05 Mei 2004

opini musri nauli : TRAGEDI DI KAMPUS MAKASSAR


TRAGEDI DI KAMPUS MAKASSAR 
(Pola Kekerasan terhadap aktivis non violence) 

 Biadab... 
Itu kata-kata pantas dikemukakan ketika kita melihat oknum (penulis kurang suka menggunakan istilah tersebut) polisi melakukan pemukulan terhadap mahasiswa dikampus yang nyata-nyata berjuang dengan menggunakan sikap non violence. 

 Tayangan vulgar di salah satu TV swasta Nasional dengan jelas menggambarkan bagaimana mahasiswa yang disuruh duduk sambil berbaris berjejer menuruni tangga dan dipukul kepalanya menggunakan pistol. Tayangan yang biasa kita saksikan didalam acara-acara seperti Sergap, buser dan sebagainya di TV swasta. 

Dari tayangan tersebut banyak sekali catatan yang dapat kita catat. Pertama pemukulan sekali lagi membuktikan hipotesis selama ini bahwa Polisi belum bisa melepaskan cara-cara kekerasan akibat dari pendidikan militer selama ini. 

Reformasi di tubuh Kepolisian sekali lagi masih berkutat kepada orasi para pemimpin elite di Kepolisian yang akan meninggalkan cara-cara militerisme. Kedua. Kampus dimana tempat bebas nilai termasuk pola-pola kekerasan ternyata tercemar. 

Ketiga reformasi di tubuh kepolisian jalan ditempat kalaulah tidak mau dikatakan mandeg 

 PENDIDIKAN ALA MILITERISME 

 Apabila kita melihat perjalanan panjang Kepolisian, maka pertanyaan mudah akan kita lontarkan, APAKAH POLRI telah lepas dari TNI/ABRI ?. 

Tahun 1998 merupakan momentum Polisi untuk berbenah dan kembali jati diri sebagai alat keamanan sebagaimana di negara-negara demokratis. 

Polisi menjalankan fungsinya sebagai alat keamanan dan lebih berpatokan kepada hukum yang berlaku positif. 

Maka upaya reformasi ditubuh kepolisian mulai dijalankan. Pemisahan secara simbolis Polri dari TNI ditandai dengan upacara resmi dan berbagai peraturan lainnya. 

Bahkan secara resmi kemudian Kepolisian tunduk kepada peradilan Umum sebagaimana diatur didalam UU No. 2 Tahun 2002 yang sebelumnya tunduk dibawah peradilan militer. 

Sorotan penulis juga terhadap penerapan UU No. 2 Tahun 2002 yang mendudukkan polisi pada peradilan umum seperti penembakan anggota marinir, kasus TJWI, masalah illegal logging. 

Catatan hukum 2003 juga telah menyidangkan kasus yang melibatkan anggota Polri setelah diberlakukannya UU No. 2 Tahun 2002 yang meletakkan Polisi pada peradilan Umum. (sebelumnya Polisi diletakkan pada peradilan militer). 

Kasus yang telah disidangkan tersebut seperti 100 butir ekstasi yang melibatkan anggota Provost Polda Jambi, penggelapan juga terhadap oknum anggota Polda Jambi dan kasus TJWI gate. 

Catatan ini sengaja disampaikan karena setelah diberlakukan UU tersebut maka Polisi ternyata mulai terbuka untuk memproses anggota pada peradilan umum. Polri juga kemudian melakukan perubahan radikal dengan mengganti istilah kepangkatan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di kepolisian negara lain yang sebelumnya menggunakan istilah-istilah yang sering diperlakukan dikalangan militer. Bahkan petinggi Polri kemudian mengklaim melakukan pola pendidikan dan mulai meninggalkan cara-cara militerisme didalam menyelesaikan persoalan. Upaya simbolis ini tidaklah serta merta dapat diikuti di lapangan. Para Pemimpin elite kepolisian yang sekarang memegang posisi-posisi penting sekarang merupakan tamatan pendidikan dimana pola pendidikan masih berinduk pola integrasi ABRI. Sikap dan pandangan pemimpin tersebut masih terkesan kuat dan masih mendominasi keputusan-keputusan dilapangan dalam menyelesaikan berbagai persoalan. 

 Sikap ini juga dialami anggota Polri yang merupakan ujung tombak dalam memberantas kejahatan dan langsung bersentuhan dilapangan. Berbagai kejadian penting yang dialami Polri sekali lagi membuktikan bahwa Polri masih harus berbenah dan masih jauh dari cita-cita yang diidamkan masyarakat. 

Sikap didalam mengusut kejahatan dengan melakukan kekerasan untuk membuat tersangka mengaku lebih mudah dilakukan daripada mencari barang-barang bukti untuk mengungkapkan sebuah kejahatan. 

Pola-pola yang seharusnya sudah ditinggalkan karena didalam KUHAP sendiri tidak mengenal pengakuan tersangka namun keterangan tersangka tersebut hanyalah salah satu alat bukti untuk memutuskan sebuah tindak pidana. 

Kejadian pada Kampus UMI sendiri membuktikan bahwa pola-pola kekerasan yang sering digunakan didalam mengusut kejahatan dengan mudah diberlakukan terhadap mahasiswa yang secara fisik sama sekali tidak pantas diperlakukan. Persoalan Polisi memang tidak hitam putih. 

Selain untuk mengungkap sebuah kasus yang rumit dana yang disediakan masih jauh daripada cukup, penghargaan terhadap prestasi masihlah kurang. 

Belum lagi dukungan masyarakat yang kadang-kadang antipati terhadap persoalan yang melilit polisi. 

Namun apapun jawaban sementara problema yang menghinggapi di kepolisian, pemukulan terhadap mahasiswa haruslah dihentikan. 

 Kampus steril dari pola-pola kekerasan Kampus sebagai lembaga ilmiah adalah tempat dimana nilai-nilai demokrasi, penghormatan pendapat dan berbagai lembaga-lembaga ilmiah tumbuh dan berkembang. Sebagai tempat mendidik dan menumbuhkan nila-nilai ilmiah, pola-pola kekerasan tidaklah tepat ada dikampus.

 Kampus juga merupakan kawah candradimuka mendidik generasi bangsa dalam berbagai periode zaman. Tahun 1928, kita masih ingat, bagaimana dimana konsentrasi tekanan akibat penjajahan Belanda, mahasiswa Indonesia berikrar untuk melepaskan dari cengkraman penjajahan. 

Dan aktivis mahasiswa inipun berdampak. Dalam tahun 1900-an dimana strategi perjuangan bangsa Indonesia lebih menitikberatkan kepada perjuangan politik dan pendidikan terhadap pejuang Indonesia kemudian diperlakukan pasal-pasal yang tercantum dalam KUHP (Haatzakai Artikelen). 

 Tokoh-tokoh seperti Soekarno yang dipenjara karena mendirikan Partai melakukan perlawanan yang didalam persidangan membuat judul “INDONESIA MENGGUGAT”. Tahun 1945 dan tahun 1965, juga melahirkan tokoh-tokoh yang mewarnai perjuangan Revolusi. 

Mahasiswa merupakan pilar terdepan didalam meruntuhkan pemerintahan yang dianggap tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. 

Dan tahun 1998 pun mahasiswa mencatat tinta emas yang berhasil “melengser-keprabonkan” Soeharto sebagai tokoh yang paling ditakuti pada saat itu. Buah reformasi tahun 1998 inilah yang kemudian berhasil memisahkan Polisi dari militer dan kembali sebagai alat keamanan sipil. Dari catatan sederhana tersebut, maka sangatlah tidak pantas apabila pemukulan Polisi di kampus UMI. Selain daripada sikap Polisi masih menggunakan cara-cara kekerasan dan tentu saja tidak mendidik, lembaga kampus harusnya jauh dari pola-pola kekerasan. Dan cara-cara menggunakan kekerasan sekali lagi haruslah diberi ruang catatan penting untuk melihat dan memantau kinerja Kepolisian dalam masa reformasi sekarang ini. Sesungguhnya kekerasan di Indonesia merupakan bentuk ekspresi dari pendidikan politic yang salah. Dalam masa pemerintahan Belanda, perbedaan pendapat antara pemerintahan penjajah dengan pejuang Indonesia dalam merebut kemerdekaan, lebih banyak diselesaikan dengan peperangan. Perang Padri, Perang Diponegoro dan perang gerilya lainnya diseluruh Indonesia merupakan bentuk perlawanan dari bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan. 

Belanda dengan kekuatan-nya kemudian menumpas habis dan taktik becah belah dan kuasai lebih dominan (devide et impera). 

Dari seluruh ingatan sejarah yang telah diuraikan, benang merah dari perjalanan sejarah Indonesia, pada Pemerintah Soeharto, dalam menyelesaikan perbedaan pendapat lebih suka dengan menggunakan cara-cara kekerasan (terror by state).

 Fungsi militer dalam menghadapi musuh negara yang mengancam kedaulatan negara dikembangkan dan lebih variatif untuk berhadapan dengan rakyat. 

Maka proses menjadi Kepala Daerah dengan alasan keamanan lebih ditentukan kepada kepentingan militer. 

Hampir praktis kepala Daerah dipegang oleh militer. Fungsi Intelijen lebih dimaknai kepada kepentingan “mata-mata” terhadap kegiatan rakyat. Izin dan screening lebih dominan. Kampus-kampus digeledah, rapat dibubarkan dan organisasi dilarang berdiri. Hampir praktis seluruh kendali ditangan Soeharto. Sikap monoloyalitas lebih diutamakan. Maka seluruh sector kehidupan praktis tunggal. Pemuda, buruh, tani, perempuan, ulama, berwadah di organisasi tunggal. 

 Cara-cara kekerasan ini dapat kita lihat seperti tragedy Malari (Petaka 5 Januari 1974), Kedung Ombo, Tanjung Priok, Kuda Tuli (Kerusuhan 27 Juli 1996), Tim-tim dan sebagainya. 

Namun dalam masa reformasi, waktu dimana seluruh kesalahan kolektif Bangsa ini harus diperbaiki dan kembali merumuskan identitas berbangsa-bernegara, cara-cara menyelesaikan perbedaan pendapat masih menggunakan cara-cara barbar dan tidak beradab. 

Apabila pada Pemerintahan Soeharto, cara-cara kekerasan dilakukan oleh negara dengan alat-alat kekuasaanya, maka pada pemerintahan sekarang perbedaan pendapat dengan rakyat justru dibenturkan dengan rakyat itu sendiri. 

Dan Tragedi di Kampus UMI Makassar membuktikan hipotesis diatas bahwa pola-pola kekerasan masih digunakan dan tentunya jauh dari harapan masyarakat. 

Dari catatan kecil yang telah penulis uraikan diatas, maka sudah sepantasnya proses penyelesaikan tragedi UMI tidaklah selesai dengan digantinya beberapa elite Kepolisian disana. P

engusutan tuntas kasus ini mutlak harus dilakukan. Bahkan penulis sendiri masih ragu apakah kasus ini hanyalah kasus pemukulan saja atau ada upaya sistematis pelanggaran HAM. 

Jawaban itu mutlak kita perlukan sebagai bentuk sikap kita disatu sisi ingin kasus ingin diusut tuntas namun disisi lain kita masih memerlukan Polisi sebagai alat untuk menimbulkan rasa aman.