Pertanyaan itu senantiasa mengganggu ketika penulis sering menghadiri pertemuan-pertemuan nasional.
Hentikan sejenak pertanyaan itu karena, sesungguhnya pada hari ini tanggal 6 Januari, Propinsi Jambi memperingati dan berulang tahun.
Diibaratkan negeri yang hendak merayakan kebahagiaan, maka para Raja dan Permaisuri, putra mahkota, adipati, punggawa, panglima, para ksatria, para tuo tengganai, alim ulama, cerdik pandai, bersama-sama berkumpul di Balairung istana dan megah untuk mendengarkan Raja bertitah. Lengkap dengan pakaian kebesaran dan keindahan adat.
Mendengarkan musik mengalun mengiringi kebahagian di istana negeri. Suasana senda gurau, tertawa bahagia tentu saja bercengkrama dengan sesama teman sejawat. Seloko adat dan pantun berbalas terdengar jelas. Sungguh elok nian negeri itu.
Tapi apakah budaya Jambi masih menjadi bagian hidup yang tidak terpisahkan dari masyarakat Jambi.
Sungguh pertanyaan itu tidak pantas penulis saya sampaikan. Tapi coba tanyakan kepada kaum muda di Jambi. Mereka lebih kenal MTV daripada musik krinok. Mereka lebih suka makan di Kentucy daripada makan ayam di Mbok Berek atau makan Tempoyak.
Mereka lebih suka pakai jeans daripada Teluk Belango. Mereka lebih suka nonton sinetron daripada nonton Dul muluk.
Coba saja tanyakan Siapa itu Sultan Thaha, Orang Kayo Hitam, atau Orang Kayo Pingai selaras Pinang Masak dan sebagainya.
Tapi sebelum lebih lanjut ditanyakan kepada kaum muda di Jambi, didalam diri kita sungguhkah kita tahu sebenarnya tentang Jambi ?. Kita mungkin kenal Muaro Jambi, Jambi Kecik, adat jambi dan Ratu Jambi.
Tapi kita sendiri tidak tahu kapan nama itu muncul, oleh siapa dan mengapa nama Jambi.
Apabila kita kita belum menemukan jawaban tentang pertanyaan itu, penulis bisa memahami karena dokumen yang berkaitan dengan sejarah Jambi masihlah sedikit kalaupun tidak dikatakan minim.
Propinsi Jambi memiliki luas 5,1 juta Ha dengan jumlah penduduk 2,5 juta jiwa tersebar di 9 kabupaten 1 kota. Memiliki luas hutan 2,2 juta Ha (RTRWP 1999) dengan 4 kawasan Taman Nasional (TNKS, TNBD, TNB dan TNBT) yang mengalami deforestasi dengan laju 212.500 Ha/tahun akibat kebakaran hutan dan lahan, pembalakan liar, konversi hutan untuk HPH, HTI dan perkebunan sawit. Luas perizinan perkebunan sawit 1,35 juta Ha yang terealisasi 460.000 Ha, sedangkan luas HTI 268.500 Ha, dan luas HPH 607.959 Ha.
Didalam Buku BudiHardjo, Perkembangan Ekonomi Masyarakat Daerah Jambi –Studi pada Masa Kolonial, Philosophi Press, Yogyakarta, 2001, Hal. 28, bahwa nama Jambi dari kata Jambe, sebuah nama tumbuhan, nama lain dari Pinang. Tidak ada dokumen lain yang yang bisa menyebutkan kenapa nama itu kemudian dijadikan daerah pemukiman.
Sebelum Abad IX, tidak ada catatan tentang nama Jambi. Nama Jambi sangat dekat dengan Malayu yang berkaitan erat dengan peristiwa ekspedisi Pamalayu Tahun 1275 oleh Kertanegara dari Singosari. Pamalayu artinya berangkat ke Malayu.
Satu-satunya sumber tertulis tertua yang menyebut nama Jambi adalah berita China dengan sebutan Chan-pei. I-tsing, pendeta Budha dari Cina menulis negara-negara di Laut Cina Selatan yang memeluk Agama Budha.
Tepatnya nama Jambi baru muncul pada tahun 853 M. (Budihardjo, Hal, 29)
Penemuan arkeologi yang meyakinkan kita bahwa Muara Jambi adalah kota Metropolitan kuno adalah ditemukannya berbagai jenis keramik atau guci dari berbagai dinasti diCina dalam radius 17,5 km. (Abu Ridho, Survey Keramik di Daerah Aliran Sungai Batanghari, Seminar Sejarah Melayu Kuno, Jambi 7-8 Desember 1992, Hal 7-8 sebagaimana dikutip oleh Budihardjo, Hal, 34).
Ini menunjukkan ramainya perdagangan dan pelayaran di Muara Jambi waktu itu. Candi-candi di Muaro Jambi adalah candi untuk ibadah agama Budha. Hingga sekarang Candi tersebut masih menjadi pusat budaya dalam ajaran agama Budha. Abad XIII sampai tahun 1904 periode kesultanan Jambi yang sudah Islam, mempunyai bukti yang kuat dalam bidang kemaritiman, karena mampu melepaskan diri kekuasaan Mataram (Jawa).
Di Samping itu terjadi perang Jambi-Johor dengan kemenangan di pihak Jambi. Tahun 1600-1904 di Jambi terjadi konflik dengan pemerintah Belanda sehingga pelayaran sungai di pegang oleh Pemerintah Hindia Belanda. (Budihardjo, Hal 35).
Namun kemudian penulis tidak menemukan catatan periode tahun 1600-1904. Apabila catatan yang disampaikan oleh penulis, hanyalah bersifat informatif yang memerlukan kajian secara serius terhadap sejarah Jambi.
Pada periode 1904, periode akhir perlawanan Sultan Thaha Syaifuddin, politik divide et empera berhasil walaupun perlawanan masih dilanjutkan oleh Raden Mattaher sampai tahun 1916.
Daerah keresiden Jambi dibentuk oleh Binnenladsch Bestuur, Stb 1906 Nomor 187 jo 239 Tahun 1906. Kerinci pada tahun 1903 yang masih termasuk kedalam keresidenan Sumatera Barat, dimasukkan ke residenan Jambi berdasarkan stb 1906 nomor 197 jo 259 sebagai Onderafdeling tahun 1906. (Secara lebih lengkap lihat buku Budihardjo).
Aktivitas pelayaran di sungai terselenggara dengan baik. Sungai Batanghari mempunyai anak sungai yang cukup banyka seperti batang tembesi, Batang limun, Batang Merangin, Batang Mesumai, Batang Tabir, Batang Tebo, Batang Bungo, Batang Jujuhan, Batang alai, dan Batang Siau.
Melalui pelayaran sungai Batanghari tempat-tempat yang jauh dapat dijangkau misalnya Muara Sabak hilir sampai Tanjung Samalindu di hulu. Aktivitas pelayaran telah mendorong masyarakat atau penduduk daerah Jambi sebagai pemasok komidats ekspor (seperti kopra, getah perca, dammar, tanduk kerbau, kulit binatang, gading, dan sebagainya maupun barang impor
Tahun 1904, merupakan tahun penanaman karet pertama kalinya walaupun masih di kebun Pemerintah Hindia Belanda seperti di sekitar The Hok, Pall Merah, Kenali Asam.
Masyarakat kemudian mengapresiasi dan lebih berhasil dibandingkan di Malaka (Mubyarto dan Dewanta, Karet Kajian Sosial Ekonomi, Aditya Media, Yogyakarta, 19919 Hal. 5).
Tanaman kemudian lebih berkembang setelah Nederlands-Indie membuka pintu bagi investor asing.
Walaupun investor telah datang, namun tidak mampu menyaingi perkembangan petani karet Jambi.
Kebun karet kemudian menjadi primadona dan mampu menghidupi kebutuhan masyarakat. Sektor ini kemudian memegang peranan sentral dan merupakan produsen karet rakyat terbesar di Hindia Belanda dengan jumlah pohon 21 juta dan 13 juta siap disadap.
Jadi melihat perkembangan sejak tahun 1917 yang ditandai naiknya permintaan karet sampai tahun 1925 perdagangan karet rakyat didukung pelayaran sungai yang sangat padat, maka tahun 1926 Pemerintah Hindia Belanda mulai membangun pelabuhan permanen yang dinamakan boom batu.
Pola perdagangan karet rakyat di Jambi mulai berubah.
Pada tahun 1910 ekspor Jambi telah menghasilkan f 653,000- f 2.098.000,-. Pada tahun 1921, 1926 dan tahun 1928 sudah dapat mengekspor getah dan minyak tanah dan menghasilkan ekspor f 46.329.000,-.
Oleh karena itu tahun 1925 sampai tahun 1928 adalah tahun kemakmuran masyarakat, daerah Jambi karena harga karet membubung. Periode ini disebut dengan hujan emas (Budihardjo, Hal. 67).
Sisi lain perkebunan rakyat juga berkembang terus dengna permintaan karet dan daya tarik harga karet yang melambung. Kenaikan harga karet telah mendorong kenaikan areal perkebunan produksi karet.
Karet Jambi mempunyai kualitas yang sangat baik dan produksi yang tinggi. Tahun 1934 sampai tahun 1935 ekspor karet Jambi menurun tajam, dan bangkit lagi tahun 1936 sampai tahun 1941. walaupun produksi naik, namun Jambi tidak mengalami lagi hujan emas seperti tahun-tahun sebelumnya.
Sementara itu, tahun 1939, Hidnia Belanda telah menjadi produsen dan eksportir minyak sawit terbesar di dunia.
Adanya perang dunia sampai tahun 1948, menjadikan perkebunan kelapa sawit Indonesia tertinggal oleh Malaysia yang sampai saat ini masih mendominasi pasar internasional minyak sawit.
Akan tetapi terdapat ambisi kuat dari Pemerintah dan investor baik PMA maupun PMDN untuk menjadikan Indonesia sebagai importir kelapa sawit sejalan dengan makin sulitnya mendapatkan lahan di Malaysia dan penggunaan lahan yang mulai tidak produktif.
Secara serius perkebunan kelapa sawit mulai digalakkan di Indonesia pada awal 1980-an. Perkebunan besar kelapa sawit mengalami perkembangan besar selama dua puluh tahun terakhir.
Di antara komoditas perkebunan komersial, tanaman kelapa sawit dapat dikatakan menjadi primadona terutama pada tahun 1990-an. Luas areal perkebunana kelapa sawit menunjukkan pertumbuhan yang luar biasa. Pada tahun 1967 luas areal perkebunan kelapa sawit hanya 105.808 namun pada tahun 1998 sudah mencapai 2.633.899 ha. (PDBI, 1988).
Walaupun luas areal perkebunan kelapa sawit masih dibawah perkebunan kareat yang luasnya mencapai 3,5 juta hektar pada tahun 1997, namun struktur pemilikan pada perkebunan kelapa sawit terbalik dengan perkebunan karet. Bila kepemilikan perkebunan karet didominasi oleh perkebunan karet yakni sebesar 83%, maka perkebunan kelapa sawit perusahaan besar milik negara maupun milik swasta mendominasi luas areal dengan pangsa 66%.
Di maswa mendatang, proporsi kepemilikan perkebunan kelapa sawit antara pengusaha besar dengan kepemilikan rakyat, selisihnya makin membesar seiring dengna pesatnya investasi dari kalangan swasta dan peningkatan permintaan areal perkebunan kelapa sawit melalui konversi hutan.
Permintaan konversi hutan untuk berbagai kepentingan pembangunan seperti perkebunan dan transmigrasi, mengakibatkan luas hutan konversi terus mengalami penurunan dari seluas 30 juta h pada tahun 1984 menjadi 8,4 juta ha pada tahun 1997. sampai dengan Juni 199, jumlah hutan untuk perkebunan seluas 6,7 juta ha yakni 2,8 juta ha dikelola oleh kelompok perusahaan dan 3,9 juta ha dikelola perusahaan tunggal.
Setiap tahun diperkirakan 330.000,- luas hutan yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. (Kartodihardjo, 1999).
Produksi minyak sawit masih mendominasi dan memegang peranan penting dalam kontribusi minyak nabati di dunia. Data Oil World Report tahun 1994 menunjukkan bahwa untuk periode 1998-2001 produksi minyak sawit memiliki kontribusi sebesar 27,8 % terhadap minyak nabati dunia.
Setiap tahunnya diperkirakan produksi minyak sawit dunia meningkat rata-rata 6,5 % dengan menempatkan Malaysia sebagai kontributor terbesar.
Walaupun tahun 1989 terdapat selisih yang sangat besar dalam produksi minyak sawit antara Indonesia (1,9 juta ton) dengan Malaysia (6juta ton), namun selisih ini setiap tahun semakin mengecil, seiring dipacunya sektor perkebunan besar di Indonesia dengan investasi besar-besaran baik PMA mapun PMDN.
Ditambah lagi dengan politik konversi hutan Indonesia untuk penyediaan areal perkebunan besar dan pemberian kemudahan dari pemerintah kepada investor besar.
Diperkirakan tahun-tahun mendatang, Indonesia akan menjadi negara terbesar di dunia dalam produksi minyak sawit.
Dengan asumsi pertumbuhan rata-rata 6,5-7% pertahun, maka Indonesia dapat menghasilkan 11,9 juta ton dan mengalahkan Malaysia yang menghasilkan 11,2 juta ton.
Asumsi-asumsi ini yang kemudian membuat investor Malaysia banyak yang kemudian melirik lahan perkebunan di Indonesia yang dianggap strategis bagi perkembangan bisnis kelapa sawit. Gencarnya investasi dari pemodal Malaysia ini, sempat membuat Pemerintah Indonesia cemas dan kemudian melarang pananaman modal Asing (PMA) di bidang kelapa sawit (Damanhuri, 1999).
Dua peristiwa penting ini sengaja penulis sampaikan untuk menyampaikan fakta-fakta yang terjadi akhir-akhir ini.
Kebijakan konversi hutan dan pengembangan perkebunan kelapa sawit dalam prakteknya ternyata menimbulkan berbagai dampak sosial maupun lingkungan.
Penguasaan perkebunan besar kelapa sawit ternyata berbanding terbalik dengan kemakmuran di masyarakat sekitar perkebunan tersebut. Dalam Konferensi Rakyat Jambi tanggal 31 Agustus sampai dengan 3 September 2007, yang diadakan oleh Walhi Jambi telah dipetakan persoalan-persoalan yang diakibatkan oleh kebijakan negara didalam mengelola sumber daya alam
Dilihat dari sisi sosial, tidak membawa dampak positif bagi rakyat kecil. Masyarakat Jambi yang selama ini telah menikmati hasil berkebun karet kemudian “dipaksa” untuk berkebun sawit. Persoalan sosialpun sering terjadi.
Konflik sosialpun terjadi. Dalam kurun 1998 – 2006, penulis mencatat hampir setiap tahun Jambi diberitakan adanya konflik antara masyarakat pemilik tanah tanaman karet dengan pihak perusahaan yang memiliki izin kemudian “mengusir” rakyat. November 1998 terjadi pembakaran PT. DAS di daerah Tungkal Ulu. Januari 1999, PT. Tebora di Bungo. September 1999 PT. KDA di Bangko. Januari 2000, PT. Jamika Raya.
Bahkan Desember 2005, masih terjadi pembakaran di PT. DIPP di Singkut Sarolangun.
Data-data yang dipaparkan hanya gambaran dari problematik yang mendasar antara masyarakat pemilik karet dengan perkebunan besar kelapa sawit.
Data-data yang dipaparkan setidak-tidaknya memberikan gambaran, bahwa Jambi sendiri tidak dapat dilepaskan dari persoalan tanah akibat pembangunan besar kelapa sawit. Hampir praktis setiap tahun dan setiap daerah yang berbeda terjadinya pembakaran pabrik.
Dan menurut penulis kejadian yang telah dipaparkan ini tidak akan berhenti dan berakhir.
Dalam berbagai kesempatan dan beberapa tulisan yang pernah dimuat diberbagai media massa, penulis menyampaikan, bahwa persoalan yang mendasar antara pemilik tanah tanaman karet dengan pihak perusahaan yang bergerak di perkebunan besar kelapa sawit, banyak persoalan-persoalan yang timbul.
Dalam bidang ekonomi, justru masyarakat makin terpinggirkan dan tidak menikmati secara nyata dengan perkebunan kelapa sawit.
Data-data dari berbagai lembaga yang konsern terhadap kelapa sawit membuktikan bahwa justru dengan adanya pembangunan kelapa sawit, pendapatan masyarakat turun hingga 50% dari sebelumnya mereka yang menanam karet ataupun menikmati hasil dari hutan.
Dalam bidang sosial, konflik sering terjadi. Pergesekan antara masyarakat asli dengan masyarakat pendatang justru menimbulkan kerawanan dan berpotensi SARA. Masyarakat terasing dan cenderung defensif dengan masyarakata pendatang.
Di bidang budaya, terjadinya pergeseran nilai-nilai dan masyarakat semakin jauh dari akar budayanya.
Apabila sebelumnya mereka berkebun karet dan siang hari telah bekerja sehingga pada sore hari dapat berkumpul bersama keluarga, namun setelah masuk dalam lingkaran perkebunan sawit, justru bergeser pola hidupnya.
Masyarakat menjadi pekerja-pekerja kebun yang diatur oleh manajemen industri yang tentu saja telah mengambil waktu untuk berkumpul bersama dengan keluarnya.
Namun yang menjadi persoalan yang paling serius penulis amati adalah persoalan hukum.
Dalam kurun sejak tahun 1998 – 2006, persoalan hukum ternyata menjadi persoalan yang laten dan tidak dapat diselesaikan.
Hampir praktis setiap kasus yang kemudian berakhir dengan kerusuhan massal, masyarakat sebagai pemilik tanah justru berhadapan dengan proses hukum di pengadilan. Bukan untuk menyelesaikan sengketa tanah namun dijadikan tersangka dalam kerusuhan massal tersebut. Pasal-pasal seperti 170, pasal 406, pasal 217 KUHP, ataupun UU No. 12 Tahun 1951 adalah pasal-pasal yang laris dikenakan kepada masyarakat pemilik tanah. Walaupun secara normatif, putusan ini telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht), namun dalam kajian akademis masih dapat diperdebatkan.
Dalam kejadian pembakaran PT. Jamika Raya, terdakwa yang tidak memenuhi unsur yang dituduhkan, maka dibebaskan.
Namun dalam kerusuhan di PT. DIPP, walaupun pelaku tidak melakukan perbuatan yang dituduhkan, pelaku tetap bertanggungjawab karena berada ditempat kejadian.
Catatan yang dipaparkan adalah sekelumit data-data mendukung argumentasi terhadap konflik yang terjadi akibat pembanguna kelapa sawit.
Dalam ranah inilah penulis tetap memberikan konsentrasi untuk tetap melakukan advokasi litigasi dalam mendudukkan persoalan tanah tersebut.
Walaupun untuk sementara telah reda setelah pembakaran pabrik, namun persoalan pokok yaitu sengketa terhadap masalah tanah tidak diselesaikan.
Justru pasal-pasal ini kemudian dijadikan alat untuk meredam terhadap para pemilik tanah untuk memperjuangkan tanahnya.
Bahwa aparat hukum masih menggunakan cara-cara represif dalam menghadapi sebuah peristiwa.
Penerapan pasal-pasal ini selain tidak memberikan jalan keluar terhadap berbagai persoalan di tengah masyarakat, penerapan pasal ini masih bisa menjadi kajian kritis di kalangan akademis. Apakah penerapan pasal yang merupakan “warisan kolonial” masih layak digunakan di alam kemerdekaan ini ?.
Selain itu juga akibat pembangunan perkebunan besar kelapa sawit juga telah terjadinya pelanggaran HAM.
Masyarakat selain telah dilanggar hak-haknya dibidang sosial politik karena haknya dirampas oleh sistem kebijakan negara yang salah urus tersebut juga sering dilanggar haknya dalam proses hukum.
Hampir praktis, setiap tingkatan pemeriksaan hukum, dimulainya penyidikan, proses dimuka persidangan, hak-haknya sebagaimana diatur didalam KUHAP tidak dilindungi.
Bahkan dalam beberapa kasus yang pernah penulis temukan, sampai menjelang putusan, para terdakwa sendiri belum tahu akibat hukum terhadap dirinya. Sehingga mereka sendiripun bingung, mengapa mereka yang dijadikan tersangka hingga menjelang putusan terhadap dirinya.
Yang pertama kali terbayang ketika dimulai proses hukum terhadap dirinya, mereka masih menganggap bahwa mereka disidangkan untuk membuktikan kepemilikan tanah.
Bukan berkaitan dengan terjadinya kerusuhan massasl yang berakhir pembakaran pabrik.
Sungguh suatu pekerjaan besar yang menjadi tugas kita untuk mengerjakan dan menyelesaikannya.
Selain itu akibat pembangunan perkebunan besar kelapa sawit juga merusak alam.
Laju kerusakan diakibatkan Pembalakan liar pada kawasan TNBD untuk konversi hutan lindung untuk sawit yang jelas-jelas menyalahi aturan (lokasi Desa olak besar kab. Batang hari Jambi), Konflik orang rimba dengan pihak pengelola kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) yakni BKSDA Jambi terhadap Rencana Pengelolaan TNBD yang telah dikeluarkannya melanggar hak asasi orang rimba, Pembukaan jalan di kawasan TNKS yang akan berdampak pada akses terhadap perusakan hutan lindung dan ekosistemnya.
Selain itu juga terjadinya Bencana Banjir yang pada tahun 2003 terjadi banjir yang disebabkan oleh musim hujan yang panjang telah menyebabkan tenggelamnya 30% propinsi Jambi dan pada tahun 2005 kejadian hampir serupa juga terjadi di Jambi.
Selain itu juga terjadinya Bencana Asap yang terjadi setiap tahun dari tahun 2001 – 2006 tercatat 750.051 Ha hutan yang terbakar telah berdampak pada gangguan kesehatan ISPA, terganggunya stabilitas ekonomi dan kerusakan terhadap lingkungan yang disebabkan oleh pembukaan lahan/land clearing oleh perkebunan sawit skala besar, dari data pantauan satelit NOAA 60% terjadi di areal konsesi perkebunan sawit skala besar.
Angka-angka ini kemudian mengakibatkan deforestasi dan degradasi lahan berdampak pada bencana ekologis (banjir dan asap). Tercatat 224 konflik pengelolaan SDA 60% merupakan konflik perkebunan sawit skala besar (walhi 2007).
Dari paparan yang sudah penulis sampaikan, maka sudah saatnya pertanyaan pokok selalu penulis sampaikan. Apakah kita masih mau bersolek diri dan mempertahankan keyakinan kita bahwa Jambi merupakan kota teraman di Indonesia ?
DIRGAHAYU PROPINSI
Baca : Catatan Hukum 2007