02 September 2022

opini musri nauli : Ibu ditahan

 


Suatu saat di Pengadilan di daerah, saya bertemu dengan seorang tahanan. Suami-istri yang terlibat peredaran narkoba. Keduanya adalah bandar sabu yang jumlahnya cukup untuk menjerat ancaman lebih tinggi. 


Ketika Penyidik yang kemudia menjadi saksi, disela-sela terpisah. Sayapun kemudian mengobrol. 

“Mengapa pulak istrinya harus dikorbankan. Bukankah suaminya saja cukup yang harus bertanggungjawab ?”, tanyaku heran. 


“Sebenarnya kami ingin juga, bang.. cukuplah suami be yang mengakui barang itu.. tidak perlu juga melibatkan istrinya.. Tapi dia juga malah menyebutkan nama istrinya, bang’, kata sang penydik tegas. 


“Lah apa pulak alasannya ?”, kembali pertanyaanku heran. 


“Si suami khan pasti lama ditahan. Jadi nanti dia khawatir si istri akan kawin lagi”, jawab sang Penyidik.


Akupun terdiam. Sembari geleng-geleng kepala yang tidak mengerti dengan alasan sang suami. 


Sidang pertamapun dimulai. Sayapun diminta untuk mendampingi proses hukumnya. 


Ketika menjelang sidang kedua, saya ditelephone Jaksa Penuntut umum. 


“Bang, sang istri melahirkan. Aku Sudah belikan alat-alat untuk bayi. Abang bayar uang bidan untuk melahirkan, ya”, kata suara di ujung telephone. 


“Siap”, katanya. 


Terbayang masa kelam yang akan dilalui oleh kedua pasangan. Suami ditahan. Sedangkan sang istri harus melahirkan di penjara. 


Sang istri harus menjalani bersama-sama dengan bayi hingga akhir menjalani masa penjara. 


Sebagai tahanan pengedar narkoba. Mereka dipastikan minimal 5 tahun penjara. 


Proses yang cukup lama dirasakan oleh kedua pasangan. 


Termasuk juga harus dilalui bayi. Usia emas yang harus dilalui sang bayi justru di penjara. 


Tentu saja di mata hukum setiap orang diperlakukan sama (equality before the law). 


Dan asas ini berlaku kepada siapapun. Karena tidak ada pembatasan antara pengedar narkoba dengan pelaku pembunuhan.