09 Desember 2004

opini musri nauli : KEMATIAN MUNIR, KEMATIAN HAM ?

KEMATIAN MUNIR, KEMATIAN HAM ? 
(Otokritik Pengungkapan kasus HAM di Indonesia) M. Musri Nauli, SH Jambi Ekspress, 9 Desember 2004 



 Dalam beberapa waktu terakhir ini, berita tentang kematian Munir menyentak perhatian penulis. 

Sebagai salah seorang yang “pernah” mengenal Munir, kematian yang kemudian menyulut kontroversi terlalu hina diberikan kepada Munir. Seorang “pejuang” HAM yang berkarya dalam pengungkapan kasus HAM di Indonesia sungguh-sungguh tak pantas menerima nasib seperti. Apakah ini merupakan pertanda pengungkapan kasus HAM akan mati ? Penulis pertama kali bertemu dengan Munir dalam diskusi di YLBHI. Waktu itu seingat penulis, Munir menjadi Deputi Direktur YLBHI (Deputinya Bambang Widjoyanto). Penulis sendiri waktu itu masih menjabat sebagai Korwil SBSI Jambi. 

Masuknya Munir kedalam jajaran YLBHI dari LBH Surabaya karena sebagian besar “Petinggi” YLBHI keluar seperti Hendardi, Luhut Pangaribuan, Mulyana W Kusumah yang kemudian mendirikan PBHI akibat dominasi Adnan Buyung Nasotion yang begitu. 

Kami berdiskusi ngolor ngidul. Sebagai sesama “orang daerah” ada perasaan dan tertawa sambil mendiskusikan tokoh-tokoh nasional. 

Banyak cerita-cerita lucu yang membuat kami lepas dan saling kontak kemudian. Kesan penulis terhadap Munir adalah tipikal aktivis daerah yang kemudian ber“nasib” baik masuk Jakarta. 

Sebagai orang berasal dari daerah, dialek “suroboyoan” terasa kental. Pakaian kemeja yang tangan dilinting serta membawa ransul merupakan ciri khas dari Cak Munir. 

Sebagai aktivis daerah yang berhasil “menaklukan” Jakarta, tidak ada hal yang istimewa baik dilihat dari kemampuan personal dan jam terbang didunia gerakan dari Munir. 

Bahkan jauh populer dengan teman-teman PRD seperti Budiman Soejatmiko. Suasana “represif” Soeharto masih kuat. Buku-buku banyak yang dilarang, pertemuan lebih sering di-inteli. PDI belum pecah. PPP masih sangat birokrat. Menteri-menteri masih suka ngomong aktivis sesukanya seperti istilah OTB (organisasi tanpa bentuk), Gusdur masih keluyuran di jalanan karena PBNU tidak diterima oleh Presiden. Militer masih kuat. Aktivis sering ditangkapi. 

Generasi Munir lahir setelah generasi intelektual HAM seperti Abdul Hakim Garuda Nusantara, Hendardi, Mulyana, Todung Mulya Lubis. Generasi ini lahir pada saat “kuat-kuat”-nya Soeharto. 

Generasi ini lahir saat Soeharto merupakan tokoh dunia yang dihormati karena selain memegang jabatan paling lama (juga Deng Xioping, Mahathir Muhammad, Fidel Castro) juga mampu menjaga kawasan yang paling berpengaruh di dunia yaitu kawasan Asia Pasifik. 

Hampir praktis, setiap pertemuan dunia, posisi Soeharto dihormati baik dalam pertemuan seperti APEC, ASEAN dan sebagainya. Dalam generasi inilah sesungguh Munir lahir. 

Dalam kurun satu dekade tersebut, praktis tidak ada gerakan nasional yang menggoyangkan sistem politik di Indonesia. Gerakan-gerakan yang dilakukan lebih banyak sporadis dan tidak sistematis. Persoalan buruh, tanah, dan berbagai issu HAM lainnya praktis tenggelam dengan “kesuksesan” baik ekonomi maupun politik dibawah pemerintahan Soeharto. 

Apabila penulis memberikan istilah generasi sebelum Munir sebagai generasi intelektual HAM, maka generasi Munir, penulis memberikan istilah “Generasi pekerja HAM’. 

Dalam berbagai tulisan yang dimuat diberbagai media massa, generasi ini berangkat dari pemahaman HAM yang sederhana, yang praktis bekerja langsung berhadapan dengan betapa peliknya mengungkapkan kasus pelanggaran HAM. 

Kiprah Munir berangkat dari investigasi “hilangnya” aktivis pro demokrasi. Investigasi yang mencoba menyusuri jejak aktivis pro demokrasi tersebut, ternyata menuai dan membentur tembok. 

Investigasi yang dilakukan Munir cs merekomendasikan titik balik yang tak pernah terpikirkan oleh Munir sendiri dengan berhadapan pasukan elite militer di Indonesia, Kopassus. Rekomendasi ini ternyata memberikan amunisi baru kepada investigasi yang dilakukan oleh Munir. 

Ternyata hilangnya aktivis prodemokrasi merupakan persoalan politik yang langsung berhadapan dengan penguasa tertinggi dan jajaran elite disekitarnya. 

Kasus ini kemudian terbongkar, dan jajaran yang selama ini tidak tersentuh dengan hukum diseret ke Pengadilan Militer dan kemudian dipecat. 

Hal mana tak pernah dipikirkan oleh penulis bahwa investigasi ini akan teruangkap (dalam beberapa kali diskusi-pun, Munir tidak menyangka akan bisa membongkar investigasi ini) 

Nama Munir kemudian melambung dan menyentak perhatian publik yang selama ini tidak yakin upaya investigasi yang dilakukan oleh Munir. 

Munir-pun kemudian menjadi sorotan nasional bahkan internasional. Foto-fotonya terpampang di berbagai media elite dunia. 

Dunia-pun mengakuinya dengan penghargaan Award right. Tiba-tiba dunia mengubahnya dan Munir-pun menjadi Ikon gerakan HAM di Indonesia. Julukan-pun diberikan. Tokoh muda yang akan memimpin masa depan, tokoh yang mengubah sejarah. 

Dan berbagai harapan dunia terhadap kiprah Munir. Pergulatan Munir-pun melampaui pendahulu-nya, Generasi intelektual HAM seperti Abdul Hakim Garuda Nusantara. Maka satu demi satupun, kasus HAM mulai disoroti publik. 

Pelanggaran HAM Tim-tim, pelanggaran HAM Tanjung Priok, pelanggaran 30 September 1965 dan pelanggaran HAM lainnya. Publik-pun berharap agar kasus ini dapat terkuak. 

Peran yang dilakukan Munir-pun kemudian membuat wacana dikalangan intelektual hukum mengakui adanya dimensi baru sehingga pelanggaran HAM diberi ruang didalam sistem hukum Indonesia dengan adanya Peradilan HAM dan mulai disidangkannya berbagai kasus pelanggaran HAM. 

Semangat untuk melihat dimensi HAM-pun merebak kemana-mana. Pendidikan baik di Kepolisian dan militer diberi muatan HAM. 

Berbagai persoalan politik tidak dapat dipisahkan dari wacana HAM. Setiap tindakan aparat hukum menggunakan alas dasar HAM. 

Tiba-tba semua rakyat merasakan mendapatkan perlindungan langsung dari penegakan HAM. 

Semua dapat berbicara kritis dan berorganisasi dan hak-hak sebagaimana diatur didalam prinsip dasar. 

Dalam suasana demikian, interaksi penulispun dengan Munir sangatlah jarang. Selain karena persoalan mobilitas Munir yang luar biasa, interaksi diskusipun menjadi jarang.

Kalaupun bertemu dalam diskusi resmi, kami lebih sering menggugat konsep reformasi yang sering salah arah. 

Sehingga praktis interaksi penulis dengan Munir menjadi jarang. Ketika harapan mulai ditancapkan ke bumi pertiwi, penulis mendapat kabar via SMS dari teman-teman di Jakarta. SMS ini kemudian menjadi benar ketika dimuat didalam “news letter” Metro TV beberapa waktu kemudian. Pada mulanya berita yang menerangkan kematian Munir, lebih banyak ditangkap sebagai berita duka tanpa pretensi politik apapun. Penulis termasuk orang yang terlambat mengapresiasikan bahwa kematian Munir berdimensi politik. 

Selain karena sikap penulis mencoba menjaga jarak dari pertarungan “politik” di Jakarta, apresiasi penulispun menganggap bahwa pelanggaran HAM di Indonesia tidak “seberani lagi” pada masa reformasi sekarang dan juga dilakukan terhadap Munir. 

Namun apresiasi penulis-pun berubah, ketika tarik-menarik hasil otopsi, ditemukan racun arsenik didalam tubuh Munir mulai menghiasi media massa. 

Tiba-tiba penulispun menjadi ketakutan bahwa kasus ini menjadi berita yang mati dan tidak berhasil diungkap. 

Tiba-tiba penulis merindukan orang-orang seperti Munir yang mampu melakukan investigasi dalam membongkar “hilangnya aktivis” yang dilakukan Kopassus. 

Sebagaimana telah penulis sampaikan, ketika Munir melakukan investigasi terhadap hilangnya aktivis prodemokrasi, semua orang tidak yakin, bahwa Munir mampu melakukan untuk membongkar kasus tersebut dan berhadapan langsung dengan pasukan elite tersebut. 

Dan sejarah-pun mencatat bahwa Munir mampu melakukan investigasi tersebut. 

Dan ketika Munir matipun, apakah tidak ada Munir-Munir lainnya yang akan mampu melakukan investigasi membongkar kematian Munir tersebut. 

Atau kita berikan kepada Munir sendiri yang akan melakukan investigasi-nya sendiri untuk membongkar kematiannya ? 

Lepas dari berbagai asumsi-asumsi yang penulis sampaikan, rasa prihatin penulis juga sampaikan terhadap penegakan HAM di Indonesia. 

Apakah kematian Munir akan kembali menjadikan penegakan HAM di Indonesia pada titik nadir terendah sebagaimana pada zaman Soeharto ?