Suasana Ramadhan tidak dapat dipisahkan dari kegiatan berburu takjil. Sebuah ritual yang semakin mengental dan mengisi perjalanan ramadhan.
Di Jambi sendiri, hanya beberapa tempat yang menyediakan pasar menjelang berbuka Puasa. Dikenal pasar bedug.
Disebutkan pasar bedug bukan berarti pasar yang menyediakan bedug. Sebuah alat yang ditabuh menggunakan pemukul untuk memanggil sekaligus menjelang azan.
Tapi pasar bedug adalah pasar yang menyediakan panganan (kemudian dikenal takjil) menjelang bedug berbunyi.
Pasar Bedug (istilah Jambi) dahulu yang paling klasik dan fenomenal adalah di Pasar Jambi. Ramainya jangan ditanya. Semua komunitas kemudian tumplek disana.
Pelan-pelan kemudian adanya di beberapa tempat. Entah di Kotabaru, Talang banjar, The hok, Kosera dan Broni.
Sehingga tidak salah kemudian Bulan Ramadhan kemudian tidak hanya diikuti dengan kegiatan ibadah semata. Tapi Sudah menjadi kegiatan-kegiatan sosial yang kemudian dapat dinikmati berbagai kalangan.
Namun kali ini, cerita bukan tentang Pasar Bedug di Jambi ataupun berburu takjil di Jambi.
Tapi fenomena kehebohan pemburu takjil yang kemudian di posting di berbagai media massa. Kalangan yang mengikuti kegiatan ini tidak semata-mata yang berasal dari agama islam yang Tengah menunaikan ibadah Puasa. Tapi berbagai komunitas, anak muda yang dari berbagai latar belakang budaya.
Keunikan sekaligus kemeriahan mengejar takjil kemudian menggema. Menjadikan suasana menjelang bedug berbunyi menjadi seru.
Bayangkan. Slogan berhasil berburu takjil kemudian diposting diiringi dengan tingkah pola yang membuat saya menjadi tertawa. Sekaligus terharu.
Takjil yang dijual yang semula ditujukan kepada pembeli yang berpuasa justru semakin seru ketika malah diserbu oleh anak-anak muda yang justru bukan berasal dari agama islam. Biasa dikenal sebagai kaum noni ataupun nasrani. Bahkan malah justru semakin seru anak-anak muda yang dari Tionghoa.
Tidak tanggung-tanggung. Ketika berburu takjil dari Jam 2 Siang malah sembari memamerkan hasil “Tangkapannya” namun justru dimakan setelah bedug berbunyi.
Slogannya tidak tanggung-tanggung. “Puasa adalah kewajibanmu. Berburu takjil adalah hak Bersama”.
Yang paling seru justru balasan dari anak-anak muda yang hanya dapat “ubi jalar” atau “risol” yang tersisa yang kemudian malah membalas posting “Pak Menag, keluarkan edaran, agar yang membeli takjil harus ditest syahadat”.
Bukannya “ngeper”, slogan ini Malah dibalas lebih seru “Kami pasti hapal”.
Kehebohan di media massa yang mengibarkan peristiwa berburu takjil adalah peristiwa budaya sekaligus fenomena sosial yang Tengah terjadi memberikan pelajaran kehidupan kepada kita semua.
Peristiwa agama (rangkaian prosesi agama) yang kemudian dikemas lebih menarik ternyata dapat menjadikan peristiwa yang semula “rangkaian prosesi agama” justru menjadi peristiwa sosial yang menarik untuk diikuti berbagai kalangan.
Sebelumnya menjelang Hari raya Nyepi, arak-arakan pawai Ogoh-ogoh, justru tidak hanya ritual Agama Hindu. Tapi sudah menjadi Festival Budaya yang ramai diikuti berbagai Komunitas.
Berbagai pemberitaan, posting di berbagai media massa sekali lagi menegaskan.
Mengikuti berbagai kegiatan (semula ritual agama) yang kemudian justru banyak diikuti diluar komunitas membuat kita menjadi terharu.
Alangkah banyaknya budaya Indonesia yang mampu menjernihkan pikiran. Tidak hanya “urusan” ritual agama. Tapi sudah menjadi agenda Bersama masyarakat Indonesia.
Pokoknya keren-lah.