Pengadilan Negeri Bandung telah menjatuhkan
putusan terhadap UU ITE terhadap Buni Yani (BY). Dengan pertimbangan “menimbulkan keresahan terhadap umat
beragama, tidak menyesali perbuatannya, terdakwa dosen politik seharusnya
menunjukkan perilaku yang dapat tauladan
panutan di lingkungan kerja dan tidak mengakui kesalahannya” dengan
pidana penjara Pidana 1,5 tahun.
Putusan terhadap BY berlaku terhadap “tuduhan”
dan perbuatan yang dilakukan oleh BY. Namun sebagai putusan pidana, walaupun
putusan terhadap BY namun tidak dapat dilepaskan dari “hiruk-pikuk” se antero
Republik.
Setahun yang lalu, degup jantung public terkonsentrasi
dengan “suasana politik local” yang kemudian menggema nasional. Perkataan Basuki Tjahaja Purnawa
(Ahok) kemudian memantik “dukungan” terhadap penistaan perkataan Ahok.
Dalam proses persidangan, proses hukum dimulai
dari pernyataan BY “di FB” yang kemudian viral. Kata-kata Ahok “dibohongi pakai… ” kemudian dipelintir
oleh BY. Terlepas dari putusan Ahok yang terbukti sebagai pidana penistaan
agama, penghilangan kata “dibohongi pakai”
merupakan “kesalahan” yang dilakukan
oleh BY. Tujuan menghilangkan “pakai”
menunjukkan derajat “niat” yang
bertentangan dengan maksud dari Ahok.
Untuk “memudahkan” maka digunakan logika matematika ini terdiri dari tiga premis: yang umum
(mayor), yang khusus (minor) dan dan yang simpulan (konklusi). Apabila “semua manusia mesti mati” (premis mayor), dan
“Socrates adalah manusia” (premis minor), maka “Socrates mesti mati” (premis
konklusi).
Premis Mayor “dipakai” yang menjadi dasar penuntutan
terhadap Ahok kemudian digunakan “premis minor” terhadap tuntutan terhadap
Ahok. Menggunakan “dipakai” kemudian menimbulkan pertentangan (mistake).
Memutuskan “premis minor” bersandarkan kepada premis mayor yang terbukti salah
menimbulkan kesesatan. Dari ranah filsafat, problema mulai muncul.
Logika yang logis
(silogisme) merupakan dasar filsafat. Hampir praktis, setiap hari kita
menyaksikan berbagai argumentasi. Dengan silogisme, maka premis mayor atau
premis minor disusun sehingga, logika yang hendak ditampilkan bisa
dipertanggungjawabkan secara umum.
Bagaimana mungkin menganalisis pertimbangan
premis minor, Lha premis mayornya kemudian keliru. Lalu bagaimana logika (silogisme) hendak dibangun ?
Didalam pertimbangannya, Pengadilan Negeri
Bandung “menekankan” pentingnya menjaga kesatuan bangsa dengan “dipublish” yang
kemudian membuat keresahan terhadap umat beragama. Perbuatan BY kemudian
mengakibatkan “kegoncangan” se antero republik.
Lalu ketika “premis mayor” telah diputuskan “keliru”
dalam putusan BY apakah terhadap putusan Ahok dapat dibuka kembali. Pertanyaan ini
dapat “diuji” melalui mekanisme pengajuan Peninjauan kembali (PK) yang dapat
digunakan sebagai hak oleh Ahok. Kesempatan mengajukan PK setelah Ahok
menyatakan tidak banding.
Atau dengan kata lain, Ahok dapat menjadikan
dasar putusan BY untuk “membuka fakta” dan penerapan premis mayor – premis minor
yang keliru didalam pertimbangannya di Pengadilan Negeri Jakarta Utara.
Dan kesempatan untuk menguji “premis mayor,
premis minor” adalah kesempatan berbagai pihak menjawab “kegundahan” terhadap
pelaksanaan “premis mayor, premis minor” terhadap putusan Ahok.