(Multi tafsir UU No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers)
Beberapa waktu yang lalu, penulis menghadiri seminar yang diadakan oleh Harian Jambi Ekspres dan Harian Jambi Independent.
Seminar yang membahas tentang dunia pers mendatangkan Hinca IP Panjaitan Direktur Eksekutif Badan Bantuan hukum dan Advokasi Kemerdekaan Pers, Abdullah Alamudi dari Lembaga Pers Dr. Soetomo, Leo Batubara dari Serikat Penerbit Suratkabar, Syamsuddin Noer dari Ketua PWI Jambi dan pihak kepolisian yang dalam hal ini diwakili oleh Joko Turahman dari dunia Humas Polda Jambi.
Seminar yang bertujuan untuk mendiskusikan tentang dunia pers ternyata lebih banyak bermuatan “sosialisasi” UU Pers. Peserta yang sebagian besar dari kalangan kaum pers hanya merasakan “semangat” kehidupan dunia pers ternyata mengakui bahwa belum pernah membaca UU No. 40 tahun 1999 Tentang Pers.
Sebuah ironi yang haruslah menjadi otokritik kita semuanya sebagaimana dipaparkan oleh Hinca IP Panjaitan.
Pada kesempatan tersebut, juga diluncurkan buku yang berjudul ‘MENEGAKKAN KEMERDEKAAN PERS: “1001 Alasan undang-undang Pers Lex Spesialis, Menyelesaikan Permasalahan Akibat Pemberitaan Pers”.
Secara lugas penulis didalam kata pengantarnya memaparkan bahwa UU No. 40 Tahun 1999 merupakan ketentuan khusus yang mengatur tentang pelaksanaan jurnalistik, mulai dari mencari, memilah dan memberitahukannya sampai ke mekanisme penyelesaian permasalahan yang timbul akibat pemberitaan pers. Hinca IP Panjaitan juga memaparkan pemikirannya bahwa wartawan tidak dapat dihukum dengan menggunakan KUH Pidana sebagai suatu ketentuan yang umum (lex generali).
Dalam hal ini berlakulah asas yang universal berlaku, lex specialis derogat legi lex generali. Ketentuan khusus mengenyampingkan ketentuan umum. UU Pers adalah lex specialis, sedangkan KUH Pidana adalah lex generali.
Asas ini menjadi sangat penting dalam upaya menegakkan kemerdekaan pers.
Dalam penjelasan lebih lanjut di halaman 6, Hinca IP Panjaitan menyatakan bahwa UU Pers itu lex specialis, karena memang diperuntukkan hanya mengatur dan menyelesaikan permasalahn yang timbul akibat peran dan fungsi pers menjalankan kegiatan jurnalistik.
Hal ini secara tegas diatur dalam rumusan Pasal 1 angka 1 UU Pers. Artinya yang diatur adalah hanya terbatas pada kegiatan wartawan dalam menjalankan fungsi jurnalistik.
Diluar kegiatan kegiatan jurnalistik berlakulah undang-undang lain yang sesuai. UU Pers, sekali lagi khusus mengatur pelaksanaan kegiatan jurnalistik.
Oleh karena itu, ditegaskan bahwa untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, undang-undang ini tidak mengatur yang tumpang tindih, undang-undang ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dari pemaparan ini, sebenarnya penulis berharap banyak, mengapa Hinca IP Panjaitan menyatakan bahwa UU No. 40 Tahun 1999 merupakan lex specialis terhadap kegiatan jurnalistik dibandingkan dengan KUHP ?
Walaupun secara lugas telah dipaparkan didalam kata pengantar dan dijelaskan kemudian di halaman 6, penulis sama sekali tidak menemukan jawaban atas pertanyaan penulis diatas.
Apabila menggunakan analogi yang telah dipaparkan oleh Hinca IP Panjaitan bahwa wartawan tidak dapat dihukum dengan menggunakan KUH Pidana sebagai suatu ketentuan yang umum (lex generali).
Dalam hal ini berlakulah asas yang universal berlaku, lex specialis derogat legi lex generali. Ketentuan khusus mengenyampingkan ketentuan umum. UU Pers adalah lex specialis, sedangkan KUH Pidana adalah lex generali.
Setelah penulis membolak balik UU No 40 Tahun 1999 yang berisikan 21 pasal tersebut, pertanyaan penulis tidak terjawabkan.
Bahkan pernyataan Hinca IP Panjaitan sekali tidak dapat penulis temukan didalam UU No. 40 Tahun 1999 tersebut.
Didalam KUHP Kejahatan pers (drunk pers misdriven) telah diatur didalam pasal 61 dan pasal 62 KUHP. Pasal 61 (1) “jika kejahatan dilakukan dengan mempergunakan percetakan, maka penerbit tidak dapat dituntut, jika pada barang cetakan itu disebutkan nama dan tempat tinggalnya dan si pembuat itu sudah diketahui atau pada waktu diberi peringatan, yang pertama kali sesudah penuntutan mulai berjalan, diberitahukan oleh penerbit”.
Menurut R. Soesilo, pasal ini tidak menjelaskan masuk golongan yang manakah seorang penerbit itu dalam hal dilakukan kejahatan dengan mempergunakan percetakan, masuk turut melakukan (medepleger), atau membantu melakukan (medeplichtig). Dalam praktek penerbit itu dianggap sebagai membantu melakukan (medeplictig).
Sementara itu pasal 62 (1) menerangkan bahwa “jika kejahatan dilakukan dengan mempergunakan percetakan, maka pencetak (drukker) sebagai demikian tidak dituntut, jika pada barang cetakan itu disebutkan nama dan tempat tinggal pencetak dan orang yang menyuruh mencetak sudah diketahui, atau pada waktu diberi peringatan yang pertama kali sesudah penuntutan mulai berjalan, diberitahukan oleh pencetak.
Dengan demikian secara ringkas penulis memaparkan bahwa kejahatan pers (drunk pers misdriven) tidak dapat dipisahkan tanggung jawab pribadi kepada yang melakukan kejahatan tersebut.
Maka tanggung jawab wartawan dalam hal ini berlaku sebagaimana diatur didalam pasal 61 dan pasal 62 KUHP.
Lantas dimana dalil lex specialis derogat legi lex generali dapat kita temukan dalam kejahatan sebagaimana diatur didalam pasal 61 dan pasal 62 KUHP tersebut.
UU No. 40 Tahun 1999 sama sekali tidak menerangkan perbuatan kejahatan sebagaimana diatur didalam pasal 61 dan pasal 62 tersebut diatur didalam UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers.
Atau dengan kata lain, UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers secara tegas tidak menyatakan pasal 61 atau pasal 62 tidak berlaku lagi.
Artinya pernyataan tentang UU No. 40 1999 menjadi lex specialis terhadap KUHP tidak terjawab.
Bandingkan dengan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Misalnya pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12 dan Pasal 13 merupakan pasal-pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang kemudian ditarik menjadi tindak pidana korupsi. (Lihat Lilik Mulyadi, SH, Tindak Pidana Korupsi : Suatu Tinjauan Khusus terhadap proses penyidikan, penuntutan, peradilan serta upaya hukumnya menurut UU No. 31 Tahun 1999).
Sehingga prinsip lex specialis derogat legi lex generali terpenuhi.
Artinya pasal-pasal yang diatur didalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Korupsi berlaku dan mengenyampingkan pasal-pasal dalam KUHP.
Atau ada pemikiran lain tentang penafsiran UU No. 40 Tahun 1999.