulau Pauh. Di Marga Jujuhan dikenal Lubuk Tenam. Di Marga batin III Ilir dikenal Pulau Pekan.


c.     LUBUK

Penamaan Lubuk juga dikenal dengan penamaan Dusun. Di Marga Senggrahan dikenal Lubuk Beringin dan Lubuk Birah. Penamaan Lubuk Beringin dikenal didalam Marga Batin III Ulu. Di Marga Batin III Ilir dikenal Lubuk Rasam. Batin II Babeko di Lubuk Kulim di Danau di daerah Tanjung Menanti dan  Lubuk Benteng. 

Di Marga Pelepat dikenal Lubuk Tebat dan Dusun Lubuk Telau. Di Marga Batin IX Ulu dan Marga batin IX Ilir dikenal Lubuk Genok sebagai penanda batas marga[154]

Bahkan penamaan Lubuk terdapat Marga Lubuk Gaung. Di Marga pangkalan Jambu dikenal Lubuk tanjung di Sungai Jerinjing. Di Marga Serampas dikenal Lubuk Mentilin[155].

Di Pungguk 9 (Marga Sungai Tenang) Dusun Lubuk Pungguk. Sedangkan di Desa Tanjung Benuang (Koto X Marga Sungai Tenang) dikenal tembo “lubuk merah dan lubuk panjang bawah betung sungai tembesi [156]

Begitu juga Tembo Durian Rambun (Marga Senggrahan) yang menyebutkan “lubuk tubo dan lubuk peluncuran nago[157]

Di Sponjen dikenal Lubuk maratemo, Lubuk Manggis, Lubuk Belanti, Lubuk cengal, Lubuk Sunge Pening, Lubuk Jama’at, Lubuk Sunge Sogo, Lubuk Sunge Biak, Lubuk Cengal, Lubuk Bebeko, Lubuk Sunge Bemban[158].

Di Sogo dikenal Lubuk Sunge Pening, Lubuk Jama’at, Lubuk Sunge Sogo, Lubuk Sunge Biak, Lubuk Cengal, Lubuk Bebek, Lubuk Sunge Bemban.

Di Desa Sungai Bungur terdapa Lubuk Serapil, Lubuk Medang, Lubuk Belanti, Lubuk Ujung Tanjung[159]. Desa Sponjen, Desa Sungai Bungur, Desa Sogo Kesemuanya termasuk kedalam Marga Kumpeh. Di Desa Rukam dikenal Lubuk tapa

Di Marga Bukit Bulan dikenal Lubuk Bedorong[160]. Di Marga VI Mandiangin dikenal Lubuk Napal. Marga Air Hitam dikenal Lubuk Kepayang dan Lubuk Jering.

Marga Batang Asai Tengah, dikenal Lubuk Bangka[161]. Marga Kasang melintang terdapat Lubuk Bangkar. Di Marga Simpang III Pauh dikenal Lubuk Butak. Di Marga Pelawan dikenal Lubuk Sepuh dan Lubuk Sayak atau biasa dikenal Lubuk Tempurung. Di Marga Batin Pengambang dikenal Lubuk Pauh.

Di Marga Petajin Ilir dikenal Lubuk Mandarsyah. Di Marga Tungkal ulu dikenal Lubuk Kambing, Dusun Lubuk Bernai, dan Dusun Lubuk Terap.  Di Marga Sumay dikenal Lubuk Laweh.



d.    RENAH

Penamaan Renah dikenal sebagai Marga Renah Pembarap. Di Marga Sungai Tenang dikenal Desa Renah Pelaan dan Desa Koto Renah. Di Desa Tanjung Benuang dikenal tembo renah bukit serik(batu panjang), renah sungai kandis muaro sungai langkon ke renah tabu gelanggang ke renah sawah bekisah.

Di Desa Lubuk Beringin (Marga Senggrahan) dikenal tembo “renah utan udang”. Di Marga Serampas dikenal Renah Alai dan Renah Kemumu. Di Marga batin Datuk Nan Tigo dikenal Kampung Renah. Di Marga Batin Pengambang dikenal Renah Kemang dan Dusun Renah Pisang kembali.

e.    MUARA

Penamaan Muara banyak ditemukan diberbagai tempat di Jambi. Baik penamaan Kabupaten, tempat maupun nama-nama Desa. Seperti Muara Jambi, Muara Bungo, Muara Sabak dan Muara Tebo. Begitu juga Muara Siau.

Di Marga Batin V Bangko dikenal Muara Semayo, Muara Jernih. Selain itu juga dikenal Muara Semayo. Di Marga Sungai Tenang dikenal Muara Madras dan Muara Pangi.

Di Marga Batin VI Mandiangin dikenal Muara Ketalo. Di Marga Pelawan dikenal Muara Danau. Di Marga Datuk Nan Tigo terdapat Dusun Muara Mansao. Di Marga Batin Pengambang dikenal Muara Talang Kecil dan Desa Muara Air Dua.

Di Marga VII Koto dikenal Muara Niro, Desa Muara Tabun. Di Marga IX Koto di Desa Pulau Temiang terdapat Dusun Muara Danau. Sedangkan Batas Marga VII Koto dengan Marga IX Koto terdapat di Muara Sako.

Di Marga Sumay dikenal Desa Muara Sekalo. Desa Sekalo sendiri mengenal Muara Dusun Setelak” dan  Muara Kundangan.

Di Marga Tungkal ulu dikenal Muara Dasal. Di Kumpeh dikenal Muara Kumpeh.

f.      TELUK

Teluk juga dilekatkan ke berbagai nama tempat. Seperti Teluk Kuali, (Marga IX Koto), Teluk Singkawang, Teluk Langkap (Marga Sumay), Teluk Ketapang (Marga Tungkal Ilir), Teluk Panjang (Marga Batin III Ilir), Teluk Kembang, Teluk Kayu Putih (Marga VII Koto) dan Teluk Ketapang, Teluk Nilau (Marga Tungkal Ilir). Di Desa Makmur Jaya dikenal Teluk Sialang.

DI Desa Sponjen (Marga Kumpeh) dikenal Teluk sungai duo. Di Marga Kumpeh Ulu dikenal Desa Teluk Raya. Di Desa Rukam dikenal “teluk menpuh rumbe tebal lapok mengkung. DI Desa Karang Mendapo (Marga Simpang III Pauh) terdapat Dusun Teluk Gedang. Di Batang hari dikenal Desa Teluk Rendah (Marga Kembang Paseban).

Di Marga Batin Pengambang dikenal  teluk sakti rantau betuah gunung bedewo”. Tembo Renah Pembarap mengenal “teluk ske sungai semantung.


g.    RANTAU

Penamaan rantau ditemukan di Rantau Duku (Marga Batin III Ilir), Rantau Panjang, Rantau ikil (marga Jujuhan), Rantau Keloyang (Marga Pelepat). Penamaan Rantau Panjang juga ditemukan Marga V Bangko. Sebelumnya dikenal nama Semayo. Selain itu terdapat Rantau Limau Manis.

Di Marga Serampas dikenal Rantau Kermas. Di Marga Sungai Tenang dikenal Rantau Suli, Rantau Jering dan Rantau Bidaro. Di Marga Kembang Paseban dikenal Rantau Gedang.

Istilah Rantau dapat ditemukan didalam seloko “Alam berajo, rantau bejenang, kampung betuo, negeri bernenek mamak.


h.    DANAU

Penamaan danau ditemukan di Dusun Danau (Marga Pelepat). Marga Sungai Tenang terdapat Dusun Sungai Danau Pauh.

Di Sponjen dikenal Danau gerogol. DI Desa Rukam dikenal “danau teluk menpuh rumbe tebal lapok mengkung, danau sirih, danau alahan, danau cempak, danau lenban condong danau menncangur, danau sarang burung, Danau Gerang dan Danau empang palang.  Di Muara Jambi dikenal Desa Danau Lamo.

Di Marga Batin V Sarolangun dikenal Danau Bulen. Di Marga Pelawan dikenal Muara Danau. Begitu juga di Desa Karang Mendapo dikenal juga Dusun Muara Danau.

Sedangkan Danau terumbai” merupakan batas (Tembo) antara Marga VII Koto dan Marga IX Koto[162].


i.      TANJUNG

Sedangkan Tanjung dapat ditemukan sebagai nama Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur.

Di Marga Sungai Tenang dikenal Tanjung Alam dan Tanjung Mudo. Di Marga Batin III Ilir dikenal Tanjung Gedang. Di Marga Batin II Babeko dikenal Tanjung Menanti. Selain itu juga dikenal Tanjung Agung (Batin VII) di Kabupaten Bungo.


j.      BUKIT

Istilah Bukit dapat ditemukan Dusun Bukit Sari, Pulau Batu (Marga Jujuhan), Bukit Telago (Marga Pelepat), Bukit Gajah Berani, Bukit Gedang, Bukit Mujo, Bukit Tepanggang (Marga Renah Pembarap), Bukit Tiung (Marga IX Ulu). Sebelumnya Bukit Tiung bernama Pulau Piul.

Di Marga Pangkalan Jambu dikenal Bukit Perentak. Sedangkan  Bukit Tungku” merupakan batas Marga Pangkalan Jambu dengan Kerinci.

Di Tanjung Mudo dikenal “Bukit Sedingin”. Di Desa Lubuk Beringin (Marga Senggrahan) dikenal Bukit Kemulau Tinggi dan Bukit Kemulau Rendah. Di Desa Durian rambun dikenal “Bukit Gambut’

Di Marga Batin VI Mandiangin dikenal “Desa Bukit Peranginan. Di Marga Bukit Bulan dikenal Bukit Raya[163].

Di Marga Pelawan dikenal Bukit Padang Sungkai, Bukit Batu. DI Marga Batin Pengambang dikenal Bukit Seruling/Bukit Tandus. Bukit Seruling/Bukit Tandus dijaga sebagai “benteng’ air dan kepentingan untuk masa depan. Di Marga Petajin, Lubuk Mandarsyah mengenal “Bukit Rinting”. Sedangkan Bukit bakar dikenal di Kembang Seri (Marga Maro Sebo ulu).

Di Marga Sumay dikenal “Bukit Tiga Jurai”. Bukit Tiga Jurai kemudian dikenal sebagai Bukit Tigapuluh yang ditetapkan menjadi Taman Nasional Bukit Tiga Puluh. Di daerah Air Hitam dikenal Taman Nasional Bukit Duabelas.

Diantaranya bukit Daun Salo[164] di Bukit Seling, Bukit selasih, Bukit Siguntang. Selain  itu juga dikenal  Bukit Tambun Tulang[165]. Ada juga menyebutkan Bukit Alur babi, bukit Ulu tandikat, bukit ulu benglu, bukit ulu sungai rambutan, bukit ngayau, bukit badak teguling, bukit bakar, bukit ulu senanam, bukit mendelang, bukit temiang, bukit merbau, bukit tunggul berempat[166]. 

Tembo “Kerbau bekuak terus ke Dataran bukit Daun Salo di Bukit Seling, Bukit Tambun Tulang” adalah batas Jambi dengan Provinsi Riau. Sedangkan “Bukit selasih, Bukit Siguntang adalah rimbo simpanan atau rimbo larangan”.

Nama Bukit Selasih adalah nama dusun asal Desa Semambu[167].

Sedangkan penamaan bukit merupakan batas-batas marga Senggrahan dengan Marga yang lain. Seperti “bukit Majo” dengan Marga Peratin Tuo, “Bukit punggung Parang” dengan Marga Tiang Pumpung, Bukit Sengak, Bukit Kapung, Bukit Gagah Berani” dengan Marga Pangkalan Jambu, “Bukit Kemilau Rendah, Bukit Kemilau Tinggi, bukit tepanggang. Dengan Marga Renah Pembarap[168].

Batas antara Marga Senggrahan dengan Marga Pangkalan Jambi merupakan keunikan. Marga Senggrahan menyebutkan Bukit Kapung Sungai Tinggi Bane Belalang Bukit Gagah berani”. Sedangkan Marga Peratin Tuo menyebutkan “Bukit berani. Sedangkan Marga Pangkalan Jambu menyebutkan “Bukit lipai besibak. Lubuk Birah juga menyebutkan “Bukit Lipai besibak”[169].

Bukit Kapung Sungai Tinggi Bane Belalang Bukit Gagah berani” atau “Bukit berani” atau “Bukit lipai besibak menunjukkan tempat yang sama. Atau dengan kata lain, penamaan yang berbeda namun menunjuk tempat yang sama.

Didalam Marga Sungai Tenang terdapat pembagian wilayah. Dengan menggunakan punggung (bukit) maka bisa ditentukan dusun asal dari Punggung Bukit Maka dikenal istilah “Pungguk 6”, “pungguk 9” dan Koto 10”.

Di Marga Batin Datuk Nan Tigo dikenal Dusun Bukit Tanggo Batu. Di MARGA BATANG ASAI TENGAH dikenal Bukit Lanca[170].

Penamaan Bukit dapat dilihat sebagai Nama Marga Bukit Bulan.

Di Kerinci dikenal Hutan Adat Bukit Sembahyang dan Padun Gelanggang,
Hutan Adat Bukit Tinggai.
Di Marga Batin II Ulu dikenal Bukit Bujang Dusun Senamat ulu Sebagai Hutan Adat dan telah dikukuhkan berdasarkan SK Bupati Kabupaten Bungo nomor 48/HUTBUN Tahun 2009 seluas 223 ha.

Istilah bukit dapat ditemukan didalam seloko seperti “Kebukit samo mendaki, kelurah samo menurun”




k.     UJUNG

Penamaan Ujung dikenal di Marga Jujuhan sebagai kampong Ujung Tanjung. DI Marga Renah Pembarap mengenal Desa Parit Ujung Tanjung. Di Marga Pelawan dikenal Dusun Ujung Tanjung. Begitu juga di Marga Batin Pengambang.

Di Desa Sponjen dikenal Ujung Pematang Sirih dan Ujung sungai katung. Di Desa Sungai Bungur mengenal “Ujung Sungai Bungur”, “Ujung Pematang Tepulo”, “Ujung Pematang Sirih”, “Ujung Pematang Tepus”.

Di Desa Sungai Beras (Tanjabtim) mengenal “Ujung Sungai Buluh , Ujung Sungai Budaya, Ujung Parit Senang, Ujung Parit Teluk Pagar, Ujung  Parit Lapis Teluk Pagar, Ujung Sungai Beringin, Ujung Sungai Apok.

Di Marga Batin Datuk Nan Tigo mengenal “ujung Muara Limun”.

Seloko bak napuh diujung tanjung, ilang sikuk baganti sikuk, lapuk ali baganti ali[171],  di Desa Baru Pelepat dan Desa Batu Kerbau serta Dusun Lubuk Telau (marga Pelepat).

Di Marga Sungai Tenang mengenal istilah “tanah ujung Batin” sebagai nama tempat Desa Beringin Tinggi. Penduduknya berasal dari Marga Batangasai dan Marga Batin Pengambang namun wilayah kemudian diberikan dari Marga Sungai Tenang. Sebagaimana seloko “Belalang Batin Pengambang, Tanah Koto Sepuluh. Koto Sepuluh termasuk kedalam Marga Sungai Tenang.

l.      Lembah

Hubungan kekeratan antara Marga Serampas dengan marga yang termasuk kedalam Luak XVI ditandai dengan pernyataan “serampas tinggi” dan “serampas rendah’. Marga Serampas mengikrarkan diri sebagai “Serampas tinggi”. Sedangkan Marga lain seperti Marga Sungai Tenang, Marga Peratin Tuo, Marga Renah Pembarap, Tiang Pumpung dan Senggrahan mengikrarkan diri sebagai “serampas rendah”.

Penempatan “serampas tinggi” dan “serampas rendah” adalah bentuk wilayah yang terletak dibawah. Sedangkan di Serampas sendiri menyebutkan sebagai “orang lembak”.

Di Marga Sungai Tenang dikenal istilah “4 Tanah lembak”. Yaitu Dusun dibawah dalam Marga Sungai Tenang. Yaitu Dusun Tanjung Dalam, Dusun Muara Pangi, Dusun Muara Langayo Dan dusun Rantau Jering.

“Ikrar” sebagai “keturunan” Serampas  juga ditemukan di Sungai Ipuh, Muko-muko, Bengkulu. Puyang mereka berasal dari Serampas dan kemudian mengilir Sungai Ipuh dan kemudian berdiam di Sungai Ipuh. Sedangkan Serampas sendiri menyebutknya sebagai “Orang Lembak’.

Dalam hubungan kekerabatan, Orang Sungai ipuh termasuk kedalam struktur Pemerintahan dalam Marga 5 Koto[172]. Marga 5 Koto terdiri dari Dusun Pondok Siding, Lubuk Cabau sebagai pusat Margo, Tras Terunjang, Sungai Jerinjing dan Sungai Cambu yang kemudian dikenal menjadi tempat dan bernama Penarik.

Sebagai pendatang, Orang Sungai Ipuh menghadap Tuanku Rajo di Muko-muko[173]. Raja di Muko-muko kemudian memberikan “kekuasaan otonom” dengan menempatkan Sungai Ipuh didalam Marga 5 Koto namun dengan kekuasaan yang otonom. Didalam Sungai Ipuh kemudian 3 kaum yaitu 3 Luak yang terdiri Depati Empat, Depati Enam Dan Suka Rajo.

Air dikit, Sungai Ipuh, Bukit tigo, merupakan nama-nama tempat yang berbatasan langsung Jambi dengan Bengkulu[174].

Kata “Lembak” menunjukkan dusun yang terletak di lembah. Atau orang yang berada di lembah. Atau orang yang tinggal di daerah bawah.


V.             TANDA ALAM

Di Marga Tungkal ulu Penamaan Dusun berdasarkan tipologi khas wilayah[175]. Seperti Dusun Rantau Badak yang terdapat banyaknya badak di Rantau, banyaknya jenis kayu yang bernama Terap yang kemudian bernama Dusun Lubuk Terap. Banyaknya Kambing di Lubuk Kambing, banyaknya Rotan di dusun Sungai Rotan, banyaknya bernai. Bernai adalah nama buah-buahan. Hanya Ditempat ini ada bernai sehingga dinamakan Dusun Lubuk Bernai. Banyak pohon yang bernama pauh (sejenis palm) di Pematang Pauh, banyakya Tayas (buah-buahan sejenis mangga) di Dusun Tanjung Tayas atau banyaknya Bojo (sejenis kacang-kacangan) di Tanjung yang kemudian disebut Dusun Tanjung Bojo. Banyaknya Kebun yang kemudian disebut Dusun Kebun. Kebun kemudian dimaksudkan banyak kebun yang menghasilkan buah-buahan setiap musim. Dan banyaknya rusa dalam satu tempat. Kemudian bernama Dusun Suban.

Atau berdasarkan sifat tipologi nama tempat seperti Rantau yang lurus (lurus kemudian disebutkan benar) sehingga dinamakan Dusun Rantau Benar, Anak negeri yang berdagang yang kemudian dinamakan Dusun Pelabuhan Dagang, tempat bermainnya Raja kemudian bernama Dusun Taman Raja, Tebing yang tinggi kemudian bernama Dusun Tebing Tinggi, Dusun baru yang kemudian disebut Dusun Mudo atau kampong yang baru yang kemudian disebut Kampung Baru.

Selain penamaan dusun berdasarkan sifat dan khas tipologi, penamaan dusun juga berdasarkan tempat digunakan. Maka dikenal tempat penyabungan atau tempat bertemunya para pendekar yang kemudian disebut “Penyabungan”, nama sungai seperti Muara Dasal yang kemudian Kuala Dasal.

Namun yang unik adalah Dusun Dadang. Sebenarnya nama dusun disebut Dusun Padang. Namun dialek kemudian menyebutkan “dadang” (pengaruh pengucapan secara cepat) sehingga kemudian dusun bernama Dusun Dadang.

Disebut dengan Tebing tinggi[176], karena Desa ini sebelumnya sering kebanjiran. Lokasi pemukiman penduduk dialihkan ke seberang sungai Batang hari yaitu di sebelah Timur Desa. Yang lokasinya antra sungai Peneradan dan Muara Sungai Muruh.Sebelumnya Daerah ini berlokasi sebelah Timur Baluran Rimbo, dekat sungai Batanghari yang pada masa itu disebut KUBURAN RANGKILING. Nama Tebing Tinggi diambil berdasarkan letak geograpis alamnya yang memiliki dataran cukup tinggi disbanding daerah lain di sekitarnya.

Di Marga Jujuhan dikenal “Pulau Batu” disebabkan di pulau adanya batu. Daerah ini kemudian dikenal sebagai tempat “Depati Sumarangen”[177]. Pulau Batu terdiri dari kampong Lubuk Tenam, Bukit Sari, Sari Mulya.

Di Marga Renah Pembarap berasal kata Renah Pembarap berasal dari kata Renah dan Pembarap. Renah adalah tanah yang rendah. Sedangkan “Pembarap” berasal dari kata “membarap’ yang berarti “keputusan”[178].

Versi yang lain[179] menyebutkan “pembarap” artinya tua dimana tempat Marga Renah Pembarap merupakan tanah kepemimpinan yang tua didalam Luak XVI.  Dengan demikian  maka Renah Pembarap adalah Tempat untuk mengambil keputusan-keputusan penting di Luak XVI.

Penghormatan terhadap Renah Pembarap dapat dijumpai di Marga Senggarahan.

Tembo Marga Renah Pembarap kemudian ditetapkan oleh Raja Jambi yaitu Sultan Anom Seri Mogoro yang disebut tanah Depati atau  Tanah Batin[180] Yang ditandai dengan Piagam Lantak Sepadan yang menyatakan wilayah Marga Renah Pembarap[181]. Menurut Datuk H Abubakar didalam tulisannya “Masyarakat Adat Guguk Jambi”, Piagam Lantak Sepadan  bertarikh 1170 h/1749 Masehi. Dalam silsilah Raja Jambi, periode 1740-1770 dipimpin oleh Sultan Astra Ingologo[182].

Di Marga V Bangko dikenal Dusun Kapuk adalah dusun yang terletak di tengah dari kelima dusun Marga V.

Dusun Pulau Aro ialah dusun yang namanya diambil dari alam lingkungannnya. Sewaktu hendak mendirikan dusun ini banyak terdapat pulau yangditumbuhi batang aro[183].

Di Marga Pangkalan Jambu dikenal Perentak dikenal sebagai “Tiga Alur” yang terdiri dari Bukit Perentak, Tanjung Alur dan Bunga Tanjung[184].

Didalam Marga Senggrahan kata Lubuk Beringin dikenal sebagai “Beringin” yang lebat. Beringin yang lebat merupakan Tempat orang banyak berkumpul[185].

Durian Rambun dikenal didalam cerita rakyat sebagai durian yang bertakuk rambutan. Menurut kepercayaan masyarakat, pohon durian tidak boleh ditebang (ditutu). Salah seorang kemudian menebang pohon rambutan. Namun akibat pohon rambutan ditebang dan mengenai pohon durian, maka kemudian sang penebang pohon dijatuhi sanksi. Namun sang penebang protes karena tidak pernah menebang pohon durian. Padahal yang ditebang cuma pohon durian.

Untuk mengenang cerita rakyat, maka dusun kemudian disebut Durian rambun. Cerita yang sama juga diceritakan oleh Ketua Lembaga Adat Desa Durian Rambun[186].

Did daerah hilir di marga Kumpeh. Arti “kumpeh” adalah rumput. Rumput yang tersedia di sepanjang Sungai Kumpeh bermula dari Muara Kumpeh hingga ke Suakkandis. Rumput ini biasa digunakan untuk makanan ternak seperti kerbau dan kambing[187].

Di Marga Simpang Tigo Pauh, Desa Kasang Melintang berasal dari kata “Kasang dan Melintang. Kasang berarti “kasai”, nama jenis pohon yang cuma terdapat di Kasang Melintang. Sedangkan disebutkan “melintang” disebabkan adanya pohon “kasai yang melintang di Sungai (menyuruk/menutupi sungai). Secara sekilas, akibat penutupan pohon kasai yang melintang menyebabkan sungai tidak terlihat. Sungai ini kemudian dikenal Batang Tembesi yang mengairi dusun-dusun di Marga Simpang Tiga.

Disebut “Pangkal Bulian’ karena banyaknya pohon bulian yang terdapat di pangkal (ujung) desa. Sedangkan Samaran yang merupakan bagian dari Pauh dimana terdapat tumbuhan yang dikenal “belami”. “Belami” kemudian menyamar dari Pauh sehingga kemudian disebut “samaran”.

Lubuk Napal dikenal sebagai nama tempat dimana di daerah lubuknya terdapat napal. Napal adalah batu yang licin yang biasanya terdapat daerah yang lembab[188].

Disebut sebagai Marga Air hitam adalah sungai yang berwarna air hitam[189]. Sungai air hitam mengelilingi Marga dan mengitari Dusun-dusun yang termasuk kedalam Marga Air Hitam. Pusat Marga terletak di Lubuk Kepayang.

Lubuk Kepayang berasal dari tempat Lubuk yang terdapat buah kepayang. Buah kepayang berupa sejenis asam belimbing yang dicampurkan dengan gulai dan ditambah daging. Apabila tidak tepat penyajiannya, maka akan menimbulkan seperti mabuk. Pusing-pusing kepala.

Istilah Kepayang sering didalam perumpamaan. “Mabuk kepayang” adalah orang yang sedang jatuh cinta. Sehingga tempat pemukiman yang terdapat buah kepayang kemudian dikenal dengan nama Lubuk Kepayang.

Kepayang adalah jenis pohon yang tumbuh di hutan. Dulu “puyang” masyarakat menanam di hutan. Tumbuhnya cepat. Kayu dapat digunakan untuk dinding rumah. Minyaknya dapat digunakan sebagai minyak goreng

Sedangkan disebut Dusun Jernih Tuo dimana dusun terdapat sungai yang jernih. Penamaan Tuo adalah Dusunnya adalah termasuk dusun Tuo. Sehingga penamaan kemudian disebut Dusun Jernih Tuo.

Sedangkan Dusun Lubuk Jering adalah tempat (lubuk) yang terdapat pohon jering. Jering adalah istilah yang digunakan masyarakat di Jambi untuk penamaan jengkol. Sehingga Lubuk Jering adalah Lubuk yang terdapat pohon jengkol (jering).

Disebut Dusun Ladang Panjang disebabkan “biar beladang yang panjang”. Ladang adalah persawahan kering, musiman dan ditanami tanaman seperti padi.

Maksudnya adalah ladang disusun berbaris yang memanjang.

Disebut Dusun Pakuan Baru karena terdapat penyebarangan di Sungai Tembesi yang sekarang terletak di Kota Sarolangun.

Sedangkan disebut dengan Tanjung Putus karena terdapat tanjung yang emudian tidak ada lagi muara sehingga bertemu dengan Sungai Tembesi yang memanjang kemudian bertemu dengan Sungai Batanghari di Muara Tembesi. Sehingga Tanjung kemudian “memutus”. Memutus diartikan sebagai Tanjung yang telah putus.

Senaning adalah adalah nama tumbuhan Perdu. Di dusun Senaning banyak terdapat tumbuhan perdu. Sehingga Dusun ini kemudian disebut sebagai Dusun Senaning.

Disebut dengan Dusun Alai karena di dusun ini terdapat tumbuhan Kedaung. Sehingga kampong ini kemudian disebut “Dusun alai”.

Di Marga Batin V Sarolangun dikenal Rio Depati Jayaningrat Singodilago kemudian menetapkan wilayah Marga Batin V yang ditandai dengan “Kayu Sialang Belantak Besi”.

Sialang adalah nama pohon yang terdapat lebah. Sedangkan Belantak Besi adalah batas wilayah Jambi dengan Sumsel yang selalu disebutkan didalam Tembo wilayah Jambi.

Di Marga Pelawan dikenal Pulau Aro. Pulau Aro adalah berasal dari kata “aro”. Aro merupakan batang Aro. Sedangkan Padang Sungkai adalah tempat perladangan[190].

Marga Simpang Tiga yang berpusat di Pauh kurang dikenal didalam document maupun literature. Nama Marga Simpang Tiga kemudian tenggelam dan lebih dikenal sebagai Pauh.

Simpang Tiga dengan artinya sama juga dikenal di Marga Pangkalan Jambu. Marga Pangkalan Jambu mengenal Simpang tiga dengan istilah “Tiga jalur’. Menunjukkan 3 orang Rio yang menguasai Marga Pangkalan Jambu. Yaitu Rio Niti, Rio Gumalo dan Rio Menang[191].

Disebut sebagai Simpang tiga disebabkan adanya Simpang tiga yang menuju ke Marga Air Hitam, menuju ke Jambi dan Menuju ke Sarolangun.

Di Marga Batin Pengambang dikenal Dusun Tambak Ratu. Tambak Ratu berasal dari Kata “Tambak” yaitu tepian mandi Ratu yang bernama Ratu Minang Jawa[192].

Sedangkan Ratu adalah nenek moyang dengan nama Nenek Semula Jadi. Nama Sebenarnya Raden Muhardi. Adiknya bernama Ratu Minang Jawa. Tempatnya ada di Pohon banyas Ujung Tanjung.


Dusun Pulau Puro dikenal sebagai Dusun Kecil. Sedangkan Dusun Tanjung Aur berasal dari istilah “Aur”. Aur artinya “bamboo”. Memang Dusun ini memiliki banyak bamboo. Bambu yang banyak terletak di Tanjung.  Sehingga dikenal sebagai “Dusun Tanjung Aur.

Sedangkan Sungai Rambai dikenal “Muko-muko”. Muko-muko berarti “pangkal Dusun” Marga IX Koto. Sebagai daerah terdepan, maka Dusun ini memang dusun yang pertama kali ditemukan di Marga IX Koto dari arah Padang. Masyarakat sering menyebutkan sebagai “jalan Padang Lamo”.

Sebagai daerah “Muko-muko” maka di Dusun Rambai kemudian ditetapkan sebagai Pamuncak.


Penamaan Koto dapat dilihat di Koto Teguh, Koto Baru, Koto Tapus, Koto Renah di Marga Sungai Tenang. Masyarakat Desa Renah Pelaan mengaku berasal dari Koto Mutut[193].Koto Mutun adalah dusun tua yang sekarang sudah ditinggalkan, terletak di dekat desa Rantau Suli. Diperkirakan orang pertama yang menempati desa Renah Pelaan adalah Aning Darajo (Nenek Moyang Masyarakat desa Renah Pelaan). Aning Darajo diperkirakan berasal dari Minang Kabau[194].

Didalam Marga Sungai Tenang terdapat pembagian wilayah. Dengan menggunakan punggung (bukit) maka bisa ditentukan dusun asal dari Punggung Bukit Maka dikenal istilah “Pungguk 6”, “pungguk 9” dan Koto 10”.

Pungguk 6 kemudian mengenal Dusun Kotojayo, Dusun Koto Sawah, Dusun Koto Tinggi. Sebagian menyebutkan “Pungguk enam terdiri dari dusun asal yaitu Kotojayo, Koto Renah dan[195].

Di Marga V Bangko dikenal Koto Rayo. Di Marga Pratin Tuo dikenal Kotorami. Di Marga Sumay dikenal Koto Tinggi. Selain itu dikenal Marga VII Koto dan Marga IX Koto. Dengan tuturan ini maka setiap proses adat dapat dilihat dari tutur dan pendekatan kekeluargaan. Hubungan ini kemudian dilanjutkan dengan Marga Sumay sebagai anak dari kedua Marga. Sehingga Marga VII kemudian disebut “Berbenteng dado. Berkutu berpagar di batu”.

Makna “Koto” adalah Kota. Kota dimaksudkan bukanlah makna kota. Tapi dusun atau kampong yang dihuni oleh penduduk.  Untuk menjaga keamanan didusun, sebagaimana tutur di Teluk Kuali, maka dibuatkan parit yang mengelilingi Dusun. Parit yang dibangun selain lebar juga cukup lebar. Dengan dibangunnya parit yang mengelilingi dusun, sehingga binatang buas tidak dapat memasuki dusun. “Maklumlah. Negeri harus aman”. Istilahnya “harus aman dari musuh alam”[196].

Koto adalah simbol penghormatan terhadap leluhur sekaligus sebagai benteng pertahanan.

Koto diartikan sebagai benteng tempat berlindung. Koto terdiri dari 3 suku asal dan sudah bersawah, berladang dan beternak peliharaan. Dengan demikian maka Koto adalah tempat benteng perlindungan yang didalamnya terdapat persawahan, peladangan dan tempat gembala ternak.

Untuk menjaga keamanan didusun, sebagaimana tutur di Teluk Kuali, maka dibuatkan parit yang mengelilingi Dusun. Parit yang dibangun selain lebar juga cukup lebar. Dengan dibangunnya parit yang mengelilingi dusun, sehingga binatang buas tidak dapat memasuki dusun. “Maklumlah. Negeri harus aman”. Istilahnya “harus aman dari musuh alam”.

Di Marga Batin Pengambang disebutkan disebutkan adanya Rio Cekdi Pemangku Rajo. Yang bertugas menjaga pintu dari Timur. Dengan wilayahnya Bathin Pengambang, Batu berugo, Narso. Debalang Sutan yang bertugas menjaga pintu di sebelah selatan. Dengan wilayah Sekeladi, Guguk tinggi, Tangkui, Padang Baru. Menti Kusumo yang bertugas menjaga pintu dari Utara. Dengan wilayah Rantau Jungkai, Renah Kemang, Sungai keradak. Debalang Rajo yang  menjaga pintu dari barat. Dengan wilayah Muara Simpang, narso kecil.

Penetapan ruang dengan kiblat penjuru mata angin ditempatkan sebagai Koto adalah bentuk perlindungan. Konsepsi ini lahir dari peradaban Hindu Upanishad dari India berkembang di kalangan filsuf India seperti kaum Jaina, Nyaya dan Vaiseshika sekitar 500 tahun sebelum masehi.  Di Masyarakat bersawah dan peladangan Anton Bakker kemudian menyebutkan Realisme ekstrem. 

Penempatan “penjagaan” yang bertugas empat penjuru mata angin seperti di Marga Batin Pengambang seperti Rio Cekdi Pemangku Rajo (Timur), Debalang Sutan (Selatan), Menti Kusumo (Utara) Debalang Rajo (barat) adalah “punggawa” menjaga pemukiman Marga Batin Pengambang.

Kekokohan “Koto” juga ditemukan di Koto Rayo, pemukiman kuno Sungai Tabir. Koto Rayo adalah pemukiman kuno atau Kerajaan kecil yang menguasai wilayah.

Pada Kerajaan Koying dikalahkan oleh dominasi Kerajaan Tupo di abad ke-3 Masehi dan berhasil menguasai Jambi selama sekitar dua ratus tahun sampai kemudian dikalahkan oleh kekuatan baru di wilayah tersebut, Kerajaan Kantoli. Ternyata Kantoli juga tidak lama berkuasa di Jambi karena kemudian muncul kekuatan lainnya yang juga ingin menguasai wilayah ini, yaitu Kerajaan Melayu Jambi pada abad ke-6 Masehi. Seperti halnya Kantoli yang harus menyerah pada lawannya, Melayu Jambi juga harus mengakui kekuatan berikutnya yang tak kalah dahsyatnya, Kerajaan Sriwijaya di abad yang sama dalam kisaran 70 tahun saja.

Beragam persaingan yang berakibat pada peperangan dan berujung pada pergantian kekuasaan tentu tidak menumpas habis kekuatan yang ada sebelumnya. Ada sisa kekuatan dalam skala kecil yang lebih memilih menyingkir atau melarikan diri atau menjauh dan mencoba membangun kekuatan di wilayah-wilayah terpencil yang biasanya di pedalaman yang sulit dijangkau musuh. Hal seperti inilah yang mungkin terjadi dengan Koto Rayo, yaitu sisa-sisa kekuatan yang dikalahkan oleh musuhnya dan melarikan diri serta membangun kekuatan di pedalaman Jambi.

Menurut Pahrudin adanya  terdapat persamaan antara batu bata merah Koto Rayo dengan batu merah untuk membangun Candi Muaro Jambi. Berarti, berdasarkan hal ini maka dapat disimpulkan bahwa ada kedekatan sejarah antara Koto Rayo dengan Candi Muaro Jambi. Jika demikian, maka dapat dikatakan situs Koto Rayo hampir satu masa dengan Candi Muaro Jambi dan orang-orang Koto Rayo mungkin adalah para pelarian atau sisa-sisa kekuatan dari Kerajaan Melayu Jambi yang ditaklukkan Kerajaan Sriwijaya pada abad ke-6 Masehi.

Dari aspek pertahanan militer yang mungkin ada saat itu, posisi Koto Rayo sangat menguntungkan untuk memantau keadaan sekitarnya dari kemungkinan serangan musuh. Terletak di atas sebuah bukit yang agak bertingkat, berada persis di tikungan dari aliran Sungai Tabir yang membentuk huruf L (letter L) dan dari posisinya ini orang-orang Koto Rayo dapat memandang lurus ke arah timur sepanjang aliran sungai sejauh sekitar satu kilometer. Jika ada armada militer musuh yang menggunakan kapal dan perahu dari arah timur (Jambi) maka akan segera dapat diketahui oleh orang-orang yang ada di Koto Rayo.

Dengan mengetahui keberadaan musuh sedini mungkin, maka persiapan-persiapan menghadapi serbuan akan dapat dilakukan seefektif mungkin. Bandingkan misalnya jika lokasi Koto Rayo berada di balik tikungan sungai, meskipun keberadaannya terlindung dari pandangan tetapi tidak dapat segera mengetahui posisi musuh.






[1] Tambo berasal dari bahasa sanskerta, tambay yang artinya bermula. (wikipedia). Dalam tradisi masyarakat Minangkabau, tambo merupakan suatu warisan turun-temurun yang disampaikan secara lisan. Kata tambo atau tarambo dapat juga bermaksud sejarah, hikayat atau riwayat. Lihat Sangguno Diradjo, Dt. Tambo Alam Minangkabau, Balai Pustaka, Jakarta, 1954. Mengenai istilah “Tambo”, penulis mendefinisikan tentang cara penetapan suatu wilayah berdasarkan batas-batas alam. Maka didalam melihat sebuah wilayah klaim adat baik Margo maupun dusun dilakukan dengan bertutur adat. Tambo ini menerangkan berdasarkan kepada tanda-tanda alam seperti nama gunung, bukit, sungai, lembah, dan sebagainya. Tanda-tanda berdasarkan kepada Tambo masih mudah diidentifikasi dan masih terlihat sampai sekarang. Bandingkan definisi yang diberikan oleh Erman Rajagukguk didalam tulisannya “PEMAHAMAN RAKYAT TENTANG HAK ATAS TANAH, Prisma, 9 September 1979, mendefinisikan Tambo “Proses pembukaan daerah baru semacam ini diperoleh dari cerita Tambo lama Sumatera. Versi yang sama juga terjadi pada pembukaan tanah di Kalimantan sebagaimana riwayat Sultan Adam yang dituangkan oleh Abdurrahman SH dan Drs. Syamsiar Seman mengenai Undang undang Sultan Adam, dalam majalah Orientasi, nomor 2, Januari 1977. Begitu juga ketika Sri Susuhunan Paku Buwono IV ingin memperluas wilayahnya ke utara (Lihat G.A. Basit Adnan, “Tandus tanahnya, Subur Islamnya dalam Panji Masyarakat, nomor 233, 15 Oktober 1977). Kisah kisah tersebut diangkat oleh Sayuti Thalib SH dalam “Telah Tercipta Hak Ulayat Baru”, majalah Hukum dan Pembangunan, nomor 1, Tahun VIII, Januari 1978.
[2] Masyarakat hukum yang bermukim di Jambi Hulu, yaitu Onderafdeeling Muarabungo, Bungo, Sarolangun dan sebagian dari Muara Tebo dan Muara Tembesi. F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938.
[3] Biasa dikenal dengan istilah “kenduri sko”, turun pusako yang ditentukan pada hari ketiga lebaran besar (Hari ketiga Idul Fitri)
[4] Asal usul Nenek moyang
            [5] Di Desa Simpang Narso, 2 April 2012
            [6] Desa Simpang Narso, 2 April 2012.
            [7] LAPORAN RISET MARGA BATIN PENGAMBANG, G-CINDE, 2013
[8] Yazin, Pauh, 6 Agustus 2016
            [9] Muktar, Ketua Lembaga Adat Kecamatan Air Hitam, Sarolangun, 24 Oktober 2017
[10] Desa Kembang Seri, Batanghari, 23 Februari 2015
[11] Bustami, Dusun Pulau Pandan, 5 Agustus 2016
[12] Zaini, tokoh adat Kecamatan Pelawan, Muara Danau, 7 Agustus 2016
[13] Pertemuan di Teluk Singkawang, 16 Maret 2013. Teluk Singkawang adalah pusat Marga Sumay.
[14] Pertemuan di Teluk Singkawang, 16 Maret 2013. Teluk Singkawang adalah pusat Marga Sumay.
[15] Abdulah TH, Mantan Depati Suko Rame. Dusun Suka Rame, Desa Cermin, 26 Agustus 2016
            [16] Sarlis Jani, Desa Teluk Kuali, 16 Agustus 2016
            [17] Eson, Rantau Panjang, 25 Agustus 2016
[18] Pertemuan di Muara Siau, Muara Siau, Mei 2011
            [19] Desa Rantau Rasau, Kecamatan Berbak, Tanjabtim, 10 Juli 2018
            [20] Desa Jebus, Muara Jambi, 3 Februari 2016
            [21] Kelurahan Parit Culun, Muara Sabak, 2 Maret 2016
            [22] Suwardi Endraswara, Memayu Hayuning Bawana – Laku Menuju Keselamatan dan Kebahagiaan Hidup Orang Jawa, Penerbit Narasi, Yogyakarta, 2016, Hal. 18
            [23] Dharsono Sony Kartika. Seni Rupa Modern, Rekayasa Sains,  Bandung, 2004, Hal. 33
[24] Pertemuan di Desa Teluk Raya, Kumpeh, Muara Jambi, 9 Mei 2015
[25] Sungai Ipuh, Selagan Raya, Muko-muko, Bengkulu, 15 Juli 2016
            [26] Endjat Djaenuderadjat dkk, “Atlas pelabuhan-pelabuhan bersejarah di Indonesia”, Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Jakarta, 2013, Hal 336

            [27] Desa Tambak Ratu, 28 Juli 2013
[28] Desa Kembang Seri, Batanghari, 23 Februari 2015
[29] Peninjauan bisa diartikan sebagai “peninjau”. Dapat dimaknai sama dengan penyampai kabar kepada Raja.
            [30] Cikman, Desa Tebing Tinggi, 20 Agustus 2016
            [31] M. Yunus Kadir, Desa Lubuk Ruso, 21 Juli 2018
[32] Sarlis Jani, Desa Teluk Kuali, 16 Agustus 2016
            [33] Prof. Dr. S Budhisantoso, dkk, Kajian Dan Analisa Undang-undang Piagam dan Kisah Negeri Jambi, Depdikbud, Jakarta, 1991, Hal. 228
[34] Dewan Bahasa Dan Pustaka, Ensklopedia Sejarah dan Kebudayaan Melayu, Dewan Bahasa dan Pustaka, Kementerian Pendidikan, 1994, Hal. 723
[35] Suhartini.” Kajian Kearifan Lokal Masyarakat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan,” Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA. Yogyakarta: Fakultas MIPA Universitas Negeri Yogyakarta, 2009..
            [36] Desa batu Empang, 2 April 2013
            [37] MARGA BATANG ASAI TENGAH, Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016
            [38] Cikman, Desa Tebing Tinggi, 20 Agustus 2016 dan Kemas Yasin, Bajubang Laut, 15 Agustus 2016. Selain itu juga lihat Mukti Nasruddin, Jambi Dalam Sejarah, 1989 dan Profil Desa Tebing Tinggi, Walhi Jambi, Juni 2013
[39] Catatan lengkap dapat dilihat didalam tulisan “PENGAKUAN HUKUM TERHADAP HAK ULAYAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN HAMBATAN IMPLEMENTASINYA, Hj. ROSMIDAH, S.H., M.H.
[40] Sebelum dimekarkan menjadi Kabupaten Sarolangan dan kabupaten Merangin
     [41] Data berbagai sumber
            [42] Zulkifli, Tokoh adat di Desa Senamat.
            [43] KEPUTUSAN BUPATI BUNGO NO. 1249 TAHUN 2002 TENTANG PENGUKUHAN HUTAN ADAT DESA BATU KERBAU KECAMATAN PELEPAT KABUPATEN BUNGO
            [44] Laporan Penelitian Sistim Kelola Hutan Margo Senggrahan Kabupaten Merangin, Walhi Jambi, 2012.
            [45] Profile Desa Lubuk Beringin Kecamatan Muara Siau, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [46] Profile Desa Lubuk Birah Kecamatan Muara Siau, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [47] Profile Desa Durian Rambun Kecamatan Muara Siau, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [48] Desa Birun, 23 Agustus 2010
            [49] PERATURAN DESA TANJUNG MUDO  NO. 7 TAHUN 2011  TENTANG  PIAGAM RIO PENGANGGUN JAGO BAYO
            [50] Profile Desa Renah Pelanaan Kecamatan Sungai Tenang, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [51] Profile Desa Muara Madras Kecamatan Sungai Tenang, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [52] Profile Desa Tanjung Dalam Kecamatan Lembah Masurai, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [53] Profile Desa Jangkat Kecamatan Sungai Tenang, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [54] Profile Desa Beringin Tinggi Kecamatan Sungai Tenang, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [55] Profile Desa Pematang Pauh Kecamatan Sungai Tenang, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [56] Peraturan Desa Gedang No.  Tahun 2011Tentang Keputusan Adat istiadat Depati Suka Merajo
            [57] KOTOBARU Perdes No.  Tahun 2014 KEPUTUSAN DEPATI SUKO DERAJO
            [58] PERATURAN DESA TANJUNG BENUANG No. 09 Tahun 2011 Tentang  Keputusan Depati Suko Menggalo.
            [59] Peraturan Desa Tanjung Alam  No. 3 Tahun 2011 Tentang  Piagam Depati Duo Menggalo
            [60] PERATURAN DESA TANJUNG MUDO NO. 7 TAHUN 2011  TENTANG  PIAGAM RIO PENGANGGUN JAGO BAYO
            [61] Profile Desa Tanjung Berugo, Kecamatan Lembah Masurai, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [62] Profile Desa Sungai Pinang, Kecamatan Sungai Manau, PMKM – Pemkab Kabupaten Merangin, 2010
            [63] SK MERANGIN NO. 287 TAHUN 20013 TENTANG PENGUKUHAN KAWASAN BUKIT TAPANGGANGG SEBAGAI HUTAN ADAT MASYARAKAT HUKUM ADAT DESA GUGUK KECAMATAN SUNGAI MANAU KABUPATEN MERANGIN
Hutan Adat Bukit Tapanggang seluas 690 ha
            [64] Kepala Dusun Lubuk Beringin, Desa Lubuk Beringin 27 Maret 2016
            [65] Kepala Adat Lubuk Birah, 28 Maret 2016
            [66] Lembaga Adat Desa Durian Rambun, Desa Durian Rambun, 28 Maret 2016. Lihat juga Peraturan Desa Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Kelembagaan dan Pengelolaan Hutan Desa Rio Kemunyang Desa Durian Rambun.
            [67] Pertemuan di Desa Pemayungan, 26 Desember 2012. Lihat juga PERDES  NO 2 TAHUN 2012 Tentang KEPUTUSAN ADAT KETURUNAN DATUK DOMANG MUNCAK KOMARHUSIN
            [68] Muara Sekalo, Maret 2013
            [69] Desa Semambu, 18 Maret 2013
            [70] Desa Suo-suo, 21 Maret 2013
            [71] Kepala Dusun Fahmi dan Patih Serunai, Dusun Semerantihan, 24 September 2016
            [72] Desa Kembang Seri, Batanghari, 23 Februari 2015
            [73] Dusun Bukit Rinting, Desa Lubuk Mandarsyah, Tebo, 22 Agustus 2016
            [74] JEJAK LANGKAH ORANG RIMBA, Kisah Perjuangan Orang Rimba Dalam Mempertahankan Hak,  Atas Sumber Daya Hutan Di Bukit 12 Jambi, Pengendum dan Koper HAM, 2006
            [75] Adi Prasetijo, Etnografi Orang Rimba Di Jambi, Wedatama Widya Sastra, Jakarta,  2011
[76] Suak dikenal sebagai “Sungai Mati”. Menunjukkan sungai yang tidak mengalir . Desa Sungai Beras, 10 Februari 2018.
[77] Hasil Riset Walhi, 2016
            [78]Desa Sungai Beras, 15 Januari 2018
            [79] Dusun Pulau Tigo, Desa Sponjen, 3 Februari 2016
            [80] Dusun Pulau Tigo, Desa Sponjen, 3 Februari 2016
            [81] LAPORAN KASUS HTI,  Walhi Jambi,  September 2017,
            [82] PERATURAN DESA SEPONJEN No.  10 /SPJ/1/ 2018 TENTANG  BUYUT DAYUT
[83] Desa Sogo, 4 Februari 2016
            [84] Perdes Sungai Bungur No 2 Tahun 2018 Tentang Piagam Tumenggung Bujang Pejantan
            [85] Desa Rukam, 22 - 24 Agustus 2017
            [86] Desa Sungai Rambai, 20 September 2017
            [87] Desa Kelagian, 8 - 10 September 2017
            [88] Desa Suak Samin, 24 - 26 September 2017
            [89] PERATURAN DESA SERDANG JAYA NO  :    TAHUN 2017 TENTANG : PERLINDUNGAN DAN PEMANFAATAN EKOSISTEM GAMBUT DESA SERDANG JAYA KECAMATAN BETARA KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT
            [90] Desa Sungai Beras, 09 Desember 2017
            [91] Desa Sungai Keradak, 27 Juli 2013
            [92] MARGA BATANG ASAI TENGAH, Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016
            [93] Peraturan Desa Gedang No.  Tahun 2011Tentang Keputusan Adat istiadat Depati Suka Merajo
            [94] KOTOBARU Perdes No.  Tahun 2014 KEPUTUSAN DEPATI SUKO DERAJO
[95] PERATURAN DESA TANJUNG BENUANG No. 09 Tahun 2011 Tentang  Keputusan Depati Suko Menggalo.
            [96] Peraturan Desa Tanjung Alam  No. 3 Tahun 2011 Tentang  Piagam Depati Duo Menggalo
            [97] Eson, Rantau Panjang, 25 Agustus 2016
            [98] Pasal 33 Perda Kabupaten Bungo Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Masyarakat Hukum Adat Datuk Senaro Putih
            [99] Sistim Penguasaan Tanah Adat dan Pengelolaan Sumber daya Alam Masyarakat, Riset Walhi Jambi, 2010, Hal. 36
            [100] Bapak Nurdin dan Datuk Janggut, Tokoh adat Margo Senggrahan, Pertemuan di Muara Siau, Muara Siau, Mei 2011
            [101] Pertemuan di Desa Pemayungan, 26 Desember 2012. Lihat juga PERDES  NO 2 TAHUN 2012 Tentang KEPUTUSAN ADAT KETURUNAN DATUK DOMANG MUNCAK KOMARHUSIN
            [102] Muara Sekalo, Maret 2013
            [103] Desa Suo-suo, 21 Maret 2013
            [104] Kepala Dusun Fahmi dan Patih Serunai, Dusun Semerantihan, 24 September 2016
[105] Kearifan Tradisional Masyarakat Pedesaan dalam Pemeliharan Lingkungan Hidup daerah Propinsi jambi, Hal. 19
            [106] PERATURAN DESA SEPONJEN No.  10 /SPJ/1/ 2018 TENTANG  BUYUT DAYUT
            [107] PERATURAN DESA SEPONJEN No.  10 /SPJ/1/ 2018 TENTANG  BUYUT DAYUT
            [108] Desa Sogo, 4 Februari 2016
            [109] Perdes Sungai Bungur No 2 Tahun 2018 Tentang Piagam Tumenggung Bujang Pejantan
[110] Desa Sungai Beras, 09 Desember 2017
            [111] F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, Djambi, Kolonial Institutut, Amsterdam, 1938
            [112] Istilah Marga telah dikemukakan oleh J.W.Royen, seorang pegawai Pemerintahan Kolonial yang sedang cuti dalam disertasinya (1927). Studi ini mengenai hak-hak atas tanah dan air dari Marga, yakni suatu unit komunitas yang murni bersifat teritorial di Palembang, satu dari empat bagian di wilayah hukum Sumatera Selatan. Selain Palembang, bagian hukum adat lain juga terjadi di distrik Jambi, Bengkulu dan Lampung. Van Vollenhoven meneyebutkan beschikkingrecht sebagai sebuah konsep yang seragam, pembentuk identitas Indonesia yang kepulauan. Lihat ADAT DALAM POLITIK INDONESIA, (editor Jamie S. Davidson dkk), KITLV, Jakarta, 2010, hal. 89.
            [113] Budihardjo, Perkembangan ekonomi masyarakat daerah Jambi, 2001

            [114] Sebagai factor pertumbuhan persekutuan hukum  (rechtsgemeenshap) sebagai faktor territorial, maka masyarakat Melayu Jambi terbuka dengan kedatangan penduduk. Ujaran sepertinya Tanjung Paku batang belimbing. Tempurung dipalenggangkan. Anak dipangku, kemenakan dibimbing, orang lain dipatenggangkan, melambangkan mereka tidak terikat dalam ikatan geneologis. Mereka terbuka dengan pendatang. Ter Haar menyebutkan sebagai “Persekutuan Desa
            [115] Didalam “Koninklijk Nederlands Aardrijkskundig Genootschap” disebutkan in het batin gebied staan de woningen in de doesoen. Dengan demikian, maka Batin terdiri dari beberapa Dusun.  Sedangkan Cerita di masyarakat, arti kata “batin” berasal dari kata “asal”. Makna ini kemudian menjadi dasar untuk pembagian Dusun. Misalnya Batin 12 Marga Sumay. Dengan menggunakan kata “Batin”, maka ada 12 dusun asal (dusun Tua) sebagai bagian dari Marga Sumay. Sehingga Dusun didalam Marga Sumay terdiri dari Pemayungan, Semambu, Muara Sekalo, Suo-suo, Semerantihan, Tua Sumay, Teluk Singkawang, Teliti, Punti Kalo, Teluk Langkap, Tambon Arang dan Bedaro Rampak. Begitu juga Batin III Ulu yang terdiri dari Batang Buat, Muara Buat dan Batang Bungo.  Muara Buat terdiri dari kampung Dusun Senamat Ulu, Lubuk Beringin dan Aur Chino.
            [116] Pertemuan di Desa Muara Air Duo, Sarolangun, 23 Maret 2013
            [117] Pertemuan di Desa Tanjung Alam, Merangin, 19 Juni2 1011.
            [118] Pertemuan di Desa Pemayungan, Tebo, 26 Desember 2012
            [119] Pertemuan di Dusun Simarantihan, Desa Suo-suo, Tebo, 1 Oktober 2016
            [120] Pertemuan di Desa Senamat, 19 Agustus 2016
            [121] Pertemuan di Desa Rantau Panjang, 26 Agustus 2016
            [122] Eson, Rantau Panjang, 25 Agustus 2016
            [123] Arsitektur Tradisional Daerah Jambi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1986, Hal. 15
[124] Didalam jurnal sering dituliskan “soengei Tenang
[125] Ada beberapa versi mengenai arti “Merangin’. Merangin disebutkan dari kisah dari perjalanan pertemuan Batang Tembesi dengan Batang Merangin. Untuk mengukur berat air antara Batang Tembesi dan batang Merangin, maka diambil air dan dilakukan penimbangan. Dari hasil pengukuran, ternyat beratnya hanya sedikit (seperanginan). Maka pertemuan dua sungai kemudian disebutkan sebagai Merangin. Sementara dari versi lain disebutkan, adanya tradisi mengangkat padi dan membersihkan menjadi beras dengan cara mengangkat ke udara sehingga, bulir padi tetap jatuh dan sisanya dibawa angin.
[126] Jambi comprises the inland districts of pankalan-jambu, batang-asei, limun, korinchi, serampei and sungei-tenang. some of these district have excites curiosity by fam of their natural beauty, their mineral wealth, and the number and industru of their inhabitants. Lihat Proceedings of the Royal Geographical Society and Monthly Record of Geography, Volume 1
[127] . Gazetteer of The World, Dictionary of Geographical Knowledge, Vol, VI, A. Fullarton @ Co, Dublin, 1856
[128] Nederlandsch Oost-Indië: beschreven en afgebeeld voor het Nederlandsche volk, Volume 3 , Nederlansch Oost-Indie : Beschreven en Afgebeeld voor het Nederlansche volk, Pengarang Pieter Anthonie Lith, Penerbit Van Schenk Brill, 1875, Hal. 95
[129] Palembang is toegevoegd ; 4. worden er toe gerekend de landschappen Korintji, Soengei Tenang, Serampas, Batang Asei en Limoen, ten westen en zuid-westen van djambi gelegen, welken echter nog geheel onafhankelijk zijn. zij grenst dus ten noorden aan de rijken indragiri en kwantan, waar eene denkbeeldige lijn, die van den mond van het kustriviertje tongka op. Aardrijksbeschrijkving van Nederlandsch Oost-Indie, J.J. DE Hollander, Amsterdam Seyffardt’s Boekhandel, Amsterdam, 1868
[130] De betrekkelijk ligging der dalem van Serampei en Soengei Tenang is niet duidelijk, daar onze kaarten hier uiterst gebrekking zijn. Serampei schijnt een lengtedal in dezelfde rigting als dat van Korintji ; Soengei Tenang schijnt zich om het zuiden en zuidoosten daarvan heen te slingeren. Dit lastste bevat het schoone meer danau pau, dat van alle zijden omgeven is door hooge en steile, met digt bosch begroide bergen, die een ontzaggelijk amphitheater vormen. niet ver vandaar ontsprint de s. tambesi, de tweede hoofdtak van de djambi-rivier. Aardijkskundig en statitsch, woordenboek van Nederlandsch Indie, Bewerkt naar de Jongste en Beste Berigten, P. J. Veth, PN. Van Kampen, Amsterdam, 1869
[131] De Gids, Dertiende Jaargang, Niewune serie, Tweede Jaargang, PN. Van kampen, Amstedam, 1849.
[132] Diccionario – Geografico Universal, De M. Malte-Brun, Calle Gueneguad, Paris, 1828
            [133] JEJAK LANGKAH ORANG RIMBA - Kisah Perjuangan Orang Rimba Dalam Mempertahankan Hak Atas Sumber Daya Hutan Di Bukit 12 Jambi – Laporan Orang Rimba – KOPER HAM, 2006. Laporan ini telah disampaikan ke KOMNAS HAM dan KOMNAS HAM kemudian telah memuat 12 Pelanggaran HAM di Bukit 12.
            [134] Peraturan Desa di Marga Batin Pengambang, 28 Juli 2013
            [135] Nasehat-nasehat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, hal. 2197
            [136] Marga Jebus kemudian tertinggal menjadi Desa Jebus dan termasuk kedalam Kecamatan Kumpeh Hiilir
            [137] Elsbeth Locher-Scholten, Kesultanan Sumatera dan Negara Kolonial: Hubungan Jambi-Batavia (1830-1907), hlm.135
            [138] Tambo berasal dari bahasa sanskerta, tambay yang artinya bermula. (wikipedia). Dalam tradisi masyarakat Minangkabau, tambo merupakan suatu warisan turun-temurun yang disampaikan secara lisan. Kata tambo atau tarambo dapat juga bermaksud sejarah, hikayat atau riwayat. Lihat Sangguno Diradjo, Dt. Tambo Alam Minangkabau, Balai Pustaka, Jakarta, 1954. Mengenai istilah “Tambo”, penulis mendefinisikan tentang cara penetapan suatu wilayah berdasarkan batas-batas alam. Maka didalam melihat sebuah wilayah klaim adat baik Margo maupun dusun dilakukan dengan bertutur adat. Tambo ini menerangkan berdasarkan kepada tanda-tanda alam seperti nama gunung, bukit, sungai, lembah, dan sebagainya. Tanda-tanda berdasarkan kepada Tambo masih mudah diidentifikasi dan masih terlihat sampai sekarang.
            [139] Pertemuan di Desa Teluk Raya, Kumpeh, Muara Jambi, 9 Mei 2015
            [140] Sungai Ipuh, Selagan Raya, Muko-muko, Bengkulu, 15 Juli 2016
            [141] Saya menafsirkan orang lembak sebagai padanan kata “Lembah’. Atau orang yang berada di lembah. Atau orang yang tinggal di daerah bawah.
            [142] “MenghadapTuanku Rajo” adalah perumpamaan penghormatan terhadap Raja di Muko-muko. Istilah ini sering ditemukan di berbagai desa didalam Marga Sungai Tenang.
            [143] “Berakit” artinya naik rakit
            [144] Wawancara Khatib Karim, Ketua Lembaga Adat Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, 22 Maret 2013
            [145] Khusus Sungai Lisai adalah dusun yang terletak di Pungguk 9 Marga Sungai Tenang, Bangko. Namun karena akses yang cukup jauh dengna Muara Madras maka kemudian dimasukkan ke Kecamatan Pinang Belapis, Lebong, Bengkulu.
[146] Sungai Sumay adalah salah satu anak sungai yang bermuara ke Sungai Batanghari.
            [147] Termasuk kedalam Marga Batin IX Ilir
            [148] Laporan AMAN Jamb, 2012
[149] Adrianus Chatib, dkk, Kesultanan Jambi dalam Konteks Sejarah Nusantara, Puslitbang Luktur dan Khazanah, Jakarta, 2011, Hal. 7
[150] Uka Tjandrasasmita, Beberapa Catatan Tentang Perdagangan di DAS Batanghari Hubungannya Dengan Jalur Perdagangan Internasional Pada Abad-abad Pertama sampai Abad XVI”, Makalah Seminar Melayu Jambi, Pemerintah Provinsi Jambi, Jambi, 1992, Hal. 310
[151] Saifullah, Seminar dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010, Hal. 6-7
[152] Slamet Muljana, Sriwijaya, LKiS, Yogyakarta, 2008, hal. 107-119.
[153] Dusun Kapuk adalah dusun yang terletak di tengah-tengah dari kelima dusun Marga Batin V. Dusun Kapuk merupakan tempat pertemuan para Rio Depati mengenal masalah-masalah Marga.  Arsitektur Tradisional Daerah Jambi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1986, Hal. 15
            [154] Marzuki, Desa Mudo, 17 Agustus 2017
            [155] Perda Kabupaten Merangin No. 8 Tahun 2016 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Marga Serampas
            [158] PERATURAN DESA SEPONJEN No.  10 /SPJ/1/ 2018TENTANG BUYUT DAYUT
            [159] Perdes Desa Sungai Bungur No   Tahun 2017 Tentang Tumenggung Bujang Jantan
            [160] PERDES NAPAL MELINTANG NO. 3 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN ADAT.
            [161] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016
            [162] Pertemuan di Rumah Pak Saiful. Dihadiri Ismail (mantan Kades Cermin Alam), Syargawi (mantan Sekdes Sungai Abang), Anwar (Ketua Lembaga Adat Kecamatan VII Koto dan Cucu Pesirah), dan Saiful.

            [163] SK BUPATI Sarolangun Nomor 206 Tahun 2010Tentang Pengukuhan Kawasan Hutan Adat Bukit Bulan “Batin Jo PenghuluHutan Adat Bukit Bulan Batin Jo Panghuku seluas 1.368 ha meliputi 5 Desa
[164] Istilah Salo bisa ditemukan dalam Tambo Dusun Pemayungan dan Dusun Semambu yaitu Salo Belarik
            [165] Kepala Dusun Fahmi dan Patih Serunai, Dusun Semerantihan, 24 September 2016
            [166] Data dikumpulkan dari berbagai sumber. Kepala Dusun Fahmi dan Patih Serunai, Dusun Semerantihan, 24 September 2016, Kepala Dusun Semambu, Desa Semambu, Kecamatan Sumay, 18 Maret 2013. Ahmad Intan, 21 Maret 2013


            [167] Khatib Karim, Ketua Lembaga Adat Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo, tanggal 20 Maret 2013
[168] Samsuddin, Guguk, 16 Maret 2016. Guguk termasuk kedalam Marga Renah Pembarap.
[169] Pertemuan di Muara Siau, Muara Siau, Mei 2011
            [170] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Adat: Studi Kasus Lima Desa Di Kecamatan Batang Asai, Walhi Jambi, 2016
            [171] Perda Kabupaten Bungo  Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Masyarakat Hukum Adat Datuk Senaro Putih.
[172] Sejarah Margo ditetapkan oleh Pemerintah Belanda. Dari berbagai sumber disebutkan, marga yang mulanya bersifat geneologis-territorial. Menurut Regeering Reglement (RR) 1854, Nederlandse Indie diperintah oleh Gubernur Jenderal atas nama Raja/Ratu Nederland secara sentralistis. Daerah Nederlandse Indie dibagi dalam dua kategori besar yaitu daerah Indirect Gebied dan Direct Gebied. Daerah Indirect Gebied adalah daerah yang diperintah secara tidak langsung oleh penguasa Batavia.
[173] “MenghadapTuanku Rajo” adalah perumpamaan penghormatan terhadap Raja di Muko-muko. Mengenai kerajaan di Muko-muko saya akan paparkan pada tulisan yang terpisah.
[174] Peta Bakosutanal, 2003
            [175] M. Syafe’I Achmad, mantan Pesirah dan mantan Kepala Desa Merlung, 14 Agustus 2016
            [176] Cikman, Desa Tebing Tinggi, 20 Agustus 2016 dan Profil Desa Tebing Tinggi, Walhi Jambi, Juni 2013.
            [177] Eson, Rantau Panjang, 25 Agustus 2016
            [178] Samsuddin, Guguk, 16 Maret 2016
            [179] Kepala Dusun Lubuk Beringin, Desa Lubuk Beringin 27 Maret 2016
[180] Lindayanti, “Konflik dan Integrasi dalam Masyarakat Plural, Jambi 1970-2012
[181] Guguk, 16 Maret 2016
[182] Barbara Watson Andaya, Hidup Bersaudara – Sumatra Tenggara Pada Abad XVII – XVIII, Penerbit Ombak, Yogyakarta, 2016, Hal. 290
            [183] Arsitektur Tradisional Daerah Jambi, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1986, Hal. 15
            [184] Zulkifli, Birun, 7 Agustus 2016
            [185] Kepala Dusun Lubuk Birah, Desa Desa Lubuk Birah, 28 Maret 2016
[186] Lembaga Adat Desa Durian Rambun, Desa Durian Rambun, 28 Maret 2016
            [187] Sungai Bungur, 26 Januari 2016
            [188] Yazin, Pauh, 6 Agustus 2016
            [189] Muktar, Ketua Lembaga Adat Kecamatan Air Hitam, Sarolangun, 24 Oktober 2017
            [190] Zaini, tokoh adat Kecamatan Pelawan, Muara Danau, 7 Agustus 2016
[191] Zulkifli yang diberi gelar “Rajo Nan Putih, Desan Birun,  7 Agustus 2016
[192] Desa Tambak Ratu, 28 Juli 2013
            [193] Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Kearifan Lokal, Walhi, 2015
            [194] Nasrun, Ketua Lembaga Adat Desa Renah Pelaan. Wawancara, April 2016
[195]  Sabawi, Pulau Tengah, 14 Maret 2016.
            [196] Sarlis Jani, Desa Teluk Kuali, 16 Agustus 2016