Salah satu penempatan petai didalam seloko dapat dilihat didalam seloko "Jahit menjahit bak daun petai" Seloko ini merupakan bagian dari untaian nasihat yang menggambarkan sifat ideal seorang pemimpin. Daun petai yang tersusun rapi dan saling "menjahit" satu sama lain dijadikan simbol persatuan dan keadilan.
Seloko lengkapnya berbunyi: "Sedekuk bak batu di pulau, Sedencing bak besi dipalu, Seilmu bak kuaw lanting, Tudung-menudung bak dawn sirih, Jahit menjahit bak daun petai, jangan bak tanduk diikat silang siur."
"Jahit menjahit bak daun petai" adalah sebuah metafora visual dan karakter yang kuat. Struktur daun petai yang majemuk, di mana anak-anak daunnya tersusun rapi dan saling terkait seolah dijahit dijadikan cerminan ideal seorang pemimpin.
Maknanya adalah seorang pemimpin harus mampu bersikap jujur dan adil, menyatukan, dan tidak menimbulkan perselisihan.
Ia harus mampu menyatukan berbagai elemen masyarakat, bersikap adil, dan menciptakan keteraturan sosial yang harmonis, sama seperti kerapian daun petai. Seloko ini adalah bagian dari syarat mutlak seorang pemimpin untuk bersikap jujur dan adil.
Seloko "Jahit menjahit bak daun petai” merupakan simbol Keadilan dan Persatuan. DItempatkan sebagai etika lingkungan.
Melanjutkan seloko “durian” sebelumnya” petai dak boleh ditutuh - durian dak boleh dipanjat” sebagai larang pantang(pantang larang) bukan sekedar aturan pengelolaan sumber daya alam.
Seloko “petai dak boleh ditutuh - durian dak boleh dipanjat” dapat dipadankan dengan seloko “Nutuh Kepayang Nubo Tepian”. Makna simbolik yang melarang penebangan kayu di hutan yang bermanfaat bagi orang banyak dan makhluk lain.
Makna dari seloko ini adalah saat mengambil buah petai, dilarang untuk memotong dahan atau pohonnya. Aturan ini bertujuan untuk menjaga kelestarian pohon agar dapat terus berbuah di masa mendatang
Justru terkandung makna mendalam didalam memahami seloko. Sehingga seloko pantang larang (larang pantang) adalah pengelolaan konservasi alam yang sudah lama dipraktekkan ditengah masyarakat Melayu Jambi. Sehingga tidak salah kemudian ditempatkan sebagai Konservasi alam.
Didalam ranah Filosofi, durian sering ditempatkan sebagai makro-kosmos. Sedangkan petai ditempatkan sebagai “mikro kosmos”.
Durian sebagai simbolis yang menunjukkan kemakmuran sekaligus tanda batas wilayah (durian takuk rajo). Sedangkan Petai sebagai simbolik personal dari kepemimpinan ("Jahit menjahit bak daun petai)
Selain itu Seloko durian menunjukkan indikator atau hasil panen. Dan Petai sebagai analogi (perumpamaan) yang harus terdapat seorang pemimpin. Sehingga durian dan petai sebagai simbol kemudian ditempatkan sebagai Ekologi lingkungan.
Advokat. Tinggal di Jambi