13 Desember 2004

opini musri nauli : GENERASI KORUPSI DAN GENERASI EKSTASI


Tahun 2004 dalam hitungan detik sebentar lagi akan berakhir. Kita akan masuk Tahun 2005. 

Tahun dimana sudah seharusnya kita taburkan harapan, cita-cita dan berbagai asa untuk memperbaiki kesalahan, menggapai harapan yang belum terkabul tahun ini. 

Tahun 2005 merupakan tahun hidup kita akan lebih baik dan tentu saja akan memberikan warna kita terhadap masa depan yang lebih baik. 

 Sebelum kita menggali harapan tahun 2005 dan berbagai prediksi politik yang terjadi tahun 2005, sudah sepantasnya, tahun 2004 haruslah kita beri ruang untuk mengapresiasikan sebagai bentuk menatap masa depan yang lebih baik. 

Paparan judul yang penulis tengahkan sebagai bahan diskursus tersebut, merupakan wujud dari pengamatan penulis dilihat dari sudut pandang sosiologis dengan alas dasar yuridis formil. 

Apabila pandangan ini ternya memberikan effek yang keliru didalam menafsirkan pengamatan tersebut, maka sudah sepantasnya diskursus itu menjadi wacana menarik untuk dibahas. 

 Judul ini sengaja memberikan paradog terhadap sistem kemasyarakatan dan sistem hukum di Indonesia. 

Judul ini sengaja penulis paparkan sebagai bagian dari sistem pembahasan untuk melihat konteks dari ide-ide yang mengalir dari penulis. Judul yang dipaparkan dapat dilihat dari dua sudut pandang. 

Pertama sudut pandang sosiologis dan sudut pandang yuridis. 

Pembahasan dari dua sudut pandang tersebut merupakan warna yang tidak dapat dihindarkan dalam pembahasannya. 

 Judul ini juga memberikan penilaian yang “subyektif” terhadap sistem kemasyaratan. 

Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa Indonesia adalah negara kepulauan yang paling unik. Ribuan pulau terpisah selat dan laut menyebar dari ujung barat Sumatera sampai pojok timur Irian. 

Mempunyai tradisi panjang untuk merawat budaya bangsa, kekayaan, penguasaan teknologi yang bersendikan kepada alam, ragam bahasa, etnik, dan berbagai atribut kebudayaan yang berbasiskan kepada “guyup”, berbudaya “komunal”, kekeluargaan dan berbagai aksesoris yang sampai sekarang masih terawat dengan baik. 

Pencanangan sebagai negara agraris merupakan jawaban sementara dalam alam pemikiran “mistis, irrasional”. 

Dari titik tolak ini, maka “peristiwa mudik” yang mampu menyihir manusia melakukan “perjalanan ritual batin” memindahkan manusia dari satu pulau ke pulau lain, secara nasional, pada waktu yang bersamaan namun tertib dapat dijawab dari sudut pandang pemikiran ini. 

Artinya peristiwa mudik dapat dijabarkan dari sudut pemikiran “mistis, irrasional” walaupun disatu sisi pelakunya adalah masyarakat urban, yang sehari-hari bergelut dengan putaran kehidupan modern, mengisi jadwal hidupnya secara tertib. Dan menurut penulis, peristiwa mudik merupakan peristiwa nasional yang dari literatur berbagai penulis temukan, praktis tidak ada negara di dunia yang mengalami seperti di Indonesia. 

Dan walaupun secara nasional merupakan peristiwa “rutinan” namun terus berlangsung hingga sekarang. 

 Dari sudut pandang ini sebenarnya, tawaran penulis adanya dua generasi yaitu Generasi Korupsi (GK) dan Generasi Ekstasi (GX). 

Tawaran judul ini sekali lagi membantah dalil dari sudut pemikiran “irrasional, mistis” tersebut. Generasi Korupsi dilihat dari sudut sosiologis adalah generasi yang melakukan korupsi dalam kewenangan mengelola negara. 

Orang Indonesia mungkin tak terlalu sadar bahwa seluruh jalan hidupnya terperangkap dalam suata jeratan jaringan korupsi yang membelit. Mulai dari bangun tidur pagi hingga siap tidur di malam hari, dari lahir hingga diantar ke liang kubur dan juga menentukan kuburan dimana dan sampai kapan, korupsi menguasai seluruh kehidupannya. 

Mengurus surat kelahiran, mendaftarkan anak ke kelompok anak bermain, memasukkan anak ke sekolah dan universitas, mendapat pekerjaan, mengurus pensiun, pulang mudik, mendapat pengobatan, semua peristiwa penting dalam jalan hidup manusia Indonesia. 

Dari paling primitif hingga yang sangat canggih. 

Bentuknya beraneka raga, dari mencuri uang di brankas, memotong uang proyek, mengatrol harga, menuntut komisi dari para kontraktor, mengutip uang dari penerima lisensi atau bahkan menjualbelikan lisensi, sampai menghadiahkan saham kosong kepada pejabat. 

Korupsi yang lebih canggih berbentuk pencucian uang, penipuan terhadap bank milik sendiri, mengeluarkan peraturan yang menguntungkan kelompok tertentu, menjalin hubungan saling menguntungkan antara kekuatan politik dan perusahaan besar. Webster’s Third New International Dictionary mencantumkan definisi korupsi sebagai “ajakan (dari seorang pejabat publik) dengan pertimbangan-pertimbangan yang tidak semestinya untuk melakukan pelanggaran tugas”, suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai tindak korupsi jika mengandung unsur-unsur : pelaku atau beberapa orang pelaku, adanya tindakan yang melanggar norma-norma yang berlaku, adanya unsur merugikan keuangan negara atau kekayaan negara atau masyarakat, baik langsung maupun tidak langsung, adanya unsur memperoleh keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. (Junaidi Soewartojo, 1997). 

Diantara berbagai definisi korupsi, rumusan Bank Dunia merupakan definisi yang cukup singkat tapi luas cakupannya, yaitu “penyalahgunaan kewenangan publik untuk memperoleh keuntungan pribadi (the abuse of public office for private gain)”. Pada tahun 1982, dalam wawancara dengan majalah Eksekutif, Laksamana Soedomo, yang waktu itu ketua Operasi Penertiban Pusat (Opstibpus) mengutarakan pengertian korupsi secara sederhana, “sebenarnya pengertian korupsi ada 3, pertama menguasai atau mendapatkan uang negara dengan berbagai cara secara tidak sah dan dipakai untuk kepentingan sendiri, kedua, menyalahgunakan kewenangan (abuse of power). 

Wewenang itu disalahgunakan untuk memberikan fasilitas dan keuntungan yang lain. Yang ketiga, adalah pungutan luar atau pungli. 

Pungli ini interaksi antara dua orang, biasanya pejabat dengan warga masyarakat, yang maksudnya si oknum pejabat memberikan sesuatu fasilitas dan sebagainya, dan oknum warga masyarakat tertentu memberikan imbalan atas apa yang dilakukan oleh oknum pejabat yang bersangkutan. (Eksekutif, Nomor 39, September 1982, Wawancara Soedomo: “Ada Political Will”) 

 Membicarakan korupsi di Indonesia tidak akan pernah habis-habisnya. Lembaga yang selalu memberikan peringkat terhadap pelayanan kepada publik dan indeks tingkat korupsi di berbagai negara, cenderung menempatkan posisi Indonesia tidak pernah beranjak naik dari posisi yang jelek dan cenderung korupsi. Paparan singkat ini sebenarnya hanyalah memberikan pemahaman, bahwa pernik-pernik korupsi sudah membahayakan. 

Korupsi tidak mampu “melumasi” perekonomian negara, mengoyak-ngoyak duit negara persis seperti tikus busuk, mengakibatkan biaya tinggi, merusak tatanan perekonomian dan hukum disuatu negara, membangun oligarkhi politik antara pemilik modal dan pemegang kekuasaan, menciptakan struktur politik yang aneh, dan berbagai akibat lainnya yang sebenarnya secara tidak langsung dirasakan oleh rakyat. 

Maka apabila “pernyataan” perang yang dicanangkan oleh SBY-JK dapatlah dimengerti karena upaya pemberantasan korupsi merupakan upaya yang dilakukan secara luar biasa dan terus menerus. 

Dan ketika paparan ini semakin menjawab ketakutan kita, maka pada periodic ini sebenarnya, penulis hanyalah memaparkan bahwa asumsi yang penulis ingin sampaikan adalah adanya komunitas dalam periode yang melakukan perbuatan korupsi yang kemudian penulis beri nama ‘GENERASI KORUPSI” (GK). 

GK sebenarnya generasi secara umur diatas, diatas usia penulis. Selain karena usianya diatas usia penulis, GK memegang posisi penting dan punya kewenangan untuk melakukan korupsi. GK telah membangun komunitas yang baik dan mempunyai hubungan birokrasi yang panjang. 

GK merupakan komunitas, yang secara langsung bersentuhan dengan periode kepemimpinan Soeharto, mengalami doktrinasi P4, mengalami masa jaya-jayanya menjadi birokrat, sangat memahami kata-kata “orde baru, pembangunan, stabilitas”, kurang kritis, berbudaya pangreh praja, menerima pendapat tanpa reserve, menyelesaikan problematik kehidupan dengan cara-cara mistis seperti percaya kepada hal-hal gaib, menggunakan jimat, dukun, namun kadang-kadang kurang menguasai teknologi seperti, internet, komputer, handphone, sms-an, chatting. 

GK merupakan pewaris dan peletak dasar-dasar pembangunan, pencetus orde baru, pelaksana program top down, memahami birokrat dari sudut pandang budaya. GK merupakan periode peralihan antara suasana “pergerakan” Soekarno dan transisi reformasi. 

GK menguasai sektor kehidupan, mulai dari birokrat tulen, pemimpin elite keagamaan, pemimpin elite kemasyarakatan, tokoh partai. GK adalah generasi dimana generasi hanyalah mengenal satu pemimpin, satu kata tanpa adanya nilai-nilai demokrasi. GK inilah yang menguasai dan tengah berkuasa kemudian melahirkan Koruptor-koruptor dan komunitas inilah yang penulis sampaikan sebagai generasi Korupsi. 

Sedangkan generasi setelah GK adalah GENERASI EKSTASI (GX). GX adalah generasi yang tidak bersentuhan dengan ideolog-ideolog dan tokoh-tokoh pergerakan seperti Soekarno dan lainnya. GX adalah komunitas generasi yang membaca buku melalui dunia maya via internet, memahami dunia dengan pandangan baru, mengenalkan fashion dalam penampilan, menjaga citra, mengenal berbagai pernik-pernik teknologi, menggantikan fungsi surat dengan message, tergantung kepada teknologi dan menggunakan uang dengan sistem uang plastik (kredit card). 

GX menguasai berbagai penyimpangan pergaulan, membiasakan free sex, menafikan makna “virgin” (perawan), menerima pendapat dengan nalar, menyelesaikan problematik dengan ketergantungan obat-obatan, seperti shabu-shabu, putaw, Ekstasi, ganja, heroin, alkoholic dan sebagainya. GX merupakan anak kandung “globalisasi”, dilahirkan dalam kandungan orde baru, tapi justru menolak simbol-simbol orde baru. GX lahir tanpa sentuhan ideolog-ideolog selain hedonisme. GX merupakan komunitas generasi yang sedang “berproses” dan berinteraksi dengan jaman-nya. 

Memahami nilai-nilai demokrasi dengan cara sederhana, mampu menggalang dan memobilisir suatu event walaupun hanya peragaan busana dalam show 17 Agustusan. GX inilah yang merupakan generasi mendatang yang akan memimpin Republik ini. GX sekarang sedang memimpin bisnis yang bersentuhan dengan entertainment, gaya hidup dan sebagainya. 

Sebagai bagian dari dunia yang semakin mengglobal, GX memahami dunia itu. GK dan GX telah mewarnai perjalanan bangsa. GK dan GX tahun 2004 ternyata telah menghiasi ruang peradilan di Jambi. 

GK dan GX telah memberikan peradilan menjadi sorotan publik. GK dan GX telah memberikan penilaian yang subyektif terhadap proses penegakkan hukum. 

GK dan GX telah menghiasi media massa baik karena yang terlibat “orang-orang penting”, juga karena putusannya yang dianggap oleh sebagian masyarakat belum memenuhi rasa keadilan masyarakat. GK dan GX telah memberikan arti kepada kita, bahwa makna tindak pidana yang mereka lakukan membuat kita harus berfikir untuk masuk kedalam komunitas tersebut. Membandingkan keduanya, sebenar rasanya tidak adil. 

Selain karena GK dan GX terletak dari komunitas yang berbeda sebagaimana telah diuraikan, GK dan GX juga merupakan komunitas yang berjarak dengan komunitas diluar mereka. GK dan GX dalam kehidupan sehari-harinya telah mampu menyihir menjadi kelas baru dan terpisah dari komunitas mereka sendiri. 

GK dan GX masuk kedalam sistem kemasyarakatan, namum mampu beradaptasi dengan jaman, bertahan dan mampu melindungi diri sendiri dari komunitas dan tuntutan jaman. 

GK dan GX merupakan komunitas yang satu dengan yang lain bisa bersentuhan, berjarak ataupun terpisah. Komunitas satu dengan komunitas lainnya dalam melakukan dan berinteraksi lebih banyak dalam lapangan kemasyarakatan.

 Dan kedua komunitas tersebut, sekali lagi menjawab asumsi sampaikan bahwa kedua komunitas ini lahir, dan mewarnai perjalanan politik dan hukum di Indonesia. 

Apakah anda setuju dengan paparan yang telah penulis sampaikan ? Merupakan kehormatan bagi penulis, apabila tawaran ini disikapi secara serius dan menjadi diskursus untuk dibahas.