Akhir-akhir
ini jagat dunia maya dihebohkan issu bentuk hidung. Entah mengapa tokoh agama
kemudian menyampaikan ceramahnya tidak lupa membicarakan bentuk hidung. Yang pesek itu? Saya kalau artis-artis
jelek kurang berminat saya mengamati. Apa kelebihan dia? Pesek, buruk itu lho. Sebuah ucapan yang disampaikan di public yang
menimbulkan reaksi beragam.
Terlepas
dari bentuk hidung yang dibicarakan, reaksi netizen sungguh mencengangkan.
Menempatkan bentuk hidung sebagai sebuah pembahasan melambangkan alam pikiran
dari berbagai generasi.
Membela
tokoh agama dengan membenarkan pernyataan bentuk hidung berhadapan dengan
tuduhan bentuk hidung sebagai ciptaan-Nya disatu sisi dengan penolakan
pernyataannya menggambarkan perbedaan nilai-nilai.
Reaksi
dari artis sungguh “mengejutkan’. “Saya
memang jelek, pesek, buruk dan tidak memiliki kelebihan apa-apa. Saya sudah tau
sebelum anda mengatakannya. Tapi dengan segala keterbatasan dan kelemahan ilmu
saya, saya tidak sampai hati mengatakan hal buruk tentang orang lain”.
Makna
“memang jelek”, “tidak memiliki kelebihan
apa-apa” adalah sebuah sikap “kerendahan
hati” tanpa harus menggurui dan menertawakan diri sendiri. Kata “memang jelek”, “tidak memiliki kelebihan
apa-apa” kemudian disambung dengan kata “Tapi dengan segala keterbatasan dan kelemahan ilmu saya, saya tidak
sampai hati mengatakan hal buruk tentang orang lain” adalah makna “majas’.
Sindiran telak.
Majas
adalah bentuk cara melukiskan sesuatu dengan jalan menyamakannya dengan sesuatu
yang lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Penggunaan majas diperlukan agar
mampu memberikan kesan yang diharapkan secara maksimal kepada orang lain. Efek
yang diharapkan dapat membuat sang penerima pesan “tertekun’, menerima maksud
dengan baik, mampu memberikan kesan yang mendalam dari sang penutur.
Dengan
menggunakan kata “Tapi dengan segala
keterbatasan dan kelemahan ilmu saya, saya tidak sampai hati mengatakan hal
buruk tentang orang lain”, sang penutur hendak menyampaikan pesan. Sang
penutur mempunyai “keterbatasan” dan “kelemahan ilmu” sehingga “tidak mau membicarakan hal buruk”.
Di
tengah masyarakat, makna majas sering digunakan didalam tata sopan untuk
menghormati “orang tua” atau “orang dihormati’. Datang terlambatnya seorang
pejabat sering disampaikan “Alhamdulilah.
Akhirnya bapak datang juga. Kami khawatir ada hambatan di jalan’. Atau kita
tidak bisa datang memenuhi janji ke tempat pertemuan disampaikan “Mungkin kali ini kami belum rejeki. Bapak
belum datang. Semoga bisa datang lain hari”.
Pemilihan
kalimat dari makna majas membuktikan sebuah proses yang dalam didalam menangkap
makna dari sebuah pergaulan. Dalam ranah tertentu, majas diperlukan sebagai “pemecah kebuntuan” sekaligus
menyampaikan pesan agar sang penerima pesan dapat menangkap pesan yang
ditangkapnya.
Dengan
menggunakan kata “Tapi dengan segala
keterbatasan dan kelemahan ilmu saya, saya tidak sampai hati mengatakan hal
buruk tentang orang lain”, pesan sang penutur jelas. Hanya orang yang
mempunyai kemampuan “berlebih’ atau
mempunyai kedalaman ilmu” sehingga “sampai hati” boleh membicarakan
keburukan orang lain.
Dan
yang sungguh mengagetkan saya. Majas disampaikan generasi milenial yang
menguasai “struktur” Bahasa sekaligus
mengirimkan “serangan balik (counter
attack)” yang telak. Sehingga tidak salah kemudian “kiper” sering bengong dari serangan balik.
2
– 0 untuk sang penutur Majas.