SELOKO ADAT DALAM PUTUSAN
MK
Hari ini Mahkamah
Konstitusi telah memutuskan UU No. 4 Tahun 2014 berasalkan Perpu No.
1 Tahun 2013. Putusan MK penting untuk dicermati sebagai pembelajaran
dan pandangan konstitusi terhadap Perpu No. 1 Tahun 2013.
Perpu No. 1 Tahun 2013
memang dilahirkan setelah ditangkapnya Ketua MK Akil Mukhtar oleh
KPK. Perpu No. 1 tahun 2013 merupakan “respon” dari Presiden SBY.
Memang ada “desakan”
dari publik melihat gonjang ganjing persoalan di MK. Namun bukannya
“segera” mengeluarkan Perpu, Presiden SBY dianggap “lambat”
untuk meresponnya sehingga desakan kepada SBY telah “kehilangan
momentum”.
Perpu yang dikeluarkan
SBY disampaikan ke publik, disaat bersamaan MK kemudian “berbenah”.
MK kemudian memberhentikan Akil Mukhtar dan kemudian menetapkan Wakil
Ketua MK, Hamdan Zoelfan dan kemudian memilihnya menjadi Ketua MK.
Melihat pertimbangan yang
disampaikan MK, banyak pelajaran yang penting dijadikan pembelajaran
ke depan.
Pertama. MK tetap
konsisten untuk tetap pada putusan MK mengenai “hakim konstitusi”
tidak terikat dengan ketentuan yang diatur didalam pasal 24 B UUD
1945. Artinya, MK tetap mengikuti putusan MK nomor 5/PUU-IV/2006 yang
secara tegas menyatakan “hakim mahkamah konstitusi tidak terkait
dengan ketentuan pasal 24 B UUD 1945. Dengan demikian, maka Komisi
Yudisial bukanlah pengawas dari mahkamah konstitusi. MK tetap
bersikukuh unsur di MK tetap terdiri dari Presiden, DPR dan Mahkamah
Agung sebagai cerminan tiga pilar kekuasaan.
Kedua. MK memandang KY
sebagai bentuk “penyeludupan hukum” dari Perpu No. 1 Tahun 2013
sebagai bagian dari intervensi Pemerintah untuk memasuki MK. Padahal
berdasarkan putusan MK nomor 5/PUU-IV/2006, jelas-jelas KY tidak
dapat memeriksa, mengawasi MK.
Ketiga. Stigma yang
mempersoalkan latar belakang hakim konstitusi dari Partai Politik
adalah persepsi yang dibangun tidak mempunyai dasar hukum. Persepsi
yang dibangun berdasarkan kasus Akil Muktar tidak dapat dijadikan
sandaran dan dasar hukum Presiden untuk mengeluarkan Perpu No. 1
Tahun 2013.
Persepsi ini harus
diluruskan. Persepsi yang hendak dibangun tidak boleh menganulir
putusan MK.
Keempat. Perintah untuk
mencabut Perpu No. 1 Tahun 2013 yang kemudian dijadikan UU No. 4
Tahun 2014 dan kembali ke UU No. 8 Tahun 2011 merupakan peristiwa
yang unik.
Selama ini, setiap
putusan MK yang memerintahkan untuk mencabut pasal-pasal tertentu
ataupun mencabut UU tertentu, tidak ada perintah untuk kembali ke UU
sebelumya.
Peristiwa ini sekali lagi
menegaskan “putusan MK” telah melebihi kewenangan MK didalam
memeriksa dan mengadili perkaranya sesuai dengan UU MK.
Kelima. Putusan MK
kemudian juga bersandarkan pepatah adat “ke atas tak berpucuk.
Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang”.
Pertimbangan ini menarik
penulis untuk mencari benang merah melihat pandangan MK mengenai
Perpu No. 1 tahun 2013.
Didalam seloko adat,
istilah “ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah
di gerek kumbang” cukup
serius.
Pandangan
MK mengenai Perpu No. 1 Tahun 2013 dengan memberikan perumpamaan
dengan seloko adat ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di
tengah di gerek kumbang”, memang terasa menyakitkan.
Dalam istilah lain,
seloko ini biasa juga dikenal dengan istilah “Bapak
pado harimau. Berinduk pada gajah. Berkambing pada
kijang. Berayam pada kuawo.
Menggunakan
istilah itu apabila hukuman adat telah dijatuhkan, namun yang
bersangkutan tidak mau melaksanakan putusan hukum adat. Sebagian juga
memberikan hukuman plali (di sebagian masyarakat Luak XVI di Bangko).
Sedangkan di sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh, mereka
menyebutkan “orang buangan”.
Bapak
pado harimau. Berinduk pada gajah. Berkambing pada
kijang. Berayam pada kuawo adalah gambaran orang yang tidak perlu
diurus lagi dalam pergaulan sosial di suatu kaum. Mereka kemudian
tidak perlu diurus termasuk ada acara selamatan di kampung, sakit
tidak tengok, mati tidak dikuburkan.
Begitu
beratnya hukum plali sehingga Berinduk pada gajah. Berkambing pada
kijang. Berayam pada kuawo, menggambarkan orang yang tidak
mempunyai keluarga lagi, tidak mempunyai indung semang, tidak
mempunyai ninik mamak.
Dengan
pesan yang tegas, MK memberikan perumpamaan dengan seloko itu
menggambarkan, Perpu No. 1 Tahun 2013 adalah “ke atas tak
berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang”.
Apakah
MK kemudian menganggap Perpu No. 1 Tahun 2013 merupakan “bentuk
kurang ajar” dari pihak eksekutif sehingga Perpu No. 1 Tahun 2013
kemudian dipandang sebagai “ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak
berakar, Di tengah di gerek kumbang” ?
Memberikan
perumpamaan Perpu No. 1 Tahun 2013 dengan ke atas tak berpucuk. Ke
bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang” adalah bentuk
dahsyat dari MK. MK kemudian dapat dilihat sebagai bentuk “kemarahan”
yang luar biasa.
Namun
dalam pertimbangan MK mengibaratkan Perpu No. 1 Tahun 2013 kurang
tepat apabila disepadankan dengan “ke atas tak berpucuk. Ke
bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang”.
Apakah
MK mengetahui makna “tersurat” dari seloko ke atas tak
berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang ?
Apakah
MK telah menjatuhkan putusan sebelumnya, namun pihak Eksekutif masih
juga menerbitkan peraturan yang telah dibatalkan ?
Namun
apabila dilihat dari “perintah konstitusi” kepada Pemerintah agar
20 % APBN kemudian dialokasikan untuk pendidikan, namun pemerintah
belum juga bisa melaksanakan, sehingga APBN yang berkaitan dengan
pendidikan “sering digugat” di MK, barulah APBN yang berkaitan
dengan pendidikan dapat disebutkan sebagai ke atas tak berpucuk.
Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang.
Atau
pasal penyebar kebencian (haatzakai artikelen) telah dicabut oleh MK
namun kemudian tetap dimasukkan dalam RUU KUHP, barulah pasal-pasal
penyebar kebencian (haatzakai artikelen) disebutkan sebagai ke
atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang.
Namun
dengan makna yang lebih ketat, seharusnya MK harusnya memberikan
pandangan terhadap agar 20 % APBN kemudian dialokasikan untuk
pendidikan atau pasal-pasal penyebar kebencian (haatzakai artikelen)
telah dicabut oleh MK namun kemudian tetap dimasukkan dalam RUU KUHP
dengan pepatah adat ke atas tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di
tengah di gerek kumbang.
Dengan
melihat makna “harfiah” dari kata-kata pepatah adat ke atas
tak berpucuk. Ke bawah tak berakar, Di tengah di gerek kumbang,
walaupun tidak tepat, penulis bisa memahami “kemarahan” MK
terhadap Perpu No. 1 Tahun 2013.