20 Mei 2024

opini musri nauli : Amanat Konstitusi Indonesia Tentang Palestina

 


Alangkah kagetnya ketika berbagai kampus-kampus di Amerika Serikat dan Eropa kemudian mengumandangkan kemerdekaan Palestina. Peristiwa yang sudah lama tidak dirasakan oleh masyarakat Eropa dan Amerika (Barat) yang kemudian menggelinding menjadi tema utama. 


Berbagai tayangan live di tiktok menggambarkan bagaimana kampus-kampus kemudian membangun kamp oleh mahasiswa untuk meneriakkan mengenai Palestina. Belum lagi acara-acara wisuda yang kemudian dibentangkan banner ataupun kain untuk “free Palestina”. Termasuk arak-arakkan ditengah jalan-jalan protokol kota-kota besar. 


Kebangkitan masyarakat barat terhadap kemerdekaan Palestina mendapatkan momentum yang kemudian diikuti PBB yang menerima Palestina sebagai negara yang berdaulat. Sekaligus menjadi anggota PBB. Sebuah kemajuan besar yang 10 tahun terakhir hanya menggema di negara-negara Islam (Timur Tengah) dan Indonesia. 

Kemerdekaan Palestina sudah lama dicanangkan oleh Presiden Soekarno. Konstitusi Indonesia kemudian menempatkan Palestina sebagai bagian dari diplomasi Indonesia “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.


Standing Indonesia didalam menempatkan “kemerdekaan Palestina” yang termaktub didalam konstitusi juga menempatkan Indonesia sebagai bangsa yang memperjuangkan Kemerdekaan Palestina. 


Sikap tegas ini Sudah diatur Peraturan Menteri Luar Negeri No 3 Tahun 2019 (Permenlu No3/2019). Didalam Permenlu No3/2019) secara tegas dinyatakan “ Sampai saat ini Indonesia tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan Israel, dan menentang penjajahan Israel atas wilayah dan bangsa Palestina, karenanya Indonesia menolak segala bentuk hubungan resmi dengan Israel. Sehingga tidak ada hubungan secara resmi antara Pemerintah Indonesia dalam setiap tingkatan dengan Israel, termasuk dalam surat menyurat dengan menggunakan kop resmi. 


Selain itu juga tidak menerima delegasi Israel secara resmi dan di tempat resmi, tidak diizinkan pengibaran/penggunaan bendera, lambang dan atribut lainnya serta pengumandangan lagu kebangsaan Israel di wilayah Republik Indonesia. 


Saya kemudian teringat dengan kisah Ganjar Pranowo (Gubernur Jawa Tengah) dengan Gubernur Bali yang menjadi “garda terdepan” memastikan “ketidakhadiran Israel” di Semarang. Ganjar berdiri tegak mengamankan putusan konstitusi. Ganjar sama sekali tidak hirau dengan pencalonannya. 


Ganjar lebih mengutamakan amanat konstitusi dibandingkan sikap populer untuk menyenangkan semua orang. Ganjar menempatkan diri sebagai negarawan. Ganjar sama sekali tidak memikirkan electoral. Tapi sikap dan ketegasan dan garis yang telah ditentukan UUD 1945. 


Namun yang aneh justru Istana, Kemenpora, PSSI, masyarakat pencinta sepak bola kemudian “menghunuskan belatinya” untuk menikam Ganjar.  Ganjar dianggap “mbalelo” terhadap Istana, Kemenpora, PSSI. Ganjar bahkan dianggap “menyerobot” agenda penting dan hajatan nasional. 


Bahkan Kemenlu yang berkepentingan langsung untuk mengamankan Permenlu No 3/2019 nyaris tidak bersuara. Bahkan terkesan sama sekali tidak memberikan dukungan kepada Ganjar. Sama sekali tidak mau berhadapan langsung dengan publik pecinta sepakbola. Sikap Ganjar tidaklah “mbalelo”. Ganjar hanya tegak lurus dengan konstitusi. 


Namun saat sekarang ketika dunia mulai serius yang ditandai dengan aksi besar-besaran di Barat dan kemerdekaan Palestina yang kemudian diterima menjadi anggota PBB yang kemudian diikuti FIFA yang mempertimbangkan keanggotaan Israel, sikap tegak lurus dan tunduk dengan konstitusi yang dilakukan oleh Ganjar merupakan oase ditengah “keteladanan” kepemimpinan disaat ini. 


Keteladanan bersikap sekaligus hanya tunduk kepada konstitusi merupakan sebuah keteladanan kepemimpinan yang sudah jarang sekali ditemukan sekarang ini. 


Namun apapun sikap dan upaya yang dilakukan oleh Ganjar, saya teringat dengan pepatah Bugis “pelaut ulung tidak lahir dari laut yang tenang”. Dan seorang Pemimpin harus “tegas” didalam pilihan sulit. 


Sinar harapan senantiasa disampaikan kepada Pemimpin yang rela “Pasang badan” dan tidak menghiraukan dirinya sendiri untuk tunduk kepada konstitusi. 


Tidak salah kemudian ketika kampus-kampus di Barat, menggelinding menjadi tema utama, tayangan live di tiktok, acara-acara wisuda yang kemudian dibentangkan banner ataupun kain untuk “free Palestina”,  arak-arakkan ditengah jalan-jalan protokol kota-kota besar dan PBB yang menerima Palestina sebagai negara yang berdaulat, saya selalu ingat kepada Pemimpin yang rela “tegak lurus” tunduk kepada konstitusi. 


Dan selalu angkat topi kepada Pemimpin yang rela bernaung dibawah konstitusi. Tidak terjebak nilai-nilai populer (vote getter) yang justru jauh dari Amanat konstitusi. 


Advokat. Tinggal di Jambi