08 November 2024

in Memoriam - Kisah Heroik ditengah petualangan


Ketika lagi asyik didepan laptop memperbaiki bahan-bahan yang memerlukan konsentrasi tinggi, tiba-tiba suara message Whatapp masuk. Terkirim photo dari DD Shineba. Photo ketika di puncak Gunung Tambora. 


Seketika ingatan kemudian melayang. Lebih 9 tahun yang lalu. Ya. Pendakian Gunung Tambora di NTB. Waktu itu Tengah dilangsungkan kegiatan Konsultasi Nasional Lingkungan Hidup (Rapimnas Pimpinan Walhi nasional - Daerah). Walhi NTB kemudian menjadi tuan rumah. 


Diluar suasana KNLH, peserta yang terdiri dari Eksekutif Nasional, Dewan Nasional, Direktur Walhi Daerah dan Dewan Daerah kemudian terbelah. Ada sebagian yang mau ke Pantai Giri Trawangan ataupun ke Pantai. Namun sebagian kemudian malah mau mengikuti pendakian Gunung Tambora. 


Salah satu Gunung yang menghebohkan ketika meletus 200 tahun yang lalu. Asapnya hingga ke Eropa.  Yang memaksa Eropa kemudian gelap. Dan musim Salju yang tidak berkesudahan. Akibatnya pasukan Napolean Bonaparte (Perancis) sama sekali tidak bisa digerakkan. Sehingga Perancis mengalami kekalahan dimana-mana. 

Suasana di Mataram memang begitu terasa. Mataram kedatangan berbagai tamu yang mau mengikuti napak tilas meletusnya 200 tahun. Berbagai tamu dari manca negara berdatangan. 


Hanya sebagian Kecil teman-teman yang mau Bergabung. Seingatku hanya 6 orang Direktur Daerah yang bersedia (Jambi, Sumbar, Kalteng, Kalbar, Yogyakarta dan Sulsel). Sedangkan DD mewakili dari Dewan Nasional. Dan Mbak Yaya (Kepala Departemen Advokasi) mewakili Eksekutif Nasional. Selain itu memilih ke Pantai Giri Trawangan. 


Suasana semakin memanas. Kedatangan peserta yang ditandai dengan tas dibawanya membuktikan kemana tujuan akhir kegiatan. Apabila tas (ditarik) maka Sudah dipastikan akan memilih ke pantai. Namun apabila membawa Carry (biasanya dilengkapi perlengkapan pribadi) akan memilih mendaki. 


Setelah kegiatan maka kemudian peserta terbelah. Yang memilih ke Pantai, Sore hari Sudah posting aktivitasnya di Pantai. Sedangkan agenda mendaki harus menempuh jalan menyeberang dari Pulau Lombok ke Pulau Sumbawa. Ya, sekitar 18-20 jam. Termasuk menyeberang Pulau menggunakan kapal Ferry. 


Disela-sela ketika kami menyeberang, Mbak yaya kemudian berujar. “Tenang, ketua. Yang pergi ke pantai, paling-paling sore atau malam sudah kehabisan spot”. Ya. Memang tidak banyak spot dari pantai. 


Keesokan harinya, ketika siang, kamipun tiba di kaki Gunung Tambora. Persiapan pendakian dilakukan. Kami memilih mengejar Shelter 1. Agar bisa menginap. Sekaligus penyesuaian suhu. 


Setelah makan siang, kami kemudian “mengegas”. Langsung menuju Shelter 4. Rencananya “ngecamp”. Sekaligus meletakkan barang. Hanya membawa “daypack” untuk ke puncak Gunung Tambora. 


Perjalanan pagi ditempuh agar dapat mencapai puncaknya. Dan akhirnya semua sampai ke Puncak. 


Nah, dengan rombongan sebesar itu, tentu saja ketika turun menjadi tidak dapat menjadi satu rombongan. Akhirnya kami kemudian harus membagi kedua tim. Tim Pertama kejar ke Shelter 1. Mempersiapkan tenda dan logistik. Mbak yaya kemudian menampakkan watak kepemimpinan. Dia tegas memilih untuk kejar ke Shelter 1. 


Pelan-pelan kami kemudian turun. Namun ada beberapa Kawan yang kakinya Sudah tidak bisa kompromi lagi. Akhirnya ketika sampai di Shelter 3, kami berdiskusi. Tim Kembali memecah. Sebagian melanjutkan ke Shelter 1. Sebagian kemudian “guyur-guyur”. Kalaupun “terjebak”, kami akan kejar ke Shelter 2. 


Logistik dan peralatan kemudian dibagi. Sehingga rombongan awal kemudian menjadi tiga tim. 

Saya dan beberapa Kawan kemudian memilih barisan terakhir. Biasa disebut tim sweeper. 


Haripun malam. Hujan terus mengiringi jalan kami. Pelan-pelan kami berjalan. Saya hanya memberikan semangat kepada kawan-kawan. Yang penting bisa berjalan. Walaupun lambat itu lebih baik daripada harus digendong ataupun ditandu. 


Melihat perjalanan semakin lambat, aku terus membujuk kawan-kawan agar terus melangkah. Ketika sampai di Shelter 1, kamipun bergembira. Kak DD yang memimpin telah memasang tenda. Termasuk mempersiapkan makanan malam. Kamipun bergabung tim yang sudah menunggu di Shelter 1. 


Kamipun berdiskusi. Walaupun shelter 1 ke Pos terakhir (pintu Rimba) hanya 1-1,5 jam namun mengingat fisik kawan-kawan yang jauh menurun drastis, haripun Sudah Tengah malam dan hujan masih mengguyur, akhirnya kamipun sepakat. Memilih “ngecam” di Pos 1. 


Apalagi logistik masih cukup untuk malam menjelang tidur dan bekal besok pagi. Sehingga kami mantap untuk “ngecam”. 


Saat berganti pakaian (karena basah kuyub di sepanjang perjalanan), tiba-tiba tim datang dari Bawah. Membawa bekal untuk malam. 


“Pesan ibu yaya. Untuk kawan-kawan”. Kata sang pengantar. 


“Ibu Yaya juga pesan. Kalau ada yang tidak Kuat jalan, kami bersedia menggotong. Demikian pesan ibu Yaya”. 


Kamipun kaget. Tanpa harus didrop makanan dari Bawah, logisitikpun masih cukup. Apalagi dengan hitungan istirahat semalam, kawan-kawan yang mengedrop pasti pulih untuk turun ke Bawah. 


Namun perhatian dengan tim sekaligus “memilih” jalan turun terus ke Bawah, berkejaran dengan waktu, dengan fisik prima bukan hanya memikirkan diri sendiri. Bahkan berkoordinasi dibawah untuk mengantar logistik. Sekaligus Tenaga segar untuk mengangkut teman-teman yang memerlukan pertolongan. 


Padahal, diluar logistik masih cukup, Mbak yaya bisa saja “ngecam” di Shelter 1. Sembari menunggu teman-teman turun. 


Namun lagi-lagi dia memilih. Dia tidak hanya sekedar melewati shelter 1. Namun terus kebawah. Dibutuhkan fisik yang prima. Sekaligus koordinasi untuk membantu teman-temannya. 


Dia sama sekali tidak memikirkan fisiknya yang harus turun dari puncak hingga ke Pos terakhir. Bahkan pikiran kepada tim lebih diutamakan daripada fisiknya yang memang merosot dari puncak langsung ke Bawah. 


Saya masih percaya. Di lapanganlah watak seseorang akan terlihat. Apakah dasarnya memang pemimpin atau sering sekali malah mengganggu irama tim. 


Namun dari lapangan itulah saya kemudian meyakini. Kepemimpinan Mbak Yaya jauh dari yang sama sekali terpikirkan. 


Dan tidak salah kemudian kisah heroik ditengah petualangan adalah kisah yang terlalu sayang untuk dilewatkan.. 



Selamat Jalan, Mbak Yaya.