Dalam
sebuah kesempatan acara di Jambi, penulis tersentak ketika salah satu
pejabat di Jambi berujar “tidak ada hak ulayat di Jambi. Yang ada
hak margo”.
Kekagetan
didasarkan kepada pernyataan yang disampaikan oleh pejabat
disampaikan dalam forum penting. Selain itu juga, pernyataan ini
justru mengaburkan hak-hak yang telah berlangsung di tengah
masyarakat.
Kekagetan
penulis kemudian juga disandarkan alasan yang disampaikan “hak
ulaya cuma ada di Minangkabau”.
Penulis
kembali harus memeras otak. Apakah pemikiran ini yang menjadi
pemikiran dan menjadi salah satu biang konflik dengna mengabaikan
hak-hak rakyat ?
Didalam
Disertasi Kurnia Warman, sebagaimana menurut Datuk Paraptih Nan Tuo,
“tanah ulayat merupakan sebidang tanah yang pada kawasannya
terdapat ulayat (penghulu). Dengan demikian, disamping tanah,
ruang lingkup ulayat termasuk segala sesuatu yang terdapat atau
berada di atas tanah, termasuk udara dan ruang angkasa maupun segala
hasil perut bumi. Meliputi tanah, hutan, bahan mineral atau bahan
tambang, air bahkan ruang diatas tanahpun merupakan obyek hak ulayat.
Jenis
tanah ulayat terdiri dari Tanah Ulayat Rajo, Tanah ulayat Nagari,
Tanah ulayat Suku dan tanah ulayat Kaum.
Sedangkan
oleh Van vollenhoven dalam bukunya, “Miskenningen van het
adatrecht” menyebutkan Beschikkingrecht (hak ulayat). Untuk
memudahkan Beschikkingrecht (hak ulayat), Van vollenhoven menyebutkan
ciri-ciri. (1)Persekutuan hukum itu dan anggota-anggotanya dapat
mempergunakan tanah hutan belukar di dalam wilayahnya dengan bebas,
seperti membuka tanah, mendirikan perkampungan, memungut hasilnya,
berburu, mengembala dan lain sebagainya. (2)Bukan anggota persekutuan
hukum dapat pula mempergunakan hak atas tanah itu, tetapi atas
pemberian ijin dari persekutuan hukum itu. (3)Dalam mempergunakan
tanah itu yang bukan anggota selalu harus membayar sesuatu
(recognitie). (4) Persekutuan hukum mempunyai tanggung jawab atas
beberapa kejahatan tertentu yang terjadi di dalam lingkungan
wilayahnya, bilamana orang yang melakukan kejahatan itu sendiri tidak
dikenal. (5) Persekutuan hukum tidak boleh memindah tangankan haknya
(menjual, menukarkan, memberikan) untuk selama-lamanya kepada
siapapun juga. (6) Persekutuan hukum mempunyai hak percampuran tangan
terhadap tanah-tanah yang telah digarap, seperti dalam pembagian
pekarangan, dan jual beli tanah dan lain sebagainya.
F.
J. Tideman dan P. L. F. Sigar, dalam bukunya “Djambi', telah
diuraikan secara rinci kehidupan masyarakat di hulu Sungai
Batanghari. Kehidupan ini masih ada dan terus berlangsung hingga
sekarang.
Misalnya
Masyarakat hulu Sungai Batanghari mengenal daerah-daerah yang tidak
boleh dibuka. Mereka mengenal dengan istilah Teluk
sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo”.
Masyarakat mengenal daerah-daerah Daerah yang tidak boleh dibuka Hulu
Air/Kepala Sauk, Rimbo Puyang/Rimbo Keramat, Bukit Seruling/Bukit
Tandus.
Di
Margo Sungai Tenang mereka mengenal Rimbo sunyi yang dikenal dengan
seloko “Tempat siamang beruang putih. Tempat ungko berebut
tangis.
Sedangkan
di Margo Sumay mereka mengenal dengan istilah
hutan keramat seperti tanah sepenggal,
Bulian bedarah, Bukit selasih dan Pasir Embun. Atau Sialang
Pendulangan, Lupak Pendanauan, dan Guntung (tanah tinggi). Di Desa
Muara Sekalo dikenal dengan istilah “hutan keramat, Sialang
pendulangan, lupak pendanauan, Beudangan dan Tunggul pemarasan. Desa
Suo-suo, adalah Pantang Padan, Bukit Siguntang, Gulun, Tepi Sungai,
Sialang Pendulangan, Lupak Pendanauan, Beduangan dan Tunggul
Pemarasan. Sedangkan di Desa Tuo Sumay adalah Rimbo bulian, Sialang
Pendulangan, Lupak Pendanauan dan Gulun.
Rimbo
ganuh atau rimbo sunyi atau hutan keramat merupakan daerah yang
tidak boleh dibuka. Ujaran seperti Teluk sakti. Rantau betuah,
Gunung Bedewo atau ““Tempat siamang beruang putih. Tempat ungko
berebut tangis” merupakan makna simbolik masyarakat terhadap
daerah-daerah yang harus dilindungi.
Ter
Haar sendiri menyebutkan adanya penghormatan tempat-tempat yang
dilarang untuk dibuka. Yusmar Yusuf menyebutkannya
“rimbo simpanan atau rimbo larangan”.
Tideman melaporkan sebagai “rimbo
gano”.
Dengan
demikian maka Teluk sakti. Rantau
betuah, Gunung Bedewo atau Rimbo sunyi yang dikenal dengan
seloko “Tempat siamang beruang putih. Tempat ungko berebut tangis
hanyalah tempat dan bentuk penghormatan
manusia kepada Tuhan
Sedangkan
Eugen Ehrlich merumuskan sebagai das lebende Recht (living law) yang
bersifat (1). Pemerintah dalam persekutuan hukum
(rechtsgemeenshap) terletak di tangan pembesar. (2). Dalam praktek
sehari-hari makna pembesar kemudian dirumuskan dengan istilah Rajo
Negeri (Pesirah). “Kampung betuo, Dusun Bepati, Negeri Berajo. Atau
“Kampung betuo, alam berajo, negeri bebathin.
Dalam
Konsep Von Savigny dikenal dengan istilah “die
Volksgeist”. Volksgeist merupakan
gabungan dari kekuatan magis yang melingkupi suatu perkumpulan
adat/persekutuan hukum (rechtsgemeenshap). Dalam konteks Margo, maka
dapat ditafsirkan sebagai “Kekuatan
Batin dari Desa”.
(3).Posisi
tuo kampung, kepala Dusun, ninik mamak merupakan salah satu struktur
di lembaga adat.(4).Tuo Tengganai, alim ulama, cerdik pandai dan
pegawai syara' begitu dominan. Tideman memberikan istilah “hubungan
keluarga masih kuat. (5).
Hubungan antara rakyat bathin dengan rakyat penghulu seperti hubungan
antara seorang induk dengan anaknya, dikukuhkan
dengan suatu sumpah dilakukan sewaktu bersama-sama menikmati
hidangan.
Dengan
melihat penjelasan yang telah disampaikan, maka istilah ulayat memang
tidak dikenal di tengah masyarakat di Hulu Sungai Batanghari. Namun
melihat ciri-ciri yang disampaikan, masyarakat memiliki hak ulayat
sebagai terjemahan dari (Beschikkingrecht) baik yang disampaikan
oleh Van Vollenhoven maupun dari Eugen Ehrlich. Sehingga tidak ada
alasan untuk tidak mengakui apalagi menolak hak ulayat yang ada di
tengah masyarakat di hulu Sungai Batanghari.
Sandra
Moniaga pernah mengingatkan. Harus diakui, setiap masyarakat
adat mempunyai sejarah yang panjang, realitas sosial, ekonomi dan
politik yang berbeda.
Tapi
hukum tidak semata-mata lahir dari logika tetapi dari
pengalaman-pengalaman manusia (the law is not been logic, but
experience).
Dengan
kekuatan hukum adat, masyarakat menjadi teratur, tertib. Walaupun
mengalami pergeseran perkembangan zaman tetapi masih berkeinginan
untuk menjaga dan melestarikan hukum adat.
Sehingga
benar yang disampaikan oleh Van Vollenhoven “hukum adat
bertumbuh diam-diam bagaikan padi (het adatrehct groeit stil als de
padie). Ada kekuatan bersama-sama dan kesadaran kolektif
(conscience collective) di masyarakat bahwa apa yang dilakukan
bermanfaat bagi orang lain. Masyarakat terikat dalam satu kesatuan
yang penuh solidaritas dalam persekutuan hukum (rechtsgemeenshap).
Dan perkembangan hukum adat berkembang terus (het adatrechti
groeit stil als de pedie)