Dalam kurun akhir-akhir
ini kita menyaksikan dua perempuan yang mengalami proses hukum yang
panjang. Keduanya menimbulkan polemik, mempersoalkan hukum dan tentu
saja menarik untuk didiskusikan sebagai bagian dari pengetahuan hukum
didalam melihat pandangan hakim didalam memutuskan perkara.
Keduanya adalah Schapelle
Leigh Corby dan Prita Mulyasari.
Schapelle Leigh Corby,
terpidana kasus narkoba asal Australia kemudian bebas bersyarat.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan grasi kepada Corby
melalui Keppres No 22/G Tahun 2012 sehingga perempuan Australia
mendapat pengurangan hukuman menjadi 15 tahun. Dalam kurun waktu
2006-2011, Corby juga pernah mendapatkan remisi sebesar 25 bulan.
Corby menjadi sorotan
media Australia sejak dia ditangkap di Bandara Internasional Ngurah
Rai, Bali, pada 2004, karena kedapatan membawa ganja seberat 4,1
kilogram. Pengadilan Negeri Denpasar menjatuhkan vonis hukuman 20
tahun penjara terhadap Corby.
Sedangkan Prita Mulyasari
dituduh melakukan perbuatan “menghina” Rumah Sakit Omni Alam
Sutera, Tangerang.
Kasusnya itu sempat
menjadi perhatian masyarakat luas setelah dia mengeluhkan pelayanan
rumah sakit swasta itu. Dia, yang belakangan mendaftar sebagai calon
legislator dari PDI Perjuangan itu, malah dijerat Pasal 27
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Prita sempat mendekam di
Lembaga Pemasyarakatan Wanita Tangerang selama 21 hari. Sebab,
setelah menang di Pengadilan Negeri Tangerang, Pengadilan Tinggi
Banten mengabulkan banding jaksa. Selama lima tahun belakangan Prita
menantikan titik akhir dari kasus panjang yang membelitnya itu.
Didalam putusannya, MA
kemudian menyatakan (1) Menyatakan Terpidana PRITA MULYASARI
tersebut di atas tidak terbukti melakukan tindak pidana yang
didakwakan oleh Jaksa/Penuntut Umum dalam dakwaan Kesatu, Kedua dan
Ketiga, (2) Membebaskan Terpidana oleh karena itu dari semua dakwaan
tersebut. (3)Memulihkan hak Terpidana dalam kemampuan, kedudukan dan
harta serta martabatnya.
Melihat kiprah kedua
perempuan dalam dunia hukum memberikan pelajaran penting. Kedua
perempuan memberikan pelajaran penting. Terlepas dari polemik,
pelajaran yang bisa kita tarik terlalu sayang untuk dilewatkan.
Pertama. Kedua perempuan
mewarnai pemberitan utama (headline) di berbagai media massa.
Keduanya memberikan porsi dan sekaligus “menggugat' nurani keadilan
publik.
Prita dilihat sebagai
“pertarungan” kebebasan menyampaikan pendapat di ranah publik.
Sedangkan Corby menjadi “ujian” bagi diplomasi internasional
terutama hubungan Indonesia – Australia.
Prita “berhasil”
memenangkan pertarungan dengan dikabulkannya PK. Prita sudah mewakili
suara publik yang tidak bisa dibungkam dengan alasan norma yang tidak
kompatibel dengan perkembangan kemajuan informasi.
Sedangkan Corby
memberikan pelajaran pahit kepada diplomasi Indonesia – Australia.
Corby berhasil memberikan pelajaran pentingnya “negara melindungi
warganegara” dalam hubungan internasional.
Kedua. Prita memenangkan
'suara” kejujuran ditengah gersangnya hukum. Prita berhasil
menawarkan perlawanan baru kaum kelas menengah. Prita berhasil
mengemas issu hukum menjadi persoalan sosial yang dirasakan oleh
rakyat banyak.
Perlawanan Prita kemudian
menjadi pembicaraan di sosial media dan berhasil menggerakkan
dukungan publik dengan “gerakan 1000 koin”. Prita berhasil
membuat perlawanan dunia maya mempengaruhi dunia hukum.
Corby membuat issu
Indonesia menjadi dilematis. Corby berhasil selalu menjadi agenda
utama para diplomat Australia. Corby membuat issu Indonesia menjadi
tema politik di Australia.
Ketiga. Prita dan Corby
membuat publik sedikit “menoleh' terhadap proses hukum di
Indonesia. Terlepas apapun putusan pengadilan terhadap keduanya.
Prita dan Corby membuat dunia hukum menjadi persoalan serius dalam
hukum di Indonesia.
Keempat. Prita menawarkan
model perlawanan “nurani” dan suara keibuan yang diperlakukan
tidak adil oleh Rumah Sakit Omni Alam Sutera, Tangerang.
Suara
nurani dan suara keibuan yang sering dikalahkan menghadapi raksasa di
muka hukum.
Sedangkan Corby
menawarkan model “perlawanan” bobroknya sistem hukum di
Indonesia. Walaupun cara ini “tidak mendapatkan dukungan” dari
publik Indonesia, issu Corby membangkitkan sentimen dan dukungan
dari publik di Australia.
Kelima. Prita dan Corby
mewakili dua kutub budaya yang berbeda. Dengan “kepolosan” dan
“ketulusan” dari suara Prita membuat publik menjadi simpatik.
Gerakan 100 koin mendapatkan dukungan dari berbagai lapisan.
Corby mewakili generasi
modern yang mewakili pertarungan frontal. Mengemas persidangan dengan
gaya entertainment. Mempersoalkan sistem hukum dan berbagai kelemahan
Indonesia dalam diplomasi hubungan internasional.
Suara publik Australiapun
kemudian mendukungnya. Mereka mempersoalkan barang ditemukan Corby
sebagai bukan barang Corby. Corby kemudian dikemas menjadi “rekayasa
hukum”. Sebuah tema yang terus menerus melihat berbagai kejadian
nasional di Indonesia.
Namun berbanding antara
Prita dengan Corby. Prita berhasil “memenangkan” pertarungan di
Pengadilan. Sedangkan Corby harus mengakui kekalahannya. Corby hanya
berhasil “pertarungan” politik. Corby membangkitkan issunya
menjadi persoalan politik. Corby berhasil membangkitkan kesadaran
publik Australia.