Orang boleh pandai
setinggi langit,
tapi selama ia tidak
menulis,
ia akan hilang dalam
masyarakat dan dari sejarah.
Menulis adalah bekerja
untuk keabadian
(Pramudya Ananta Toer)
Akhir-akhir
ini kita membaca berita tentang pembubaran diskusi pembahasan buku
Tan Malaka. Diskusi diharapkan dapat melihat secara utuh pemikiran
Tan Malaka, salah seorang tokoh politik yang selalu menimbulkan
polemik.
Penulis
tentu saja tidak “perlu menceritakan” siapa sesungguhnya Tan
Malaka. Seorang Indonesia sejati yang mampu merumuskan “keindonesia”
secara lengkap. Jauh dari pemikiran tokoh-tokoh nasional lain.
Seorang Indonesia sejati yang bisa bertarung dengan “Sovyet”
sebagai salah satu kiblat komunis. Seorang Indonesia sejati yang
sudah melalangbuana keliling dunia, ketika para pemimpin Indonesia
lainnya “masih sibuk” menyelesaikan bangku perguruan tingginya.
Penulis
tidak bisa membayangkan, bagaimana seorang anak negeri yang mampu
merumuskan berbagai aliran dunia dalam konteks ke Indonesiaan.
Seorang anak negeri yang secara lengkap mendeskripsikan
Keindonesiaan.
Buku
Manilog dapat disejajarkan dengan “Das Kapital” Karl Marx
- Friedrich Engels. Atau Tafsir Al Azhar – Hamka.
Tan Malaka memang manusia
Indonesia yang multi talenta. Seorang orasi ulung, penulis buku yang
handal, piawai strategi dan berbagai atribut yang membuktikan “siapa
Tan Malaka”.
Jejak perjuangan Tan
Malaka, petualangan dari jaringan internasional dan berbagai misteri
kematiannya menimbulkan polemik.
Kematiannya yang berhasil
diungkap kemudian 60 tahun dan baru ditemukan kuburannya.
Sungguh tokoh nasional
yang tetap dalam keadaan “terpinggirkan” justru Indonesia telah
merdeka.
Namun pembubaran diskusi
dengan alasan “menyebarkan komunisme” sungguh keteledoran yang
paling konyol. Apakah mereka mengenal Tan Malaka ? Apakah para
“penyerang” telah membaca buku Tan Malaka ? Apakah sudah pernah
didiskusikan isi buku Tan Malaka ? Apakah sudah berhasil “membuat
kesimpulan” sehingga buku Tan Malaka diyakini akan “menyebarkan
komunisme” ?
Hingga kini penulis
sungguh-sungguh sulit menerima akal mengapa pembubaran diskusi Tan
Malaka ?
Apakah Tan Malaka seorang
tokoh yang ditakuti sehingga “setelah” matipun tidak boleh
didiskusikan ?
Namun yang paling
menyentak pemikiran penulis, ketika pihak keamanan justru “mengamini”
pembubaran. Mengapa negara tidak melindungi acara diskusi ?
Dimana “negara” ?
Mengapa negara tidak bisa menjamin “kebebasan berkumpul”,
kebebasan mengeluarkan pendapat ?
Sungguh disayangkan.
Penulis mendesak kepada
negara untuk “bertanggungjawab” terhadap “pembubaran”
diskusi. Penulis terus meminta kepada negara bertanggungjawab
terhadap pembubaran.
Namun terlepas dari
semuanya, sungguh kita telah kehilangan “sebuah mutiara” yang
terus kita asah. Mutiara itu kita pecah dengan godam. Mutiara itu
kemudian tercecer hingga ke negeri luar.
Tapi entahlah.
Yang penting, penulis
mempunyai pandangan tentang Tan Malaka. Dan penulis tidak “terjebak”
dengan kegelapan dan kebodohan yang disuarakan dengan alasan
“menyebarkan komunisme”.
Penulis mempunyai pikiran
sendiri. Dan pemikiran penulis tidak mau dikalahkan dengan issu
murahan.