17 Januari 2008

opini musri nauli : Catatan Hukum Kasus Soeharto


Beberapa waktu terakhir ini, kita diberitakan tentang kesehatan mantan Presiden kita, Jenderal Besar Soeharto. Berita yang disampaikan memang membuat konsentrasi nasional tersita dengan kondisi “sakit”nya Soeharto. 

Terlepas dari persoalan yang melilit bangsa Indonesia, secara obyektif, berita tentang kesehatan Soeharto memang menarik untuk dicermati. Berita Soeharto adalah muara dari salah satu problem mendasar agenda reformasi yang masih terceceer dari tuntutan agenda kaum reformis selain juga beberapa agenda yang belum terwujud. 

Berita sakitnya Soeharto, setidak-tidaknya membuat konsentrasi nasional juga tersita sehingga persoalan sebenarnya tentang peradilan pemeriksaan Soeharto juga masih jauh dari keinginan publik untuk mengetahui beberapa peristiwa penting dalam perjalanan bangsa. 

Peristiwa yang dapat memberikan pelajaran penting dalam melangkah kedepan. Soeharto adalah Presiden kedua Republik Indonesia. Lahir di Kemusuk, Yogyakarta, tanggal 8 Juni 1921. 

Bapaknya bernama Kertosudiro seorang petani yang juga sebagai pembantu lurah dalam pengairan sawah desa, sedangkan ibunya bernama Sukirah. Soeharto masuk sekolah tatkala berusia delapan tahun, tetapi sering pindah. 

Semula disekolahkan di Sekolah Desa (SD) Puluhan, Godean. Lalu pindah ke SD Pedes, lantaran ibunya dan suaminya, Pak Pramono pindah rumah, ke Kemusuk Kidul. 

Namun, Pak Kertosudiro lantas memindahkannya ke Wuryantoro. Soeharto dititipkan di rumah adik perempuannya yang menikah dengan Prawirowihardjo, seorang mantri tani. 

Sampai akhirnya terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, Jawa Tengah pada tahun 1941. 

 Resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945. Pada tahun 1947, Soeharto menikah dengan Siti Hartinah seorang anak pegawai Mangkunegaran. 

Perkawinan Letkol Soeharto dan Siti Hartinah dilangsungkan tanggal 26 Desember 1947 di Solo. Waktu itu usia Soeharto 26 tahun dan Hartinah 24 tahun. 

Mereka dikaruniai enam putra dan putri; Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Herijadi, Hutomo Mandala Putra dan Siti Hutami Endang Adiningsih. 

Jenderal Besar H.M. Soeharto telah menapaki perjalanan panjang di dalam karir militer dan politiknya. 

Di kemiliteran, Pak Harto memulainya dari pangkat sersan tentara KNIL, kemudian komandan PETA, komandan resimen dengan pangkat Mayor dan komandan batalyon berpangkat Letnan Kolonel. 

Pada tahun 1949, dia berhasil memimpin pasukannya merebut kembali kota Yogyakarta dari tangan penjajah Belanda saat itu. 

Dia juga pernah menjadi Pengawal Panglima Besar Sudirman. Selain itu juga pernah menjadi Panglima Mandala (pembebasan Irian Barat). 

Tanggal 1 Oktober 1965, meletus G-30-S/PKI. Soeharto mengambil alih pimpinan Angkatan Darat. Selain dikukuhkan sebagai Pangad, Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai Pangkopkamtib oleh Presiden Soekarno. Bulan Maret 1966, Jenderal Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno. 

Tugasnya, mengembalikan keamanan dan ketertiban serta mengamankan ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno. Karena situasi politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang Istimewa MPRS, Maret 1967, menunjuk Pak Harto sebagai Pejabat Presiden, dikukuhkan selaku Presiden RI Kedua, Maret 1968. 

Pak Harto memerintah lebih dari tiga dasa warsa lewat enam kali Pemilu, sampai ia mengundurkan diri, 21 Mei 1998. (dari Berbagai sumber dan dapat dilihat situs Arsip Nasional Kepresidenan) 

Sudah 10 tahun agenda reformasi tercecer. TAP MPR yang memberikan mandat dan tugas kepada aparatur penegak hukum untuk melaksanakan agenda reformasi untuk memeriksa kroni-kroni orde baru sekaligus pemeriksaan terhadap Soeharto masih belum dilaksanakan. 

Terlepas dari kajian hukum, pemeriksaan peradilan Soeharto masih angan-angan yang belum “tersentuh” dari hukum. Berita Soeharto membuat berita-berita yang diderita rakyat terlupakan. 

Derita rakyat hilang diberitakan. Persoalan banjir dan rusaknya “tata kelola” terhadap sumber daya alam menjadi terlupakan. 

Persoalan rakyat yang menjadi tanggungjawab negara sebagaimana dirumuskan didalam UUD 1945 bahwa negara bertujuan menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera masih terlupakan. 

Berita Soeharto memberikan catatan kepada penulis, bahwa kita masih mengurusi “hal-hal yang besar” bukan mengurusi “persoalan-persoalan yang besar” 

Beberapa peristiwa yang berkaitan dengan sakitnya Soeharto menurut penulis ada yang perlu diluruskan dari perspektif hukum. 

Dalam kesempatan ini penulis mencoba mengingatkan kepada publik terhadap persoalan sakitnya Soeharto. 

Sebagaimana kita ketahui bersama persoalan yang mendasar yang terjadi sekarang merupakan kesalahan dari kebijakan orde baru. 

Dalam rumusan agenda reformasi kesalahan orde baru berpuncak kepada figur Soeharto yang bertopang kepada ABRI (penulis masih menggunakan istilah ABRI untuk membahasnya), Birokrat dan Golkar (walaupun Golkar sudah mengklaim sebagai Golkar Baru). 

Dilain pendapat, sebagian ahli mengidentifikasikan kepada pilar orde baru yaitu GSM (Golkar, Soeharto dan Militer). 

Golkar kemudian sudah berbenah, dan telah mengeluarkan birokrat sebagai lumbung suara di partai, Akbar Tanjung telah mengalami proses hukum dan secara hukum tidak bersalah, Militer kemudian berikrar tidak akan terjun dalam dunia praktis seperti dulu dan kemudian membuat langkah-langkah mengembalikan fungsinya semata-mata sebagai alat pertahanan dan tentu saja tidak terlibat dalam urusan ketatanegaraan. 

Ini ditandai dengan berkurangnya perwakilan mereka di parlemen dan tahun 2004 militer tidak ada perwakilan di parlemen. 

Bandingkan terhadap Soeharto yang hanya “memeriksa” sakitnya Soeharto tanpa pernah memeriksa secara hukum kehadiran Soeharto. 

Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa agenda reformasi dalam meminta pertanggungjawabkan kepada pelaku orde baru tersebut belum selesai. 

Akibat yang paling terasa adalah apa kita rasakan sekarang. 

Klaim tentang pembangunan yang sering diklaim sebagai keberhasilan orde baru ternyata pepesan kosong. Indonesia “dibangun” dari utang luar negeri yang apabila kita kurs dengan jumlah penduduk maka penduduk Indonesia mempunyai utang sebesar Rp 7, 1juta/orang. 

Sumber daya alam di ekspor keluar negeri dan hanya dinikmati 30% oleh pengusaha. 

Gelondongan kayu hutan, pencurian ikan di laut Indonesia, penjualan pasir (yang membuat Singapura bertambah 30% dari dataran sebelumnya) adalah bentuk-bentuk kolusi antara penguasa dengan Pengusaha. 

Bahkan dalam catatan berbagai ekonom, dari hasil keuntungan PT. Freeport di Irian Jaya, kita sudah cukup makmur dan tidak perlu hutang. 

Namun perjanjian antara Indonesia dan Amerika dalam pengelolaan tambang di PT. Freeport, ternyata pemerintah Indonesia hanya menikmati 15% saja dari keuntungan perusahaan tersebut. 

Sungguh ironi penderitaan yang kita terima dan menurut catatan, utang itu baru kita lunasi pada generasi ketiga setelah kita (anak cucu yang bisa membayar). 

Klaim-klaim pembangunan yang sering didengung-dengungkan oleh rezim orde baru, juga meninggalkan catatan-catatan kelam dalam pelanggaran HAM. 

Publik masih ingat dengan catatan pelanggaran HAM seperti peristiwa G 30S/PKI, kasus Talangsari di lampung, peristiwa Tanjung Priok 1984, Peristiwa 27 Juli, Peristiwa kerusuhan Mei 12-14 1998, dan berbagai peristiwa HAM lainnya dimana semuanya berpuncak kepada pertanggungjawaban Soeharto. 

Belum lagi persoalan tanah di berbagai wilayah Indonesia yang sampai sekarang masih menjadi bahan laten yang setiap saat mengintai dan berpotensi terjadinya kerusuhan massa yang merupakan agenda dan pekerjaan kita sekarang untuk menyelesaikannya. 

Sungguh klaim pembangunan ternyata hanyalah fatamorgana yang jauh dari harapan kita semuanya. 

Namun yang pasti, peristiwa sesungguhnya masih jauh dari harapan kita untuk membukanya dan mengetahuinya. Persoalan-persoalan sekarang tentu saja tidak mudah kita menyelesaikannya walaupun itu merupakan pekerjaan yang ditinggalkan oleh rezim orde baru. 

Terlepas dari catatan yang telah penulis uraikan, sikap dan watak orde baru masih terumuskan baik didalam berbagai peraturan yang tidak berpihak kepada masyarakat, juga terlihat dari berbagai peristiwa yang cenderung “ingin menang” walaupun melakukan upaya dan cara-cara yang justru bertentangan dengan prinsip demokrasi. 

Peristiwa seperti tidak menerima kekalahan dari Pilkada, pembakaran rumah-rumah ibadah, kekerasan dari setiap persoalan, dan berbagai peristiwa lainnya memberikan catatan kepada penulis, bahwa sesungguhnya cara-cara seperti itu adalah warisan dari watak rezim orde baru. 

Secara sederhana peristiwa itu merupakan perpindahan kekerasan yang dilakukan oleh negara kepada kekerasan yang dilakukan oleh yang mayoritas. 

Orde baru ternyata meninggalkan warisan yang sampai sekarang masih kita rasakan. 

Dari paparan sekilas yang penulis uraikan, sungguh tidak pantas, apabila kita meyakini pemikiran bahwa ternyata rezim orde baru lebih baik dari sekarang. 

Apabila kita masih merasakan kehidupan yang lebih buruk dari rezim orde baru, maka selain yang kita rasakan adalah “warisan” orde baru, kita sekang masih dalam transisi menuju demokrasi. 

Tentu saja dibutuhkan waktu yang panjang sehingga nilai-nilai demokrasi dapat kita rasakan. 

Menurut penulis, dalam rumusan berbagai perkembangan, arah menuju demokrasi sedang kita lakukan. 

Fungsi Mahkamah Agung yang mandiri (penulis juga tidak menutup mata terhadap kiprah MA yang menjadi sorotan publik), adanya lembaga superbody KPK dalam memberantas korupsi, Polri telah keluar dari ABRI dan menjadi bagian dari sipil, lahirnya Mahkamah Konstitusi dan berbagai lembaga negara yang melakukan kontrol terhadap negara, pemilihan Presiden dilakukan secara langsung, diakuinya HAM dalam rumusan UU No. 11 dan 12 tahun 2004 adalah refleksi kita sedang menuju arah demokrasi. 

Tentu saja proses ini sering berbenturan dan masih dibutuhkan berbagai varian untuk menuju tahap ini. 

Paparan ini sekaligus memberikan pemahaman kepada kita terhadap rezim orde baru. 

Tentu saja paparan ini merupakan refleksi dari penulis dalam melihat perjalanan bangsa Indonesia walaupun yang disampaikan secara subyektif. 

Begitu pentingnya pembahasan ini penulis uraikan sebagai bentuk bagaimana sikap penulis terhadap Soeharto terlepas apakah dalam keadaan sakit. 

Sikap penulis tentu saja terlepas dari persoalan kemanusiaan yang merupakan pondasi penting dalam melihat persoalan itu sebenarnya. 

Artinya, secara tegas penulis harus menentukan sikap dari perspektif hukum tanpa adanya pandangan subyektif untuk melihat persoalan itu yang sebenarnya. Pemeriksaan kepada Soeharto dimuka persidangan, bahwa Soeharto belum dapat ditetapkan sebagai terdakwa karena pembacaan dakwaan belum sempat dilakukan. 

Waktu itu Persidangan tetap dibuka, Jaksa Penuntut umum tidak dapat menghadirkan tersangka dengan alasan sakit. Pemeriksaan kemudian dilakukan untuk menilai alasan yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum. 

Pengadilan kemudian menetapkan bahwa Soeharto tidak dapat dihadirkan karena sakit dan kemudian dikuatkan baik didalam putusan banding maupun kasasi di Mahkamah Agung. 

Menurut KUHAP, sakit merupakan hak asasi terhadap tersangka, karena itu pemeriksaan tidak dapat dilanjutkan. 

Menurut penulis, secara hukum, Soeharto sekarang masih sebagai tersangka. Pendapat ini didasarkan kepada proses hukum. 

Dalam tahun 2000, Penulis pernah menyampaikan dalam kolom opini di Jambi Ekspress bahwa terhadap sakitnya Soeharto tidak dapat dijadikan dasar untuk “menghentikan perkara” terhadap proses pidana. 

Sakit hanyalah “menghentikan pemeriksan” proses pidana. Sebuah prinsip yang berbeda dalam melihat kasus sakitnya Soeharto. 

Secara prinsip, yang hanya dapat menghentikan perkara hanya apabila tersangka telah meninggal dunia sebagaimana dalam perkara pidana terhadap Alm M. Roem. 

Jaksa Penuntut Umum mempunyai kewenangan untuk menghentikan penuntutan sebagaimana diatur didalam KUHAP, namun tidak mempunyai kewenangan menghentikan proses hukum terhadap Soeharto yang telah dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri. 

Dengan demikian prinsip dasar ini merupakan pondasi penting terhadap asas “persamaan dimuka” tanpa melihat siapapun yang dituduh telah melakukan perbuatan pidana. 

Sedangkan prinsip “sakit” didalam KUHAP, maka terhadap pemeriksaan dapat dihentikan sampai terdakwa sembuh sehingga dapat mengikuti persidangan. 

Begitu pentingnya pembahasan tentang sakit ini didalam melihat persidangan sebagaimana dirumuskan didalam KUHAP, maka sesungguhnya, penghormatan terhadap hak-hak tersangka haruslah diletakkan pada bingkai yang sebenarnya. 

Dengan demikian, penulis tetap menyatakan, bahwa sakitnya Soeharto tidak menghentikan perkara tapi menghentikan pemeriksaan terhadap Soeharto. 

Dengan demikian, terhadap Soeharto, secara hukum masih menyandang status sebagai “tersangka” sebagaimana penjelasan yang telah disampaikan. 

Selain itu berdasarkan pasal 38 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 yang menyatakan “Bahwa tersangka telah dipanggil secara patut” tidak datang, maka pemeriksaan dapat dilakukan tanpa kehadiran tersangka”. 

Dari ketentuan pasal ini, maka dalam proses hukum terhadap Soeharto tidak dapat diterapkan. Karena terbukti dimuka persidangan, Soeharto dapat membuktikan, bahwa Soeharto dalam keadaan sakit yang dibuktikan dengan bukti-bukti yang otentik dan memperkuat dasar bahwa Soeharto sakit. 

Tugas negara untuk menyembuhkannya dan kemudian menghadirkan dimuka persidangan untuk mendengarkan tuduhan jaksa penuntut umum. 

Dengan demikian pemeriksaan terhadap Soeharto tidak dapat dilakukan dengan asas “in absentia”, karena menurut penulis, “in absentia” dilakukan, apabila tersangka/terdakwa tidak ditemukan ataupun terdakwa tidak menggunakan haknya dimuka persidangan. 

Peristiwa ini dapat dilihat dalam perkara terhadap Hendra Rahardja yang tetap dilanjutkan hingga kemudian Pengadilan kemudian menjatuhkan putusan. 

Dengan demikian konsepsi terhadap pemeriksaan “in absentia” sebagaiman diatur didalam UU Korupsi tidak tepat diperlakukan. 

Pendapat ini sekaligus membantah pemikiran yang menggunakan dasar “in absentia” terhadap peristiwa sakitnya Soeharto. Selain itu juga, nama-nama Soeharto disebut-sebut dalam pemeriksaan berbagai peristiwa yang berkaitan dengan HAM. 

Tentu saja pembuktian terhadap peran Soeharto dalam peristiwa yang berkaitan dengan HAM haruslah dilakukan untuk melakukan perbaikan dan pelajaran penting penegakan HAM di Indonesia di masa yang akan datang 

Dengan demikian, maka, bagaimana kita menerima kesalahan Soeharto dan kemudian memaafkan Soeharto, sedangkan kita sendiri belum mengetahui terhadap hasil pemeriksaan dalam prosers dimuka persidangan terhadap Soeharto untuk melihat kesalahannya apalagi memaafkannya. 

Begitu pentingnya proses hukum terhadap Soeharto baik dalam perkara korupsi maupun kasus-kasus pelanggaran HAM dilakukan semata-mata agar sebelum wafat, Soeharto tidak dalam keadaan status “tersangka”. 

Prinsip filsafat Jawa yang sering didengung-dengungkannya, “mikul dhewer mendem jero” adalah dilakukan agar proses hukum menjadi terang dan dapat memberikan teladan kepada kita semua agar kita terbebas dari generasi “dendam”. 

Yang memberikan penghukuman tanpa proses peradilan hingga mati. Sebuah kesalahan yang mengulangi kesalahan terhadap pemimpin kita sebelumnya. 

Maka kata-kata yang pantas terhadap peristiwa sakitnya Soeharto adalah, agat kita Mendoakan kesehatan Soeharto agar cepat dilakukan pemeriksaan di Muka Persidangan. 

 Jambi Ekspress, 17 Januari 2008