18 November 2017

opini musri nauli : GENERASI MILENIAL




Akhir-akhir ini dunia bisnis resah. Bulan Juli, 7-Evelen (sevel) menutup seluruh gerainya di seluruh Indonesia. Disusul Ramayana menutup 8 gerainya. Bulan September, Matahari menutup di Manggarai dan Blok M.
Sevel mengalami kerugian Rp 447,9 miliar. Angka tersebut berbanding terbalik dengan tahun 2016 yang masih mampu membukukan laba Rp 21,3 miliar.

Matahari Department Store memutuskan menutup kedua gerai tersebut lantaran tidak mampu menuai profit. Selama 2 tahun beroperasi, kedua gerai tersebut hanya menuai profit saat momen tertentu seperti Lebaran.

Simbol-simbol “kemegahan” Jakarta kemudian tenggelam dan “dikalahkan” oleh Bukalapak, tokopedia, Lazada.

Bukalapak mencatat pembukuan Rp 50 milyar/hari. Melonjak tajam dari tahun 2015 yang mencapai Rp 7 milyar/hari. Untuk tahun 2016 mencapai Rp 10 trilyun.

Tokopedia justru mencatat Rp 1 trilyun/bulan. Sedangkan Lazada mencatat pendapatan kotor US$ 1 milyar. Naik 350% dari tahun 2015.

Tumbangnya sevel, Ramayana dan Matahari mengikuti “jejak” seperti “Raja Ponsel” Nokia, “Penguasa Media” The Washington Post, Panasonic, Sony-Ericsson.

Waktu 2012 – 2015 kemudian mengajarkan kepada “generasi” sebelumnya tentang “perkembangan” zaman, inovasi tiada henti hingga memahami persepsi pasar konsumen yang terus berubah.

Kelahiran generasi 90-an yang kemudian dikenal generasi milenial kemudian “memakan” korban terhadap produk-produk yang mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

Lahirnya angkutan online seperti Go-jek, Grabbike, Grabtaxi, Uber, Go-car memukul Blue-bird dan Express yang menguasai 20 tahun lebih. Blue-bird “merugi” mencapai Rp trilyun tahun 2016. Begitu juga Express yang mencapai Rp 81 milyar.

Sebagai “generasi milenial”, informasi dalam genggaman. Merekalah “menguasai” informasi dan mengontrol “kebijakan’.

Masih ingat aplikasi “kawalpemilu” untuk mengamankan ‘suara” dari TPS yang bisa “diupload” hingga sampai ke KPU. Aplikasi “kawalpemilu” kemudian “berhasil” menjaga formulir A1 hingga dapat dimonitor siapapun (akses public). Sehingga dapat menjadi bukti di persidangan  MK.

Merekalah yang “memindahkan” pasar yang dipajang di berbagai gerai kemudian “masuk” kedalam genggaman sehingga langsung dibeli dari produsen.

Sebagai “Pengguna” angkutan umum, saya merasakan dampaknya. Sebelumnya apabila berangkat ke Bandara Soekarno-Hatta menggunakan Taksi harus merogoh kocek hingga Rp 170-180 ribu. Ditambah Toll Rp 15 ribu. Sehingga harus mempersiapkan Rp 200 ribu.

Namun dengan menggunakan aplikasi Uber/Grab cukup menyediakan Rp 70-80 ribu. Ditambah Toll Rp 15 ribu. Dengan demikian cukup Rp 100 ribu. Menghemat setengah daripada ongkos yang dikeluarkan sebelumnya.

Atau sebagai “pengguna angkutan umum” jalan di Jakarta, apabila sebelumnya harus tempat yang dituju. Andaikata tempat yang dituju, kurang dikenal, maka bisa berputar-putar dan harus menelephon “pemilik rumah” untuk memastikan. Dan selain memakan waktu, repot dan sudah pasti mengeluarkan ongkos yang cukup besar daripada yang tertera.

Sedangkan menggunakan Uber/grab, cukup mengetik “posisi” kemudian tempat yang dituju, maka tidak lama kemudian keluar perincian seperti “harga, rute”, waktu tempuh. Sehingga fasilitas ini sangat cocok dengan “turis local” yang tidak mengetahui tempat-tempat yang dituju. Bahkan apabila “sempat salah tempat yang dituju’, maka “sang pengantar’ tidak perlu dibebani biaya tambahan.

Pelayanan prima inilah yang kemudian “memaksa” Bluebird kemudian “mogok” dan sempat menarik perhatian nasional di Jakarta.

Atau pembelian produk barang yang marak di dunia maya. Dengan cukup “mengklik”, 2 hari kemudian barang sudah diterima pemesan.

Generasi milenial kemudian “melahirkan” revolusi berbagai seluruh kehidupan. Dengan kepraktisan, akurat, fasilitas dalam genggaman HP hingga dapat “mengubah” dan menumbangkan “raksasa-raksasa” dan symbol-simbol kebesaran industry.

Generasi milenial kemudian “Menentukan” arah informasi. Merekalah yang “menguasai” pasar. Sebuah lompatan dari generasi sebelumnya yang menempatkan produsen sebagai “penguasai” pasar dengan angkuh sebagai monopoli.

Lalu. Mengapa masih ada keenganan Kepala Daerah yang masih terjebak dengan angkutan umum konvensional ? Apakah Kepala Daerah yang “masih ortodok” dengan angkutan umum konvensional dan tidak mampu membaca tanda-tanda perubahan angkutan umum online.

Apakah “zaman” bisa dibendung dan masih bertahan dengan pola pikir lama ?