09 Februari 2014

opini musri nauli : POLEMIK TAN MALAKA


Orang boleh pandai setinggi langit,
tapi selama ia tidak menulis,
ia akan hilang dalam masyarakat dan dari sejarah.
Menulis adalah bekerja untuk keabadian
(Pramudya Ananta Toer)


Akhir-akhir ini kita membaca berita tentang pembubaran diskusi pembahasan buku Tan Malaka. Diskusi diharapkan dapat melihat secara utuh pemikiran Tan Malaka, salah seorang tokoh politik yang selalu menimbulkan polemik.

Penulis tentu saja tidak “perlu menceritakan” siapa sesungguhnya Tan Malaka. Seorang Indonesia sejati yang mampu merumuskan “keindonesia” secara lengkap. Jauh dari pemikiran tokoh-tokoh nasional lain. Seorang Indonesia sejati yang bisa bertarung dengan “Sovyet” sebagai salah satu kiblat komunis. Seorang Indonesia sejati yang sudah melalangbuana keliling dunia, ketika para pemimpin Indonesia lainnya “masih sibuk” menyelesaikan bangku perguruan tingginya.

Penulis tidak bisa membayangkan, bagaimana seorang anak negeri yang mampu merumuskan berbagai aliran dunia dalam konteks ke Indonesiaan. Seorang anak negeri yang secara lengkap mendeskripsikan Keindonesiaan.

Buku Manilog dapat disejajarkan dengan “Das Kapital” Karl Marx - Friedrich Engels. Atau Tafsir Al Azhar – Hamka.

Tan Malaka memang manusia Indonesia yang multi talenta. Seorang orasi ulung, penulis buku yang handal, piawai strategi dan berbagai atribut yang membuktikan “siapa Tan Malaka”.

Jejak perjuangan Tan Malaka, petualangan dari jaringan internasional dan berbagai misteri kematiannya menimbulkan polemik.

Kematiannya yang berhasil diungkap kemudian 60 tahun dan baru ditemukan kuburannya.

Sungguh tokoh nasional yang tetap dalam keadaan “terpinggirkan” justru Indonesia telah merdeka.

Namun pembubaran diskusi dengan alasan “menyebarkan komunisme” sungguh keteledoran yang paling konyol. Apakah mereka mengenal Tan Malaka ? Apakah para “penyerang” telah membaca buku Tan Malaka ? Apakah sudah pernah didiskusikan isi buku Tan Malaka ? Apakah sudah berhasil “membuat kesimpulan” sehingga buku Tan Malaka diyakini akan “menyebarkan komunisme” ?

Hingga kini penulis sungguh-sungguh sulit menerima akal mengapa pembubaran diskusi Tan Malaka ?

Apakah Tan Malaka seorang tokoh yang ditakuti sehingga “setelah” matipun tidak boleh didiskusikan ?

Namun yang paling menyentak pemikiran penulis, ketika pihak keamanan justru “mengamini” pembubaran. Mengapa negara tidak melindungi acara diskusi ?

Dimana “negara” ? Mengapa negara tidak bisa menjamin “kebebasan berkumpul”, kebebasan mengeluarkan pendapat ?
Sungguh disayangkan.

Penulis mendesak kepada negara untuk “bertanggungjawab” terhadap “pembubaran” diskusi. Penulis terus meminta kepada negara bertanggungjawab terhadap pembubaran.

Namun terlepas dari semuanya, sungguh kita telah kehilangan “sebuah mutiara” yang terus kita asah. Mutiara itu kita pecah dengan godam. Mutiara itu kemudian tercecer hingga ke negeri luar.

Tapi entahlah.

Yang penting, penulis mempunyai pandangan tentang Tan Malaka. Dan penulis tidak “terjebak” dengan kegelapan dan kebodohan yang disuarakan dengan alasan “menyebarkan komunisme”.

Penulis mempunyai pikiran sendiri. Dan pemikiran penulis tidak mau dikalahkan dengan issu murahan.