27 Mei 2021

opini musri nauli : Kata, makna dan Estetika


 

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, arti “kata” adalah unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan yang merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam bahasa. 


Arti “makna” adalah arti atau maksud perkataan. Sedangkan “estetika” berasal estetik. Diartikan sebagai ilmu yang berisikan ajaran atau filsafat tentang seni dan keindahan serta tanggapan manusia terhadap alam sekitarnya. 

Memahami kata didalam Bahasa Melayu tidak semata-mata arti harfiah (apa adanya/letterlijk). Tidak Serta merta menerjemahkan maksud dari arti kata. 


Tapi juga harus memahami makna dari arti kata yang diucapkan. Baik makna tersurat maupun makna tersirat. 


Bahasa Melayu Jambi tidak dapat dilepaskan dari berbagai makna dan simbol. Baik yang mudah ditangkap secara harfiah (apa adanya/letterlijk) maupun berbagai makna simbolik yang terdapat didalamnya. 


Lihatlah simbol dari makna seperti “Teluk sakti. Rantau betuah. Gunung Bedewo”, Rimbo Puyang”, “RImbo Keramat, “Rimbo Penghulu Depati Gento Rajo, Rimbo Larangan,  “Rimbo batuah”, “Rimbo sunyi, Rimbo Berpenghulu, Rimbo Ganuh”, “talang rimbo jauh”,  “Rimbo Siaga, rimbo piatu, Rimbo Lampau-lampau”. Atau “Rimbo sunyi. Tempat siamang beruang putih. Tempat ungko berebut tangis”. Atau juga ““Behumo rimbo”, “behumo Ronah”. 


Bandingkan dengan “Kayu pengait”, “Sak sangkut”, “takuk rajo”, “Sialang belantak besi”. 


Makna simbol dari seloko seperti “Teluk sakti. Rantau betuah. Gunung Bedewo”, Rimbo Puyang”, “RImbo Keramat, “Rimbo Penghulu Depati Gento Rajo, Rimbo Larangan,  “Rimbo batuah”, “Rimbo sunyi, Rimbo Berpenghulu, Rimbo Ganuh”, “talang rimbo jauh”,  “Rimbo Siaga, rimbo piatu, Rimbo Lampau-lampau”, Atau “Rimbo sunyi. Tempat siamang beruang putih. Tempat ungko berebut tangis”,  Atau juga ““Behumo rimbo”, “behumo Ronah” bukanlah semata-mata seloko yang berangkat dari mantra (magis-irrasional). Atau hanya dipandang dari segi “mistisisme”. 


Tapi adalah “cara pandang” masyarakat Melayu Jambi terhadap alam sekitarnya. Sekaligus menempatkan keselarasan dan keserasian manusia dan alam sekitarnya (Kosmopolitan). 


Keselarasan dan keserasian manusia dan alam sekitarnya sering diungkapkan “alam sekato Rajo. Negeri Sekato Batin” atau “alam berajo. Negeri Bebatin”. Sebagai bentuk keterikatan manusia dengan alam sekaligus menempatkan Pemimpin dalam struktur dan relasi sosial. 


Cara pandang terhadap alam sekitarnya sekaligus menempatkan keselarasan dan keserasian manusia dan alam sekitarnya dapat dimaknai seperti “alam takambang jadi Guru”. Sebagaimana sering diujarkan oleh Minangkabau. 


Atau cara pandang masyarakat Jawa yang sering Diungkapkan “memayu hayuning bawana. 


Sehingga kata-kata seperti “Alam sekato Rajo. Negeri Sekato Batin” atau “alam berajo. Negeri Bebatin”, “alam takambang jadi Guru” dan “memayu hayuning bawana” tidak dapat dimaknai kata dari pendekatan harfiah (apa adanya/letterlijk). Tapi penuh dengan ajaran filosofi, nilai dan pedoman masyarakat Melayu Jambi didalam memandang alam sekelilingnya. 


Kata-kata seperti “Alam sekato Rajo. Negeri Sekato Batin” atau “alam berajo. Negeri Bebatin”, “alam takambang jadi Guru” dan “memayu hayuning bawana” harus juga dipahami dari pendekatan “estetika (estetik). Menempatkan akal budi manusia sebagai makhluk yang luhur yang penuh dengan ajaran atau filsafat tentang seni dan keindahan serta tanggapan manusia terhadap alam sekitarnya. 


Sedangkan seloko seperti ““pinang belarik”, “mentaro”, “kleko” justru adalah ajaran, perilaku, hukum dan nilai yang terkandung sarat dengan nilai-nilai alam sekitarnya. 


Atau lihatlah makna dari seloko “Kayu pengait”, “Sak sangkut”, “takuk rajo”, “Sialang belantak besi” bukan sekedar semata-mata “Kayu pengait”, “sak sangkut” dan “takuk rajo” cuma sekedar tanda. Tapi adalah makna simbol dari tanda batas sekaligus makna batas yang biasa dikenal dengan tembo. 


Makna simbol “Kayu pengait”, “Sak sangkut”, “takuk rajo”, “Sialang belantak besi” kemudian diikrarkan didalam Tembo. 


Makna simbol “Kayu pengait”, “Sak sangkut”, “takuk rajo”, “Sialang belantak besi”  juga sering diungkapkan dengna seloko seperti “larik tepung. Larik kunyit. Larik seko”. 


Makna simbol yang kemudian diungkapkan didalam tembo yang kemudian diturunkan melalui “kenduri sko” atau “kenduri adat”. 


Untuk memahami setiap kata-kata yang digunakan baik yang digunakan didalam seloko maupun berbagai prosesi adat yang sering dilakukan tidak hanya dimaknai kata dari pendekatan harfiah (apa adanya/letterlijk). 


Tapi juga menempatkan “estetika (estetik)”. Sehingga makna simbol setiap kata yang diucapkan dapat dipahami secara dalam. Kaya makna. 


Dengan demikian, kekuatan sekaligus kelebihan bahasa Melayu Jambi didalam memandang alam sekitarnya adalah warisan dari nenek moyang leluhur Melayu Jambi (memorial collective). Dan menempatkan manusia yang berbudi selaras dan sinambung dengan alam sekitarnya. 


Sebagaimana seloko “Alam sekato Rajo. Negeri Sekato Batin” atau “alam berajo. Negeri Bebatin”.