Masalah
moral masalah akhlak..
Biar
kami cari sendiri..
Urus
saja moralmu.. urus saja akhlakmu
Peraturan
yang sehat yang kami mau..
(Manusia
Setengah Dewa, Iwan Fals)
Akhir-akhir
ini kita menyaksikan berita tentang pengungkapan peristiwa prostitusi
kalangan jetset. Berita penangkapan RA yang “mengaku”
memiliki koleksi 200 artis dengan bayaran “wah” kemudian
melebar kesana-kemari. Negara kemudian “seakan-akan”
serius mengungkapkan kasus ini dengan “mengancam” akan
mengungkapkan “pengguna” jasa kalangan atas.
Berita
ini kemudian menenggalamkan peristiwa politik lain. Menyita perhatian
dan melupakan berbagai persoalan kebangsaan.
Entah
mendapatkan “energi” baru, pengungkapan kasus ini kemudian
“memantik” untuk pengungkapan lebih jauh. Melebar dan
menjadi issu politik yang berseliweran dan kemudian “dimakan”
politisi. Bahkan selevel Wakil Presiden harus urun rembug
membicarakannya.
Publik
yang semula tersita dengan “persoalan politik” tentang
kesejahteraan, issu tentang Jakarta kemudian “diseret” dan
menjadi “berdegup” penasaran untuk mengetahui “siapa pengguna
jasa” RA. Issu ini kemudian menggelinding dan menenggelamkan
persoalan yang langsung berhadapan dengan persoalan rakyat.
Berbeda
dengan sebagian kalangan yang ingin melihat kasus ini lebih lengkap.
Tanpa mempengaruhi keinginan untuk mengetahui kasus ini sebenarnya,
pengungkapan kasus RA “mengganggu nalar” saya.
Pertama.
Mengapa pengungkapan kasus RA ini “seakan-akan” melupakan
persoalan pokok tentang berbagai indikasi pengungkapan kasus-kasus
yang sempat heboh di Kepolisian. Pengungkapan kasus BG kemudian
“seakan-akan” terhenti dan kemudian berpindah dengna
“urusan moral”. Sebuah pesan yang mengganggu nalar saya.
Padahal,
terlepas apakah kita setuju atau tidak dengan para pengguna “jasa”
RA, pengungkapan kasus pemerkosaan massal menjelang jatuhnya Soeharto
(12-14 Mei 1998) lebih mengganggu nurani kemanusiaan yang harus
diungkapkan dari kasus pembongkaran RA.
Kasus
pemerkosaan massal yang sudah “dikategorikan” sebagai
rasial bahkan sudah dapat dikategorikan sebagai “penyerangan”
kalangan tertentu lebih penting daripada “hanya urusan”
moral pengguna jasa RA.
Mengapa
publik “dipaksa” untuk mengikuti kasus ini dan negara
“terkesan” bertindak moral untuk pengungkapan kasus RA ?
Kedua.
Mengapa akhir-akhir ini “negara” melalui para punggawanya
begitu bertubi-tubi “merazia” tempat-tempat yang
dikategorikan sebagai tempat-tempat asusila ? Apakah para punggawa
hendak menunjukkan “lebih bermoral” dengan mengejar para pelaku
asusila daripada mengejar para patih-patih kerajaan yang sedang
“berunding” untuk mencuri uang kas kerajaan.
Apakah
dengan cara demikian, publik hendak dialihkan pandangan sehingga
publik kemudian diberi “Ceramah moral” namun para punggawa
sendiri sedang melindungi kepentingan para patih yang hendak mencuri
uang kas kerajaan.
Apabila
cara ini dilakukan, sebaiknya para punggawa kembali memutar musik
mendengarkan lagu dari Iwan Fals. Iwan Fals sendiri mengutuk keras
didalam lagunya. Manusia Setengah Dewa. “Masalah moral masalah
akhlak.. Biar kami cari sendiri.. Urus saja moralmu.. urus saja
akhlakmu... Peraturan yang sehat yang kami mau..
Tanpa
mengurangi semangat untuk membongkar kasus RA, prioritas pengungkapan
kasus pemerkosaan massal Mei '98 juga harus mendapatkan prioritas
yang yang sama dengan semangat mengungkapkan kasus RA.
Tanpa
itu. Maaf. Saya harus katakan.
Ada
Udang dibalik Batu.