Akhir-akhir
ini dunia bisnis resah. Bulan Juli, 7-Evelen (sevel) menutup seluruh gerainya
di seluruh Indonesia. Disusul Ramayana menutup 8 gerainya. Bulan September,
Matahari menutup di Manggarai dan Blok M.
Sevel
mengalami kerugian Rp 447,9 miliar.
Angka tersebut berbanding terbalik dengan tahun 2016 yang masih mampu membukukan
laba Rp 21,3 miliar.
Matahari
Department Store memutuskan menutup kedua gerai tersebut lantaran tidak mampu
menuai profit. Selama 2 tahun beroperasi, kedua gerai tersebut hanya menuai profit
saat momen tertentu seperti Lebaran.
Simbol-simbol
“kemegahan” Jakarta kemudian tenggelam dan “dikalahkan” oleh Bukalapak,
tokopedia, Lazada.
Bukalapak
mencatat pembukuan Rp 50 milyar/hari. Melonjak tajam dari tahun 2015 yang
mencapai Rp 7 milyar/hari. Untuk tahun 2016 mencapai Rp 10 trilyun.
Tokopedia
justru mencatat Rp 1 trilyun/bulan. Sedangkan Lazada mencatat pendapatan kotor
US$ 1 milyar. Naik 350% dari tahun 2015.
Tumbangnya
sevel, Ramayana dan Matahari mengikuti “jejak” seperti “Raja Ponsel” Nokia, “Penguasa
Media” The Washington Post, Panasonic, Sony-Ericsson.
Waktu
2012 – 2015 kemudian mengajarkan kepada “generasi” sebelumnya tentang “perkembangan”
zaman, inovasi tiada henti hingga memahami persepsi pasar konsumen yang terus
berubah.
Kelahiran
generasi 90-an yang kemudian dikenal generasi milenial kemudian “memakan”
korban terhadap produk-produk yang mampu menyesuaikan dengan perkembangan
zaman.
Lahirnya
angkutan online seperti Go-jek, Grabbike, Grabtaxi, Uber, Go-car memukul
Blue-bird dan Express yang menguasai 20 tahun lebih. Blue-bird “merugi”
mencapai Rp trilyun tahun 2016. Begitu juga Express yang mencapai Rp 81 milyar.
Sebagai
“generasi milenial”, informasi dalam genggaman. Merekalah “menguasai” informasi
dan mengontrol “kebijakan’.
Masih
ingat aplikasi “kawalpemilu” untuk mengamankan ‘suara” dari TPS yang bisa “diupload”
hingga sampai ke KPU. Aplikasi “kawalpemilu” kemudian “berhasil” menjaga
formulir A1 hingga dapat dimonitor siapapun (akses public). Sehingga dapat
menjadi bukti di persidangan MK.
Merekalah
yang “memindahkan” pasar yang dipajang di berbagai gerai kemudian “masuk”
kedalam genggaman sehingga langsung dibeli dari produsen.
Sebagai
“Pengguna” angkutan umum, saya merasakan dampaknya. Sebelumnya apabila berangkat
ke Bandara Soekarno-Hatta menggunakan Taksi harus merogoh kocek hingga Rp
170-180 ribu. Ditambah Toll Rp 15 ribu. Sehingga harus mempersiapkan Rp 200
ribu.
Namun
dengan menggunakan aplikasi Uber/Grab cukup menyediakan Rp 70-80 ribu. Ditambah
Toll Rp 15 ribu. Dengan demikian cukup Rp 100 ribu. Menghemat setengah daripada
ongkos yang dikeluarkan sebelumnya.
Atau
sebagai “pengguna angkutan umum” jalan di Jakarta, apabila sebelumnya harus
tempat yang dituju. Andaikata tempat yang dituju, kurang dikenal, maka bisa
berputar-putar dan harus menelephon “pemilik rumah” untuk memastikan. Dan
selain memakan waktu, repot dan sudah pasti mengeluarkan ongkos yang cukup
besar daripada yang tertera.
Sedangkan
menggunakan Uber/grab, cukup mengetik “posisi” kemudian tempat yang dituju,
maka tidak lama kemudian keluar perincian seperti “harga, rute”, waktu tempuh.
Sehingga fasilitas ini sangat cocok dengan “turis local” yang tidak mengetahui
tempat-tempat yang dituju. Bahkan apabila “sempat salah tempat yang dituju’,
maka “sang pengantar’ tidak perlu dibebani biaya tambahan.
Pelayanan
prima inilah yang kemudian “memaksa” Bluebird kemudian “mogok” dan sempat
menarik perhatian nasional di Jakarta.
Atau
pembelian produk barang yang marak di dunia maya. Dengan cukup “mengklik”, 2
hari kemudian barang sudah diterima pemesan.
Generasi
milenial kemudian “melahirkan” revolusi berbagai seluruh kehidupan. Dengan
kepraktisan, akurat, fasilitas dalam genggaman HP hingga dapat “mengubah” dan
menumbangkan “raksasa-raksasa” dan symbol-simbol kebesaran industry.
Generasi
milenial kemudian “Menentukan” arah informasi. Merekalah yang “menguasai”
pasar. Sebuah lompatan dari generasi sebelumnya yang menempatkan produsen
sebagai “penguasai” pasar dengan angkuh sebagai monopoli.
Lalu.
Mengapa masih ada keenganan Kepala Daerah yang masih terjebak dengan angkutan
umum konvensional ? Apakah Kepala Daerah yang “masih ortodok” dengan angkutan
umum konvensional dan tidak mampu membaca tanda-tanda perubahan angkutan umum
online.
Apakah
“zaman” bisa dibendung dan masih bertahan dengan pola pikir lama ?