13 Desember 2004

opini musri nauli : MIMPI MENJADI ANGGOTA PARLEMEN


(Otokritik Pemilu dari Perspektif kita) 

Suasana pemilu sudah mulai terasa gaungnya. Persiapan menjelang hajatan nasional tersebut sudah gegap gempita. 

Partai politik peserta pemilu dan calon anggota DPD sudah mengatur strategi dan berbagai ikhwal memasuki gelanggang. Umbul-umbul, bendera, kaos dan segala atribut sudah disebarkan kepada pendukung. 
Praktis konsentrasi “rakyat” memasuki Pemilu tinggal menghitung hari. 

Terlepas dari segala keributan yang terjadi baik persiapan maupun nantinya menjelang Pemilu, konsentrasi nasional memang di dipengaruhi suasana politik. Tahun 2004 praktis issu yang paling diminati sekarang memang issu politik. 

Issu lain seperti bencana alam baik banjir yang sudah berlalu, gempa, kebakaran, hukum, lingkungan dan berbagai issu yang langsung bersentuhan dengan masyarakat banyak praktis tercecer. 

Pemimpin negara, anggota parlemen, pers dan berbagai lapisan lainnya “dipaksa” membaca dan mengupas issu tersebut. 

Maka sudah selayaknya tahun 2004 kita beri label sebagai “Tahun Politik”. Apakah asumsi ini benar atau tidak. 

Jawaban sederhana tak perlu kita perdebatkan. 

Namun yang menarik perhatian adalah disatu sisi konsentrasi nasional lebih tertarik dalam isu politik, disisi lain rakyat seakan berjarak dengan issu yang ditawarkan oleh elite pemimpin negeri ini. Sampai sekarang apa yang menjadi kebutuhan rakyat praktis tidak pernah dibicarakan. 

Dalam waktu terakhir ini, penulis merasakan apa yang telah penulis sampaikan. Kemarin saya berdiskusi dengan supir taksi yang biasa mangkal di pusat pasar Jambi. 

Pembicaraan sebenarnya biasa saja. 

Pembicaraan Rumah tangga. Membicarakan perkembangan anak remaja, uang sekolah, uang buku dan berbagai biaya rumah tangga yang semakin ketat untuk dibelanjakan. Praktis waktu yang sedikit ini digunakan juga untuk membicarakan berbagai hal. 

Baik itu dengan issu otonomi yang “seakan-akan” memisahkan rakyat berdasarkan alasan administrasi, pendidikan dan kesehatan yang seakan-akan menjadi perhatian nomor urut sekian, persoalan Inul, Sukma Ayu dan berbagai obrolan santai lainnya. 

Karena membicarakan menjelang pemilu, maka praktis pembicaraanpun kadang-kadang terfokuskan kepada tayangan televisi yang memang akhir-akhir ini membicarakan Pemilu. 

Sebagai bagian dari masyarakat yang jauh dari komunikasi politik, pertanyaan dari supir-supir taksi itu sebenarnya melambangkan informasi masyarakat yang terputus. Berita politik hanyalah dikemas sebagai bagian dari elite yang menguasai informasi. 

Jangankan pemilih anggota Parlemen yang harus dikenal rakyat yang ditandai dengan memakai foto anggota parlemen, perbedaan Pemilu sekarang dan pemilu yang lalu sebagian masyarakat masih banyak yang belum mengerti. 

Ketika penulis menerangkan bahwa didalam Pemilu ini juga memilih anggota parlemen dengan menggunakan foto, supir taksi itupun mengomel. 

Selain karena harus akan melihat satu-persatu foto yang akan dipampangkan yang tentu memakan waktu, juga foto-foto yang ada tidak dikenalnya. 

Dan tidak ada juga jaminan bahwa ketika dipilih mereka akan memperjuangkan kepentingan rakyat. 

Dan ketika penulis juga memaparkan bahwa Pemilu juga memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), wah, jangan harap pertanyaan akan timbul karena mereka sudah keburu tidak berminat lagi melanjutkan diskusi. 

Kata-kata yang menjadi perhatian penulis adalah bahwa mereka sudah sampai menyatakan bahwa urusan politik adalah urusan orang-orang yang Seakan-akan orang bermimpi mau menjadi anggota parlemen. 

Sebuah paradok pengetahuan yang penulis anut selama ini. Sementara itu Issu politikpun berpindah dan bergulir. Pemilihan Presiden yang dilaksanakan secara langsungpun, memaksa supir taksi tersebut mengernyitkan dahinya. 

Dari seluruh kandidate Presiden yang ditampilkan praktis tidak ada yang berkenan dihatinya. 

Alasan yang dikemukakan adalah apabila Kalau Presidennya Gusdur, Mahasiswa tidak suka dan sering demo terhadap kepemimpinannya. 

Sedangkan Megawati menjadi Presiden, bulan Puasa tetap masuk sekolah dan tidak liburnya bulan Ramadhan. 

 Tiba-tiba penulis tersentak ketika pernyataaan sederhana itu muncul. Bagaimana mungkin pemilu yang datangnya hitungan hari ternyata sebagian masyarakat masih tidak peduli. Hari Rabu yang lalu, penulis menghadiri undangan dialog Politik dan Budaya di sebuah kafe di Jambi. 

Acara ini dikemas dengan dialog politik ditinjau dari sudut pandang budaya. Dari Jakarta datang Franky Sahilatua yang mengaku sebagai pengamen yang lagunya kita kenal dan banyak mengandung kritik social. 

Sebagai penggagas kelompok anti politisi busuk, Frangky memaparkan bahwa Pemilu merupakan acara rutinitas agenda ketatanegaraan. 

 Selain agenda ketatanegaraan, praktis anggota parlemen sama sekali tidak memperjuangkan kepentingan rakyat. 

Bahkan anggota parlemen sendiri yang mengesahkan UU sumber daya air, sebuah produk hukum yang memberikan privatisasi kepada swasta terhadap sector-sektor publik yang seharusnya dikuasai oleh negara. 

Secara genit Franky juga memaparkan bahwa episode drama Indonesia cukup kaya untuk dijadikan pagelaran. 

Namun apa yang disampaikan hari ini hanyalah bagian kecil dari episode drama tersebut. 

Selain memaparkan pandangan politiknya, Frangky juga menyanyikan lagu yang pada intinya mengajak rakyat untuk tidak memilih politisi busuk. Dua pembicara dari Jambi seperti Iif Ranupanie dan EM Yogiswara menumpahkan kekecewaannya terhadap pemilu. 

Dan paparan awal ditutup oleh Sujiwe Tejo yang mengaitkan sikap politik yang harus berdasarkan kepada dalil-dalil matematika. 

Artinya tradisi konsisten pilihan politik haruslah dijadikan patokan seseorang untuk melihat kiprahnya di panggung politik. 

 Sebagai diskusi kalangan kelas menengah di Jambi, diskusi politik dan budaya sebenarnya terlalu sayang untuk dilewatkan. 

Komunitas yang hadir cukup beragam dan praktis kawan-kawan yang sering bersentuhan dengan dunia gerakan di Jambi. 

Kalaupun akhirnya pilihan politik dalam sebuah issue, nampaknya kawan-kawan sudah dewasa dalam menyikapinya. Suasana diskusi tersebut lebih banyak menggugat Pemilu sesuai dengan kaidah-kaidah politik sebagian ilmu pengetahuan. 

Dua peristiwa ini sengaja penulis sampaikan sebagai bahan untuk mencoba kembali memotret dari dua sudut pandang yang berbeda. 

Dari peristiwa pertama penulis menyatakan bahwa persoalan politik ditinjau dari sudut hati nurani. Supir taksi yang penulis ajak mendiskusikan tentang pemilu, menyatakan bahwa sudut pandang mereka melihat pemilu adalah hati nurani. 

Mereka mengganggap bahwa Pemilu itu sederhana, mudah dilaksanakan, tidak rumit dalam berbagai pernik peraturan pemilu dan yang sudah pasti menjadi harapan mereka adalah siapapun yang menjadi pemenang akan memperhatikan nasib mereka. 

Bahkan dengan tegas pula mereka menyatakan yang kalah harus siap dengan kekalahannya. 

Dari deskripsi ini penulis hanya menyatakan bahwa bagi rakyat kebanyakan politik itu dilihat dari sudut hati nurani. 

Sedangkan peristiwa kedua, politik itu dilihat sebagai ilmu pengetahuan, kaidah, pengalaman, strategi dan berbagai pendidikan politik yang harus dikerjakan dan akan disampaikan kepada rakyat. 

Setiap peristiwa politik yang terjadi di Indonesia haruslah dicari ilmu-ilmu politik untuk dapat menjawab dan dapat dipertanggungjawabkan. 

Artinya dari peristiwa kedua dinyatakan bahwa politik itu dilihat dari sudut ilmu pengetahuan. 

Dua peristiwa tersebut sebenarnya melambangkan pemikiran yang beragam ditengah masyarakat terhadap Pemilu. 

Walaupun dalam suasana yang berbeda berdasarkan komunitasnya seperti di tengah pasar dan disebuah kafe di Jambi, intensitas rakyat didalam melihat pemilu sebagai “partisipasi publik”. 

Distorsi Pemilu yang hanya dikuasai oleh KPU, Panwaslu, partai politik, pengamat dan akademisi semata sudah harus ditinggalkan. 

Penafsiran beragam dan partisipasi publik didalam melihat pemilu sudah harus diberi ruang. 

Dua peristiwa itu sekali lagi membuktikan bahwa rakyat sudah berdaulat dan berkuasa didalam menentukan pilihan politiknya. 

Upaya yang mencoba mengebiri dan memisahkan persoalan politik menjadi konsumsi elite segelinter orang ternyata tidak effektif dan juga tidak mendidik. 

Rakyat sudah sadar dan kedaulatan itu akan menjadi harga yang tidak bisa ditawar bagaimana pilihan rakyat terhadap politik. 

Dan dengan rendah diri penulis menyatakan bahwa dua peristiwa tersebut menyadarkan kepada kita bahwa pilihan segelintir elite partai yang masuk ke ranah politik dan bermimpi menjadi anggota parlemen haruslah ditinggalkan. 

Dan kita harus malu kepada rakyat terhadap mimpi-mimpi segelintir orang tersebut menjadi anggota parlemen. 

Sekali lagi rakyat telah mengajarkan kepada kita, cermin rakyat adalah muka kita sendiri dan sudah sepantasnya kita berkaca. 

Namun dua peristiwa itu sebenarnya memperkaya pengetahuan kita terhadap sebuah peristiwa politik yang terjadi di Indonesia. 

Menjadi pertanyaan bagi kita semuanya, “Apa yang dapat kita lakukan dalam melihat Pemilu dan Politik di Indonesia ?”. 


 Posmetro, 29 Februari 2004