Akhir-akhir ini, UU Kehutanan seringkali beririsan dengan tema mengenai tanah. Sebagian pemilik tanah ataupun masyarakat hukum adat seringkali “kesulitan” berhadapan dengan aparat yang menempatkan UU kehutanan didalam melihat konflik di sektor kehutanan.
Sebelum menempatkan sektor kehutanan sebagai “maqom”, ada baiknya untuk menengok sektor kehutanan dilihat didalam UU Kehutanan.
Pada prinsipnya pengaturan sektor kehutanan berkaitan dengan tema hutan dan isi didalam kehutanan.
Lihatlah bagaimana defisini kawasan hutan, hutan dan tindak pidana kehutanan. Menurut UU Kehutanan (UU No. 41 Tahun 1999 dan UU No. 19 Tahun 2004), definisi hutan adalah Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Sedangkan kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap.
Berbagai regulasi di bidang kehutanan (Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021, Permen LHK No 7 Tahun 2021, Permen LHK No 8 Tahun 2021 yang kemudian telah disesuaikan dengan UU Cipta Kerja) tetap menempatkan hutan dan kawasan hutan yang “hanya membicarakan hutan” dan hasil hutan.
Sehingga UU Kehutanan hanyalah berkaitan dengan larangan seperti “mengerjakan dan atau menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah, merambah kawasan hutan, melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan, membakar hutan, menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan, mengangkut, menguasai, atau memiliki hasil hutan (Pasal 50 UU Kehutanan).