22 Agustus 2021

opini musri nauli : Vaksin - Hak atau kewajiban

 

Sebenarnya, tema mengenai vaksin dilihat daripada hak atau kewajiban Sudah lama ingin dituliskan. Selain kegelisahan pribadi dari debat-debat warung kopi, substansi yang dipaparkan kadangkala kurang mengerucut. 


Namun moblitas dan pekerjaan yang menyita waktu sekaligus tersita didepan laptop, tema ini sempat menjadi draft untuk disusun. Belum rampung dikerjakan. 

Membicarakan vaksinasi memang memantik debat yang tidak berkesudahan. Sebagian kalangan menolak selain disebabkan ketidakpercayaan ancaman covid 19 juga didasarkan penolakkan terhadap vaksinasi dengan alasan-alasan sepele. Seperti adanya skenario global dari putaran bisnis yang akan diraup. 


Atau bisa saja “terlalu” berlebihan Ancaman yang akan terjadi. 


Disisi lain, virus corona sudah menyerang global. Berbagai pertemuan yang semula diagendakan pertemuan langsung kemudian bergeser menjadi pertemuan melalui webinar. Melalui webinar, perilaku dan gaya Hidup kemudian bergeser. Pertemuan fisik menjadi pertemuan tatap muka melalui internet. 


Kembali membicarakan vaksinasi dilihat dari regulasi. Apakah vaksinasi adalah hak atau kewajiban. 


Mari kita telusuri satu persatu. Didalam konstitusi dijelaskan didalam 28 H ayat (3) UUD 1945 disebutkan “ bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. Inilah yang menjadi dasar mengapa hak atas kesehatan merupakan Hak Asasi Manusia”. 


Sebelumnya Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. 


Pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa: Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya. Setiap orang berhak hidup tenteram, aman, damai, bahagia, sejahtera, lahir dan batin. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Jaminan atas hak memperoleh derajat kesehatan yang optimal juga terdapat dalam pasal 4 UU Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan.


Sedangkan Jaminan hak atas kesehatan dapat juga diilihat didalam  Pasal 12 ayat (1) Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Ratifikasi Kovenan Ekosob yang disahkan di PBB tanggal 16 Desember 1966. 


Jadi jelaslah. Menurut regulasi, Kesehatan adalah hak. Sehingga pemberian vaksinasi untuk menciptakan kesehatan (herd immunity) adalah bagian dari hak atas Kesehatan. 


Dengan menempatkan hak Atas Kesehatan yang menjadi hak Asasi maka kemudian Negara berkewajiban untuk memenuhinya. UU Kesehatan dan UU Ekosob kemudian menegaskan. 


Dengan membaca berbagai regulasi yang tegas mencantumkan “hak kesehatan” adalah hak Asasi manusia maka, hak terhadap kesehatan adalah hak. Bukan kewajiban. 


Sehingga pemberian vaksinasi didalam upaya “hak atas kesehatan” adalah rangkaian panjang didalam melihat “pemberian vaksinasi” sebagai hak. 


Namun ketika “Hak atas kesehatan” yang kemudian ditandai dengan pemberian vaksinasi berupa sertifikat/kartu vaksin sebagai persyaratan berbagai dokument urusan ataupun segala aktivitas kehidupan sehari-hari, semisalnya “naik pesawat” ataupun dokumen perjalanan maka menjadi kewajiban maka harus ditelusuri lebih dalam. 


Benar. Disaat total vaksinasi I mencapai 57 juta (27%) dan vaksinasi II mencapai 31 juta (15%) dari target nasional mencapai 208 juta, maka kewajiban melampirkan sertifikat/kartu vaksin menimbulkan debat yang cukup menyita waktu. 


Menempatkan sertifikat/kartu vaksin yang semula “hak” kemudian menjadi kewajiban dokumen didalam berurusan di Indonesia tentu saja menimbulkan polemik. 


Sebagian kalangan tentu saja keberatan ketika semula adalah “hak” namun kemudian menjadi “kewajiban” adalah kerancuan yang menimbulkan implikasi yang cukup serius. Sehingga penolakkan didasarkan dari makna “hak” dan kewajiban. 


Atau ada juga yang berargumentasi, mengapa semula “hak” namun kemudian malah menjadi kewajiban ? 


Konsepsi dan argumentasi yang dipaparkan dapat penulis pahami. 


Namun disaat menghadapi pandemik, diperlukan “satu suara” untuk melewati krisis ini dengan baik. 


Persyaratan dan kewajiban melampirkan sertifikat/kartu vaksin tentu saja harus dilihat lebih komprehensif. 


Justru kewajiban melampirkan sertifikat/kartu vaksin dapat menangkal dari serangan dari pandemik yang akan terjadi. 


Dalam contoh yang lain dapat diberikan perumpamaan. Sebagaimana diketahui, menurut konstitusi “hak untuk membentuk Keluarga” dan melanjutkan keturunan diatur didalam Pasal 28 B ayat (1) UUD 1945. Hak ini kemudian dikenal sebagai “hak untuk menikah”. 


Hak ini juga diikuti seperti “kebebasan untuk memilih calon suami/istri”. Hak yang diatur didalam Pasal 10 UU HAM dan UU Perkawinan. 


Namun terhadap hak yang diatur didalam Pasal 10 UU HAM dan UU Perkawinan tentu saja mempunyai kewajiban yang diatur didalam regulasi. Seperti “pencatatan” perkawinan sebagaimana diatur didalam UU Perkawinan dan UU administrasi Kependudukan. 


Sehingga terhadap hak juga kemduian menjadi kewajiban. 


Praktek jamak yang terjadi di Indonesia. 


Yang penting, selama regulasi mengaturnya maka penempatan “hak” kemudian “menjadi “kewajiban” maka Rakyat Indonesia harus tunduk terhadap regulasi. 


Namun yang tidak boleh dilupakan, pandemik harus ditempatkan sebagai prioritas utama didalam mengambil keputusan. 


Sehingga asas yang digunakan adalah “keselamatan adalah hukum tertinggi (Salus Populi Suprema Lex Esto) harus dijadikan pisau analisis didalam melihat persoalan pandemik. 


Tidak terjebak dengan norma-norma hukum yang kaku. Yang dapat digunakan didalam keadaan normal. 


Bukan keadaan pandemik yang harus dilakukan dengan cara-cara luar biasa.