01 September 2022

opini musri nauli : Kesalahan dan Pertanggungjawaban



Didalam ranah ilmu hukum pidana, teori kesalahan dan pertanggungjawaban merupakan persoalan dan polemik yang berkepanjangan. 


Sebagian Ahli hukum menganggap antara kesalahan dan pertanggungjawaban adalah satu kesatuan yang utuh. 

Hanya orang yang dianggap melakukan kesalahan maka dapat dimintakan pertanggungjawaban. 


Mekanisme ini sering terjadi didalam praktek peradilan. Terutama di berbagai putusan. Baik di putusan Pengadilan negeri hingga ke Mahkamah Agung. 


Namun sebagian lagi berpandangan berbeda. Antara kesalahan dan pertanggungjawaban adalah dimensi yang terpisah antara satu dengan yang lain. 


Atau dengan kata lain. Walaupun unsur setiap pasal yang dikenakan kemudian terbukti dan seseorang dinyatakan “bersalah” namun belum tentu dapat dimintakan pertanggungjawaban. 


Didalam KUHP sendiri, adanya alasan menghilangkan sifat tindak pidana (Straf-uitsluitings-gronden)  atau “wederrchtelijkheid” atau “onrechtmatigheid” dan memaafkan si pelaku (“feit d’xcuse”).  Biasa juga disebutkan sebagai alasan pembenar dan alasan pemaaf. 


Lihatlah didalam pasal pasal 44 (orang gila), pasal 45 KUHP anak dibawah umur agar dikembalikan kepada orang tuanya, Pasal 48 KUHP (keterpaksaan /overmacht), Pasal  49 ayat (1) KUHP (mempertahankan dirinya atau orang lain (noodweer)  dan 50 ayat (1) dan Pasal 51 ayat (1) KUHP (orang yang menjalankan perintah undang-undang/ perintah jabatan).


Sehingga walaupun kemudian seseorang kemudian dinyatakan bersalah memenuhi unsur pasal yang dituduhkan namun apabila adanya alasan menghilangkan sifat tindak pidana (Straf-uitsluitings-gronden)  atau “wederrchtelijkheid” atau “onrechtmatigheid” dan memaafkan si pelaku (“feit d’xcuse”). 


Sehingga terhadap terdakwa dapat dinyatakan bebas ataupun lepas demi hukum. 


Demikianlah mekanisme hukum pidana bekerja.