14 Mei 2015

opini musri nauli : Hak Ulayat di Jambi



Dalam sebuah kesempatan acara di Jambi, penulis tersentak ketika salah satu pejabat di Jambi berujar “tidak ada hak ulayat di Jambi. Yang ada hak margo”.
Kekagetan didasarkan kepada pernyataan yang disampaikan oleh pejabat disampaikan dalam forum penting. Selain itu juga, pernyataan ini justru mengaburkan hak-hak yang telah berlangsung di tengah masyarakat.

Kekagetan penulis kemudian juga disandarkan alasan yang disampaikan “hak ulaya cuma ada di Minangkabau”.

Penulis kembali harus memeras otak. Apakah pemikiran ini yang menjadi pemikiran dan menjadi salah satu biang konflik dengna mengabaikan hak-hak rakyat ?

Didalam Disertasi Kurnia Warman, sebagaimana menurut Datuk Paraptih Nan Tuo, “tanah ulayat merupakan sebidang tanah yang pada kawasannya terdapat ulayat (penghulu). Dengan demikian, disamping tanah, ruang lingkup ulayat termasuk segala sesuatu yang terdapat atau berada di atas tanah, termasuk udara dan ruang angkasa maupun segala hasil perut bumi. Meliputi tanah, hutan, bahan mineral atau bahan tambang, air bahkan ruang diatas tanahpun merupakan obyek hak ulayat.

Jenis tanah ulayat terdiri dari Tanah Ulayat Rajo, Tanah ulayat Nagari, Tanah ulayat Suku dan tanah ulayat Kaum.

Sedangkan oleh Van vollenhoven dalam bukunya, “Miskenningen van het adatrecht” menyebutkan Beschikkingrecht (hak ulayat). Untuk memudahkan Beschikkingrecht (hak ulayat), Van vollenhoven menyebutkan ciri-ciri. (1)Persekutuan hukum itu dan anggota-anggotanya dapat mempergunakan tanah hutan belukar di dalam wilayahnya dengan bebas, seperti membuka tanah, mendirikan perkampungan, memungut hasilnya, berburu, mengembala dan lain sebagainya. (2)Bukan anggota persekutuan hukum dapat pula mempergunakan hak atas tanah itu, tetapi atas pemberian ijin dari persekutuan hukum itu. (3)Dalam mempergunakan tanah itu yang bukan anggota selalu harus membayar sesuatu (recognitie). (4) Persekutuan hukum mempunyai tanggung jawab atas beberapa kejahatan tertentu yang terjadi di dalam lingkungan wilayahnya, bilamana orang yang melakukan kejahatan itu sendiri tidak dikenal. (5) Persekutuan hukum tidak boleh memindah tangankan haknya (menjual, menukarkan, memberikan) untuk selama-lamanya kepada siapapun juga. (6) Persekutuan hukum mempunyai hak percampuran tangan terhadap tanah-tanah yang telah digarap, seperti dalam pembagian pekarangan, dan jual beli tanah dan lain sebagainya.

F. J. Tideman dan P. L. F. Sigar, dalam bukunya “Djambi', telah diuraikan secara rinci kehidupan masyarakat di hulu Sungai Batanghari. Kehidupan ini masih ada dan terus berlangsung hingga sekarang.

Misalnya Masyarakat hulu Sungai Batanghari mengenal daerah-daerah yang tidak boleh dibuka. Mereka mengenal dengan istilah Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo”. Masyarakat mengenal daerah-daerah Daerah yang tidak boleh dibuka Hulu Air/Kepala Sauk, Rimbo Puyang/Rimbo Keramat, Bukit Seruling/Bukit Tandus.

Di Margo Sungai Tenang mereka mengenal Rimbo sunyi yang dikenal dengan seloko “Tempat siamang beruang putih. Tempat ungko berebut tangis.

Sedangkan di Margo Sumay mereka mengenal dengan istilah hutan keramat seperti tanah sepenggal, Bulian bedarah, Bukit selasih dan Pasir Embun. Atau Sialang Pendulangan, Lupak Pendanauan, dan Guntung (tanah tinggi). Di Desa Muara Sekalo dikenal dengan istilah “hutan keramat, Sialang pendulangan, lupak pendanauan, Beudangan dan Tunggul pemarasan. Desa Suo-suo, adalah Pantang Padan, Bukit Siguntang, Gulun, Tepi Sungai, Sialang Pendulangan, Lupak Pendanauan, Beduangan dan Tunggul Pemarasan. Sedangkan di Desa Tuo Sumay adalah Rimbo bulian, Sialang Pendulangan, Lupak Pendanauan dan Gulun.

Rimbo ganuh atau rimbo sunyi atau hutan keramat merupakan daerah yang tidak boleh dibuka. Ujaran seperti Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo atau ““Tempat siamang beruang putih. Tempat ungko berebut tangis” merupakan makna simbolik masyarakat terhadap daerah-daerah yang harus dilindungi.

Ter Haar sendiri menyebutkan adanya penghormatan tempat-tempat yang dilarang untuk dibuka. Yusmar Yusuf menyebutkannya “rimbo simpanan atau rimbo larangan”. Tideman melaporkan sebagai “rimbo gano”.

Dengan demikian maka Teluk sakti. Rantau betuah, Gunung Bedewo  atau Rimbo sunyi yang dikenal dengan seloko “Tempat siamang beruang putih. Tempat ungko berebut tangis hanyalah tempat dan bentuk penghormatan manusia kepada Tuhan

Sedangkan Eugen Ehrlich merumuskan sebagai das lebende Recht (living law) yang bersifat (1). Pemerintah dalam persekutuan hukum (rechtsgemeenshap) terletak di tangan pembesar. (2). Dalam praktek sehari-hari makna pembesar kemudian dirumuskan dengan istilah Rajo Negeri (Pesirah). “Kampung betuo, Dusun Bepati, Negeri Berajo. Atau “Kampung betuo, alam berajo, negeri bebathin.

Dalam Konsep Von Savigny dikenal dengan istilah “die Volksgeist”. Volksgeist merupakan gabungan dari kekuatan magis yang melingkupi suatu perkumpulan adat/persekutuan hukum (rechtsgemeenshap). Dalam konteks Margo, maka dapat ditafsirkan sebagai “Kekuatan Batin dari Desa”.

(3).Posisi tuo kampung, kepala Dusun, ninik mamak merupakan salah satu struktur di lembaga adat.(4).Tuo Tengganai, alim ulama, cerdik pandai dan pegawai syara' begitu dominan. Tideman memberikan istilah “hubungan keluarga masih kuat. (5). Hubungan antara rakyat bathin dengan rakyat penghulu seperti hubungan antara seorang induk dengan anaknya, dikukuhkan dengan suatu sumpah dilakukan sewaktu bersama-sama menikmati hidangan.

Dengan melihat penjelasan yang telah disampaikan, maka istilah ulayat memang tidak dikenal di tengah masyarakat di Hulu Sungai Batanghari. Namun melihat ciri-ciri yang disampaikan, masyarakat memiliki hak ulayat sebagai terjemahan dari (Beschikkingrecht) baik yang disampaikan oleh Van Vollenhoven maupun dari Eugen Ehrlich. Sehingga tidak ada alasan untuk tidak mengakui apalagi menolak hak ulayat yang ada di tengah masyarakat di hulu Sungai Batanghari.

Sandra Moniaga pernah mengingatkan. Harus diakui, setiap masyarakat adat mempunyai sejarah yang panjang, realitas sosial, ekonomi dan politik yang berbeda.

Tapi hukum tidak semata-mata lahir dari logika tetapi dari pengalaman-pengalaman manusia (the law is not been logic, but experience).

Dengan kekuatan hukum adat, masyarakat menjadi teratur, tertib. Walaupun mengalami pergeseran perkembangan zaman tetapi masih berkeinginan untuk menjaga dan melestarikan hukum adat.

Sehingga benar yang disampaikan oleh Van Vollenhoven “hukum adat bertumbuh diam-diam bagaikan padi (het adatrehct groeit stil als de padie). Ada kekuatan bersama-sama dan kesadaran kolektif (conscience collective) di masyarakat bahwa apa yang dilakukan bermanfaat bagi orang lain. Masyarakat terikat dalam satu kesatuan yang penuh solidaritas dalam persekutuan hukum (rechtsgemeenshap). Dan perkembangan hukum adat berkembang terus (het adatrechti groeit stil als de pedie)