21 Mei 2024

opini musri nauli : Cara pandang pengurus negara

 


Akhir-akhir ini posting petinggi Kementerian yang membidangi pendidikan memantik polemik dan menimbulkan reaksi publik. 


Tema Uang Kuliah (UKT) yang menderek naik hingga membuat mahasiswa kemudian menjerit bukan menjadi bahan refleksi dan mencari solusi. Namun justru pernyataan yang kemudian dikenal sebagai “tersier” yang semakin menghebohkan. 


Sebenarnya cara pandang melihat persoalan diatas merupakan gambaran dari cara pandang pengurus negara. 


Beberapa waktu yang lalu juga cara pandang pengurus negara ketika harga cabe yang menderek naik. Bukan mencari solusi, memastikan ketersediaan stok, memangkas birokrasi yang panjang, justru cara pandang pengurus negara kemudian menjawab dengan Enteng. “Mengajak menanam cabe”. 


Atau tema tentang kecelakaan bus yang mengangkut siswa studi tour. Bukan melihat akar dari “ketidaklayakkan bus” atau adanya dugaan mafia didalam berbagai kegiatan studi tur, namun alih-alih mencari akar masalah justru kemudian mengeluarkan kebijakan. Yang kemudian “melarang” kegiatan studi tur. 


Tiga cara pandang pengurus negara kemudian harus ditelaah lebih seksama. Sekaligus untuk menjawab, bagaimana sih cara pandang pengurus negara melihat persoalan yang terjadi. Sekaligus mencari akar masalah dan “siapa yang harus bertanggungjawab”. 

Secara sekilas cara pandang pengurus negara melihat tiga persoalan “seakan-akan” benar dan akan mudah ditangkap publik. 


Namun apabila dilihat dari “akar masalah” dan sekaligus melihat “tanggungjawab negara” maka jawaban yang diberikan termasuk “cara menyelesaikannya” kemudian menempatkan cara pandang negara begitu sesat (mistake/logical fallacy). 


Didalam kaidah logika, untuk membangun konstruksi yang logis, maka “premis mayor” kemudian disandingkan dengan “premis minor”. Dengan tersusunnya premis mayor dan menurunkannya menjadi premis minor maka terbangun konklusi yang logis. 


Menggunakan irisan “premis mayor” yang kemudian disandingkan premis minor didalam melihat cara pandang pengurus negara maka dapat ditentukan apakah jawaban (merupakan premis minor) dapat dijadikan kesimpulan (konklusi). 


Pertama. Protes kenaikan UKT. Maka permasalahan UKT harus dicarikan jalan keluarnya. Misalnya meminta pertanggungjawaban keuangan kampus yang hendak menaikkan UKT. Apakah relevan dan logis menaikkan UKT setelah melihat keuangan kampus. 


Apakah perlu dilakukan subsidi oleh negara sebagai bentuk cara pandang “pendidikan yang harus diurus negara”. 


Namun ketika kampus diberikan kewenangan untuk mandiri, padahal “peluang” pendanaan belum maksimal dan kemudian negara “menyerahkan” ke pasar (pasar bebas/global), maka cara pandang pengurus negara kemudian menempatkan entitas kampus sebagai komodity belaka. Dan kemudian ditempatkan sebagai “kampus:” yang Mandiri didalam pendanaannya sehingga kampus menaikkan UKT tanpa harus negara “intervensi. 


Menempatkan entitas kampus dengan kemasan “Mandiri” yang kemudian diberikan kewenangan kampus untuk menaikkan UKT sekaligus negara tidak melakukan intervensi maka dipastikan cara pandang pengurus negara yang harus diluruskan. 


Dengan demikian maka solusinya adalah “mengambilalih” pendanaan kampus yang “belum Mandiri” dan kemudian melakukan intervensi ke kampus didalam pendanaan. 


Kedua. Harga cabe mencekik naik. Harus dijawab dengan persoalan mendasar. Apakah stok yang tidak mampu dipenuhi, trend kenaikkan ataupun hanya berlaku pada musim-musim tertentu. 


Sebagai pengurus negara, maka negara selain memastikan stok yang tersedia juga memastikan “kepastian panen” ataupun “penyediaan stok dari petani” atau membangun Kebijakan penyediaan “lumbung-lumbung” cabe. Sehingga kelangkaan cabe dipasaran tidak terjadi lagi. 


Ketiga. Tema tentang kecelakaan bus studi tur siswa. Cara pandang pengurus negara harus dimulai melakukan investigasi. Baik dengan “memperhatikan” kelayakkan kendaraan, membangun iklim yang Sehat terhadap penyediaan armada hingga “melarang bus” yang tidak layak digunakan untuk kegiatan studi tur siswa. 


Apabila cara pandang pengurus negara kemudian diluruskan maka “tanggungjawab” negara harus dikedepankan. Selain memberikan “melindungi seluruh rakyat Indonesia”, tanggungjawab negara didalam melihat persoalan tidak semata-mata harus “melempar tanggungjawab”. Sekaligus tidak “melepaskan” tanggungjawab negara yang hendak “cuci tangan” dari setiap persoalan. 


Dan ini dapat ditandai bagaimana “reaksi” negara didalam menyikapi persoalan diatas. 


Agar tidak terulang kembali cara pandang pengurus negara yang tetap logis membangun bingkai pemikiran dan tidak terlalu sesat (mistake/logical fallacy). 



Advokat. Tinggal di Jambi