04 September 2022

opini musri nauli : Asli

 


Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, berdasarkan etimologi, kata asli diartikan sebagai “tidak ada campurannya (murni), bukan peranakan (orang pribumi/ penduduk,  bukan salinan (fotokopi, saduran, terjemahan), baik-baik (tidak diragukan asal-usulnya), yang dibawa sejak lahir (sifat pembawaan) atau tempat (asal) 


Kata asli Pernah menjadi kata Penting didalam UUD 1945. Sebelum diamandemen didalam pasal 1 disebutkan “Presiden ialah orang Indonesia asli”. 


Sedangkan setelah diamandemen menjadi kalimat “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehen- daknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden. 


Sedangkan kata “asli” yang kemudian dipadankan dengan “orang pribumi” pernah diatur didalam Pasal 131 131 Indische Staatsregeling (IS).

Pasal 131 Indische Staatsregeling (IS) kemudian diteruskan didalam Pasal 163 IS yang membagi penduduk di Hindia Belanda menjadi tiga Golongan penduduk, yaitu : Penduduk golongan Eropa, Penduduk golongan Timur Asing dan penduduk Golongan pribumi (Bumi Putera).


Dalam ayat (2) pasal 131 IS disebut perkataan “Europeanen”  dan “Indonesiers en Vreemde Oosterlingen.


Dengan demikian maka  tiap-tiap golongan berlaku hukumnya masing-masing. Masing-masing golongan punya staatsbladnya. Staatsblad No. 1849-25 untuk golongan Eropa. Staatsblad No. 1917-130 untuk golongan Timur Asing Tionghoa. Staatsblad No. 1920-751,  untuk golongan Indonesia  beragama Islam. Staatsblad No. 133-75 untuk golongan Indonesia beragama Kristen.


Golongan Eropa tunduk kepada hukum perdata, yaitu Burgelijk Wetboek (BW) dan Wetboek van Kopphandel (WvK). Untuk hukum pidana materiil, berlaku Wetboek van Strafrecht (WvS) 1915 Nomor 732. Sedangkan untuk Hukum acara yang dilaksanakan dalam proses pengadilan bagi golongan Eropa di Jawa dan Madura diatur dalam Reglement op de Burgerlijk Rechts Vordering untuk perkara perdata dan Reglement op de Straf Vordering.


Bagi golongan Timur Asing diterapkan dalam lapangan Hukum perdata dan hukum pidana adat menurut ketentuan Pasal 11 AB  berdasarkan Staatsblad 1855 Nomor 79 (untuk semua golongan timur asing). Hukum perdata golongan Eropa (BW) hanya bagi golongan Timur Asing Cina untuk wilayah Hindia Belanda melalui Staatsblad 1924 Nomor 557. Untuk daerah Kalimantan Barat berlakunya BW tanggal 1 September 1925 melalui Staatsblad 1925 Nomor 92.


Bumiputera atau Indonesia asli atau Keturunan lain yang sudah lama menetap di Indonesia sehingga sudah melebur ke dalam Indonesia asli sepanjang kepada mereka belum ditetapkan suatu peraturan yang sarna dengan bangsa Eropa, diperbolehkan "menundukkan diri” (onderwerpen) pada hukum yang berlaku bagi bangsa Eropa.


Belanda kemudian membagi pengadilan Landgerecht (untuk semua golongan), Inlandsche Rechtspraak (peradilan pribumi. Untuk daerah Jawa/Madura districtsgereeht/ regentschapsgerecht. Sedangkan untuk daerah di luar Jawa dan Madura dikenal negorijrechtbank, distrietsgerecht / districtsraad dan magistraatsgerecht). Dan Europeesche Rechtspraak.


Sedangkan didalam KUHP, berdasarkan UU No 1 Tahun 1946, setiap kata “Nederlandsch-Indie" atau “NederlandschIndisch” menjadi “Indonesia”. Begitu juga kata Nederlandsch-onderdaan” kemudian diganti menjadi “warga negara Indonesia”.


Lalu bagaimana pembagian goloingan sebagaimana diatur didalam  Pasal-pasal 163 dan 131 IS.


Yurisprudensi, praktek perundang-undangan dan doktrin, semuanya berkesimpulan dan sependapat bahwa pada tanggal 17 Agustus 19445, IS (indische Staatsregeling) sebagai kodifikasi hukum pokok ketatanegaraan sudah tidak berlaku lagi. Aturan  dinilai, apakah sesuai atau bertentangan dengan semangat dan suasana kemerdekaan.


Dengan demikian maka Penghapusan penggolongan penduduk telah tegas diatur  didalam pasal 27 ayat (1), pasal 28 D ayat (1) konstitusi. Begitu juga diatur didalam UU No. 3 Tahun 1946 Tentang Warga Negara dan Penduduk Negara, UU No. 62 Tahun 1958 junto UU no. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan. Selain itu dapat dilihat didalam UU No. 26 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.


Dengan demikaian maka UUD 1945 tidak mengenal adanya golongan-golongan warga negara Indonesia seperti disebut dalam Pasal 131 dan 163 IS.


Sehingga Penghapusan penggolongan penduduk telah tegas diatur  didalam pasal 27 ayat (1), pasal 28 D ayat (1) konstitusi. Begitu juga diatur didalam UU No. 3 Tahun 1946 Tentang Warga Negara dan Penduduk Negara, UU No. 62 Tahun 1958 junto UU no. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan. Selain itu dapat dilihat didalam UU No. 26 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.


UUD 1945 tidak mengenal adanya golongan-golongan warga negara Indonesia seperti disebut dalam Pasal 131 dan 163 IS.


Kesemuanya kemudian menempatkan istilah “warga negara Indonesia”.