15 Mei 2015

opini musri nauli : NEGARA MORAL DAN NEGARA SUCI



Masalah moral masalah akhlak..
Biar kami cari sendiri..
Urus saja moralmu.. urus saja akhlakmu
Peraturan yang sehat yang kami mau..
(Manusia Setengah Dewa, Iwan Fals)

Akhir-akhir ini kita menyaksikan berita tentang pengungkapan peristiwa prostitusi kalangan jetset. Berita penangkapan RA yang “mengaku” memiliki koleksi 200 artis dengan bayaran “wah” kemudian melebar kesana-kemari. Negara kemudian “seakan-akan” serius mengungkapkan kasus ini dengan “mengancam” akan mengungkapkan “pengguna” jasa kalangan atas.


Berita ini kemudian menenggalamkan peristiwa politik lain. Menyita perhatian dan melupakan berbagai persoalan kebangsaan.
Entah mendapatkan “energi” baru, pengungkapan kasus ini kemudian “memantik” untuk pengungkapan lebih jauh. Melebar dan menjadi issu politik yang berseliweran dan kemudian “dimakan” politisi. Bahkan selevel Wakil Presiden harus urun rembug membicarakannya.

Publik yang semula tersita dengan “persoalan politik” tentang kesejahteraan, issu tentang Jakarta kemudian “diseret” dan menjadi “berdegup” penasaran untuk mengetahui “siapa pengguna jasa” RA. Issu ini kemudian menggelinding dan menenggelamkan persoalan yang langsung berhadapan dengan persoalan rakyat.

Berbeda dengan sebagian kalangan yang ingin melihat kasus ini lebih lengkap. Tanpa mempengaruhi keinginan untuk mengetahui kasus ini sebenarnya, pengungkapan kasus RA “mengganggu nalar” saya.

Pertama. Mengapa pengungkapan kasus RA ini “seakan-akan” melupakan persoalan pokok tentang berbagai indikasi pengungkapan kasus-kasus yang sempat heboh di Kepolisian. Pengungkapan kasus BG kemudian “seakan-akan” terhenti dan kemudian berpindah dengna “urusan moral”. Sebuah pesan yang mengganggu nalar saya.

Padahal, terlepas apakah kita setuju atau tidak dengan para pengguna “jasa” RA, pengungkapan kasus pemerkosaan massal menjelang jatuhnya Soeharto (12-14 Mei 1998) lebih mengganggu nurani kemanusiaan yang harus diungkapkan dari kasus pembongkaran RA.

Kasus pemerkosaan massal yang sudah “dikategorikan” sebagai rasial bahkan sudah dapat dikategorikan sebagai “penyerangan” kalangan tertentu lebih penting daripada “hanya urusan” moral pengguna jasa RA.

Mengapa publik “dipaksa” untuk mengikuti kasus ini dan negara “terkesan” bertindak moral untuk pengungkapan kasus RA ?

Kedua. Mengapa akhir-akhir ini “negara” melalui para punggawanya begitu bertubi-tubi “merazia” tempat-tempat yang dikategorikan sebagai tempat-tempat asusila ? Apakah para punggawa hendak menunjukkan “lebih bermoral” dengan mengejar para pelaku asusila daripada mengejar para patih-patih kerajaan yang sedang “berunding” untuk mencuri uang kas kerajaan.

Apakah dengan cara demikian, publik hendak dialihkan pandangan sehingga publik kemudian diberi “Ceramah moral” namun para punggawa sendiri sedang melindungi kepentingan para patih yang hendak mencuri uang kas kerajaan.

Apabila cara ini dilakukan, sebaiknya para punggawa kembali memutar musik mendengarkan lagu dari Iwan Fals. Iwan Fals sendiri mengutuk keras didalam lagunya. Manusia Setengah Dewa. “Masalah moral masalah akhlak.. Biar kami cari sendiri.. Urus saja moralmu.. urus saja akhlakmu... Peraturan yang sehat yang kami mau..

Tanpa mengurangi semangat untuk membongkar kasus RA, prioritas pengungkapan kasus pemerkosaan massal Mei '98 juga harus mendapatkan prioritas yang yang sama dengan semangat mengungkapkan kasus RA.

Tanpa itu. Maaf. Saya harus katakan.

Ada Udang dibalik Batu.