02 Mei 2004

opini musri nauli : Hukuman Mati dan matinya hukum di Indonesia


Beberapa hari yang lalu, penulis membaca berita di harian nasional tentang belum dilaksanakannya hukuman mati terhadap pelaku dalam tindak kejahatan narkoba. 


Sebagai sebuah berita, tentunya tidak ada hal yang menarik untuk kita simak dimana seluruh konsentrasi nasional sedang dicurahkan terhadap proses penghitungan suara di berbagai daerah dan prediksi anggota parlemen yang akan duduk mewakili kita. 

Dan tentunya berita itu sekaligus juga tidak menarik perhatian kita dimana kita masih asyik melihat akrobat para pemimpin negeri ini untuk membangun koalisi mengejar RI 1. Berita tentang hukuman mati sebenarnya berita akan kerinduan publik terhadap tegaknya hukum di Indonesia. 

Berita- berita yang memaparkan tentang putusan pengadilan terhadap perkara narkoba terutama terhadap penyelundup barang-barang ini seringkali diputuskan oleh Pengadilan Negeri Tangerang. Pengadilan ini kemudian terkenal sebagai pengadilan yang garang untuk perkara ini. 

Berita-berita ini kemudian menjadi headline dan menjadi perhatian nasional. Tindak pidana dibidang narkoba terutama penyelundup di Indonesia memang memprihatinkan. Dalam catatan akhir Yayasan Keadilan Rakyat tahun 2003, kejahatan ini sudah meranah ke berbagai lintas batas. Kejahatan narkoba ternyata sudah melewati batas daerah kota – Desa. 

Dalam peristiwa ini penulis melihat ketika Penjaga kolam ikan Kebun Handil Jambi menjual ganja dituntut 30 bulan penjara (Februari), Pengedar Putaw di Solok Sipin Jambi dihukum 4 tahun penjara (Januari), Bandar shabu-shabu ditangkap didaerah Sungai Asam Jambi (Februari), Petinju jambi terkait kepemilikan 1,646 gram daun ganja kering ditangkap Tanggo Rajo Ancol Jambi (maret), Dua orang pengguna ganja, seorang anak anggota DPRD Sarolangun tertangkap di Mandiangin karena mengisap ganja (maret), 20 kg ganja ditangkap dalam bus PMTOH di Jalan Jambi –Sengeti (Maret), Pengedar ekstasi ditangkap di Kelurahan Simpang III Sipin Jambi (Agustus), Ibu Rumah tangga pengedar ekstasi di Tungkal (Agustus), Pengedar ganja di Lrg kenangan II Kelurahan Simpang IV Sipin Jambi (Agustus), Pelakunya adalah sipir di Lembaga Pemasyarakatan Jambi (Juni), Seorang kakek mengedarkan ekstasi di didepan Hotel Surya (Juni), Warga Aceh diadili karena memiliki 20 Kg ganja. Bahkan dalam hitungan tahun ini saja, pengguna narkoba ini sudah masuk ke wilayah domestik seperti sepasang suami istri dan kakak beradik. 

Dalam berbagai tayangan di televisi, kejahatan narkoba juga tidak mengenal status sosial. Baik dimulai dari golongan pemuda yang nongkrong dan mabuk di pinggir jalan sampai pejabat penting dalam pesta narkoba tersebut. 

Sehingga rasa simpati masyarakat terhadap kejahatan ini mudah dimengerti karena praktis berbagai sendi kehidupan masyarakat terganggu. Kejahatan narkoba telah meninggalkan catatan yang jelek di Indonesia. 7 orang dari 10 orang remaja di Indonesia pernah menggunakan narkoba. 

 Dan runtutan kejahatan narkoba juga mempengaruhi pergaulan remaja dan kejahatan lainnya seperti perkelahian, pencurian dan sebagainya. 

Sehingga rasa geram masyarakat terhadap kejahatan ini yang menimbulkan rasa simpati masyarakat terhadap hakim yang memutuskan hukuman mati terhadap para pengedar dan penyeludup narkotika tersebut. 

Ketika putusan tersebut telah dibacakan oleh majelis hakim yang berpihak kepada kepentingan masyarakat dengan memberikan hukuman mati, maka tugas pengadilan sebagai telinga masyarakat telah selesai. 

Putusan ini kemudian yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan haruslah dilaksanakan oleh kejaksaan. 

Namun sebelum putusan ini dilaksanakan, pihak yang tidak menerima putusan ini masih mempunyai hak untuk melakukan perlawanan baik itu banding ataupun kasasi. Putusan kasasi ini sebenarnya telah dapat dilaksanakan namun para pihak masih dapat meminta pengampunan kepada presiden. Dalam berita yang penulis baca di harian nasional tersebut, upaya ini telah dilakukan para pihak sehingga tidak ada alasan hukum lainnya untuk tidak melaksanakan putusan tersebut yaitu hukuman mati. Dengan kata lain tidak dilaksanakannya hukuman mati tersebut dapat ditafsirkan sebagai matinya penegakkan hukum di Indonesia. Wacana yang ingin penulis tawarkan bukanlah terhadap tidak dilaksanakannya hukuman mati tersebut. Namun penulis ingin mengupas sedikit tentang berbagai tema tentang hukuman mati. Hukuman mati dijalankan oleh algojo ditempat penggantungan dengan menggunakan sebuah jerat di leher terhukum dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri. Lihat Pasal 11 Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 

Karena ketentuan tentang pelaksanaan pidana mati sebagaimana tersebut dalam pasal 11 ini tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan serta jiwa revolusi Indonesia, maka dengan Penpres No. 2 Tahun 1964 pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan ditembak sampai mati disuatu tempat dalam daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan dalam tingkat pertama. 

Dahulu di Indonesia hukuman mati dilakukan dengan cara seperti dibakar hidup-hidup pada suatu tiang, dimatikan dengan menggunakan keris, dipukul, dipukul dengan rantai dan sebagainya. 

Di negara lain, hukuman mati dilakukan dengan cara memakai kursi listrik, gas beracun. 

Di Perancis memakai alat pemenggal kepala yang disebut “quilotine”. Ada pula negara yang memakai cara pemenggalan kepala dengan pedang. 

Sejak pemulihan kedaulatan Republik Indonesia sampai sekarang masih dihitung putusan pengadilan yang telah melaksanakan hukuman mati diantaranya perkara terdakwa Hamzah dalam peristiwa pembunuhan Ali Bajened, 3 terdakwa peristiwa Cikini, terdakwa Allen Lawrence dalam peristiwa pemboman di Ambon dan terdakwa Husni bin Kasdut dalam perkara perampokan di museum. 

Perdebatan tentang hukuman mati di Indonesia pernah mewarnai wacana tahun 1980-an. Saat itu Sengkon dan Karta yang berdasarkan putusan pengadilan Negeri haruslah menjalani hukuman mati dalam suatu tindak pidana. 

Namun kemudian terbukti pelaku tindak pidana tersebut bukanlah Sengkon dan Karta. Sebagian ahli hukum menyatakan bahwa Sengkon dan Karta bukanlah pelakunya maka tidaklah pantas untuk menerima hukuman yang bukan dilakukannya. 

Sehingga prinsip hukum untuk mencari keradilan tidaklah terpenuhi. 

Kalangan ahli hukum ini kemudian menolak terhadap penerapan hukuman mati karena tidak terpenuhinya unsur esensial dari hukum yaitu menimbulkan effek jera dan apabila ditemukan yang telah menjalani hukum mati tersebut kemudian keliru dikemudian hari maka tidaklah dapat dilakukan dilakukan perubahan sebagaimana mestinya. 

Klaim pembelaan dari aliran ahli hukum tersebut juga didasarkan kepada prinsip-prinsip HAM yaitu tidaklah dapat seseorang dicabut haknya oleh siapapun. 

Hak yang dimaksud tentunya adalah hak untuk hidup yang merupakan hak yang paling hakiki dalam prinsip-prinsip HAM. Perjuangan ini kemudian dikampanyekan dan menjadi agenda perjuangan HAM untuk menolak hukuman mati. 

Namun disatu sisi, sebagian kalangan justru mendukung terhadap penerapan hukuman mati tersebut. 

Tentunya dengan dibuat kriteria yang ketat terhadap tindak kejahatan yang “sungguh-sungguh luar biasa”. 

Alasan aliran ahli hukum tersebut adalah bahwa penerapan hukuman mati akan memberikan effek jera untuk siapapun tidak melakukan perbuatan yang dilarang. Dan tentu saja rasa aman dari masyarakat terhadap perbuatan pelaku terhadap perbuatan tersebut. 

Terlepas dari wacana penerapan hukuman mati tersebut, didalam berbagai ketentuan perundang-undangan, kita secara normatif masih mengenal hukuman mati. 

Selain diatur didalam Kitab undang-undang Pidana, hukuman mati juga dapat diperlakukan terhadap tindak pidana diluar KUHP. 

Tindak pidana korupsi juga mengenal hukuman mati sebagaimana diatur didalam Pasal 2 ayat 2 UU No. 31 Tahun 1999. 

Tindak pidana narkoba juga mengenal hukuman mati sebagaimana diatur didalam pasal 59 UU No. 22 Tahun 1997. 

Sebaran hukuman mati juga tercecer dalam berbagai hukum nasional lainnya. 

Secara politis, tindak pidana dalam kejahatan tertentu dimana penerapan hukumannya adalah hukuman mati sering dikampanyekan berbagai negara. 

Di Malaysia, tindak pidana dadah (kata lain penyelundup narkotika) sering menggegerkan internasional dengan menerapkan hukuman mati. 

Di China, elite pemerintahan juga memperlakukan hukuman mati terhadap pelaku korupsi. Di negara-negara yang berlatar belakang agama, juga menerapkan hukuman mati. 

Dalam pandangan penulis, hukuman mati selain bertentangan dengan HAM, hukuman mati juga melanggar hak yang paling hakiki yaitu hak orang untuk hidup. 

Penerapan terhadap hukuman mati selain juga tidak memberikan hak terdakwa untuk melakukan perbaikan dalam masa sisa hidupnya, juga akan menghilangkan hak terdakwa untuk membuktikan bahwa apabila dikemudian hari terbukti bukan terdakwa pelakunya, ataupun terdakwa tidaklah pantas menerima hukuma itu. 

Namun secara normatif, penulis menghormati terhadap kampanye penerapan hukuman mati terhadap kejahatan tertentu seperti makar (kejahatan terhadap negara), penyeludup narkoba, korupsi, kejahatan HAM dan perusak lingkungan. Tentunya para pihak diberikan kesempatan yang sama untuk tampil dimuka persidangan membuktikan perbuatannya. 

Dan para pihak juga mendapatkan hak untuk pengadilan yang jujur dan adil. Apabila proses ini telah dilalui, dengan tidak mengurangi rasa hormat, pelaksanaan hukuman mati tersebut haruslah segera dilaksanakan. 

Sehingga kepastian tegaknya hukum formal di Indonesia dapat terwujud. 

Namun apabila seseorang yang sudah semestinya melaksanakan hukuman mati tersebut tidak dilaksanakan, maka dengan rasa hormat pula penulis mengucapkan “MATINYA HUKUM DI INDONESIA” 

Media Jambi, 26 April – 2 Mei 2004